Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Hari ini, dalam untaian permenungan harianku, entahlah mengapa dan bagaimana, tiba-tiba saya teringat akan sepenggal syair lagu shahdu dalam bahasa Manggarai, bahasa ibuku. Sejauh yang dapat saya ingat, lagu itu sering sekali dinyanyikan orang pada masa kecilku dahulu, terutama di daerah Lembor (sekarang termasuk kabupaten Manggarai Barat). Tetapi sayangnya aku sudah lupa akan nada-nada dari lagu itu, walaupun sesungguhnya tidak seluruhnya luntur dari dinding kalbu ingatanku, dari dinding-dinding memoriku. Oleh karena itu, masih sayup-sayup aku mendengar nada-nada itu dari dalam ruang masa lalu hidupku yang kadang-kadang datang kemari, yaitu ke masa kini tanpa merasa perlu memberi tahu terlebih dahulu. Ia datang begitu saja. Ia bagai tamu yang tidak diundang. Entahlah. Sebuah misteri. Mungkin karena ia adalah bagian utuh dari totalitas kedirian dan eksistensi kita.
Beginilah potongan syair itu, yang menurut saya menyimpan percikan-percikan kearifan local orang-orang Manggarai: Eeeeee eme neho haju ga, // poli poka ludung kole. // Eeeeee eme neho wulang ga, // poli mata mose kole. // Eme neho leso ga, // poli kolepn par koley.
Apa yang istimewa dalam untaian puisi yang sangat singkat ini? Ada beberapa penafsiran dan pemahaman. Pertama, menurut penafsiran dan pemahaman saya, dalam untaian syair lagu itu terdengar endapan-endapan kerinduan dasar manusia akan keabadian, yaitu keabadian dalam dunia ini, kerinduan akan survive, yaitu suatu keadaan melampaui hidup, mencoba memeprtahankan detik-detik kekinian yang senantiasa berlalu begitu cepat, dan sama sekali tidak terbendung. Ini adalah endapan-endapan kerinduan manusia akan upaya merengkuh kefanaan yang sungguh disadarinya hampir tidak mungkin juga terwujud. Selain itu, kedua, dalam pemahaman saya, serentak terdengar juga nada-nada putus-asa, seakan-akan memprotes kefanaan hidup, menyesali bahwa hidup ini hanya berlangsung singkat saja, hanya sekejab mata bila dibandingkan dengan rentang keabadian yang tiada terukur dan tiada terbayangkan.
Ketiga, saya juga harus secara jujur mengungkapkan apa yang saya alami secara psikologis dan rohani dulu ketika mendengar lagu ini dinyanyikan orang. Saya merasa sedih, karena hidup yang saya amat cintai dan kagumi ini ternyata hanya berlangsung singkat saja. Terkesan suatu kepahitan di dalam mengenangnya. Lalu mau bagaimana dan mau apa? Inilah sebuah pertanyaan yang sulit, dan tidak mudah dijawab. Tetapi harus tetap dijawab, harus ada jawaban.
Ya, mungkin orang harus banyak belajar menimba dan menghirup dari kearifan hidup yang pernah dibentangkan si Pemazmur yang menghasilkan Mazmur 90 itu, yang kurang lebih mengatakan demikian: Hidup manusia 70 tahun atau 80 tahun kalau kuat. Dan itupun berlalunya cepat-cepat dan juga penuh dengan kepahitan dan penderitaan. Di sini juga terdengar nada-nada putus asa, tetapi tetap dalam bingkai kesadaran teologal, kesadaran vertikal, kesadaran religius. Juga saya teringat akan mazmur yang mengatakan bahwa hidup manusia itu seperti bunga yang mekar di pagi hari dan layu di waktu petang. Dan tragisnya lagi, sesudah itu ia tidak akan mekar lagi, melainkan akan muncul bunga baru, yang unik dan einmalich, tiada duanya, tiada kembarannya, hanya ada satu saja yang seperti itu.
Atau mungkin orang harus banyak belajar menghirup nafas heroik dari si Pengkotbah itu: yaitu menyadari kesia-siaan segala sesuatu, termasuk bahkan kesia-siaan hidup itu sendiri, tetapi anehnya ia masih tetap mampu untuk hidup beriman. Sebab ia mengakhiri kitabnya itu dengan sebuah nasihat bagi orang muda, Ingatlah Tuhan pada masa mudamu, sebelum datang saat-saat yang membuat suram segala tatap netra; mata nanar, tetapi tetap sabar, membiarkan, dan membiarkan. Melebur. Sebuah kesadaran yang rela menerima bahwa itulah hakiki dan sejatinya hidup. Hiduplah adalah berdebar. Hidup ditandailah berdebar. Mungkinkah ada kaitan yang sangat erat antara debar, berdebar dan dabar dalam bahasa Ibrani itu? Saya tidak tahu. Tetapi boleh jadi, mungkin saja ada kaitan semacam itu.
Bandung, 01 November 2008.
Diketik ulang dan dikembangkan lagi, 07 November 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar