Minggu, 11 Juli 2010

KUNJUNGAN MGR.HUBERTUS LETENG KE BANDUNG

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN;
PENELITI GESER INSTITUTE DAN CCRS FF-UNPAR BDG



Kemarin, Minggu 11 Juni 2010, Mgr.Hubertus Leteng, mampir ke Bandung, dalam rangka bertatap muka dengan orang Manggarai di Bandung dan sekitarnya. Beberapa hari sebelumnya Pa Flori Nggagur dan Dr.Max, menyebarkan undangan SMS untuk orang Manggarai Bandung agar menghadiri Ekaristi yang dipimpin Uskup di kediaman pribadi Dr.Max di Cilaki no.2. Tentu kami semua senang dengan kunjungan itu, sebab itulah kesempatan bagi kami bertemu dengan beliau. Kalau kami ke Ruteng belum tentu beliau punya waktu menerima kami. Di pagi harinya, orang Manggarai Cimahi mengadakan arisan keluarga di rumah Pa Edi Radom, sekaligus peringatan satu tahun meninggalnya ayah mereka (Bapak Yohanes Radom). Ada juga arwah Bapak lain yang didoakan dalam kesempatan itu, tetapi saya lupa namanya. Dalam doa permohonan, saya sisipkan doa untuk arwah Bapa Tomas Didimus Jehaun yang meninggal pagi hari kemarin di Ruteng. Ia adalah ayah mertua adik saya, Marius Saridin.

Setelah selesai doa kami langsung makan siang dan penarikan undi arisan. Kami mengadakan semuanya dengan tergesa-gesa karena setelah itu kami ke Bandung, menghadiri Ekaristi bersama Mgr.Hubertus. Selesai makan kami ke Bandung. Sebelum ke Cilaki, saya mampir ke Fermentum, mengajak Romo John Talla bertemu dengan Uskup. Ternyata ia mau. Kami menjemputnya. Kami terlambat tiba di Cilaki. Begitu tiba, saya membawa Rm.John Talla ke hadapan Uskup. Saya sempat memegang tangan Uskup dan mencium cincinnya. Ia yang dulu teman di seminari kecil, karena tugas mulianya sebagai uskup, kini harus saya cium tangannya. Itulah kebiasaan yang ditanamkan dalam hati saya sebagai orang Flores sejak kanak-kanak. Untunglah Ekaristi belum dimulai karena menunggu tibanya lawa yang ada. Ekaristi sempat diulur-ulur. Akhirnya dimulai pada pukul 12.30. Bapa Uskup didampingi Pater Kasmir Jumat SMM. Perayaan berjalan lancar, diiringi beberapa nyanyian Puji Syukur dan beberapa lagu Dere Serani (tentu yang dihafal oleh pengangkat lagu).

Selesai ekaristi acara dilanjutkan dengan santap siang bersama, ala prasmanan yang lezat. Selama ini saya sudah melanggar pantangan yang diberikan Anton Porat. Tetapi kemarin Dr.Max, memberi tahu saya bahwa ia telah meminta kelonggaran pada Anton di Kupang agar saya bisa menikmati makanan nikmat pesta ini. Ada peristiwa penting dalam acara makan itu. Saat tambah saya ambil makanan di meja Uskup. Sebagai pengantar saya katakan: “Bapa Uskup saya tuntung ke meja dite.” Uskup tertawa mendengar kata itu. Katanya: “Tuntung itu sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Saya katakan: “itu sebabnya saya pakai kata tuntung itu. Pa Flori tambahkan: Itu hebatnya ite, ai ite berani tuntung one Uskup. Semua yang mendengar itu tertawa. Mungkin dalam kenyataannya ada yang tuntung pada uskup.

