Minggu, 30 November 2008

KUNI AGU KALO 02

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Sebelumnya saya sudah pernah menulis tentang topik ini (sudah dimuat dalam blog ini). Tetapi kali ini saya mau menambah sebuah tafsir atau pemahaman baru atas istilah atau ungkapan itu, sebuah tafsir atau pemahaman baru yang saya peroleh dalam proses diskusi atau dialog dengan seorang teman, Dr.Marsel Robot (Dosen Undana Kupang). Puji Tuhan, sebab dia telah memberi sebuah sumbangan khusus menyangkut penafsiran makna kata kalo dalam ungkapan tersebut di atas. Tetapi saya perlu juga menambahkan bahwa dia tidak tahu apa arti dari kata kuni itu (dalam tulisan terdahulu saya sudah memberi penafsiran sejauh yang dapat saya ketahui). Tidak apa-apa. Saya fokus saja pada kata kalo itu sendiri. Menurut Dr.Marsel Robot, kata kalo itu mengingatkan dia akan dua hal sebagai berikut.

Pertama, kalo itu tidak lain adalah pohon yang ditanam sebagai pohon kosmis (axis mundi) di compang (altar pemujaan dalam agama asli Manggarai) yang biasanya selalu terletak di tengah perkampungan. Sekaligus sehubungan dengan ini, Dr.Marsel Robot mengatakan dengan tegas bahwa tidaklah benar atau tidaklah bersifat universal bahwa compang itu ditanami pohon beringin (yang dalam bahasa Manggarai tengah ialah Langke, dan Manngarai Timur ialah purus). Mengapa demikian? Itu tidak lain karena ada juga di tempat lain yang compang-nya ditanami dengan pohon kalo ini (baik kalo biasa, maupun kalo yang berbuah panjang dan berduri).

Dr.Marsel bahwa mengatakan di daerah mereka di Manggarai Timur memang kalo atau dadap itulah yang menjadi pohon kosmis di atas compang (sebagai exis mundi, meminjam istilah dari Mircea Eliade). Ketika dia mengatakan hal itu dengan tegas, tiba-tiba saya teringat akan kenyataan bahwa sebenarnya compang yang pernah saya lihat di Lentang dulu ditanami pohon kalo (dadap) ini. Begitu juga compang yang saya lihat di Rejeng, Dese, Wakel, dan Manu. Begitu juga compang yang ada di Lamba, dan Tango. Saya sudah lupa compang di kampung Pelus. Compang di Perang Lembor juga, ditanami kalo (dadap berduri).

Dalam artian pertama ini, Kalo berarti mengingatkan orang akan natas bate labar, dan compang bate io ko takung, compang bate naad helang. Orang Manggarai sangat dianjurkan untuk secara etis tidak pernah boleh sampai melupakan hal-hal ini. Orang tidak boleh melupakan public space tempat di mana dia sebagai anak-anak dulu pernah bermain-main di halaman rumah mereka. Compang juga menjadi sesuatu yang sangat erat dan akrab di hati orang-orang Manggarai. Maka kalau dikatakan, neka oke kuni agu kalo, itu berarti seseorang diminta untuk tetap ingat dan mengenang kampung halaman, tempat tanah tumpah darahnya.

Kedua, kalo itu juga tidak lain adalah sebuah pohon yang mudah tumbuh dan kalau sudah tumbuh ia bisa menjadi pohon pelindung, entah itu pelindung bagi tanaman lain (misalnya, kopi, cengkeh, vanilli, tembakau, dll), ataupun sebagai pelindung humus tanah, dan terutama untuk melindungi mata air kolektif. Selain itu, dipercayai juga bahwa kalo memang mempunyai daya pelindung untuk air dan humus tanah. Itulah sebabnya mata air di Manggarai banyak ditanami pohon dadap, dan waso atau waru. Kalau dalam artian ini, maka penyebutan kata kalo itu adalah sebuah penerusan tradisi pengetahuan tentang fungsi ekologis dari pohon-pohon tertentu. Ke mana saja orang Manggarai pergi, hendaknya mereka jangan sampai lupa untuk menanam pohon dadap, sebab pohon itu melindungi dan juga menyuburkan. Kebanyakan orang mengambil metafor ini ketika mereka menanam pohon dadap dalam konteks terdekat kehidupan mereka sendiri.

Bandung, 28 November 2008 (Diketik dan diperluas, 01 Desember 2008).


Kamis, 27 November 2008

KESADARAN WAKTU ORANG MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dulu ketika masih anak-anak, saya sering mendengar orang-orang tua berkata kepada satu sama lain ketika mereka akan mengakhiri satu pekerjaan bersama, terutama ketika sore hari sudah tiba dan kegelapan datang mendekat. Biasanya mereka mengungkapkan hal itu dalam sebuah singkatan yang sangat menarik sebagai berikut: nggisdi dipoda. Itu tidak lain adalah sebuah singkatan (akronim), sebuah ungkapan yang lebih panjang dalam konteks pergaulan, dan relasi sosial antara manusia. Kepanjangannya adalah Nggitus di, diang po danong. Artinya kalau diterjemahkan secara bebas adalah: cukup sekian dulu atau cukup sampai di sini dulu, untuk hari (kali) ini, nanti baru dilanjutkan atau diteruskan besok.

Mungkin generasi muda Manggarai sekarang ini sudah tidak ada lagi yang akrab dan mendengar ungkapan ini. Ya, memang ini adalah sebuah ungkapan dari dan di masa silam, terutama ketika masih ada kerja dodo atau kerja leles dalam menyelesaikan sawah atau kebun (menanam, menyiangi, dan juga menuai). Dengan demikian dalam ungkapan singkat ini ada unsur menunda penyelesaian pekerjaan.

Maka muncul kesan sepintas bahwa ini adalah sebuah mentalitas sosial yang tidak mau tuntas dalam bekerja dan pekerjaan. Juga bisa muncul kesan bahwa dengan ungkapan itu orang mau bermalas-malas. Tetapi bagi saya tidaklah demikian halnya dan adanya.

Dalam tafsiran saya itu adalah sebuah ajakan yang sopan untuk memberi istirahat pada tubuh kita sendiri. Tubuh juga perlu menikmati istirahat pada malam hari. Bila perlu tubuh itu dimanjakan setelah seharian bekerja keras, dimanjakan di dalam kebersamaan, dalam makan bersama, dalam mengobrol bersama, dll.

