Selasa, 20 Januari 2009

DERE LORANG MORI YESUS

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Dalam Dere Serani lama, pada Nomor 39 (kalau tidak salah ingat), ada sebuah nyanyian yang sangat saya sukai, yang isinya ialah nyanyian untuk meratapi Tuhan Yesus, atau dalam bahasa Manggarai disebut Dere Lorang Mori Yesus. Baik melodi (nada), maupun syair (kata-kata) lagu itu menurut saya sangat indah dan mendalam, dan sekaligus amat menyentuh perasaan kalbu orang yang menyanyi dan mendengarkannya. Apalagi kalau yang menyanyikannya mempunyai suara merdu dan mengetahui tradisi ratap orang Manggarai. (Sekadar catatan singkat: Kalau orang Manggarai meratapi orang mati, para peratap itu, yang biasanya para ibu, bisa menyusun syair puitik yang sangat indah. Mereka meratap dengan berpuisi. Itu sebuah kombinasi yang sangat indah, seperti kata Abraham Yoshua Heschel, ketika menghadapi kematian orang tercinta, kita bisa mengambil tiga sikap, sikap diam, sikap menangis, sikap bernyanyi dan berpuisi. Orang Manggarai menggabungkan kedua yang terakhir, yaitu menangis atau meratap dengan berpuisi. Sudah lama sekali saya ingin membuat transliterasi dari lagu-lagu dan puisi ratapan itu dalam bahasa Manggarai, mungkin ada kemiripan dengan Mazmur ratapan dalam Kitab Suci).

Oh ya, saya kembali ke alur utama tulisan ini, kembali ke Dere Serani No.39 itu. Saya tidak pernah lupa bahwa saya sangat suka menyanyikan lagu itu sejak kecil. Juga di seminari kecil saya suka menyanyikannya. Saya juga ingat bahwa di postulant OFM pun saya menyanyikannya. Juga di novisiat OFM di Yogyakarta saya menyanyikannya sambil menyapu kebun. Ada penduduk setempat yang mendengar dan bertanya: “Bruder, tembang niku tembang saking pundi Bruder?” (Karena semua penghuni biara di sana dipanggil Bruder oleh penduduk sekitar. Kalau ada yang memanggil dengan spesifikasi, Frater, Bruder, Romo, berarti orang itu orang Katolik). Saya menjawab itu tembang dari Manggarai. Ia menyatakan perasaannya secara spontan bahwa ia sangat suka, walau tidak mengerti. Di situ saya tiba-tiba sadar bahwa daya sentuh musik dan lagu, bukan pada syair (semantik) melainkan pada level bunyi (fonetik). Karena sering menyanyikannya, maka saya hafal. Tetapi di sini saya kutip beberapa bagian saja. Beginilah bunyinya:

Cako:

Ooooo nai go oooooo Anak Mori,

Waga keta rakg, carik keta atig,

Landing anak momang go naige anake……

Wale:

Ba’eng….., ba’eng ta,

Mori……, landing penong le sala,

Yoooo Mori…… yo ba’eng koe.

Kalau diamati secara sekilas, semula saya merasa risih dengan adat kebiasaan ini. Tetapi setelah saya semakin banyak mendalami tradisi devosi Kristiani sekitar pekan suci, saya akhirnya menyadari bahwa tradisi Kristiani itu juga mengembangkan devosi seperti ini. Bagian cako dari lagu ini misalnya, isinya kurang lebih sama dengan isi ratapan dalam Stabat Mater yang terkenal dari Jacopone da Todi itu. Juga tidak beda jauh dengan ungkapan dalam syair lagu Bunda Berdukacita di bawah Salib. Kiranya juga tidak beda jauh dengan suasana Pieta yang diungkapkan Michelangelo itu, kalau suasana Pieta itu diungkapkan dalam kata-kata. Sedangkan bagian Wale, isinya ialah berupa permohonan ampun atas segala dosa dan pelanggaran kita. Memang tujuan lagu ratap pekan suci ialah mengangkat dan meningkatkan kesadaran tobat.

Sekitar tahun 67-68an, ketika ayah saya mengajar di Sekolah Dasar Katolik Wewo, ada juga lagu ratap Tuhan Yesus yang tidak ada dalam Dere Serani, sebab mungkin itu sebuah ciptaan belakangan yang tidak sempat masuk Dere Serani yang sudah dalam bentuk tercetak sejak tahun 60-an. Walau tidak masuk Dere Serani, tetapi lagu itu populer juga dinyanyikan sebagai lagu ratap pada upacara penyembahan Salib Jum’at Agung. Ketika ayah saya pindah ke Sekolah Dasar Katolik di Ketang tahun 67an, saya pernah mengalami bahwa lagu ini juga dinyanyikan. Beberapa perayaan Jum’at Agung di Ketang juga saya pernah dengar ketika masih kecil. Beginilah syair lagu itu.