Selesai santap siang, kami meminta waktu Bapa Uskup untuk berdialog dan tanya jawab dengan kami. Beliau memberi waktu kurang lebih sampai jam 4. Jadi kami ada waktu kira-kira satu jam. Kami memakai waktu itu sebaik-baiknya. Acara diskusi dan dialog bersama dipandu Krg.Flori Nggagur sebagai moderator. Penanya pertama, Alex Aben (Ketua Ikamaba), mengajukan pertanyaan mengenai rumor keterlibatan politik gereja di Manggarai. Bagaimana sikap Gereja dengan hal itu? Jangan sampai hal itu bisa menimbulkan pepercahan di tengah masyarakat. Uskup menjawab pertanyaan itu dengan diplomatis: Gereja punya kewajiban mendampingi umat untuk berpolitik dengan baik. Gereja tidak mau mengatur politik praktis. Paling-paling hanya memberi himbauan moral. Tidak lebih dari itu. Penanya kedua, Krg.John Luis, mengenai masalah pendidikan NTT yang selalu mendapat sorotan nasional karena mutunya merosot. Mgr.Hubert menjawab bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas perhatian gereja. Gereja berusaha sedapat mungkin memberikan yang terbaik bagi pendidikan di Manggarai khususnya dengan pelbagai cara, termasuk kerjasama dengan pemerintah maupun dengan pelbagai serikat hidup bakti yang hingga saat ini mencapai 50an di Ruteng. Penanya ketiga, Pa Darma, bertanya mengenai ketahanan mental dan moral mudika Manggarai, baik di Manggarai, maupun ketika mereka merantau ke Jawa. Mgr.Hubert mengatakan bahwa itu juga menjadi titik pusat perhatian gereja Manggarai. Mereka berusaha menghindari terjadinya brain-drain di NTT dengan membuat anak mudanya betah tinggal di NTT. Itu tidak mudah. Pemda harus menciptakan lapangan kerja. Ketika mereka ke Jawa, tentu diharapkan mereka mempunyai tujuan yang jelas dan pasti, agar tidak terlunta-lunta.

Dalam sesi kedua, Pa Flori bertanya tentang pemetaan dan sertifikasi tanah gereja di Manggarai. Sebab ada gejala bahwa tanah yang sudah diberikan, diambil kembali oleh generasi kemudian. Terhadap hal itu Uskup mengatakan bahwa kita wajib mengingatkan semua pihak agar menghormati sejarah masa silam, termasuk keputusan adat nenek moyang. Gereja mensertifikasi semuanya, tetapi butuh biaya. Jadi, harus perlahan-lahan. Langkah adat yang biasa harus ditempuh sebelum langkah hukum formal. Saya sendiri tampil sebagai penanya kedua: saya tanya tentang isu sensitif ekologi. Ekologi Manggarai rusak karena kehadiran tambang. Bagaimana upaya gereja sehubungan dengan itu? Ingat bahwa tambang tidak pernah memberi harapan jangka panjang. Sementara kita ini hidup dari pertanian tradisional. Mengapa bukan modernisasi pertanian tradisional yang diupayakan dan bukan tambang? Uskup menjawab bahwa keuskupan sejak lama menolak tambang. Keuskupan dan gereja harus berjuang melindungi ekologi, memperjuangkan JPIC. Kalau ada yang merusak, kita lawan. Akhirnya, pa Flori Su, tampil sebagai penanya ketiga: mengenai modernisasi di bidang kelistrikan. Modernisasi di bidang jalan raya lumayan. Tapi modernisasi di bidang kelistrikan, masih harus ditingkatkan. Uskup setuju dengan itu, dan menghimbau alangkah baiknya para perantau yang sukses, juga berbuat sesuatu agar Manggarai terang oleh listrik. Tidak hanya remang-remang.

Bandung, 12 Juli 2010
Fransiskus Borgias M.

Senin, 17 Mei 2010

SAMBUTAN PELUNCURAN BUKU KBB DI KATEDRAL RUTENG

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
TEOLOG DAN PENELITI CCRS
(Center for Cultural and Religious Studies)
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG
(Koordinator, korektor Proyek Penerjemahan KBB Manggarai)
Ruteng, 06 September 2009



Sekelumit Sejarah
Saya mulai dihubungi oleh Pak Tensi pada pertengahan tahun 2006. Saya ditugaskan mencari orang atau membentuk tim penerjemahan. Setelah mencari ke sana ke mari akhirnya saya mendapat seorang ibu muda, Fransiska Daima Mur. Semula ia ragu-ragu, tetapi karena ia didukung penuh oleh suaminya, Konstantinus Nobal, maka ia pun memberanikan diri. Kemudian terpilih juga salah satu pembaca dua, yaitu Arnoldus Dembo. Setelah tim terbentuk maka proyek ini bisa mulai berjalan pada awal tahun 2007. Juni, seluruh proyek selesai. Maka pertemuan koreksi dan revisi diadakan pada pertengahan Juli 2007. Namun sesungguhnya koreksi dan Revisi berjalan terus sampai tahun 2008. Buku terbit pada tahun 2009 ini.


Tantangan Kultural
Ketika dihubungi Tensi untuk mengerjakan proyek ini, saya merasa ini sebuah tugas yang amat berat. Saya takut untuk menerima tantangan itu. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa tugas ini sebagai sebuah tantangan kultural yang luar biasa besar dan manfaatnya bagi diri saya sendiri dan juga bagi Manggarai. Oleh karena itu, saya pun menerimanya. Perlu diketahui bahwa sejak masih di Seminari Kecil dulu saya sudah mempunyai minat yang besar dan kuat akan pelbagai persoalan budaya Manggarai. Hal itu berlangsung terus ketika kuliah Filsafat dan Teologi di Jakarta dan Yogya. Sejak saat itu saya terus menulis dan mengadakan penelitian tentang Manggarai. Salah satu hasilnya ialah: saya menulis sebuah artikel tentang “Nama-nama orang Manggarai” yang dimuat dalam Majalah Bulanan Kebudayaan, Basis tahun 1991.

Minat dan perhatian saya akan kebudayaan Manggarai tidak pernah berhenti apalagi sampai padam. Malah minat dan perhatian itu tumbuh semakin kuat dan mendalam. Hingga saat ini saya masih banyak menulis banyak catatan lepas tentang Manggarai. Itulah sebabnya saya mempunyai Blog sendiri untuk kebudayaan Manggarai. Saya beri nama blog itu: atamanggarai.blogspot.com. Di sanalah saya membeberkan kajian saya tentang Manggarai, semacam Manggarain studies. Ketika saya mendapat kesempatan untuk belajar teologi di negeri Belanda beberapa tahun silam, saya tergerak untuk mulai menyusun sebuah kamus bahasa Manggarai. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang ini. Saat ini saya masih mencoba menyelesaikan taraf pengumpulan kosa kata (entry), seraya mencoba menyusun artinya. Sampai sekarang ini saya baru sampai pada tahap memberi arti sinonim dan memberi contoh-contoh pemakaian dalam kalimat. Sementara itu saya juga mencoba menyusun antonimnya.

Di tengah kesibukan itulah, tiba-tiba muncul tawaran untuk menerjemahkan KBB ini ke dalam bahasa Manggarai. Jadi ada semacam faktor kebetulan: Saya lagi menyibukkan diri dengan Manggarai, malah mendapat kesempatan untuk menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa Manggarai. Oleh karena itu, saya mendapat banyak kesempatan istimewa untuk memperdalam dan memperluas kosa kata Bahasa Manggarai yang sedang saya susun itu. Oleh karena itu terima kasih banyak kepada LAI yang telah memberi saya kesempatan ini.


Tonggak kebudayaan
Saya anggap penerbitan buku ini merupakan sebuah tonggak historis kebudayaan yang teramat besar bagi Manggarai. Mengapa saya berani mengatakan seperti itu? Sebab sampai sekarang ini dokumen tertulis dalam bahasa Manggarai dan tentang Manggarai masih sangat langka, apalagi yang menyangkut kitab suci, liturgi, teologi, dan wacana kegerejaan dan keagamaan lainnya.

Pada tahun 60-an, memang sudah terbit Buku Dere Serani. Puji Tuhan atas eksperimen yang sangat berani itu. Pada kurun waktu yang kurang lebih sama terbit juga buku Surak Ngaji Manggarai (Eme Toe Manga Tuang Pastor). Ini juga sebuah terobosan yang luar biasa berarti bagi pencapaian-pencapaian kebudayaan Manggarai.

Sekitar kurun waktu itu juga terbitlah banyak manuskrip dari Pater Jilis Verheijen SVD. Judulnya: Manggaraian Texts. Kalau saya tidak salah, kumpulan itu mencapai enambelas jilid. Suatu kerja dan ketekunan yang luar biasa.

Juga ada terjemahan-terjemahan teks injil untuk dibacakan pada Hari Minggu. Saya masih ingat bahwa dulu orang membacakan injil dalam bahasa Manggarai, dan kotbah pun dalam bahasa Manggarai.

Saya yakin, di tangan para peneliti dan pencinta kebudayaan Manggarai masih tersimpan banyak manuskrip ataupun dokumen yang ditulis dalam bahasa Manggarai dan juga tentang Manggarai.

Selain yang sudah disebutkan di atas tadi, mungkin belum ada banyak. Sekarang ini, sedang gencar-gencarnya program terjemahan PB ke dalam Bahasa Manggarai.

Kalau dilihat dengan kacamata tinjauan historis seperti ini, jelas terjemahan KBB ini merupakan sebuah tonggak besar juga dalam sejarah perkembangan kebudayaan Manggarai. Tonggak ini amat penting. Oleh karena itu, kami berusaha sedapat mungkin mengerjakan terjemahan ini dengan semampu kami. Walau tidak kami sangkal bahwa di sana-sini pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Tetapi hal itu tidak mengurangi eksistensi buku ini sebagai sebuah tonggak sejarah dan tonggak kebudayaan Manggarai.


Maribeth Erb: Vanishing Cultures…
Pada akhir tahun 2008, saya mendapat buku yang ditulis oleh Maribeth Erb. Maribeth Erb ini adalah seorang antropolog yang meneliti kebudayaan Manggarai pada tahun 1980-an. Untuk itu ia menetap di beberapa daerah di Manggarai ini. Pernah ia menetap di Mukun, dan karena itu kalau tidak salah ia kemudian menikah dengan Pater Mucek. Ia juga pernah menetap di Todo. Tetapi dari kedua basis itu ia berjalan berkeliling di seluruh Manggarai: Ke Cibal, Ke Rekas, Ke Lembor, Ke Warloka, ke Ruteng tentu saja. Ia sangat mengagumi dan mencintai kebudayaan Manggarai.

Tetapi mengapa saya menyinggung dia di sini? Karena beberapa tahun silam (1999), ia menulis buku yang judul serialnya bagi saya amat menyedihkan: Vanishing Cultures of the World. Artinya “Kebudayaan-kebudayaan Dunia yang sedang dalam proses kepunahan.” Dalam proses sirna dari panggung bumi, panggung sejarah. Artinya kebudayaan Manggarai dianggap sedang dalam proses menuju kepunahan. Tetapi judul di atas tadi adalah judul serial buku. Erb sendiri sangat tidak setuju dengan judul serial itu, tetapi ia harus tunduk kepada permintaan kepala yang menerbitkan Serial Vanishing Cultures of the World itu. Judul yang persisnya dari karya Erb ialah: The Manggaraians A Guide to Traditional Lifestyles. Saya sendiri, sangat tidak setuju dengan pendapat Serial itu. Sebab menurut hemat saya, sesungguhnya tidak ada kebudayaan di dunia ini yang punah begitu saja. Yang terjadi menurut saya ialah semacam proses metamorfosis, proses pergeseran dari bentuk lama ke bentuk perwujudan baru. Sebab menurut seorang pemikir di bidang Agama yang bernama Edward Burnett Tylor, dalam proses perkembangan sejarah agama-agama selalu ada unsur yang ia sebut sebagai Survival and Recurrence. Artinya ada unsur dari hal yang lama yang mampu bertahan hidup, mampu bertahan dari gerusan jaman, lalu ia bisa muncul kembali dalam sebuah tatanan dan tampilan baru.

Nah, saya menempatkan proses terjemahan dan terbitnya buku ini dalam kerangka anggapan serial buku tadi: Vanishing Cultures of the World. Semoga dengan terbitnya buku ini, kebudayaan Manggarai akan tetap eksist sebagai sebuah kebudayaan. Semoga dengan teritnya buku ini, Manggarai bisa menyumbangkan sesuatu kepada Negara dan juga kepada Gereja, kepada penyebaran Firman Allah sampai ke ujung bumi, agar segala Lidah mengakui bahwa Yesus Kristuslah Tuhan dan Penebus kita.

Saya juga menempatkan proses terjemahan dan terbitnya buku ini dalam kerangka survival and recurrence dari Tylor tadi. Buku ini sekaligus menjadi daya survival sebuah kebudayaan, dan sekaligus juga menjadi tanda recurrence, kemunculan kembali, kebangkitan kembali suatu kebudayaan. Buku ini bermuara pada warta tentang kebangkitan Yesus, yang akhirnya diwartakan oleh Paulus yang terutama dikisahkan Kisah Para Rasul, sampai ke ujung bumi, sammpai kepada segala bangsa, segala bahasa, segala lidah, termasuk juga bahasa dan lidah orang Manggarai.


Sejalan Dengan LBI
Pernas LBI tahun 2004 di Malang, di mana saya terpilih menjadi Wakil Ketua LBI (Ketua Pastor Surip Stanislaus OFMCap), menetapkan bahwa tahun 2004-2008 ditetapkan sebagai tahun Kerasulan Kitab Suci bersama dengan kaum muda. Dalam rangka itu dilakukan banyak kegiatan untuk menggalakkan kerasulan Kitab Suci bersama kaum muda, dari kaum muda, oleh kaum muda, dan untuk kaum muda. Kemudian dalam Pernas LBI 2008 yang lalu, ditetapkan bahwa tahun 2008-2012 sebagai tahun kerasulan kitab Suci bersama anak-anak, dari anak-anak, untuk dan oleh anak-anak.

