Sabtu, 10 Desember 2011

NAMA-NAMA ORANG MANGGARAI: SEBUAH KILAS BALIK

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Tanpa terasa, sudah duapuluh satu tahun silam saya terbitkan karangan saya di majalah bulanan Kebudayaan Basis dengan judul “Nama-nama Orang Manggarai” (yang dimuat dua secara bersambung dua bulan berturut-turut oleh redaksi Basis). Saya tidak akan pernah lupa akan peristiwa itu karena satu alasan yang akan saya jelaskan kemudian. Sekarang saya teringat lagi akan karangan itu dan pelbagai upaya yang saya lakukan selama ini untuk memperluas dan memperdalamnya. Saya teringat karena saya membaca sebuah buku dari Clifford Geertz. Sebuah nama yang sangat terkenal dalam dunia Antropologi budaya. Sebuah nama besar.

Saya ingat bahwa pertama kali saya mendengar nama Clifford Geertz ialah dalam beberapa mata kuliah antropologi filsafat di STF Driyarkara Jakarta; itu berarti sekitar tahun 1983-86 silam, ketika saya masih kuliah Filsafat di Kampus Jembatan Serong Rawasari itu. Geertz sesungguhnya sudah menulis buku penting pada awal tahun 70-an; tepatnya pada tahun 1973. Judul buku itu ialah The Interpretation of Culture. Sebenarnya buku itu adalah sebuah kumpulan karangan. Ada yang ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan yang Geertz lakukan di beberapa tempat di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal ialah penelitiannya di Mojokuto itu, yang antara lain menghasilkan temuan istilah yang teramat populer Islam Santri dan Islam Abangan itu. Juga analisis tentang ritual dalam masyarakat Jawa yang antara lain bermuara pada paham tentang ide kultur sebagai model of dan model for reality.

Selain di Mojokuto, Geertz juga melakukan penelitian di Bali. Ketika masih kuliah di STF Driyarkara dulu saya hanya berurusan dengan definisi Geertz mengenai agama, sebuah definisi yang sangat terkenal karena dikutip dan dianalisis, dan dikritisi oleh banyak ahli lain, antara lain pada tahun 1993 (jadi dua puluh tahun kemudian) oleh Tallal Assad itu. Definisi agama dari Geertz itu mengandung lima komponen yang tidak akan saya sebutkan satu persatu di sini.

Jauh di kemudian hari, buku ini pada awal tahun 90-an sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius, Yogyakarta. Tetapi saya lupa judul terjemahan itu. (Mungkin berjudul: Teori Kebudayaan). Ketika saya kuliah teologi di Belanda, lagi-lagi saya mengutak-atik definisi agama Geertz ini, karena dosen Antropologi saya, Martin Raamstedt, mengupas definisi beliau mengenai agama berdasarkan kajian kritis dari Tallal Assad. Dalam mata kuliah Fenomenologi Agama di Fakultas Filsafat UNPAR Bandung pun, saya banyak memakai definisi dari beliau ini untuk menerangkan gejala agama, walau saya punya catatan kritis saya sendiri akan hal itu: Misalnya, Geertz dalam definisi itu sama sekali tidak menyinggung mengenai yang kudus, the sacred, apalagi menyinggung yang transenden. Entah apa yang menjadi alasan Geertz tidak menyebut hal itu dalam definisinya.

Saat ini, ketika saya sedang studi S3 di ICRS-Yogya, lagi-lagi saya sangat sering berurusan dengan buku Geertz ini. Bahkan untuk pertama kalinya saya baru sempat membaca buku Geertz ini sampai bagian akhir. Di bagian akhir inilah saya menemukan sebuah studi Clifford Geertz tentang masyarakat Bali. Antara lain misalnya studi dia tentang kebiasaan menyabung ayam di antara kaum pria di Bali (sesuatu yang sebenarnya juga cukup biasa juga di kalangan orang Manggarai paling tidak saya masih saksikan ketika saya masih kecil dulu). Tetapi yang jauh lebih menarik dan lebih penting bagi saya ialah studinya tentang fenomena nama dan hal naming process di antara orang-orang Bali.