Kalau dilihat dan ditafsirkan dengan cara seperti ini, maka ini tidak lain adalah sebentuk kearifan yang dapat kita temukan padanannya dalam kitab Pengkotbah itu: semuanya ada waktunya dan pada waktunya. Kalau semuanya ada waktunya dan pada waktunya, maka kita bisa menghadapi dan mengarungi misteri perjalanan waktu itu dengan sangat tenang dan matang. Kalau semuanya ada waktunya dan pada waktunya, maka tidak usah tergesa-gesa di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Kita perlu berlatih bersabar di dalam rentang perjalanan waktu. Mudah-mudahan juga bisa diterima dan dipahami bahwa ketergesa-gesaan tidak dapat menyelesaikan soal atau masalah hidup.

Apa yang lebih penting: adalah bahwa ada suatu kesadaran akan hari esok. Esok itulah yang perlu dimaknai dan diapresiasi juga. Di sini saya teringat akan sebuah syair lagu rohani Kristiani dalam bahasa Inggris: Happiness is where you are and what you to be…. Tomorrow is fuller than a thousand yesterday….. ya hari esok jauh lebih bermakna dari pada sejuta hari kemarin. Kemarin itu bahkan membawa kepedihan tertentu dalam kenangan nostalgic kita seperti dikatakan oleh the Beetles dalam lagu Yesterday-nya itu.

Tetapi yang patut diingat dan disadari terus menerus adalah adanya kontinyuitas waktu dan kontinyuitas waktu itu ditandai dengan kontinyuitas kerja, aktifitas. Kontinyuitas eksistensi tidak lain adalah kontinyuitas dalam waktu dan dengan memaknai waktu itu dengan kerja. Maka istirahat bagi tubuh yang sudah lelah menjadi sangat penting, terutama dalam rangka mencegah fenomena yang disebut burnt-out itu. Juga istirahat itu dimaksudkan untuk mencegah gejala workaholic (kecanduan kerja). Istirahat bisa juga meningkatkan disiplin kerja manusia, dalam pembagian dan perencanaan waktu kerja. Ungkapan di atas tadi, menyiratkan bahwa si penutur sungguh sadar benar bahwa masih ada hari esok. Waktu tidak berhenti pada hari ini. Tetapi waktu itu akan terus mengalir dari jentera waktu masa depan. Kalau kita terpaksa menyelesaikan suatu pekerjaan dengan tergesa-gesa pada hari ini, mungkin hal itu justeru bisa bermutu rendah. Tetapi kalau dilakukan besok maka bisa menghasilkan sesuatu yang lebih indah, walau ada risiko kehilangan mood kerja dan mementum yang cepat dan tepat.

Tetapi ajakan untur beristirahat di sore hari, berarti ada waktu untuk tenang; ada waktu untuk diri sendiri, ada waktu untuk Tuhan. Ada tabu-tabu sore hari, untuk malam, yang tidak boleh dilanggar. Maka mereka harus berhenti bekerja agar jangan sampai mereka melanggar tabu-tabu malam. Sebab malam itu adalah waktu yang suci. Kadang-kadang perlu bahwa kita beristirahat atau berlibur untuk Tuhan.


Bandung, 28 November 2008.

Ditulis dalam BH 16 November 2008.


Selasa, 25 November 2008

MITOS PENCIPTAAN DALAM SANDA MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Salah satu kuliah yang saya ampu di Fakultas Filsafat UNPAR ialah fenomenologi agama. Untuk tahun ini saya memakai buku Mariasusai Dhavamony (Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995) sebagai buku pegangan (sumber). Salah satu bab yang penting dan menarik di sana adalah tentang Mitos sebagai salah satu bentuk pengungkapan agama-agama. Memang mitos-mitos penciptaan yang dilukiskan Mariasusai Dhavamony itu sangat menarik perhatian. Kemarin saya memberi kuliah tentang mitos-mitos ini kepada para mahasiswa saya di Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Ketika sedang memberi kuliah itulah saya teringat akan dua hal penting ini.

Pertama, ada dari antara mitos-mitos itu yang serta-merta mengingatkan saya akan versi-versi kisah penciptaan seperti yang dapat kita temukan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dalam perkembangan lagu-lagu rohani Kristiani, ada orang yang menciptakan lagu Abba Father. Saya kira lagu ini diilhami juga oleh kisah-kisah penciptaan dalam Kitab Suci. Sayang saya sudah lupa nama pengarang lagu ini, tetapi saya sudah menghafal lagu itu sejak awal tahun 80-an dulu.

Teks lagu itu berbunyi sebagai berikut:

Abba,

Abba Father,

You are the Potter,

We are the clay.

Selanjutnya dalam bait kedua dikatakan sebagai berikut:

Mold us,

Mold us and fashion us,

into the image,

of Jesus Your Son.

Jadi, bait kedua ini melukiskan keluhuran martabat anak manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Yesus Kristus sendiri. Sadar akan keluhuran martabat itu, maka muncullah bait ketiga yang berbunyi sebagai berikut:

Glory,

glory and praise to You,

glory and praise to You,

for ever amen.

Tiga bait lagu itu mengandung teologi penciptaan dan penyelamatan. Luar biasa. Sangat singkat, tetapi sekaligus juga sangat dalam. Dalam bait pertama, Allah dibayangkan secara antropomorfistis sebagai seorang tukang atau pengrajin tanah liat dan kita adalah tanah liat yang dibentuk oleh sang seniman agung, yang tidak lain adalah Allah itu sendiri. Dalam Bait kedua, tema teologi penciptaan itu dikatakan mengikuti modelYesus Kristus. Kiranya ini amat dipengaruhi oleh Kolose 1:15-20 (yang tidak bisa saya bahas lebih lanjut di sini).

Hal kedua yang secara spontan saya ingat dalam proses penjelasan kuliah itu adalah kidung sanda dalam bahasa Mangarai, yang juga mengandung nada-nada teologi penciptaan. Bunyinya adalah sebagai berikut:

Eaaooooo,

ooe Mori eta awang surga go Mori,

mai naring ta,

mai suju ta one Mori

e landing mesen nerane.

Dere tedeng len,

naring dengkir tayn,

naring kudut lerem,

kudut lerem dedek,

pande lerem dedeke.

Pande nggalas wakar dami Mori ga,

kudut pecing salang surga,

kudut haeng mose tedeng len, lewe len.

Somba ooooo,

ole Mori,

neka lelo ndekok mori

eeeeoooooo,

oou dadang ata neteng tana (salang)

one Moren e landing mesen nerane.

