Kamis, 13 November 2008

KUNI AGU KALO

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Ada kaitan yang erat antara nativity dan identity. Identitas seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya (nativity). Sebab di sanalah orang itu dilahirkan; itulah tanah tumpah darahnya, tanah tempat darahnya tertumpah untuk pertama kalinya dalam proses lahirya dan terutama dalam proses pemotongan tali pusarnya (umbilical cord). Boleh dikatakan itulah kuni agu kalo-nya. Dalam paham dan pandangan orang Manggara, kuni agu kalo ini sangat penting. Jangan sampai orang membuangnya, atau melupakannya; jangan sampai orang mengabaikannya. Maka ada nasihat dalam sebuah lagu rakyat yang sangat terkenal, yang berbunyi sbb: Neka oke kuni agu kalo n ta ngkiong ngkiong e.

Tetapi apa itu kuno agu kalo? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab atau dicari jawaban dan penjelasannya. Cukup lama saya berusaha mencari penjelasan dan jawaban atas pertanyaan itu, atau tentang kedua kata kata. Dalam rangka itu saya mencoba bertanya kepada siapa saja, baik di Manggarai sendiri maupun pada orang-orang Manggarai di perantauan. Untunglah, saya baru mendapatkannya kurang lebih dua tahun yang lalu (dihitung dari tahun ketika teks ini ditulis dengan tulisan tangan dalam BH-ku, jadi dari tahun 2007). Walau penjelasan itu belum memuaskan, dan bukan satunya penjelasan yang sah dan memadai tentang hal itu. Oleh karena itu, saya masih akan tetap mencari penjelasan lebih lanjut lagi. Di bawah ini adalah salah satu penjelasan yang bisa saya kemukakan tentang hal itu.

Ada banyak cara orang memperlakukan “barang” yang keluar bersama bayi pada saat lahir. Dalam bahasa Manggarai disebut mbau, yang secara harfiah berarti naungan, perlindungan, suaka, yang memberi kesegaran, yang memberi daya hidup baru (tetapi sekaligus tersirat bahaya, sebab di sana bisa ada atau datang binatang buas untuk mencari naungan dari terik matahari). Ada yang membuang mbau itu dengan cara direndam di riam sungai, atau jeram. Tetapi sesungguhnya dulu orang menguburkan mbau itu dalam tanah, seperti upacara penguburan biasa. Kemudian kuburan itu ditandai dengan ditanam di atasnya pohon dadap (kalo) dan jambu mete; biji jambu mete itu disebut kuni. Dengan demikian, sebagian jatidiri awal bayi itu ditanam di bumi dan ditandai dengan pohon.

Jadi, nasihat “neka oke kuni agu kalo” itu artinya jangan sampai orang melupakan tanah tumpah darahnya, tanah di mana mbau awalnya ditanam, seakan-akan mendahului dan menigngatkan akan eksistensi kita kelak, yaitu mati, dan kita semua akan kembali ke tanah, ke dalam rahim pertiwi. Tentu menarik untuk bertanya lebih lanjut: mengapa kuni dan mengapa kalo? Kalo biasanya berfungsi sebagai tanaman pelindung dan diyakini mengandung air. Mata air ditanami dadap agar mata air itu lestari. Mungkin karena ia mempunyai daya resap yang tinggi. Maka dadap berarti perlindungan dan air sumber hidup. Sedangkan kuni? Mungkin fungsinya seperti asam dalam masyarakat Betawi, Kampung Sawah. Kalau pohon itu nanti berbuah, banyak pihak ngiler. Tidak hanya manusia, tetapi juga binatang, kalong, dll. Lebah amat menyukai kembangnya yang banyak. Mungkin rindang daunnya yang hijau abadi (ever-green) juga dibayangkan sebagai naungan, mbau, bagi mbau awal kita.

Mega Matra Jakarta,

30 Mei 2007

Diketik kembali dan diperluas, 14 November 2008


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih Ite,Sudah membahas ini.
Hami ata uwa weru hoo ga jarang bahas topik minak soo.
Jadi terdorong utk lebih mengenal tanah Mangarai agu sagen taung one main,
terutama seputar kuni agu kalo.

Salam,

Vinent.

Arsi mengatakan...

Salam sukses buat penuli