Ketika saya mendapat tugas ini pada tahun 2006, saya menerimanya dalam bingkai kesejalanan dengan keprihatinan pokok LBI sendiri, yaitu kerasulan kitab suci untuk kaum muda dan ana-anak. Walaupun ini adalah proyek LAI, tetapi saya sebagai orang dari LBI, menerimanya dalam bingkai konteks keprihatinan dan kepedulian LBI itu sendiri. Ada dan kehadiran buku ini juga pasti mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam rangka kerasulan kitab suci untuk anak-anak.

Itulah beberapa pokok pikiran yang muncul dalam pikiran saya ketika mengerjakan seluruh proyek ini. Semoga bermanfaat bagi pewartaan firman Allah. Sebab Firman itu memang harus ditanamkan sejak masa muda di kalangan anak-anak kita, di antara generasi muda kita. Kalau tidak disirami dengan benih-benih rohaniah dari kitab suci, pasti mereka akan mencarinya dari sumber lain. Dalam rangka mencegah terjadinya hal itu, maka kita pada hari ini memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam rangka mengisi hari-hari hidup mereka dengan Firman Tuhan, dalam terang Firman Tuhan. Sebab seperti kata pemazmur: Firman Tuhan adalah Terang bagi langkah hidupku.


Bandung, 03 September 2009
Fransiskus Borgias M.
SIS B
PENELITI CCRS FF UNPAR BANDUNG

Minggu, 04 April 2010

MARSOSE, PASUKAN ELIT BELANDA DI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Sekitar bulan April 2002, saya diajak oleh almarhum Bapak Dami Ndadu Toda untuk bersama-sama dengan saya pergi mengunjungi Museum Militer Belanda yang ada di kota Arnhem. Itulah pertemuan kami yang pertama. Sebelumnya kami sudah pernah berkenalan lewat pos tetapi kami tidak pernah bertemu secara langsung dari muka ke muka. Itu karena saya tinggal di Indonesia, sedangkan Pak Dami tinggal di Jerman, tepatnya di Kota Hamburg. Terus terang saja, saya amat mengagumi Bapak Dami ini,karena dialah salah satu penyair dan sastrawan dari Manggarai yang bisa eksis pada level nasional. Puisinya muncul di Horizon, Basis, dan beberapa majalah Sastra nasional. Juga karya-karyanya muncul di beberapa Antologi puisi, antara lainyang disusun oleh Linus A.G.Suryadi, dll. Bahkan disertasi doktoralnya di UI adalah mengenai cerpen-cerpen Iwan Simatupang, yang tidak pernah diterbitkan dalam sebuah kumpulan sebagai buku. Judul buku yang dikumpulkan Dami ialah, Tegak Lurus Dengan Langit, dan Cerpen Lainnya dari Iwan Simatupang. Saya lupa penerbitnya.

Pada tahun 1991, setelah tinggal selama kurang lebih Sembilan bulan tinggal di dalam rahim kebudayaan Manggarai, tempat asal saya, saya menulis tentang nama-nama orang Manggarai di bulanan kebudayaan Basis, sebuah bulanan asuhan para romo Yesuit yang terbit di Yogyakarta. Di luar dugaan saya sama sekali, ternyata tulisan itu mendapat tanggapan dan apresiasi sangat positif dari bapak Dami. Sebagai bukti perhatian dan apresiasinya ia mengirim sebuah surat tanggapan dan apresiasi dan juga berupa catatan kritis. Bahkan surat itu juga mengandung dukungan dan kontribusi ide-ide yang masih dalam alur perhatian dan objek kajian serta penelitian saya saat itu. Saya sempat membalas surat itu. Dan sesudah itu masih terjadi beberapa kali korespondensi di antara kami.

Barulah kurang lebih hampir sebelas tahun kemudian kami bisa bertemu secara langsung, dari muka ke muka, dan hal itu harus terjadi di negeri perantauan, di Belanda, tepatnya di kota Arnhem. Ada dua tujuan yang mau kami wujudkan dalam pertemuan di Arnhem itu. Pertama, kami mau berdiskusi secara langsung tentang beberapa soal menyangkut sejarah, budaya, dan sastra Manggarai. Luar biasa. Ia menaruh perhatian dan kepedulian yang amat tinggi akan Manggarai, walau ia tinggal dan aktif bekerja sebagai pakar di negeri asing, di perantauan, tepatnya di universitas Hamburg, Jerman. Kedua, kami mau bersama-sama memburu beberapa dokumen sejarah yang penting di Museum militer Arnhem itu yang ada kaitan secara langsung dengan sejarah eksistensi dan perjuangan orang-orang Manggarai. Tentu saja saya sangat antusias dengan hal ini, sebab bagaimanapun juga saya mempunyai minat yang sangat besar ke arah itu.