Dere tedeng len,

naring dengkir tayn,

naring kudut lerem,

kudut lerem dedek,

pande lerem dedeke.

Lagu ini adalah lagu yang saya angkat dari perbendaharaan misa inkulturasi ke dalam budaya Manggarai yang sangat hidup pada era tahun 70-an. Kalau ditilik syairnya, maka di beberapa tempat ia juga berkisah antara lain tentang penciptaan dan penyelenggaraan hidup harian dalam dan kepada Tuhan.

Saya sudah menghafal lagu ini sejak masih kecil, karena sejauh saya ingat, adalah papa saya, Feliks Mar, yang melatih lagu-lagu sanda ini kepada anak-anak SDK (Sekolah Dasar Katolik) Ketang, untuk dibawakan dalam pesta-pesta besar gereja, terutama Paskah dan Pentakosta. Ya, memang papa saya itu adalah guru dan juga seniman yang bagaimana pun juga punya sedikit andil menanamkan kepada kami, suatu apresiasi dan kecintaan akan lagu-lagu Manggarai. Saya sendiri masih ingat akan semuanya itu dengan sangat baik hingga saat ini.

Memang ingatan yang sudah ditanamkan sejak kecil terus saja akan berbekas hingga kita menjadi dewasa. Itulah kekuatan lagu-lagu, dan cerita, kekuatan para penyanyi, dan kekuatan para pencerita.


Bandung, 25 November 2008

(ditulis dalam BH dan dikomputerisasi sambil dikembangkan lebih lanjut).


Senin, 24 November 2008

ATA NDOSO ATAU ATA NDASA?

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Saya baru saja selesai membaca sebuah buku dari penulis yang bernama Maribeth Erb tentang Manggarai. Judul buku itu ialah The Manggarains, A Guide in Traditional Life Style. Salah satu bagian yang menarik perhatian saya dalam buku itu adalah cerita yang ia beberkan tentang orang-orang (ata) Kilor itu.

Konon orang-orang Kilor itu adalah kaum imigran yang berasal atau dating dari luar Manggarai. Sedangkan tetangga kampung mereka yaitu kampung Ndoso (orang-orang Ndoso) adalah penduduk asli setempat (autochtons). (Tentu saja pernyataan ini segera menimbulkan sebuah pertanyaan historis-kritis, karena ata Ndoso itu sendiri juga mempunyai cerita sejarah turun temurun bahwa mereka pun adalah imigran yang berasal dari luar Manggarai).

Pada suatu saat orang-orang Kilor tidak mempunyai api, bahkan diberi kesan juga bahwa mereka tidak mengenal teknologi api. Oleh karena itu, mereka pun memakan makanan mereka dalam keadaan mentah saja. Maribeth Erb sudah memberi sebuah catatan kritis di sini, bahwa ada keanehan: kalau memang benar orang-orang Kilor itu adalah imigran yang datang dari luar, maka mereka pasti lebih maju dan pasti sudah mengenal api. Tetapi ternyata menurut cerita ini tidak demikian adanya. Maka harus dihadapi dengan sikap kritis.

Karena mereka (orang-orang Kilor) belum mengenal api, maka mereka pergi meminta api itu kepada orang-orang Ndoso yang mempunyai api dan sudah mengenal teknologi api. Orang Kilor pun datang meminta api itu kepada orang Ndoso. (Memang dulu, dalam masyarakat tradisional, api itu termasuk barang atau sesuatu yang diminta kepada tetangga, seperti halnya orang meminta garam, atau barang-barang konsumtif lainnya).

Tetapi orang-orang Ndoso takut bahwa api itu akan disalah-gunakan. Mungkin juga ada sedikit latar belakang pandangan mitis dan pandangan suci, bahwa api itu adalah barang suci yang tidak boleh dialih-pindahkan begitu saja. Mungkin ada pandangan bahwa api adalah barang suci, maka harus eksklusif, dan monopoli. (Siapa tahu itu adalah endapan dari pandangan kuno seperti yang terdapat di India bahwa api itu termasuk dewa, yaitu dewa api, dewa Agni). Tetapi tentang hal ini tidak dapat saya pastikan.

Namun demikian orang-orang Kilor tetap datang ke Ndoso, lalu mencoba berpura-pura berdiang di dekat api. Pada saat berdiang itulah mereka mencuri api dari orang-orang Ndoso. Caranya lucu dan sederhana saja: tali celana dari salah satu orang Kilor itu terbakar (atau sengaja dibakar, ditutung dengan api), lalu dengan nyala api pada tali celana itu mereka pulang ke Kilor. Dengan api itulah orang-orang Kilor kemudian dapat membuat api mereka sendiri.

Setelah orang-orang Ndoso tahu bahwa api mereka telah dicuri oleh orang Kilor, maka orang Ndoso pun menjadi marah dan mereka datang untuk menyerang ke Kilor. Konon pada saat itu terjadi perang yang seru dan sengit. Dikisahkan juga bahwa orang Kilor cukup kewalahan menghadapi orang Ndoso, karena orang Ndoso ini memakai baju perang yang terbuat dari ijuk. Tetapi kemudian dikisahkan juga bahwa orang-orang Kilor tidak kehilangan akal atau tidak kehabisan akal. Entah bagaimana caranya mereka tahu bahwa ijuk itu mudah terbakar. Maka mereka kemudian memakai api yang telah mereka curi itu untuk membakar baju perang orang-orang Nodoso. Memang wunut itu sangat mudah terbakar apalagi kalau dalam keadaan kering-kerontang. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini yang namanya senjata makan tuan, baik itu senjata api, maupun senjata baju perang dari wunut tadi. Api yang tadi diambil dari Ndoso kini dipakai untuk membakar orang Ndoso. Demikian juga baju ijuk yang dimaksudkan sebagai pelindung tubuh, kini bisa membakar tubuh mereka sendiri juga. Maka orang Ndoso pun kalah dan melarikan diri (pulang ke kampung mereka di gunung sebelah Kilor).