Antara lain misalnya ia mengemukakan tentang pengaruh name giving process terhadap status sosial dan social interactioan di antara pelbagai pribadi dalam masyarakat. Nama dan name giving process orang Bali sangat unik, sebab nama menunjukkan urutan kelahiran. Anak pertama, anak kedua, anak ketiga, sampai anak kedelapan. Celakanya, ada beberapa nama yang bakal hilang, karena pengaruh KB. Sebab itu berarti tidak akan ada lagi nama untuk anak ketiga, keempat, dst. Sebab yang dianggap lebih baik menurut kampanye KB nasional ialah mempunyai anak dua saja.

Ulasan Geertz mengenai nama-nama orang Bali itu, serta-merta mengingatkan saya akan artikel yang pernah saya tulis dan terbitkan di Majalah Bulanan Budaya Basis sekitar bulan April-Mei tahun 1990. Judulnya ialah: Nama-nama Orang Manggarai. Ketika saya menulis artikel itu saya sama sekali tidak pernah membaca studi Geertz tentang nama-nama orang Bali. Jadi, tidak ada saling pengaruh sama sekali. Tetapi ternyata ada beberapa kemiripan dalam kesimpulan saya dan simpulan Geertz: paling tidak menyangkut keunikan name giving process pada orang-orang Manggarai, yang juga ada pada orang-orang Bali. Ada banyak istilah antropologis yang baku yang menarik, yang sekarang saya pakai untuk memperluas dan memperkaya, dan memperdalam tulisan saya sendiri.

Saya juga ingat bahwa pada akhir tahun 1990 saya mendapat surat dari Universitas Hamburg, Jerman, dari seorang yang saat itu sangat saya kagumi, yaitu dari Bapak Kraeng Dami N.Toda. Saya mengagumi dia karena ia adalah seorang penyair Manggarai yang eksist di tingkat nasional. Beberapa puisinya terbit di majalah sastra terkemuka tingkat nasional Horizon dan Basis. Ia juga saya kagumi karena studi dan kajian kritisnya atas seorang pengarang indonesia, Iwan Simatupang, seorang novelis eksistensialis. Pak Dami menspesialisasi diri dalam cerpen-cerpen Iwan dan melahirkan sebuah buku ulasan kritis: Tegak Lurus Dengan Langit. Nah, dari orang hebat itulah saya mendapat surat. Saya dek-dekan. Apa kiranya isi surat itu.

Ternyata di luar dugaan saya sama sekali, surat itu berisi pujian hampir selangit dari beliau tentang tulisan saya di Basis. Tentu saja saya sangat bangga karena hal itu. Bangga sekali. Betapa tidak: saya dipuji oleh seorang profesor di Jerman yang mengasuh matakuliah (seminar) masalah-masalah Asia Tenggara di Universitas tersebut. Itulah yang membuat saya senang dan bangga, dan karena itu tidak akan pernah saya lupakan, seperti sudah saya singgung diawal. Sekali lagi, intinya,Pak Dami memuji artikel yang saya terbitkan di Basis itu. Rupanya ia juga membacanya. Ia mendorong saya untuk terus menggali dan mendalami hal itu. Jelas, hal itu saya lakukan, ada ataupun tidak ada anjuran dari dia. Saya terus melakukan pendalaman akan studi itu. Bahkan Bapa Dami berjanji untuk mencari sponsor beasiswa untuk studi lanjut bagi saya di bidang antropologi budaya; tetapi hal itu tidak pernah sampai terwujud.

Tetapi dorongan dari dia itu sangat berarti besar bagi saya. Saya terus melakukan studi dan pengkajian tentang gejala nama itu dari segi budaya, teologi, dan antropologi filsafat. Hasilnya: Artikel Basis itu sudah jauh berkembang dari versi awal di Basis tadi. Pada bulan April tahun 2002, saya bertemu dengan bapak Dami di Arnhem. Dia mengajak saya untuk saling bertemu di sana. Ia datang dari Hamburg, saya datang dari Nijmegen. Tujuan kami sebenarnya mengunjungi museum militer Belanda di kota Arnhem itu. Pada kesempatan lain saya sudah menulis secara khusus tentang pertemuan itu di Blog saya. Maka saya tidak akan mengulangi detail itu di sini. Ada segi lain yang akan saya tulis di sini.

Setelah selesai kunjungan museum, kami makan siang bersama dan berdiskusi. Diskusi dengan Bapa Dami di Arnhem itu sangat membantu memperluas cakrawala saya. Sayang, itulah perjumpaan pertama dan terakhir saya dengan bapa Dami,karena pada tahun 2007 (lima tahun sesudah pertemuan itu) ia wafat. Studi saya kini tentang Geertz dan nama orang Balinya juga ikut membentuk secara baru artikel saya yang lama tersebut.

