Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Sebelumnya saya sudah pernah menulis tentang topik ini (sudah dimuat dalam blog ini). Tetapi kali ini saya mau menambah sebuah tafsir atau pemahaman baru atas istilah atau ungkapan itu, sebuah tafsir atau pemahaman baru yang saya peroleh dalam proses diskusi atau dialog dengan seorang teman, Dr.Marsel Robot (Dosen Undana Kupang). Puji Tuhan, sebab dia telah memberi sebuah sumbangan khusus menyangkut penafsiran makna kata kalo dalam ungkapan tersebut di atas. Tetapi saya perlu juga menambahkan bahwa dia tidak tahu apa arti dari kata kuni itu (dalam tulisan terdahulu saya sudah memberi penafsiran sejauh yang dapat saya ketahui). Tidak apa-apa. Saya fokus saja pada kata kalo itu sendiri. Menurut Dr.Marsel Robot, kata kalo itu mengingatkan dia akan dua hal sebagai berikut.
Pertama, kalo itu tidak lain adalah pohon yang ditanam sebagai pohon kosmis (axis mundi) di compang (altar pemujaan dalam agama asli Manggarai) yang biasanya selalu terletak di tengah perkampungan. Sekaligus sehubungan dengan ini, Dr.Marsel Robot mengatakan dengan tegas bahwa tidaklah benar atau tidaklah bersifat universal bahwa compang itu ditanami pohon beringin (yang dalam bahasa Manggarai tengah ialah Langke, dan Manngarai Timur ialah purus). Mengapa demikian? Itu tidak lain karena ada juga di tempat lain yang compang-nya ditanami dengan pohon kalo ini (baik kalo biasa, maupun kalo yang berbuah panjang dan berduri).
Dr.Marsel bahwa mengatakan di daerah mereka di Manggarai Timur memang kalo atau dadap itulah yang menjadi pohon kosmis di atas compang (sebagai exis mundi, meminjam istilah dari Mircea Eliade). Ketika dia mengatakan hal itu dengan tegas, tiba-tiba saya teringat akan kenyataan bahwa sebenarnya compang yang pernah saya lihat di Lentang dulu ditanami pohon kalo (dadap) ini. Begitu juga compang yang saya lihat di Rejeng, Dese, Wakel, dan Manu. Begitu juga compang yang ada di Lamba, dan Tango. Saya sudah lupa compang di kampung Pelus. Compang di Perang Lembor juga, ditanami kalo (dadap berduri).
Dalam artian pertama ini, Kalo berarti mengingatkan orang akan natas bate labar, dan compang bate io ko takung, compang bate naad helang. Orang Manggarai sangat dianjurkan untuk secara etis tidak pernah boleh sampai melupakan hal-hal ini. Orang tidak boleh melupakan public space tempat di mana dia sebagai anak-anak dulu pernah bermain-main di halaman rumah mereka. Compang juga menjadi sesuatu yang sangat erat dan akrab di hati orang-orang Manggarai. Maka kalau dikatakan, neka oke kuni agu kalo, itu berarti seseorang diminta untuk tetap ingat dan mengenang kampung halaman, tempat tanah tumpah darahnya.
Kedua, kalo itu juga tidak lain adalah sebuah pohon yang mudah tumbuh dan kalau sudah tumbuh ia bisa menjadi pohon pelindung, entah itu pelindung bagi tanaman lain (misalnya, kopi, cengkeh, vanilli, tembakau, dll), ataupun sebagai pelindung humus tanah, dan terutama untuk melindungi mata air kolektif. Selain itu, dipercayai juga bahwa kalo memang mempunyai daya pelindung untuk air dan humus tanah. Itulah sebabnya mata air di Manggarai banyak ditanami pohon dadap, dan waso atau waru. Kalau dalam artian ini, maka penyebutan kata kalo itu adalah sebuah penerusan tradisi pengetahuan tentang fungsi ekologis dari pohon-pohon tertentu. Ke mana saja orang Manggarai pergi, hendaknya mereka jangan sampai lupa untuk menanam pohon dadap, sebab pohon itu melindungi dan juga menyuburkan. Kebanyakan orang mengambil metafor ini ketika mereka menanam pohon dadap dalam konteks terdekat kehidupan mereka sendiri.
Bandung, 28 November 2008 (Diketik dan diperluas, 01 Desember 2008).