Tetapi terhadap cerita ini serta merta muncul beberapa pertanyaan kritis: Perlu diingat dan disadari juga bahwa orang-orang Ndoso sendiri juga mempunyai cerita turun temurun sebagai imigran, perantau, pendatang dari luar Manggarai. Pertanyaan saya secara pribadi ialah, samakah orang Ndoso itu dengan orang Ndasa, leluhur kami? Saya belum dapat menjawab pertanyaan ini dengan pasti. Maka saya bertekad untuk meneliti tentang hal ini. Ya, saya harus cari tahu versi cerita ini dari orang-orang Ndoso atau Ndasa. Kalau orang Ndoso sama dengan orang Ndasa, mengapa mereka mengungsi dari Gunung? Memang kalau kita lihat dari jauh, di kampung Ndoso di gunung itu ada tanah longsor. Mungkin hal itulah yang menyebabkan mereka melarikan diri dan menetap di dataran rendah di Lembor, di daerah persawahan. Sekarang ini pun dari jauh kita masih bisa melihat sebuah langke besar di mukang beo di Ndasa itu. Kata orang-orang di Kampung, konon di sana masih ada compang. Maka suatu saat aku harus bisa sampai ke sana untuk merekam suasana Kampung asli dan purba di sana. Ya aku harus ke sana.


Bandung, 25 November 2008. (dikomputerisasi dan diperluas isinya).

Ditulis dalam BH-ku tanggal 21 November 2008.


JEJAK LODOK DI LEMBOR?

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Beberapa hari lalu saya menelpon adik saya, Kanis (papa Nessa) di kampung, Dempol, Manggarai Barat. Ternyata sekarang dia berada di Labuan Bajo; ia sudah bekerja di sana pada salah satu kantor pemerintahan daerah di sana. Puji Tuhan atas perkembangan ini. Semoga dia semakin maju dalam kariernya itu. Pada saat itu saya sebenarnya hanya mau menanyakan kepada dia tentang satu pertanyaan penting yang belakangan ini selalu muncul dalam pemikiran saya. Inilah pertanyaan itu? Apakah di Lembor dulu memang ada uma atau lingko yang dibagi secara tradisional dalam bentuk Lodok itu? Sebab sejauh yang dapat saya ketahui dan amati selama ini, tidak ada lingko atau uma lodok di Lembor. Dan kesan atau pengetahuan awal itu menimbulkan satu pertanyaan besar dalam hati saya.

Tetapi ternyata dalam jawabannya, Kanis mengatakan bahwa dulu di Lembor sesungguhnya ada juga uma atau lingko dengan sistem lodok itu, atau sistem pembagian lingko dalam bentuk lodok. Sebagai buktinya, Kanis berkata bahwa sekarang ini kita masih bisa melihat bekasnya atau lebih baik tanda-tanda sisanya di Wae Nakeng. Masih menurut Kanis, di sana kita bisa melihat bekas lodok itu. Oleh karena ini adalah sisa, maka perlu didokumentasikan. Maka saya pun meminta Kanis agar ia segera membuat foto bekas lodok yang ada di Wae Nakeng itu sebagai bukti dan jejak sejarah adanya uma atau lingko lodok di Lembor.

Nah, kalau sekarang uma atau lingko lodok itu sudah tidak ada lagi, berarti sistem lodok itu di Lembor sudah menjadi masa silam, sebab yang tinggal hanya bekas-bekasnya saja. Sedangkan dalam kenyataannya orang tidak lagi membagi tanah mereka dengan sistem lodok itu. Sekali lagi, sistem lodok itu sudah menjadi fosil dalam ingatan manusia belaka. Ini amat menyedihkan tentu saja.

Sehubungan dengan ini muncullah beberapa pertanyaan kritis-historis dalam diri saya: Pertama, kapan uma dengan sistem pembagian berbentuk lodok ini mulai menghilang? Kedua, mengapa hal itu terjadi? Atau lebih jelasnya, mengapa fakta kehilangan lodok itu sampai bisa terjadi? Apakah hal itu terjadi karena ada hubungan dengan perubahan status tanah sebagai komoditas dagang dan sebagai barang modal atau kapital? Kapan perubahan status tanah itu mulai terjadi? Terus terang saja, saya tidak dapat memastikan hal itu. Perlu penyelidikan lapangan untuk membuktikan hal itu secara meyakinkan. Pertanyaan lain yang muncul ialah, apakah dalam visi lama tidak ada visi komoditas-ekonomis seperti itu? Pertanyaan ini juga tidak atau belum dapat saya jawab secara pasti. Perlu penelitian lapangan yang intens dan mendalam.

Kalau di Lembor tidak ada lagi lodok, maka yang paling banyak ada di Lembor ialah pembagian tanah dengan cara tilas yaitu membagi tanah menurut atau secara (dalam bentuk) persegi panjang. Mungkin hal ini dipandang jauh lebih praktis; mudah dibagi-bagi, dan terutama juga mudah dijual, yaitu dijadikan sebagai komoditas dagang. Mungkin hal itu harus dijelaskan demikian: Tidak ada lagi rasa takut atau keengganan kalau toh harus dijual, sebab tidak ada lagi sentrum kosmis atau axis mundi yang sakral di tengah lodok itu. Kalau ini benar adanya, maka inilah salah satu butir dari proses desakralisasi hidup Manggarai akibat invasi pandangan, dan nilai-nilai ekonomis modern. Kalau sentrum kosmis tidak ada lagi, maka tidak ada lagi juga tabu-tabu yang biasanya mengatur perilaku hidup orang Manggarai. Itulah beberapa pikiran spontan yang muncul dalam benak kalbu saya ketika mulai mendapat ilham seperti ini.

Dan hal ini amat berbeda dengan masa kecil saya di Ketang (Rejeng, Lelak) dulu. Sebab saya melewatkan masa kecil saya, sampai tamat sekolah dasar di sana. Rumah masa kecil saya di sana terletak di lereng bukit kecil. Dan di dataran terhampar tiga lodok sawah besar: yaitu sawah Ka dan sawah le Temek Pong, dan le Rejeng. Juga ada sawah le Londa. Belum lagi uma tana masa di golo Nosot dan di Pelus. Setiap saat saya bisa menikmati dua atau tiga “sarang laba-laba” raksasa yang indah dan mengagumkan; hijau di musim tanam, kuning di musim menuai. Kerontang di musim kemarau. Tetapi kadang-kadang menjadi danau di musim hujan, sebab air meluap menutup sawah-sawah itu.

Tiba-tiba di sini saya dilanda nostalgia yang memunculkan beberapa pertanyaan: Apakah sekarang ini sawah-sawah itu masih ada? Sebab itulah tempat saya bermain-main pada masa kecilku, tempat aku mencari ikan di kali, mencari rumput untuk kuda-kuda papaku. Juga tempat aku menyepi, baik menyepi karena mau menyepi, maupun menyepi karena merasa sedih kalau lagi dimarahin papa atau ibu. Di situlah saya mulai mengasah kecintaan dan keakraban saya dengan alam, dengan bunyi jangkrik, bunyi belalang, bunyi percikan air mengalir di sungai kecil, bunyi desau angin yang merayu dedaunan padi yang menghijau.