Kini saya masih memoles dan memperkayanya. Semuanya demi budaya orang Manggarai, yang dalam salah satu edisi buku dikategorikan sebagai satu satu dari the vanishing cultures of the world.


Yogya, 28 November 2011.
Diketik dan diperluas lagi 10 Desember 2011

Selasa, 27 September 2011

TOPONIM: ARTI PENTING SEBUAH NAMA TEMPAT

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Kemarin saya membaca dalam sebuah tabloid online Papua, TABLOIDJUBI. Ada seorang pakar Linguistik yang bernama Andreas Deda. Ia menulis tentang gejala punahnya beberapa bahasa lokal di Papua karena tergerus oleh arus modernisasi yang dibawa oleh orang-orang Luar, baik itu Eropah maupun bagian lain dari Indonesia. Ternyata kepunahan bahasa itu berefek mengerikan dalam bingkai rencana pembangunan masyarakat setempat. Untuk mempertegas tesisnya itu, ia lalu memberi dua contoh: Pertama, kasus banjir bandang di Wasior. Ternyata dalam bahasa Biak kata wasior itu artinya ialah tempat yang masih basah atau tempat yang belum kering karena di sana ada banyak air, atau sesewaktu bisa saja akan datang air dalam jumlah yang banyak (banjir). Oleh karena itu, tempat itu sangat rawan untuk dihuni. Nama tempat itu telah diberi oleh para petualang Biak di masa silam. Tetapi dewasa ini orang sudah tidak tahu lagi arti etimologis wasior itu dan membangun perumahan transmigran di sana. Kita semua tahu tragedi banjir tahun lalu yang menimpa daerah itu, menyapu bersih jejak pembangunan yang ada di sana. Kedua, ia juga masih beri contoh lain: ada sebuah perumnas di Waena, Padang Bulan yang pada tahun 2000 lalu tiba-tiba terendam banjir. Nama asli tempat itu Rebali dari bahasa lokal Sentani. Rebali itu sendiri terdiri atas dua kata: Re, artinya rawa-rawa, ebeli: panjatkan atau secara harfiah berarti tertinggal. Di sana di tempat itu ada sungai kecil, wi yobi yang artinya sungai nenek moyang. Jadi, rebali ialah nenek moyang yang tertinggal sebagai rawa-rawa. Menarik sekali penelitian si pakar linguistik ini.

Bagaimana dengan di Manggarai? Toponim (nama tempat: dari bahasa Yunani: onoma, nama, topos, tempat) di pelbagai belahan dunia, termasuk di Manggarai pasti juga berdasarkan hasil pengamatan manusia-manusia dulu atas gejala-gejala alam yang sudah dan mungkin selalu akan terjadi di sana. Saya berpendapat bahwa dalam kebijakan pembangunan kita di suatu tempat, kita harus memperhatikan semua gejala bahasa toponim itu agar pembangunan tidak menjadi sia-sia. Salah satu proyek mercusuar Manggarai dulu ialah pembangunan sebuah menara yang sangat tinggi di puncak gunung Ranaka. Sekarang mungkin hal itu sudah ditinggalkan, karena masalah Anaka (Anak Ranaka), padahal pembangunannya sudah mendatangkan bencana ekologis yang sangat besar: misalnya pemusnahan hutan alami untuk membangun jalan ke puncak itu. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah bisa saya terima sejak awal, tetapi siapalah saya saat itu dulu bahkan juga sekarang ini. Padahal nenek moyang kita sudah memberi nama tempat itu RANAKA. Secara etimologis Ranaka terdiri atas dua kata yaitu RANA dan KA. Rana artinya DANAU, dan Ka berarti burung gagak. Tetapi yg terpenting di sini bukan burungnya, melainkan warna burung itu, yaitu hitam. Jadi, Rana-Ka pada dasarnya berarti Danau Hitam. Danau Hitam itu mungkin erat terkait dengan gejala alam kawah gunung api di masa silam.

