Minggu, 18 Desember 2016

GELANG KOE WA'U TA

Sebuah Refleksi Teologis Adventus ala Manggarai
Oleh: Fransiskus Borgias M.



Judul tulisan saya kali ini diambil dari judul lagu (dere) Adwentus (catatan: Menarik bahwa dipakai kata Adwentus, bukan Adventus. Mungkin karena dalam bahasa Manggarai memang tidak dikenal bunyi V dan F itu) yang diciptakan oleh bapa Philipus Manti pada tahun 1937 (DS NO.1, hl.22). Jadi, lagu ini termasuk salah satu lagu tertua dalam sejarah Gereja dan sejarah musik liturgi Gereja Manggarai, keuskupan Ruteng. Memang lagu yang tertua ialah lagu yang berjudul “Doing koe ga” (akan ada ulasan tersendiri tentang lagu tersbeut pada waktunya nanti) yang diciptakan oleh bapak Manti juga pada tahun 1936 (DS Nn.44, hl.56). Kedua lagu ini adalah derap-derap awal upaya memulai komposisi asli lagu Manggarai oleh para komponis Manggarai untuk dimasukkan ke dalam buku Dere Serani (istilah komposisi asli di sini dipakai untuk membedakan jenis lagu yang merupakan hasil adaptasi dari lagu-lagu dari Gereja tua atau induk Eropa). Bapak Philipus Manti adalah orang paling pertama yang menghasilkan lagu-lagu tersebut. Tentu saja hal itu sangat historis. Pada tahun 1937 ada juga bapak A.Loes yang juga menciptakan sebuah lagu yang indah (DS, No.80, hl.85-86; pada waktunya juga nanti akan ada ulasan khusus tentang lagu ini).

Lagu Adwentus ini terdiri atas empat ayat. Sebelum membahas lebih lanjut keempat ayat tersebut, terlebih dahulu saya membahas struktur lagu. Struktur lagu ini ialah sbb: ada dua larik pengantar yang dipakaii untuk semua keempat ayat. Kedua larik pertama itu berbunyi: Gelang koe wau ta Mori Ata Sambe eta mai lelang cai. Yang artinya (dalam terjemahan bebas saya sendiri, sebab dulu ada sebuah terjemahan lain dalam buku Syukur Kepada Bapa): “Bersegeralah turun dari surga, ya Tuhan sang Penebus dari surga, bersegeralah datang”. Jadi, kedua larik ini mengungkapkan harapan dan kerinduan dasar umat manusia akan kedatangan Tuhan sang penebus dan penyelamat ke dalam hidup mereka di dunia ini (seperti kata pemazmur itu: Jiwa kami menantikan Tuhan, lebih dari para penjaga menantikan fajar). Lalu dilanjutkan dengan masing-masing keempat ayat tsb. Lalu diakhir dengan sebuah larik yang sama yang diulang lagi pada setiap keempat ayat tadi. Larik terakhir ini hanya pendek saja. Pada dasarnya hanya mengulang lagi harapan agar Tuhan bersegera datang dan segera tiba (Mori lelang cai, lelang koe). Kedatangan Tuhan itu jangan ditunda-tunda lagi. Sebab penundaan berarti bahaya, berarti ancaman bahkan bisa berarti kematian. Dan keempat ayat itu akhirnya dijawab dengan sebuah bagian wale atau jawaban yang sama. Oleh karena strukturnya seperti itu, maka terlebih dahulu saya mengulas keempat ayat cako tadi, lalu kemudian mengulas tentang bagian wale. Untuk memudahkan pemahaman akan struktur di atas tadi, maka sebaiknya saya berikan tabel berikut ini. Saya berharap tabel ini bisa membantu memperjelas struktur lagu yang sudah saya jelaskan di atas tadi.

Larik awal
Gelang koe wa’u ta, Mori Ata Sambe eta mai lelang cai....
Cako: empat ayat
1). Gereng mede maid Ite lami ga,
2). Sangge hindi-haes kawe Ame ga,
3). Rantang boto mata dami wakar ga,
4). Ata kapir kanang dami tana ga,
Larik penutup cako
Mori lelang cai lelang koe.
Wale
Gelang wa’u Mori Sambe go, Weleng salang bana dami wakar ga. Lelang campe, Mori lelang koe.
(NB: Sayangnya tabel yg sy buat dalam naskah asli tidak bisa tampak di sini).

Dalam bagian berikut ini saya mulai dengan ayat yang pertama. Isi dari ayat pertama dari lagu ini pada dasarnya mengungkapkan kerinduan dan harapan umat manusia agar sang penebus dan penyelamat segera sudi turun (dari surga tinggi, surga secara tradisional memang dibayangkan berada atau terletak di tempat yang tinggi, di atas sana; makanya ada ungkapan “eta landong surga” dalam bahasa Manggarai). Penantian itu bukan sekadar penantian yang baru muncul kemarin sore (yang masih berusia pendek, seumur jagung), melainkan penantian itu sudah muncul sejak dari jaman purbakala, gereng mede maid (harfiah: menanti sejak dahulu kala). Manusia sudah sejak sangat lama (mede maid) menantikan (gereng) kedatangan Tuhan (Ite, kata ganti orang ketiga jamak, untuk menunjuk atau menyebut Tuhan, sebentuk pluralis majestatis).