Di akhir nostalgia itu saya masih sempat berkata dan bertanya: Kalau sawah-sawah itu masih ada, sampai kapan hal itu akan bisa bertahan? Saya juga teringat akan sawah di Ndaring, sawah di Pengkong, sawah orang Tango. Juga sawah di Cancar. Semuanya indah. Sarang laba-laba raksasa. Sayang, kalau semuanya itu hilang karena tergusur oleh ledakan penduduk, atau cara berpikir modern dalam rupa invasi pandangan dan nilai-nilai ekonomis yang serba praktis dan pragmatis itu. Kalau itu terjadi, saya harus meratapinya mulai dari sekarang ini.


Bandung, 21 November 2008

Diketik sambil diperkaya, 25 November 2008.

Kamis, 13 November 2008

KUNI AGU KALO

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Ada kaitan yang erat antara nativity dan identity. Identitas seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya (nativity). Sebab di sanalah orang itu dilahirkan; itulah tanah tumpah darahnya, tanah tempat darahnya tertumpah untuk pertama kalinya dalam proses lahirya dan terutama dalam proses pemotongan tali pusarnya (umbilical cord). Boleh dikatakan itulah kuni agu kalo-nya. Dalam paham dan pandangan orang Manggara, kuni agu kalo ini sangat penting. Jangan sampai orang membuangnya, atau melupakannya; jangan sampai orang mengabaikannya. Maka ada nasihat dalam sebuah lagu rakyat yang sangat terkenal, yang berbunyi sbb: Neka oke kuni agu kalo n ta ngkiong ngkiong e.

Tetapi apa itu kuno agu kalo? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab atau dicari jawaban dan penjelasannya. Cukup lama saya berusaha mencari penjelasan dan jawaban atas pertanyaan itu, atau tentang kedua kata kata. Dalam rangka itu saya mencoba bertanya kepada siapa saja, baik di Manggarai sendiri maupun pada orang-orang Manggarai di perantauan. Untunglah, saya baru mendapatkannya kurang lebih dua tahun yang lalu (dihitung dari tahun ketika teks ini ditulis dengan tulisan tangan dalam BH-ku, jadi dari tahun 2007). Walau penjelasan itu belum memuaskan, dan bukan satunya penjelasan yang sah dan memadai tentang hal itu. Oleh karena itu, saya masih akan tetap mencari penjelasan lebih lanjut lagi. Di bawah ini adalah salah satu penjelasan yang bisa saya kemukakan tentang hal itu.

Ada banyak cara orang memperlakukan “barang” yang keluar bersama bayi pada saat lahir. Dalam bahasa Manggarai disebut mbau, yang secara harfiah berarti naungan, perlindungan, suaka, yang memberi kesegaran, yang memberi daya hidup baru (tetapi sekaligus tersirat bahaya, sebab di sana bisa ada atau datang binatang buas untuk mencari naungan dari terik matahari). Ada yang membuang mbau itu dengan cara direndam di riam sungai, atau jeram. Tetapi sesungguhnya dulu orang menguburkan mbau itu dalam tanah, seperti upacara penguburan biasa. Kemudian kuburan itu ditandai dengan ditanam di atasnya pohon dadap (kalo) dan jambu mete; biji jambu mete itu disebut kuni. Dengan demikian, sebagian jatidiri awal bayi itu ditanam di bumi dan ditandai dengan pohon.

Jadi, nasihat “neka oke kuni agu kalo” itu artinya jangan sampai orang melupakan tanah tumpah darahnya, tanah di mana mbau awalnya ditanam, seakan-akan mendahului dan menigngatkan akan eksistensi kita kelak, yaitu mati, dan kita semua akan kembali ke tanah, ke dalam rahim pertiwi. Tentu menarik untuk bertanya lebih lanjut: mengapa kuni dan mengapa kalo? Kalo biasanya berfungsi sebagai tanaman pelindung dan diyakini mengandung air. Mata air ditanami dadap agar mata air itu lestari. Mungkin karena ia mempunyai daya resap yang tinggi. Maka dadap berarti perlindungan dan air sumber hidup. Sedangkan kuni? Mungkin fungsinya seperti asam dalam masyarakat Betawi, Kampung Sawah. Kalau pohon itu nanti berbuah, banyak pihak ngiler. Tidak hanya manusia, tetapi juga binatang, kalong, dll. Lebah amat menyukai kembangnya yang banyak. Mungkin rindang daunnya yang hijau abadi (ever-green) juga dibayangkan sebagai naungan, mbau, bagi mbau awal kita.

Mega Matra Jakarta,

30 Mei 2007

Diketik kembali dan diperluas, 14 November 2008


Selasa, 11 November 2008

DERE NARING DIHA MARIA (LUK.1:46-56)

Terjemahan: Fransiskus Borigas M. (EFBE@fransisbm)

46 Mai tae di Maria ga:

“O nai go paka naring ga Morin,

47 o wakar daku kole ga nisang ketay

ai Mori Kraeng de Ata Sambe daku,

48 ai Hia poli lelon mose kasi-asi daku mendiN.

Te tu’un wili ga,

pu’ung kaut te ho’on,

sangged taung wa’u one tana lino ho’o

ita/lelo mose di’a daku,

49 ai Hia Sengaji Mese

poli pande tanda lenget latang taku,

ai nggeluk keta de ngasang Diha.

50 Loli Liha molem ntaung widang nggeluk

latang te ata io agu suju Hia.

51 Toto kole Liha kuasaN,

ali sangged apa kaut ata pande Diha

agu pande mbehars (becangs) liha

sangged taung ata siot mese keta naid.

52 Pande pa’us Liha

sangged ata siot raja laings lawang ho’o,

agu tetis Liha sangged ata siot lembak keta naid;

53 Hia kole poli teing apa-apa kaut

latangt ata siod darem mese,

agu wurs Liha sangged taung ata bora,

ngo ne nggitu kauts agu lme kanang;

54 Hia kole poli campe ata Israel, mendiN,

ai nuk kid Liha (ai teo hemongs Liha) widang NggelukN.

55 Neho ata poli reke Diha danong main ga

latang te empo liok dite danong,

latangt hia Abraham

agu sangged taung wa’u uku diha

dengkir tayn agu tedeng len.”

56 Hi Maria ga ka’eng lawang kira-kira telu wulang one mbaru diha Elisabet; poli hitu ga hia kole nggere one mbaru de run.

