Minggu, 11 Juli 2010

KUNJUNGAN MGR.HUBERTUS LETENG KE BANDUNG

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN;
PENELITI GESER INSTITUTE DAN CCRS FF-UNPAR BDG



Kemarin, Minggu 11 Juni 2010, Mgr.Hubertus Leteng, mampir ke Bandung, dalam rangka bertatap muka dengan orang Manggarai di Bandung dan sekitarnya. Beberapa hari sebelumnya Pa Flori Nggagur dan Dr.Max, menyebarkan undangan SMS untuk orang Manggarai Bandung agar menghadiri Ekaristi yang dipimpin Uskup di kediaman pribadi Dr.Max di Cilaki no.2. Tentu kami semua senang dengan kunjungan itu, sebab itulah kesempatan bagi kami bertemu dengan beliau. Kalau kami ke Ruteng belum tentu beliau punya waktu menerima kami. Di pagi harinya, orang Manggarai Cimahi mengadakan arisan keluarga di rumah Pa Edi Radom, sekaligus peringatan satu tahun meninggalnya ayah mereka (Bapak Yohanes Radom). Ada juga arwah Bapak lain yang didoakan dalam kesempatan itu, tetapi saya lupa namanya. Dalam doa permohonan, saya sisipkan doa untuk arwah Bapa Tomas Didimus Jehaun yang meninggal pagi hari kemarin di Ruteng. Ia adalah ayah mertua adik saya, Marius Saridin.

Setelah selesai doa kami langsung makan siang dan penarikan undi arisan. Kami mengadakan semuanya dengan tergesa-gesa karena setelah itu kami ke Bandung, menghadiri Ekaristi bersama Mgr.Hubertus. Selesai makan kami ke Bandung. Sebelum ke Cilaki, saya mampir ke Fermentum, mengajak Romo John Talla bertemu dengan Uskup. Ternyata ia mau. Kami menjemputnya. Kami terlambat tiba di Cilaki. Begitu tiba, saya membawa Rm.John Talla ke hadapan Uskup. Saya sempat memegang tangan Uskup dan mencium cincinnya. Ia yang dulu teman di seminari kecil, karena tugas mulianya sebagai uskup, kini harus saya cium tangannya. Itulah kebiasaan yang ditanamkan dalam hati saya sebagai orang Flores sejak kanak-kanak. Untunglah Ekaristi belum dimulai karena menunggu tibanya lawa yang ada. Ekaristi sempat diulur-ulur. Akhirnya dimulai pada pukul 12.30. Bapa Uskup didampingi Pater Kasmir Jumat SMM. Perayaan berjalan lancar, diiringi beberapa nyanyian Puji Syukur dan beberapa lagu Dere Serani (tentu yang dihafal oleh pengangkat lagu).

Selesai ekaristi acara dilanjutkan dengan santap siang bersama, ala prasmanan yang lezat. Selama ini saya sudah melanggar pantangan yang diberikan Anton Porat. Tetapi kemarin Dr.Max, memberi tahu saya bahwa ia telah meminta kelonggaran pada Anton di Kupang agar saya bisa menikmati makanan nikmat pesta ini. Ada peristiwa penting dalam acara makan itu. Saat tambah saya ambil makanan di meja Uskup. Sebagai pengantar saya katakan: “Bapa Uskup saya tuntung ke meja dite.” Uskup tertawa mendengar kata itu. Katanya: “Tuntung itu sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Saya katakan: “itu sebabnya saya pakai kata tuntung itu. Pa Flori tambahkan: Itu hebatnya ite, ai ite berani tuntung one Uskup. Semua yang mendengar itu tertawa. Mungkin dalam kenyataannya ada yang tuntung pada uskup.

Selesai santap siang, kami meminta waktu Bapa Uskup untuk berdialog dan tanya jawab dengan kami. Beliau memberi waktu kurang lebih sampai jam 4. Jadi kami ada waktu kira-kira satu jam. Kami memakai waktu itu sebaik-baiknya. Acara diskusi dan dialog bersama dipandu Krg.Flori Nggagur sebagai moderator. Penanya pertama, Alex Aben (Ketua Ikamaba), mengajukan pertanyaan mengenai rumor keterlibatan politik gereja di Manggarai. Bagaimana sikap Gereja dengan hal itu? Jangan sampai hal itu bisa menimbulkan pepercahan di tengah masyarakat. Uskup menjawab pertanyaan itu dengan diplomatis: Gereja punya kewajiban mendampingi umat untuk berpolitik dengan baik. Gereja tidak mau mengatur politik praktis. Paling-paling hanya memberi himbauan moral. Tidak lebih dari itu. Penanya kedua, Krg.John Luis, mengenai masalah pendidikan NTT yang selalu mendapat sorotan nasional karena mutunya merosot. Mgr.Hubert menjawab bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas perhatian gereja. Gereja berusaha sedapat mungkin memberikan yang terbaik bagi pendidikan di Manggarai khususnya dengan pelbagai cara, termasuk kerjasama dengan pemerintah maupun dengan pelbagai serikat hidup bakti yang hingga saat ini mencapai 50an di Ruteng. Penanya ketiga, Pa Darma, bertanya mengenai ketahanan mental dan moral mudika Manggarai, baik di Manggarai, maupun ketika mereka merantau ke Jawa. Mgr.Hubert mengatakan bahwa itu juga menjadi titik pusat perhatian gereja Manggarai. Mereka berusaha menghindari terjadinya brain-drain di NTT dengan membuat anak mudanya betah tinggal di NTT. Itu tidak mudah. Pemda harus menciptakan lapangan kerja. Ketika mereka ke Jawa, tentu diharapkan mereka mempunyai tujuan yang jelas dan pasti, agar tidak terlunta-lunta.

Dalam sesi kedua, Pa Flori bertanya tentang pemetaan dan sertifikasi tanah gereja di Manggarai. Sebab ada gejala bahwa tanah yang sudah diberikan, diambil kembali oleh generasi kemudian. Terhadap hal itu Uskup mengatakan bahwa kita wajib mengingatkan semua pihak agar menghormati sejarah masa silam, termasuk keputusan adat nenek moyang. Gereja mensertifikasi semuanya, tetapi butuh biaya. Jadi, harus perlahan-lahan. Langkah adat yang biasa harus ditempuh sebelum langkah hukum formal. Saya sendiri tampil sebagai penanya kedua: saya tanya tentang isu sensitif ekologi. Ekologi Manggarai rusak karena kehadiran tambang. Bagaimana upaya gereja sehubungan dengan itu? Ingat bahwa tambang tidak pernah memberi harapan jangka panjang. Sementara kita ini hidup dari pertanian tradisional. Mengapa bukan modernisasi pertanian tradisional yang diupayakan dan bukan tambang? Uskup menjawab bahwa keuskupan sejak lama menolak tambang. Keuskupan dan gereja harus berjuang melindungi ekologi, memperjuangkan JPIC. Kalau ada yang merusak, kita lawan. Akhirnya, pa Flori Su, tampil sebagai penanya ketiga: mengenai modernisasi di bidang kelistrikan. Modernisasi di bidang jalan raya lumayan. Tapi modernisasi di bidang kelistrikan, masih harus ditingkatkan. Uskup setuju dengan itu, dan menghimbau alangkah baiknya para perantau yang sukses, juga berbuat sesuatu agar Manggarai terang oleh listrik. Tidak hanya remang-remang.

Bandung, 12 Juli 2010
Fransiskus Borgias M.