Ayat kedua, tidak terlalu mudah untuk ditafsirkan dan dipahami. Tetapi kiranya ayat kedua ini mencoba melukiskan tentang kebingungan dan hiruk-pikuk (hilir mudik, ke sana kemari tidak tentu arah, hindi-haes) mencari (kawe) sosok dan figur Ayah (Ame). Oleh karena dalam buku Dere Serani kata ayah (ame) itu ditulis dengan huruf besar, maka tentu saja Ame yang dimaksudkan di sana bukan lagi terutama sosok ayah manusiawi, ayah biologis, ataupun dalam artian lama dari adat istiadat Manggarai, yakni ide ide-ame itu, melainkan Ame itu adalah Tuhan Allah sendiri. Memang Tuhan dalam sejarah Kristianitas disapa dengan sebutan Bapa/Ayah (Ame), atau Abba (dalam beberapa bahasa Semit). Dalam ayat ini, manusia dilukiskan sedang sibuk hilir mudik ke sana ke mati (hindi-haes) mencari Tuhan. Dan upaya pencarian itu mengalami krisis, sebab ia terancam tersesat dan tidak tercapai. Oleh karena itu, maka dimintalah bantuan sang Penyelamat itu sendiri. Paradoksal sekali: Dia yang dicari harus membantu mencari agar sang Dia yang dicari itu agar mudah segera ditemukan. Tuhan yang dicari itu diharapkan membantu mencari Dia sendiri yang dicari itu. Mungkin hal ini terasa aneh. Tetapi seperti itulah yang terjadi.

Ayat ketiga, mengungkapkan sebuah kecemasan eksistensial manusia, yaitu ketakutan akan kematian. Tetapi bapak Philipus Manti dengan sadar memilih kata-kata. Tentu kematian yang ia maksudkan dalam teks ini bukan lagi terutama kematian jasmani. Sebab kematian jasmani (biologis) itu tidak terhindarkan. Itu adalah sebuah hukum biologis, sebuah hukum alam. Tidak ada makhluk hidup yang bisa luput dari maut itu. Hidup adalah pasti menuju maut, Sein zum Tode, kata filsuf Jerman, Martin Heidegger itu. Yang diminta di dalam teks itu ialah agar jangan sampai jiwa (wakar) mengalami sebuah kematian (rantang boto mata dami wakar ga). Itu adalah hukuman kekal dalam api neraka. Jauh dari hidup abadi. Terasing dari kasih Allah. Jauh dari relasi kasih dan kedekatan dengan Allah. Itu adalah neraka. Neraka adalah sebentuk hidup dalam keterasingan yang paling mendasar dan mengerikan. Kematian seperti ini adalah sangat menakutkan. Sedangkan kematian badani (biologis) harus disambut dengan baik sebagai sesuatu yang wajar.

Ayat keempat, mengungkapkan sebuah keprihatian tentang masih adanya orang-orang di sekitar kita (bahkan juga adik kakak, sanak saudara kita) yang belum percaya akan Tuhan Yesus Kristus (ata kapir kanang dami tana ga). Kapir yang ia maksudkan di sini adalah yang orang-orang yang belum mengenal dan percaya kepada Kristus. Kata kapir yang dipakai di sini, mungkin dulu di tahun tigapuluhan mempunyai konotasi lain. Kini dalam dunia modern, tentu saja ada konotasi yang lain lagi (terutama dengan ada dan munculnya sekelompok orang yang dengan getol mencap orang lain sebagai kafir). Deskripsi ayat keempat ini, lebih melukiskan paham Kristologis dan ekklesiologis dari tahun 30-an, tidak hanya di Manggarai, melainkan dari seluruh dunia. Kiranya tidak lagi begitu cocok untuk melukiskan visi dan paham teologis-eklesiologis dewasa ini. Menarik untuk dicatat bahwa teologi dari Hendrik Kraemer (teolog misiolog dari Belanda) memaklumatkan teologi Nama-nya yang terkenal itu pada tahun 1936 di Tambaram, sebuah maklumat yang dilandaskan pada deklarasi dari Kisah Para Rasul: Tidak ada nama lain di bawah kolong langit..... (Kis.4:12).

Nah, untuk mengatasi semua hal itu, manusia mengharapkan agar Tuhan sendiri sudi segera turun tangan agar tidak ada efek lebih jauh dan lebih buruk dari kondisi-kondisi yang dilukiskan tadi. Tuhan diharapkan segera datang, tiba, Mori lelang cai, lelang koe. Desakan itu tampak dalam pengulangan ungkapan lelang cai, lelang koe itu. Situasi sudah gawat darurat, situasi sudah sedemikian gentingnya, maka Tuhan harus segera turun untuk mengatasi hal itu. Tuhan tidak boleh menunda-nunda lagi.