Setelah Ranaka meletus secara mengejutkan pada bulan Januari 1988 silam (mengejutkan karena gunung itu sama sekali tidak menampakkan gejala sebagai gunung berapi karena hutannya yang sangat hijau dan lebat), muncullah Anaka. Sejak saat itu, lalu muncul sebuah nama lama dan nama itu menjadi sangat populer dan bahkan menjadi judul sebuah lagu: NAMPAR NOS. Jelas orang-orang dulu (baca: nenek moyang) memberi nama tempat itu (toponim) karena di sana sudah terjadi sesuatu di tempat itu. Ada gejala asap keluar dari sana, dan hal itu menyebabkan dinding cadas (nampar) yang ada di sana berubah warna menjadi gosong (nos). Jadi, toponim itu sendiri sudah memberitahukan sesuatu atau pesan tertentu kepada kita sekarang dan di sini. Tetapi kita biasanya melupakan begitu saja fenomena toponim itu. Padahal aktifitas toponim adalah juga dimaksudkan sebagai salah satu cara berkomunikasi dari manusia di masa silam (leluhur) kepada kita sekarang ini.

Khusus di MABAR. Pemda Mabar sekarang sedang gencar-gencarnya membangun dan mengembangkan SANO NGGOANG sebagai sebuah tempat pariwisata alam, air panas. Tentu saja hal itu sangat menyenangkan. Derap kemajuan pembangunan semakin maju sampai ke pelosok-pelosok MABAR. Luar biasa. Tetapi jangan sampai dilupakan bahwa nenek moyang kita di masa silam telah memberi nama kepada tempat itu SANO NGGOANG. Kata Sano berarti Danau, Nggoang, berarti Bernyala-nyala, atau berpijar-pijar. Sekali lagi saya menegaskan bahwa toponim menyimpan pasti sebuah pesan terselubung. Toponim ini adalah sebentuk komunikasi dari mereka (para leluhur) kepada kita. Entahlah. Saya tidak tahu di mana persisnya terjadi NGGOANG itu di masa silam. Mungkin seluruhnya. Mungkin untuk mengetahui hal ini kita harus tanya, harus meneliti lagi dengan cermat, kaum penduduk setempat, mengenai tabu-tabu yang mungkin masih hidup sehubungan dengan mitologi Sano-Nggoang itu. Pasti tabu-tabu itu juga memberitahukan sesuatu, bahkan bisa juga menubuatkan sesuatu. Dan tabu-tabu itu perlu diperhatikan secara detail dalam prospek pengembangan dan pembangunan pariwisata di tempat itu agar tidak menjadi bencana nantinya di kemudian hari.

Satu lagi: ULUMBU. Saya akrab sekali dengan nama tempat ini, karena dulu di masa kecil saya sering sekali mendengar nama ini dan pernah juga pergi ke sana, ketika Papi saya mengajar sebagai guru SD di Wewo yang terletak tidak terlalu jauh dari Ulumbu itu. Ingatan yang saya rekam dari masa kecil itu, sampai sekarang ini masih sangat kuat terbayang-bayang. Sering sekali saya juga sangat terganggu karena bau belerang yang terpancar keluar dari sana, sebab bisa tercium sampai ke Wewo bahkan sampai ke Ponggeok. Apa artinya ULUMBU? Dalam analisis saya, kata itu dapat diturunkan dari dua akar kata: ULU dan Mbu. Ulu artinya: Mata air (ulu wae), walaupun bisa juga berarti Kepala. Mbu: adalah onomatope yang meniru bunyi air yang sedang bumbuluak keluar dari dalam tanah. Memang itulah yang terjadi di sana. Ada ulu yang selalu mbu-mbu-mbu terus sepanjang waktu. Bahkan dulu waktu saya kecil, sebenarnya di beberapa tempat ada beberapa ulu yang selalu mbu-mbu seperti itu. Saya masih ingat, papa saya sering mengajak saya pergi ke ulumbu untuk mencari jambu yang memang tumbuh subur di sana. Tetapi kami harus berjalan berhati-hati untuk menghindari beberapa tempat yang basah dan kadang-kadang terlihat sedang bumbuluak juga tentu dengan bau belerang yang sangat kuat.

