Rabu, 07 Oktober 2009

DOA PENGHARAPAN ORANG MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dalam kesempatan ulang tahunku kemarin, ada beberapa teman yang berasal dari Manggarai yang mengucapkan selamat untuk saya dengan memakai bahasa Manggarai dan terutama dengan memakai doa-doa permohonan yang mengandung pengharapan dalam bahasa Manggarai dengan go’et-go’et yang indah-indah. Saya sebut saja “Doa permohonan harapan.” Intinya adalah sebuah doa permohonan yang mengandung pengharapan. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih karena ketika membaca dan menikmati go’et-go’et itu serta-merta memunculkan sebuah ilham pemikiran dalam kepala saya untuk menulis sesuatu. Maka saya pun segera mengambil alat tulis dan menuliskan percikan ide-ide itu dalam buku harian saya. Saya dapat mengkategorikannya dalam dua jenis berikut ini.

Pertama, doa permohonan harapan itu berbunyi sbb: “porong wake celer ngger wa, saung bembang ngger eta.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka artinya ialah sbb: semoga (engkau yang didoakan ini, atau yang sedang merayakan pesta tertentu) dapat bertumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan subur, indah, dan permai.

Segi kuatnya dalam doa itu disimbolkan dengan akar yang kuat menancap dan merengkuh punggung dan bahkan rahim bumi pertiwi. Memang akar pohon yang kuat, akan menancap ke dalam perut bumi, menukik ke dalam rahim pertiwi. Dengan itu pohon tadi dapat bertahan terhadap terpaan angin dan pelbagai macam daya-daya perusak lainnya. Dengan itu juga pohon itu dapat mengisap air dari dalam tanah, dan mengambil bahan makanan dari dalam tanah yang diolah secara ajaib oleh mikroba purba, dan setelah sampai ke daun (sebagai dapur) diolah berkat bantuan sinar matahari lewat proses yang dikenal dengan sebutan ilmiah photosintesis itu (sintesis yang bisa terjadi berkat daya kekuatan phos atau cahaya). Tetapi akar seperti itu mampu mengikat oksigen dalam tanah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesuburan tanah. Jalur akar membantu cacing-cacing tanah melobangi tanah, dan dengan itu bisa membantu proses peresapan air ke dalam tanah menjadi sumber-sumber abadi air tanah yang sangat bersih, segar, tidak tercemar.

Segi subur, indah, dan permainya dilambangkan dengan dedaunan yang bertumbuh subur, lebat, rimbun, rindang, hijau di atas permukaan tanah. Kita tahu bahwa dedaunan yang lebat dan rindang kita tahu menjadi sumber kesegaran bagi makhluk hidup yang lain seperti binatang dan juga manusia, sebab dedaunan itu mengeluarkan oxygen yang tidak mereka perlukan dan mengisap zat arang (CO2) yang dihasilkan oleh pernafasan manusia dan makhluk hidup mamalia yang lain dan yang dihasilkan oleh perbagai alat-alat modern lainnya. Berkat kehadiran dan mekanisme kerja dedauan seperti itu, maka muncullah rasa sejuk dan segar. Dedaunan menciptakan efek segar dan juga efek estetik.

Jadi, doa ini bagi saya adalah sebuah doa ekologis juga, yakni sebuah doa yang menukikkan perhatian kita sebagai manusia ke bumi, ke rahim pertiwi. Doa ini adalah doa bumi, doa imanen, doa yang merayap di atas permukaan bumi, mengusap punggung-punggung ibu bumi pertiwi. Manusia didoakan agar dapat menjadi seperti pohon yang berguna itu, yang mendatangkan manfaat bagi makhluk hidup yang lain di sekitarnya.

Kedua, doa permohonan harapan itu berbunyi sbb: “porong uwa haeng wulang, langkas koe haeng ntala.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka bunyinya ialah sbb: Semoga (engkau yang didoakan ini) bisa bertumbuh hingga mencapai rembulan, dan bertambah tinggi hingga mencapai bintang. Doa permohonan harapan yang kedua ini sangat menarik juga karena ia mengarahkan perhatian manusia ke atas, bukan lagi ke bumi. Jika doa yang pertama di atas tadi menukik ke bumi, maka doa yang kedua ini mengangkat kita ke atas, ke langit, ke angkasa, ke surga. Kita diharapkan untuk melampaui bumi ini, walau itu tidak berarti harus meninggalkan bumi, sebab bumi ini tetap menjadi landasan berpijak abadi dari mana kita diharapkan dapat menggapai bulan dan bintang-bintang. Doa itu sama sekali tidak menyarankan bahwa kita menggapai bulan dan bintang itu dengan terbang misalnya atau dengan memakai peralatan modern lain. Melainkan kita diharapkan menggapai bulan dan bintang itu dengan dan sambil berpijak di atas permukaan bumi ini.

Jadi, di satu pihak, kita diharapkan untuk membumi, berorientasi imanen, intramundan, tetapi di pihak lain kita itu juga melangit, atau bersifat transenden, supramundan, melampaui dunia ini. Tentu yang terakhir ini (dalam doa kedua) ini bukan lagi terutama perkara pertumbuhan jasmani belaka, melainkan perkara pertumbuhan budi, akal, jiwa, segi kerohanian kita. Badan kita memang boleh hanya melata di punggung bumi ini saja, mengikuti hukum-hukum alam yang memang tidak terhindarkan sama sekali, tetapi hati dan budi kita hendaknya terbang tinggi di atas awan-awan, menjangkau rentang cakrawala yang jauh dan bahkan rahasia. Kalau doa permohonan harapan yang pertama tadi berdimensi ekologis, maka doa permohonan harapan yang kedua ini berdimensi teologis, eskatologis, ultramundan.

Menurut hemat saya, itulah paradoks filsafat manusia Manggarai: terarah ke bawah, sekaligus juga terarah ke atas. Berorientasi realisme, sekaligus idealisme, sekaligus mengikuti Plato (idealisme) dan sekaligus juga mengamini Aristoteles (realisme). Itulah paradoksnya. Tetapi tidak apa-apa. Kita diharapkan berjalan sambil sekaligus memandang ke bawah dan ke atas. Sebuah perjalanan yang dinamis, penuh dinamika. Memang orang harus berjalan dengan sangat hati-hati antara memandang ke atas untuk menikmati dan mengagumi benda-benda angkasa yang memang sangat indah dan mengagumkan, dan sekaligus juga memandang ke bawah, yaitu ke bumi, tepatnya ke kaki, agar kaki itu tidak tersandung pada bau, melainkan dengan lincah mencari landasan-landasan pijak baru dan terpercaya untuk menjadi batu pijakan dalam menempuh langkah-langkah perjalanan hidup selanjutnya.

Sekali lagi, jika orang Manggarai berdoa bagi sesamanya ia selalu berkata, porong wake celern ngger wa, agu saung bembang nggere eta. Doa ini membawa kita ke bawah, ke muka bumi. Dan juga porong langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Sebaliknya doa ini membawa kita ke atas, melampaui bumi. Semoga dengan itu ada dan tersedia kemakmuran dan keselamatan. Itu pun harapan kita juga.

Bandung, 03 Oktober 2009