Setelah sebuah diskusi pengantar yang cukup singkat tetapi padat di sebuah warung kopi di stasiun kereta api Arnhem di pagi hari musim semi yang indah dan cerah, kami langsung, dengan naik bis kota, ke Museum militer itu. Dengan bantuan saya, ia mau mencoba mencari sebuah dokumen, yaitu perintah penangkapan yang keluar langsung dari sang Ratu Belanda terhadap kakek buyutnya yang bernama (kalau tidak salah) Kraeng Laki Tekek Laki Mbangir. Rasanya ini sebuah gelar daripada sebuah nama pribadi (personal). Perintah penangkapan itu memang langsung diperintahkan oleh sang Ratu. Hal itu terbukti dengan tanda-tangan dan cap kerajaan Belanda yang tertera di sana.
Setelah kami mencari beberapa saat di rak-rak dokumen yang tersedia dengan klasifikasi yang sangat rapi sehingga memudahkan kami dalam penelusuran dan pencarian, akhirnya saya menemukan dokumen historis yang sangat penting itu. Saya langsung memberitahukan kepada kraeng Dami tentang hasil temuan saya itu. Ia sangat senang. Ia bahkan sempat hampir setengah berteriak, yang menyebabkan petugas museum agak terkejut.

Selanjutnya, ia mengkopi Surat Keputusan itu sebab itu adalah sebuah SK yang sangat penting dan bersejarah dalam dan bagi sejarah Manggarai. Pak Dami sangat memerlukan dokumen itu sebagai pelengkap data untuk sebuah rencana buku tentang Manggarai, sebagai lanjutan dari bukunya yang sudah terbit sebelumnya, tahun 1996, Historiografi Manggarai. Sampai saat ini saya tidak tahu apakah buku itu sudah terbit atau belum. Sebab ia sudah meninggal tahun 2007 silam.

Juga dari hasil pencarian dan penelusuran itu akhirnya saya tahu juga bahwa Belanda pernah memakai pasukan elit gerak cepatnya (marsose) hanya dua kali di Indonesia, atau lebih tepat di bumi nusantara. Pertama kali, pasukan itu dikerahkan untuk mencoba menaklukkan Aceh yang memang sangat sulit dikalahkan oleh Belanda. Kedua kalinya, pasukan itu dikerahkan untuk menaklukkan Manggarai. Ketika membaca data itu saya lalu berpikir betapa para pejuang Manggarai saat itu ditakuti oleh Belanda, sehingga untuk menghadapi dan menaklukkannya mereka membutuhkan pasukan elit. Hal ini menumbuhkan sedikit rasa bangga dalam diri saya sebagai orang Manggarai. Walau kemudian bisa ditaklukkan oleh orang Belanda juga, tetapi hal itu terjadi lewat suatu proses yang tidak mudah pada pihak Belanda, sebagai pihak yang datang dari luar.


Bandung, 29 Maret 2010.
Dikomputerkan sambil diperbaiki dan diperluas 04 April 2010
Fransiskus Borgias M.
Peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies)

Kamis, 18 Februari 2010

KREBA DI'A LESO HO'O 18 FEBRUARI 2010

PENERJEMAH: FRANSISKUS BORGIAS M
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG

LUK.9:22-25


Poli hitu ga mai taed Mori Yesus, “Anak de Mensia paka eko do keta susa agu mbeis le ata tua-tua, tuang-tuang mese laing agu ata mbeko getok Taurat, poli hitu ga mbele lise landing pande too kole du leso te telun.” Mai kole tae Diha latang te sangged ise, “Sangged taung ata soot ngoeng te lut Aku paka menyangkal weki rud ise, agu pola panggold neteng-neteng leso agu lut Aku. Ai cei-ceing kaut ata ngoeng te pande selamak mosed, hia hitu de ce pisa mora mosed; landing cei-ceing kaut ata mora mosed landing Aku, hia hitu de ce pisa nganceng pande selamak mosen. Apa de ata guna laing eme manga ata ata nganceng caun sanggen labok tana lino hoo, landing hia wili ga pande rusak ko pande bambo mose de run?