Tentu masih ada banyak toponim lain di Manggarai yang menyimpan pesan dan menyampaikan sebuah nubuat bagi kita sekarang. Saya menulis tentang hal ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk sekadar mengingatkan kita semua, bahwa kita tidak pernah boleh mengabaikan toponim yang ada, sebab toponim itu mengandung makna tertentu. Melalui toponim nenek moyang kita bermaksud menyimpan satu kebenaran sejarah, dan bermaksud juga menyampaikan sebuah kebenaran sejarah juga di dalamnya. Ketika kita bermaksud membangun sesuatu di suatu tempat, kita tidak pernah boleh mengabaikan begitu saja toponim yang ada. Mungkin pendapat saya ini boleh jadi keliru, tetapi melihat paling tidak beberapa contoh yang sudah saya kemukakan di atas tadi, kiranya kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja kebenaran tersebut. Tentu contoh-contoh seperti ini masih bisa diperpanjang dengan data lain dari tempat lain di seluruh Indonesia atau bahkan dari seluruh dunia. Mungkin ada yang bisa memberi contoh lain mengenai arti penting toponim itu, dan bahwa toponim itu jangan sampai kita abaikan.

Yogya, 27 September 2011

Rabu, 07 September 2011

TINU, TOING, TITONG: FILSAFAT PENDIDIKAN PATER FLORI LAOT OFM

Oleh: Fransiskus Borgias M.

PENGANTAR:
Beberapa waktu lalu, adik saya, Arie Marius Saridin (yang kini tinggal dan bekerja di Labuan Bajo), menulis sebuah komentar di postingan saya di salah satu Group FaceBook Manggarai tentang “Reis, Raes, Ruis, Raos” dalam analisis filsafat sosial ala Pater Florianus Laot OFM. Dalam komentar itu Arie bahkan sempat menguraikan sedikit semacam perluasan ilustratif untuk beberapa aspek dari Reis ini, karena memang ada beberapa jenis reis dalam tradisi Manggarai; dan orang harus secara tepat memakainya pada waktu dan tempatnya. Setelah itu ia lalu memberi informasi bahwa Pater Flori juga mempunyai pandangan tersendiri tentang pendidikan Manggarai yang ia padatkan dalam tiga huruf T berikut ini: Tinu, Toing, Titong.

Serta merta hal itu mengingatkan saya akan catatan saya sendiri dalam Buku Harian (BH) saya mengenai hal yang sama. Saya ingat bahwa ketika menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) di Pagal dulu, saya berusaha memberi kesempatan kepada para pastor tua OFM yang datang ke Pagal untuk mengajarkan apa saja yang mereka miliki kepada para postulan OFM (salah satunya ialah adik saya), agar mereka tidak hanya bertemu dengan magister dan frater toper-nya saja, melainkan juga bertemu dan berkenalan dengan banyak pastor senior lainnya. Sejauh saya tahu hanya P.Flori yang dengan senang hati menerima tantangan dan tugas serta tanggung-jawab itu. Ia beberapa kali memberi kuliah kepada para postulan kami dalam kesempatan kunjungannya ke Pagal. Nah dalam konteks seperti itulah, saya bisa mendengar dari kamar saya yang tidak jauh dari ruang kelas yang sekaligus ruang makan kami, bagaimana ia mengajarkan tidak hanya 4/5R yang sudah saya tuliskan sebelumnya, melainkan juga tentang 3T yang akan segera saya beberkan sekarang dan di sini.

Saya menganggap hal itu sangat menarik dan cemerlang, sehingga tidak lama sesudah kuliah itu saya mengajak dia untuk berdiskusi lebih lanjut tentang ketiga kata itu. Dengan senang hati Pater Flori menyetujuinya dan kami pun berbicara santai di ruang rekreasi komunitas mengenai hal itu. Bagi saya itu adalah semacam kuliah Filsafat Pendidikan dari seorang filsuf Manggarai, sebuah kerangka berpikir filosofis yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah filsafat di STF Driyarkara maupun di Kentungan Yogyakarta. Di sana saya hanya bertemu dan disuguhkan dengan pemikiran filosofis dari para filsuf pendidikan nasional dan internasional seperti Ki Hadjar Dewantara, Sudjatmoko, Mangunwidjaja, Rabindranath Tagore, Paulo Freire, Ivan Illich, Petrarcha, Boccasio, J.J.Rousseau, John Dewey, Leo Tolstoy, Immanuel Kant, St.Agustinus, Boethius, bahkan hingga sampai ke Socrates, Plato, Aristoteles, dll. Nah sekarang, di tanah kelahiran saya sendiri, saya bertemu dengan Sokrates Manggarai, yaitu Pater Flori. Itulah sebabnya saya sama sekali tidak mau melewatkannya atau menyia-nyiakannya. Walau pertemuan itu amat singkat, tetapi hal itu sudah mampu membuka cakrawala pemahaman baru yang amat luas dan mendalam bagi saya akan ke-manggarai-an saya pada umumnya. Itu sebabnya hal itu tetap amat berbekas dalam diri saya hingga sekarang ini sehingga saya dengan mudah dapat menuliskannya kembali sekarang dan di sini. Itulah yang akan saya bentangkan dalam tulisan ini selanjutnya.