Keempat ayat di atas tadi ditanggapi dengan sebuah wale, sebuah jawaban (tanggapan), yang juga tidak kurang menariknya untuk disimak dan didalami lebih jauh di sini. Sekali lagi, dalam bagian awal dari jawaban ini manusia meminta dan mendesak agar Tuhan sang Penebus itu segera turun dari surga. Mengapa? Karena jiwa kami sekarang ini dan di sini sedang tersesat menempuh jalan lain (weleng salang bana dami wakar ga). Ungkapan “salang bana” ini tidak mudah juga ditafsirkan dan dipahami. Pernah dalam masa gereja purba khususnya Kisah Para Rasul, agama Kristen, sebelum disebut dengan nama itu, disebut jalan atau jalan Tuhan (Kis.9:2; 13:10; 18:2519:23; 22:4; 22:5; 24:14). Tentu saja sebutan jalan itu serta-merta mengingatkan kita akan salah satu identifikasi diri Yesus Kristus dalam injil Yohanes lewat salah satu deklarasi ego eimi-nya yang terkenal itu, ego sum via; atau dalam bahasa Yunani: ego eimi he hodos (Akulah Jalan). Kiranya, ketika bapak Philipus Manti memilih ungkapan “salang bana” dalam teks ini, ia terpikir akan Yesus Kristus sebagai jalan (kebenaran dan hidup). Maka, ungkapan “salang bana” yang dimaksudkan di sini adalah agama yang menyimpang dari “agama tu’ung”, yang menjadi salah satu butir permohonan doa malam dalam buku Dere Serani (DS hal.12. catatan: sebutan “agama tu’ung” ini adalah sebuah adaptasi asli Manggarai. Sebab rumusan aslinya doa itu hanyalah sbb: Hati Yesus yang mahakudus, kasihanilah kami. Tetapi dalam terjemahan lokal kontekstual Manggarai ada sebuah tambahan sbb: mohon bantuan belas kasih hati kudus Yesus tidak banya bagi kita sendiri saja tetapi juga bagi sanak saudara kita yaitu ase kae, yang belum mengikuti agama yang sejati, agama yang benar, agama tu’ung, sehingga rumusannya seperti yang kita baca dalam buku Dere Serani tersebut: agu ase ka’e dami ata toe di lut agama tu’ung).

Maka ungkapan “weleng salang bana” yang ada di sini kiranya berarti menyimpang dari agama tu’ung ke praktek iyo pina naeng, hidup ala kafir. Hidup yang ditandai oleh keadaan tidak atau belum mengenal Allah dan Yesus Kristus. Dan bapak Philipus Manti menganggap itu adalah sebuah ancaman yang nyata. Untuk mengatasi soal itu, Allah perlu segera datang untuk membawa shalom-nya bagi umat manusia. Pertolongan harus datang dari Tuhan agar segera muncul sebuah hidup dan bahkan ciptaan baru. Kira-kira seperti kata pemazmur itu, pertolongan kita dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi.

Akhirnya, dilihat dengan cara seperti ini, betapa dalamnya teologi dan kristologi bapa Philipus Manti dari tahun 30an itu. Bagi saya, tentu saja hal itu amat mengherankan sebab itu adalah sebuah teologi yang lahir dari praksis hidup iman dan percaya, bukan teologi yang lahir dari proses pembelajaran dalam seminari atau fakultas teologi. Ini adalah sebuah teologi eksistensial, teologi hidup dan kehidupan. Berteologi secara otodidak. Beriman secara otodidak juga. Mungkin sangat terilhami oleh teladan hidup para misionaris, para imam misionaris itu. Bagi saya ini sangat luar biasa mengingat mereka semua adalah orang yang baru pertama kali menjadi Katolik. Mereka termasuk generasi pertama, tetapi teologi dan iman mereka sudah begitu kuat dan dalamnya. Bagi saya tentu saja ini adalah mukjizat yang nyata dari iman katolik di tanah Manggarai. Sekali lagi, ini luar biasa, sebab ia (mereka pada umumnya para komponis Manggarai itu) belajar dengan cara mengajar orang lain untuk hidup percaya dan beriman. Entah berapa orang Manggarai yang hatinya sudah tercerahkan dan digerakkan dan disentuh oleh lagu ini, baik melodinya maupun juga syairnya. Sebab bagi kita lagu-lagu liturgi juga adalah sekolah pendidikan iman. Semakin kita akrab menyanyikan lagu liturgi, maka semakin kuat dan mendalam juga hidup iman kita. Itu sebabnya, saya sangat mendukung ungkapan yang sangat terkenal dari Agustinus itu: Qui bene cantat, bis orat. Siapa yang bernyanyi dengan baik, berdoa dua kali. Tidak banyak berdoa dua kali saja, melainkan beriman dua kali, maksudnya, imannya makin kuat dan mendalam, semakin diperkaya dalam hidup dan pengetahuan iman.

Yogyakarta, Desember 2016.