BANDUNG, 18 FEBRUARI 2010
SIS B (CCRS FF UNPAR BANDUNG)

KREBA DI'A LESO HO'O 17 FEBRUARI 2010

PENERJEMAH: FRANSISKUS BORGIAS M
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG

MAT.6:1-6.16-18


“Nuk di’a-di’a de, mau hoo neka pande sangged taung adak de agama be bolo ranga data do kudut te ita lise sangged apa ata pande de meu, ai eme ne nggitu de pande de meu, meu ho’o ce pisa toe nganceng tiba waheng di’a one mai Ema de meu eta surga. Itu tara ne nggo’on wili ga, eme hau nanang te teing sedekah, neka tombo siwisok le lau keta le hau pande di’a hitu, neho keta pande data munafik one mbaru-mbaru ngaji agu one salang-salang mese, kudut te naring lata do. Te tu’ung keta tae Daku ho’o latang te meu: Ise situ de poli tiba waheng di’ad ga. Landing eme meu nanang te teing sedekah, apa kaut ata pande le lime wanang de meu paka neka bae le lime leo de meu. Ata di’an de ga teing le meu sedekah hitu one pate ciko, wiga Ema de meu eta surga nganceng ita gauk di’a hitu one pate ceha agu Mori Ema hitu de ce pisa ata teing lekon pande di’a hitu latangt meu.”
“Eme mau nanang te ngaji, meu neka ngaji neho keta ata munafik soo. Ise situ de ngoeng keta te ngaji mbongang mese agu ngaji reme hesed one mbaru-mbaru ngaji ko one jeko-jeko salang mese, ai kudut te ita agu naring lata do. Te tu’ung keta de tae Daku latangt meu hoo: Ise situ poli tibad waheng di’ad ga. Landing eme meu nanang te ngaji, meu paka ngo one lo’ang de meu, tadu paran lo’ang hitu, poli hitu ga ngaji meu nitu sina ngaji nggere one ranga de Ema ata ka’eng one osang pate ceha. Eme ne nggitu pande de meu ga, Ema de meu hitu nganceng ata ita pande di’a one pate ceha, manga kaut lekon Liha ce pisa pande agu gauk di’a de meu hitu.”
“Eme meu nanang te pande puasa, paka neka pande rengus ko susa keta ranga de meu neho keta pande data munafik soo. Ai ise situ pande diod keta rangad eme reme puasa, kudut te ita lata bana ngong ise reme keta puasa mesed.Te tu’ung keta tae Daku latangt meu hoo: Sangged ise situ ga poli tiba wahengd latang sangged apa ata pande dise. Landing eme meu nanang te pande puasa, pande loma le meu sa’i de meu agu baki kole ranga de meu kudut nggelok agu mbilar keta itan lata, kudut toe bae lata bana bahwa meu hoo reme keta puasa mese. Kong hanang Ema de meu ata ka’eng one osang pate ceha ata itan apa pande di’a de meu. Ema hitu de ce pisa ata itan pande de meu hitu one pate ceha, Hia kole ata lekon pande agu gauk di’a de meu hitu ce pisa.”

BANDUNG, 17 FEBRUARI 2010
SIS B (CCRS FF UNPAR BANDUNG)

KREBA DI'A LESO HO'O 08 JANUARI 2010

PENERJEMAH: FRANSISKUS BORGIAS M
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG

LUK.5:12-16


Pas du cengkalin ga Hia Yesus manga one ca kotay. Sina kota hitu manga cengatay ata beti kusta keta taung wekin. Cang du itan liha Hia Yesus ga, rodo suju agu tikul kaut n hia agu ne nggoo tegi koen: “Mori e, eme ngoengd Ite Mori ga, Ite Sengaji nganceng pande di’a kole beti weki daku ho’o.” Mai Mori Yesus los limeN, cau Liha ata hitu, agu ne nggo’o taen: “Ngoeng Daku, hau ga jiri ina one mai betim.” Cang du hitu ga rodo mora ne nggitu kauts beti kusta data hitu. Re’ing liha Yesus ata hitu kudut neka tombo olo-olo nggere one cei-cei kaut agu ne nggoo kole pedeN, “Damang de ngo hau ga, toto wekim hitu bolo mai rangad sangged tuang mese, agu poli hitu ga neka hemong teing takung kudut te pande nggelok wekim hitu, neho takung hiot poli perenta diha Musa danong; ai hituy de bukti latang te sangged tuang mese situ.” Landing kreba ngong Hia Yesus ga tambang-tambang keta jiri labok beon ga, hitu de tara mai londangd ata doo situ ga mai cumang Hia Mori Yesus. Ise kole mai te senget toing Diha agu te mai te tegi te pande di’a mosed le pande dia kole sangged beti weki dise. Landing Hia ga hesot hanang koen kudut te ngo nggere sina bate keot, bate siot lik keta. Sina hitu Hia nanang te ngajiY.