Eeeeee eieeeeeeee eeeeeeeee Moriiiiii eeeee…..

Ho’og manen tana……… aaaaaaaaaa mamur nawan…..

Leso holes gae……… mamur mosen

Somba Morigo, somba Morigo……

Ampong sala dami anak Morige…….

Lalu diulang lagi dari atas dengan peratap kedua, peratap ketiga, peratap keempat, dst. Biasanya para peratap itu adalah para ibu, atau bisa juga bergantian antara perempuan dan laki-laki. Bahkan kalau ada peratap profesional yang bisa secara spontan menciptakan syair pada saat meratap, bisa juga diberi kesempatan untuk melakukan improvisasi di sini. Tetapi sangat sulit menemukan orang-orang seperti ini.

Tentu saja ini adalah lagu ratap yang sama seperti tradisi meratap tradisional orang Manggarai. Baris pertama itu adalah khas gaya meratap. Itu sebabnya hanya terdiri atas bunyi-bunyi vocal saja, tanpa konsonan, dan tidak sampai membentuk kata, melainkan hanya untaian bunyi. Memang ketika orang sedang menangis sedih, biasanya kata-kata terpotong-potong dan sering tidak sampai terbentuk kata, melainkan hanya bunyi. Kesedihan menyebabkan bahkan kata dan bahasa pun tidak sampai bisa terucap; yang terucap hanya nada-nada, hanya fonem, hanya bunyi. Tetapi untaian bunyi itu diiringi dengan nafas yang mengungkapkan kesedihan, tersedu-sedan, mungkin dengan ungkapan sekarang, dengan termehek-mehek. Begitu juga baris kedua dan baris ketiga. Itu adalah ungkapan yang sangat biasa dalam tradisi ratap orang Manggarai. Hanya ada satu perbedaan di sini. Yaitu baris keempat. Baris ini menjadi ciri pembeda ratapan ini dari ratapan tradisional. Sebab baris keempat ini adalah doa permohonan memohon ampunan atas dosa. Dalam tradisi ratapan yang biasa, kitalah yang berdoa memohonkan ampunan atas dosa si orang yang meninggal. Kita berdoa agar orang yang meninggal itu bisa berjalan dengan baik ke tanah kediaman baru. Sedangkan di sini, kitalah yang justru memohon ampunan atas dosa-dosa kita dari peristiwa sengsara dan wafat Tuhan kita Yesus Kristus. Ya, di sini kita memohon ampunan atas dosa kita yang masih hidup dari Tuhan yang mati. Sebab Ia wafat demi dosa-dosa kita, dan oleh bilur-bilurNya kita disembuhkan.

Senin, 12 Januari 2009

SUNSET DI LABUAN BAJO (2007)

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


Kali ini, di senja hari ini,

Aku berdiri memandang ke pantai

Menyaksikan mentari mohon pamit diri

Dan ajaib sekali, ia selalu pamit dengan berseri-seri

Serasa sedang membelai gemulai

Pantai-pantai hati sanubari

Yang lalu bergema bertubi-tubi memuji

Perginya dia ke balik jeruji malam

Penuh sejuta salam

Sampai jumpa lagi di esok hari.

Lalu datang senja temaram

Menjelang malam dan entah sudah berapa hati

Dibuatnya menjadi terbuai mimpi-mimpi

Ajaib sekali, kepergian yang seakan-akan

Mencipta ruang nostalgia abadi

Orang-orang serasa memandang yang sama

Dari waktu ke waktu.

Lalu lahirlah puisi, nyanyi, dan bahkan tari

Karena kepergiannya penuh daya inspirasi

Membangun imaji-imaji ramai dan sunyi.

Malam ini ada yang dilanda rindu nan galau

Tetapi terobati oleh dikau yang pergi.

Malam ini ada yang dilanda gelora cinta

Dan hangatmu membawa nuansa yang

Entah mengapa senantiasa terasa mengendap

Tetapi sekaligus tidak pernah lembab.


Mungkin karena sinarmu berdaya ajaib.


Labuan Bajo, Juli 2007

(di balik puisi ini terendapkan beberapa pengalaman terdahulu di labuan bajo saat saya juga hanyut menikmati sunsetnya yang indah).