Bandung, 24 Oktober 2008.

Terjemahan percobaan (agak bebas): Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


MAZMUR 23:1-6

Mori Ame go, ata gembala di’a keta

Mazmur diha Mori Adak Raja David

  1. Mori go ata gembala daku,

toe manga susa apa-apan mose daku.

  1. Hia pande elor aku one oka peno remang lebo,

Hia dadang aku ngger one ulu wae liok-lingop.

  1. Hia pande ngelo wakar daku,

Hia dadang aku loleng salang ata molorn,

lorong ata poli tae Derun (lorong kuasa ngasang Derun)

  1. Konem po aku lako loleng malok nendep,

aku toe rantang ata da’at,

ai Ite lami aku.

Dongkar agu sembore Dite Mori pande lembu nai daku.

  1. Ite pande siap dia-dia hang minak latang te aku,

olo mai mata data bali daku.

Ite loma sa’i daku, le mina benge;

Ite tiba aku neho meka mese,

piala daku penong terus (mole m ntaung).

  1. Bae laku More Ite di’a bail latang te aku,

agu momang aku molem taung turung duhu cemoln mose daku,

sehingga senang keta nai daku te kaeng one mbaru Dite

dengkir tayn agu tedeng len.

(Amen).


Terjemahan: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm).

Lokakarya: Hand Book, LAI Bogor. Selasa, 15 Maret 2005

OLD AND NEW: 2006-2007, FILSAFAT WAKTU

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Sebentar lagi tahun 2006 akan segera berlalu. Lembar-lembar sejarah sudah tertoreh tinta, entah hitam, entah biru, entah hijau, entah kuning, bahkan mungkin tinta merah. Dan waktu berjalan terus. Tanpa dapat kita hentikan. Tidak apa-apa. Mungkin perlu jiwa besar untuk bisa membiarkan ia berlalu, dan tinggal dalam kenangan. Mungkin perlu jiwa besar untuk tidak usah meratapi dan menyesalinya berlama-lama.

Sebentar lagi tahun 2007 datang. Menarik bahwa konon nama bulan Januari diambil dari nama salah seorang dewa Romawi Kuno, yaitu Dewa Janus. Dewa Janus itu digambarkan sebagai Dewa bermuka dua. Satu menghadap ke muka (ke arah seperti kita) dan satunya lagi menghadap ke belakang, ke punggung. Jadi, ia bisa menatap ke depan sekaligus ke belakang. Wajah yang ke depan ialah wajah untuk menerawang ke masa depan, ke cakrawala waktu yang masih mendatangi. Sedangkan wajah yang ke belakang ialah wajah untuk menerawang ke masa silam, ke cakrawala waktu yang sudah berlalu.

Tentu kita tidak usah harus bermuka dua seperti itu untuk dapat melakukan penerawangan baik masa silam maupun ke masa depan. Apalagi kata muka-dua itu berkonotasi negatif,dalam pemakaian sehari-hari, yang artinya, plintat-plintut, tidak ada pendirian, mudah ke sana dan kemari. Tidak punya sikap jelas.

Penerawangan ke masa silam berarti kaleidoskop, yaitu melihat secara kilas balik apa yang sudah terjadi dalam hidup kita baik secara personal, maupun sosial dan komunal. Sejauh mana rapor kita sudah baik dalam tahun yang berlalu ini. Sekaligus kita mengevaluasi, sejauh mana saya sudah mengalami kemajuan dari tahun 2005 sebelumnya. Atau jangan-jangan tidak ada kemajuan sama sekali. Alias tinggal di tempat. Alias mandeg. Alias tidak ada perkembangan. Kalau demikian, sayang sekali, sebab sebenarnya kita sudah mati. Mungkin kita kurang mampu me-manage waktu dan kehidupan kita. Mungkin kita kurang mampu me-manage hati (qalbu) dan pikiran kita.

Sedangkan penerawangan ke masa depan berarti rencana, niat-niat, dan target serta tekad bulat ke waktu yang akan datang. Tentu rencana, niat, target, tekad itu dibuat berdasarkan apa yang sudah secara realistik kita lakukan dalam tahun yang akan segera berlalu ini. Tidak usah muluk-muluk. Kalau misalnya dalam tahun 2006, ini saya kurang tekun belajar sebagai mahasiswa, yaitu belajar meraih dan meningkatkan prestasi, maka niat di tahun 2007 ialah, belajar tekun sebagai mahasiswa. Bukannya malah banyak tidur, atau banyak ngobrol, dan bahkan mungkin begadang main kartu, dll. Itu hanya salah satu contoh. Contoh lain bisa diperpanjang lagi. Itulah niat yang nyata dan kongkret. Niat untuk mengubah mutu hidup.

Saya juga mau menimba sedikit dari filsafat waktu orang Mangarai. Dalam bahasa Manggarai, tahun yang sudah berlalu disebut Ntaung olo. Sedangkan tahun yang masih akan datang disebut Ntaung musi. Bagi saya ini sangat menarik. Mengapa? Karena kata olo kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti depan, atau di depan. Sedangkan kata musi kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti, belakang, di belakang. Jadi, ntaung olo kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun depan (tahun yang akan datang). Sedangkan ntaung musi kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun belakang. Tetapi yang dimaksudkan dalam cara berpikir orang Manggarai ialah justru kebalikannya: Ntaung olo berarti tahun yang sudah lewat, tahun yang sudah berlalu. Sedangkan Ntaung musi berarti tahun yang masih akan datang, yang masih akan menyusul dari belakang untuk kemudian berjalan terus ke depan, dan akhirnya berlalu.

Filsafat waktu orang Manggarai ini harus dimengerti dalam konteks perjalanan. Kalau kita sedang dalam perjalanan, orang-orang yang sudah melewati kita, kita katakan, olo d ise bao ga, artinya mereka sudah berjalan di depan mendahului kita. Sedangkan orang yang masih di belakang kita, kita katakan, musi kid ise ye, artinya mereka masih di belakang, dan itu berarti masih akan menyusul, masih akan mendatangi kita di sini dan saat ini.

Apa yang dapat ditarik dari Filsafat waktu ini? Tidak lain ialah bahwa kita saat ini mengarungi perjalanan hidup kita dalam waktu, dalam sejarah, sambil menunggu datangnya waktu yang masih di belakang, dan sekaligus melihat atau menyaksikan waktu itu berjalan lewat ke depan kita, dan ia berjalan menuju ke depan kita.