Pater Flori Laot OFM ternyata mempunyai pandangan tersendiri tentang Filsafat Pendidikan Orang Manggarai. Ia mencoba memadatkan visi Filsafat Pendidikan itu dalam tiga huruf T yaitu Tinu, Toing, Titong. Menurut Pater Flori, seluruh pandangan filosofis orang Manggarai tentang dasar dan arah pendidikan terpadatkan dalam tiga huruf T suci dan mulia tersebut. Dan ketiga huruf suci itu sudah berlangsung sejak sangat dini dalam kehidupan seorang anak manusia Manggarai.

TINU
Mari kita mulai dengan melihat kata pertama yaitu, Tinu. Apa arti kata Tinu ini? Tinu pada dasarnya berarti memelihara, merawat, menjaga agar sesuatu bisa hidup dengan baik dan pada suatu saat kelak bisa membuahkan hasil yang melimpah dan yang mengarah kepada hidup yang baru. Dalam kata Tinu ini tercakup segala aspek per-hati-an dan pemeliharaan yang memungkinkan hidup dapat berkembang mekar dan menjadi lebih hidup. Tinu tentu pertama-tama sekali menyangkut kebutuhan jasmani, seperti halnya makanan, minuman, sandang, dan papan. Tetapi kiranya tidak hanya terbatas di situ saja.

Kata Tinu itu pasti juga mencakup tata perilaku dan tutur kata yang sopan. Misalnya seorang anak Manggarai harus tahu kebudayaan reis dengan pelbagai macam variasinya dan tahu juga cara pemakaiannya yang tepat. Atau contoh lain: Ada perbedaan yang sangat besar antara jawaban Io dan Eng dalam bahasa dan adat istiadat Manggarai. Seorang anak Manggarai harus juga tahu akan perbedaan itu. Io adalah jawaban sopan dari anak-anak (anak) kepada orang tua dan yang dituakan, yang lebih tua usianya. Eng adalah jawaban terhadap orang yang masih kurang lebih seusia atau lebih muda. Juga ada perbedaan besar antara pemakaian hau dan ite. Orang tua harus mengajarkan hal-hal seperti itu kepada anak-anaknya; sebab pada akhirnya Tinu adalah kewajiban moral-sosial orang tua terhadap anak, sekaligus juga terhadap masyarakat, dan terhadap masa depan. Orang tua tidak boleh melalaikan tugas dan tanggung-jawab itu. Tinu, singkatnya berarti mengupayakan dan menginginkan apa yang terbaik untuk anak dan masa depannya, sebab mereka, kata Kahlil Gibran dalam buku Sang Nabi-nya yang terkenal itu, adalah penghuni rumah masa depan.

TOING
Sekarang saya mau masuk ke pembahasan kata yang kedua, yaitu kata Toing. Kata ini berasal dari kata dasar (kata kerja, atau kata tugas) toi, yang berarti memberitahu, to in-form (dengan sengaja saya menulisnya dengan cara seperti itu untuk menekankan kata form itu, bentuk, membentuk, memberi bentuk). Toing adalah kata benda, yaitu pemberitahuan, in-formation. Saya melihat ada kaitan yang sangat erat antara kata Toi ini dan kata To’o, yang berarti bangun, tersadar dari tidur yang lelap. Kaitan fonetis itu dengan sengaja saya angkat dan tampilkan di sini sebab memang hasil utama dari Toi(ng) ialah To’o, terbangun, keadaan sadar dari situasi keterlelapan, lalu mulai bangun menyongsong fajar pengetahuan dan keinsyafan. Dengan kata lain, ini berarti tumbuhnya satu kesadaran baru, munculnya sebuah entitas baru. Dalam filsafat pendidikan Paulo Freire hal ini disebut conscientisation (yang selalu diterjemahkan dengan penyadaran). Singkatnya Toi(ng) berefek To’o. Kalau toi(ng) tidak berefek to’o maka toing itu sudah gagal total.