BANDUNG, 08 JANUARI 2010
SIS B (CCRS FF UNPAR BANDUNG)

KREBA DI'A LESO HO'O 07 JANUARI 2010

TERJEMAHAN: FRANSISKUS BORGIAS M.
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG

LUK.4:14-22a



Le kuasa de Nai Nggeluk kole ga hia Yesus nggere sina Galilea. Poli hitu denge labok neteng beo kreba ngong Hia. Lawang kaut du hitu ga Hia ajar one mbaru-mbaru ngaji sina hitu; sangged taung ata naring Hia keta taungs.
Poli hitu ga Hia ngo nggere sina Nazaret; hitu de beo bate uwan Hia. LasengN Hia ga neteng kaut leso Sabat Hia ngo nggere one mbaru ngaji. Poli hitu Hia hese nanang te baca one mai Buku Nggeluk. Teing lata nggere one Hia ga Buku diha nabi Yesaya. Mai hia ga cengka Buku hitu. Poli hitu ga mai Hia kawe nas ata te baca Diha. Cang du hitu ita lihat nas one mai Buku diha nabi Yesaya, ata ne nggoo y runin:
“Nai Nggeluk de Morin manga agu Aku, ai Hia poli pande luma Aku le mina nggeluk, kudut te ba kreba di’a latangt sangged ata lengge; Hia kole poli wuat Aku te ngo ba kreba di’a te pande lego keta taungs sangged ata siod jiri tawanan laing; Hia kole ba ko pande di’a mata data buta mata, kudut te pande bete keta taungs sangged ata siot taki mendi laings. Hia kole nanang te ba kreba ntaung berkak de Morin poli cain ga.”
Poli hitu ga Hia tadu Buku nggeluk hitu, agu teing kole nggere one ata petugas lain one mbaru ngaji hitu. Poli hitu hia lonto wa koleY. Landing mata de sangged taung ata one mbaru ngaji hitu lelo Hia keta taungs. Itu tara ne nggoon wili ga Hia hese agu pu’ung te ajar sangged ise. Ne nggoo tae diha, “Du leso hoo de cai rapakn nas hitu bao, pas keta cang du dengen le meu curup nggeluk hitu.” Setuju keta taungs le sangged ata ata mai lut hia. Ise kole lenget keta tuung cang du dengen lise curup-curup minak Diha, reweng emas one mai muu luju Diha, agu ne nggoo tae dise: “Ai ya cala mantar diha Yusufp ta ata hoo?”

BANDUNG, 07 JANUARI 2010
SIS B (CCRS FF UNPAR BANDUNG)

KREBA DI'A LESO HO'O: SELASA 05 JANUARI 2010

PENERJEMAH: FRANSISKUS BORGIAS M
PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR BANDUNG


MRK.6:45-52



Yesus lako eta lobo wae tacik
Poli hitu ga Yesus gelang-gelang jera sangged taung ata nungkuN kudut te leti nggere one lambo (perau) agu kudut lako padong nggere sina tana be sina, nggere sina Betsaida; weki Run Hia ga jera ata do situ te kole keta taungs. Cang du poli becang one mai ised ga, Hia ngo nggere eta golo kudut te ngo ngaji. Pas cang du ruis serehang wie tana ga lambo hitu pas keta reme one breha tacik ko rana hitun; Hia Yesus wili ga ka’eng hanang koen kin one tana masa sina tana be sina. Cang du itan Liha ise susa keba-kaek keta te pande lakon lise lambo hitu ai wajol le buru ata mai olo mai, maka du keta tiong te ongga telu wie ga Hia mai ruis-ruis ise; Hia lako eta lobo wae tacik agu te nanang lako nggaruk kaut legong ise one breha tacik hitu. Cang du itan lise Hia ga reme ketang lako lobo wae tacik hitu, nuk dise ga Hia hitu de poti po, itu de tara ciek ided ketad sangged taung ise, ai sangged ise situ ita Hia agu gega agu gege keta taungs ise situ. Landing gelang-gelang Hia curup agu ise, “Hema kaut, neka rantang! Aku de ho’o e, toe ata bana, neka rantang!” Poli hitu ga Hia leti nggere one lambo hitu kudut te impung cama-cama agu ise; poli hitu ga rodo lik ne nggitu kauty buru pote-roe hitu. Sangged ise lenget keta taungs, ai ise toe di nganceng idepn konem poi se poli baen tanda lenget roti, landing nai atu utek dise toe kin di nganceng noingn.

BANDUNG 05 JANUARI 2010
SIS B (CCRS FF UNPAR BANDUNG)