Tetapi semoga kita tidak menatap waktu yang berjalan lewat itu dengan penuh penyesalan. Melainkan dengan tekad baru yang lebih baik lagi. Sebab menurut kitab Pengkotbah semuanya ada waktunya. Mungkin ada baiknya saya kutip kitab itu untuk menutup renungan ini:

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut apa yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, awa waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, awa waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai..... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkht 3:1-11).

Bandung, 27 Desember 2006

Taman Kopo Indah II, Blok D4.No.40 Bandung, 40218.


SYAIR LAGU-LAGU MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Sejauh yang dapat saya amati selama ini, lagu-lagu lama dalam bahasa Manggarai banyak memakai permainan variatif vokal sebagai syair utamanya. Maksud saya ialah tidak jarang syair lagu-lagu lama itu hanya berupa perpaduan dan permainan variatif vokal ou-ae-ea-io atau sekadar perpanjangan dari masing-masing vocal tadi, misalnya, iiiiooooooooooo….. Dan yang sangat menarik ialah bahwa hal itu sudah cukup atau paling tidak sudah dianggap cukup menjadi sebagai syair lagu. Mungkin akan ada orang yang secara spontan bertanya, kok syair lagu hanya seperti itu? Tetapi itulah yang menjadi kenyataan dalam tradisi lagu-lagu Manggarai lama.

Sebuah lagu dalam Dere Serani, misalnya, dimulai dengan syair sbb: ouoea, bong Morinou etane…..etc. (Dere Serani itu sendiri adalah buku kumpulan lagu-lagu liturgi Katolik dalam Bahasa Manggarai yang sudah diterbitkan sejak awal tahun 60an). Nah, muncul pertanyaan reflektif-filosofis: Gejala apakah ini? Lalu bagaimana gejala ini dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan? Itulah yang coba saya upayakan dalam tulisan yang serba singkat dan sederhana ini.

Sesungguhnya ada beberapa penjelasan tentang hal ini. Pertama, mungkin hal itu disebabkan karena kekurangan kata-kata sehingga orang cenderung memakai variasi vokal dasar yang itu-itu saja (ouoea, iiiiiooo aoaeeeaaaaa). Jadi, seakan-akan terdapat sebuah ajakan di sini untuk kembali saja ke level vokal, atau ke level fonem. Seakan-akan tersirat sebuah pesan, daripada menyusahkan atau merepotkan diri dengan mencari-cari beban makna dan pemaknaan bagi kata-kata yang menjadi syair sebuah lagu, maka lebih baik membiarkan bunyi dasar dan alami dari vokal itu menampilkan dirinya sendiri secara apa adanya, telanjang, tanpa tedeng aling-aling, dan ia memang bisa indah juga di dalam ketelanjangannya itu. Tetapi tentu saja penjelasan ini sangat sederhana walau tidak dapat diabaikan begitu saja.

Kedua, mungkin juga karena lagunya adalah lagu sedih; jadi terdengar seperti meratap (memang kebanyakan lagu-lagu tradisional Manggarai bercorak dasar sedih, atau paling tidak melankolik; mungkin karena lagu-lagu itu memantulkan geografis manggarai yang bergunung-gunung dan lembah yang dalam, yang menyebabkan orang terengah-engah kalau menempuh perjalanan melewati alam seperti itu). Dalam konteks melankoli seperti itu, sering sekali kata-kata tidak terucap dengan serba jelas. Mungkin karena sedih, dan pilu maka orang memakai vokal dan tidak memakai konsonan yang cenderung bisa meletup dalam bunyi mulut. Letupan konsonan menimbulkan efek protes, pemberontakan, kehiruk-pikukan, dan bahkan mungkin keonaran, chaos. Ya, letupan konsonan itu tentu saja tidak bisa mendatangkan efek keheningan dan haru di dalam syair lagu, juga dalam upacara peratapan sedih. Lain sekali kalau yang dipakai adalah vokal, yang mencitrakan ketenangan, keheningan. Berlambat-lambat serba mengalir tenang. Itulah efek natural dari vokal, sesuatu yang tidak mungkin terjadi lewat efek natural konsonan.

Ketiga, menurut hemat saya, hal itu juga mungkin disebabkan karena orang suka meniru bunyi-bunyi alam. Ada satu paham filsafati mengenai musik, bahwa musik tidak lain adalah tiruan dari alam (sebagaimana seni lukis dianggap sebagai pantulan dari alam, paling tidak seni lukis yang bercorak naturalis, fotografis). Dan bunyi-bunyi alam itu kebanyakan mencitrakan keheningan walau selalu dalam verbalisasi onomatopianya selalu merupakan perpaduan antara vokal dan konsonan. Bunyi burung hantu diverbalisasi dengan poh-poh-poh, jadi perpaduan antara konsonan p, vokal o, dan konsonan lembut h. Atau bunyi anak ayam yang kesepian karena merasa tertinggal sendirian: kiok-kiok-kiok (jadi perpaduan antara konsonan k di awal dan di akhir, dan di tengahnya ada dominasi vokal i dan o). Contoh-contoh seperti ini masih bisa diperpanjang lagi. Dan pola-pola ini rasanya mengendap dalam syair lagu-lagu Manggarai.

Keempat, mungkin hal itu disebabkan karena orang mau kembali ke level fonem dari bahasa dan tidak mau merepotkan diri dengan level semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, gejala tadi bisa saja dipandang sebagai semacam dekonstruksi syair: mencari makna tidak lagi pada level konstruksi semantik, atau pada level sintaksis fonem-fonem, melainkan kembali saja pada level satu fonem. Level fonetik itu sendiri sudah mengandung makna dan nilai tersendiri.

Tetapi sayang sekali bahwa dewasa ini, semua hal itu sudah hilang, sudah tidak ada lagi. Para pencipta atau pengarang lagu-lagu modern Manggarai dewasa ini cenderung mencipta syair lagu lengkap dengan kata-kata lengkap, tidak eliptik, tidak berhenti atau kembsli lagi ke level fonem tadi. Orang meninggalkan fonem dan mencoba mencari konstruksi makna pada tataran konstruksi semantik dan sintaksis dan tidak lagi membiarkan fonem, fonetik, itu menampilkan diri dalam ketelanjangannya dan di situlah letak keindahannya.