Dalam kerangka toing inilah kita memerlukan toming, contoh, atau keteladanan hidup. Toing sangat membutuhkan toming. Tidak bisa tidak. Itu sebuah conditio sine qua non. Mutlak tidak terhindarkan. Sebuah pepatah klasik Latin dengan sangat baik mengilustrasikan kebenaran abadi yang terkandung dalam pandangan sederhana ini. Bunyinya: verba vollant, exempla trahunt. Artinya, kata-kata bisa hilang lenyap (terbang), tetapi teladan akan selalu menarik. Toing yang efektif hanya mungkin dengan toming yang terpuji. Menarik bahwa toming dibentangkan di hadapan anak-anak agar mereka menirunya, tunti. Proses belajar ialah proses tunti, proses meniru yang baik. Seorang anak didik harus tunti sebuah toming yang bagus agar proses toing-nya dia mencapai hasilnya yang baik. Itu sebabnya, kata murid dalam bahasa Manggarai diterjemahkan dengan kata ata nungku, yaitu orang yang mau belajar, belajar meniru, nungku te tunti toming ata di’a.

Sedemikian pentingnya kata toming ini, sehingga kata itu dipakai dalam buku Dere Serani sebagai bagian utuh dari sebuah lagu untuk memuji Bunda Maria: Sangged toming reme mose. Tanpa toming (keteladanan) unggul, maka toing tidak akan bisa mencapai hasil yang baik. Jelas ini adalah sebuah prioritas perbuatan di atas kata-kata. Tentu paling baik jika keduanya (perbuatan dan kata-kata, toming dan toing) bisa sejalan satu sama lain, sehingga yang satu mendukung yang lain. Tetapi faktanya tidak selalu berjalan dalam tataran ideal seperti itu. Jika harus memilih, maka orang lebih suka memilih untuk mengunggulkan toming di atas toing. Itulah yang saya sebut the primacy of toming over the toing. Maka benarlah jika dikatakan: Toing le toming; mengajar dengan teladan, dengan perbuatan yang baik, yang patut diteladani. Itulah yang paling efektif, paling berdaya ubah.

TITONG
Sekarang saya menguraikan huruf T ketiga yaitu kata titong. Apa artinya? Sesungguhnya tidak mudah untuk mengartikan kata Titong ini. Tetapi untuk sementara sebagai titik awal refleksi ini, saya mulai dengan arti sederhana saja, yaitu menjaga, melindungi, dari sesuatu yang negatif atau dari orang-orang yang jahat. Di sini saya tiba-tiba teringat bahwa salah satu tugas sang Hikmat dalam kitab Amsal ialah memberi pendidikan dan hikmat terhadap kaum muda agar terluput dari bahaya teman yang jahat, bahaya kemalasan, dan bahaya perempuan jalang (bahkan terjemahan LAI menyebut, isteri orang). Dalam buku lagu Dere Serani kita mengharapkan Titong ini dari Bunda Maria; di sana kita bernyanyi demikian: Candang lime titong mose, Ende cembes sembeng ga.

Untuk mempertegas atau mempertajam arti Titong ini, ada baiknya saya mengangkat sebuah kata yang lain sebagai alat bantu hermeneutik untuk memahami lebih baik kata Titong ini; dan kata alat bantu itu ialah kata Tatong. Apa ini? Arti dasariahnya ialah godaan atau pencobaan. Tatong de Jing da’at: Godaan si Jahat. Atau contoh bentuk pemakaian yang lain. Tatong le Jing da’at: Digoda oleh si Jahat. Titong dan toing selalu dikaitkan dengan sesuatu yang positif, dan juga dengan Bunda Maria. Sebaliknya Tatong itu terutama sekali dikaitkan dengan setan, Iblis, lucifer. Titong membawa kita ke surga, sementara tatong mencemplungkan kita justru ke neraka. Di sini saya tiba-tiba teringat akan sebuah doa dalam bahasa Manggarai dulu yang sering sekali dipakai dalam ibadat hari Minggu jika tidak ada pastor sebagai pemimpin ibadat: salang ngger eta surga salang tuke ngampang kanang, salang ngger wa api naraka salang bea kanang.