Apakah ini suatu perkembangan ataukah justru sebuah kemunduran? Bisa ya, dan bisa juga tidak. Hal ini bisa dinilai sebagai sebuah perkembangan, karena banyak pengaruh dari bentuk-bentuk sastra syair lagu-lagu modern. Ada invasi pengaruh syair modern. Tetapi bisa juga dinilai sebagai sebuah kemunduran, karena ini berarti hilangnya satu mata rantai warisan kultural berupa syair-syair lagu. Belum lagi saya berbicara tentang not-not atau nada-nada dalam lagu-lagu lama Manggarai. Terpaan nada-nada dan gaya modern sangat kuat sehingga nada-nada lama menghilang begitu saja. Agak sulit mendekskripsi secara verbal not-not asli lagu-lagu Manggarai. Tetapi kalau didengar dan dinyanyikan barulah akan terasa kekhasan dan keunikannya. Ini juga patut disayangkan. Untung sudah ada buku Dere Serani itu dalam bahasa Manggarai. Tetapi masih berapa banyakkah orang yang bisa menyanyikan lagu-lagu dalam Dere Serani itu? Ini suatu fakta yang menyedihkan dan memprihatinkan. (Di sini saya teringat akan beberapa syair dari Sutarji Calzoum Bachri, yang mencoba merobek kata-kata, agar bisa kembali ke level bunyi-bunyi dasar (fonem) di balik kata-kata itu. Dan sekaligus teringat juga akan ulasan Ignas Kleden dan Leo Kleden tentang hal itu. Ada baiknya dirujuk untuk pengembangan tulisan ini).

Bandung, 23 Mei 2008

Diketik ulang sambil diperluas dan dikoreksi, 6 November 2008


KEARIFAN LOKAL MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Hari ini, dalam untaian permenungan harianku, entahlah mengapa dan bagaimana, tiba-tiba saya teringat akan sepenggal syair lagu shahdu dalam bahasa Manggarai, bahasa ibuku. Sejauh yang dapat saya ingat, lagu itu sering sekali dinyanyikan orang pada masa kecilku dahulu, terutama di daerah Lembor (sekarang termasuk kabupaten Manggarai Barat). Tetapi sayangnya aku sudah lupa akan nada-nada dari lagu itu, walaupun sesungguhnya tidak seluruhnya luntur dari dinding kalbu ingatanku, dari dinding-dinding memoriku. Oleh karena itu, masih sayup-sayup aku mendengar nada-nada itu dari dalam ruang masa lalu hidupku yang kadang-kadang datang kemari, yaitu ke masa kini tanpa merasa perlu memberi tahu terlebih dahulu. Ia datang begitu saja. Ia bagai tamu yang tidak diundang. Entahlah. Sebuah misteri. Mungkin karena ia adalah bagian utuh dari totalitas kedirian dan eksistensi kita.

Beginilah potongan syair itu, yang menurut saya menyimpan percikan-percikan kearifan local orang-orang Manggarai: Eeeeee eme neho haju ga, // poli poka ludung kole. // Eeeeee eme neho wulang ga, // poli mata mose kole. // Eme neho leso ga, // poli kolepn par koley.

Apa yang istimewa dalam untaian puisi yang sangat singkat ini? Ada beberapa penafsiran dan pemahaman. Pertama, menurut penafsiran dan pemahaman saya, dalam untaian syair lagu itu terdengar endapan-endapan kerinduan dasar manusia akan keabadian, yaitu keabadian dalam dunia ini, kerinduan akan survive, yaitu suatu keadaan melampaui hidup, mencoba memeprtahankan detik-detik kekinian yang senantiasa berlalu begitu cepat, dan sama sekali tidak terbendung. Ini adalah endapan-endapan kerinduan manusia akan upaya merengkuh kefanaan yang sungguh disadarinya hampir tidak mungkin juga terwujud. Selain itu, kedua, dalam pemahaman saya, serentak terdengar juga nada-nada putus-asa, seakan-akan memprotes kefanaan hidup, menyesali bahwa hidup ini hanya berlangsung singkat saja, hanya sekejab mata bila dibandingkan dengan rentang keabadian yang tiada terukur dan tiada terbayangkan.

Ketiga, saya juga harus secara jujur mengungkapkan apa yang saya alami secara psikologis dan rohani dulu ketika mendengar lagu ini dinyanyikan orang. Saya merasa sedih, karena hidup yang saya amat cintai dan kagumi ini ternyata hanya berlangsung singkat saja. Terkesan suatu kepahitan di dalam mengenangnya. Lalu mau bagaimana dan mau apa? Inilah sebuah pertanyaan yang sulit, dan tidak mudah dijawab. Tetapi harus tetap dijawab, harus ada jawaban.

Ya, mungkin orang harus banyak belajar menimba dan menghirup dari kearifan hidup yang pernah dibentangkan si Pemazmur yang menghasilkan Mazmur 90 itu, yang kurang lebih mengatakan demikian: Hidup manusia 70 tahun atau 80 tahun kalau kuat. Dan itupun berlalunya cepat-cepat dan juga penuh dengan kepahitan dan penderitaan. Di sini juga terdengar nada-nada putus asa, tetapi tetap dalam bingkai kesadaran teologal, kesadaran vertikal, kesadaran religius. Juga saya teringat akan mazmur yang mengatakan bahwa hidup manusia itu seperti bunga yang mekar di pagi hari dan layu di waktu petang. Dan tragisnya lagi, sesudah itu ia tidak akan mekar lagi, melainkan akan muncul bunga baru, yang unik dan einmalich, tiada duanya, tiada kembarannya, hanya ada satu saja yang seperti itu.

Atau mungkin orang harus banyak belajar menghirup nafas heroik dari si Pengkotbah itu: yaitu menyadari kesia-siaan segala sesuatu, termasuk bahkan kesia-siaan hidup itu sendiri, tetapi anehnya ia masih tetap mampu untuk hidup beriman. Sebab ia mengakhiri kitabnya itu dengan sebuah nasihat bagi orang muda, Ingatlah Tuhan pada masa mudamu, sebelum datang saat-saat yang membuat suram segala tatap netra; mata nanar, tetapi tetap sabar, membiarkan, dan membiarkan. Melebur. Sebuah kesadaran yang rela menerima bahwa itulah hakiki dan sejatinya hidup. Hiduplah adalah berdebar. Hidup ditandailah berdebar. Mungkinkah ada kaitan yang sangat erat antara debar, berdebar dan dabar dalam bahasa Ibrani itu? Saya tidak tahu. Tetapi boleh jadi, mungkin saja ada kaitan semacam itu.

Bandung, 01 November 2008.

Diketik ulang dan dikembangkan lagi, 07 November 2008.