Dalam hidup manusia di dunia ini ada banyak tatong. Tatong itu mempunyai banyak bentuk atau wujudnya. Misalnya saja Tatong dalam bentuk keinginan untuk tako, untuk ngoeng ata, te nggopet, te humer nai te tako ceca data, te paki ata, dst. Nah Titong terutama sekali dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi orang dari Tatong itu. Dan itu semua adalah tugas dan tanggung-jawab orang tua, para penatua, para pendidik, para pemimpin terhadap anak-anak atau generasi muda mereka. Tanpa titong orang mudah jatuh ke dalam tatong, apalagi jika tidak kuat menahan godaan, alias eme toe ta’ong. Titong dimaksudkan untuk te ta’ang tatong agu damang. Jadi, di sini ada permainan kata-kata lagi sesungguhnya: antara Titong,Tatong, ta’ong.

Sedikit lagi catatan tentang ungkapan Teing Tinu. Kini ungkapan ini mengalami kemerosotan atau pemerosotan makna, yaitu dipahami sebagai upacara setengah suci yang merupakan sebuah perwujudan kewajiban moral-sosial dari pihak anak terhadap orang tua, untuk memelihara orang tua itu di masa tuanya dalam hidup di dunia ini. Kita mendengar perintah agung: Hiang ga ende agu emam kudut lewe mosem one lino hoo. Itu bunyi perintah yang keempat dalam Sepuluh Perenta Allah. Tetapi dalam prakteknya orang baru memberi ela atau manuk atau mbe teing tinu itu justru pada saat orang tua itu sudah sakit-sakitan dan bahkan mungkin sudah hampir mati juga, dan tidak bisa lagi menikmati makanan dengan sangat baik.

Dalam pandangan dan pemahaman saya teing tinu pada awalnya ialah sebuah kewajiban orang tua kepada anak untuk membesarkan dan menghidupkan anak. Jika ini gagal, maka yang muncul ialah teing toni, yang berarti mengandung penolakan, dan bahkan penghinaan. Teing toni ini adalah sebuah bentuk penghinaan yang amat menyakitkan dalam konteks pemahaman orang Manggarai. Itu sebabnya jika ada orang yang duduk membelakangi orang lain, orang itu harus terlebih dahulu meminta maaf terhadap orang yang dibelakanginya. Sebab teing toni dianggap tidak sopan sebagai perilaku sosial di ruang publik. Perbuatan teing tinu sesungguhnya sangat agung dan mulia. Gagal teing tinu pasti akan bermuara pada teing toni; dalam konteks ini hal itu berarti putus relasi, atau dalam bahasa Manggarai terungkap dalam dua kata sbb: bike (yang artinya pecah atau retak), bete (yang artinya putus, tidak bisa disambung kembali). Jika ini yang terjadi, maka idelisme tradisional “muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng jaong” menjadi kehilangan makna sama sekali karena orang tidak mudah dan bahkan mungkin tidak mau menjalankannya lagi. Ia sekadar menjadi sebuah nilai yang terasing belaka.

Yogya, 05 Juni 2011 (Diketik ulang sambil diperluas dan diperbaiki, Yogya, 22 Agustus 2011).

Minggu, 21 Agustus 2011

BENGGONG MBERE LELE BENGGONG

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul yang tertera di atas adalah judul sebuah lagu rakyat Manggarai yang terkenal. Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara promosi pariwisata Komodo oleh Kemenbudpar di Denpasar Bali, seorang penyanyi asal Manggarai, Ivan Nestorman, menyanyikan lagu Benggong ini di Televisi, tepatnya di Metrotv. Saya merasa senang dan bangga juga menonton dan mendengarnya; sebuah aransemen baru hasil karya Dwiki Darmawan. Saya senang dan bangga sebab akhirnya lagu rakyat itu terdengar atau diperdengarkan juga melalui media televisi nasional. Luar biasa. Sebuah loncatan dialektis-historis yang sungguh mengagumkan. Tidak lama sesudah itu muncul perbincangan dan pertanyaan di beberapa group lawa Manggarai tentang makna atau arti lagu itu. Ada yang mengaku bingung dan tidak tahu makna lagu itu. Atau apa konteks historis sosio-kultural lagu itu. Sejenak sebelum menyanyikan lagu itu, Ivan Nestorman sedikit memberi kata pengantar yang kurang lebih mengatakan bahwa lagu ini adalah lagu perpisahan ketika seorang anak pergi jauh untuk merantau. Saya tidak seluruhnya sependapat dengan anggapan atau pandangan seperti itu.

Ketika membaca semua kesaksian mengenai ketidak-tahuan dan kebingungan itu, saya tiba-tiba teringat akan catatan saya beberapa waktu sebelumnya yang mencoba merekam kembali sebuah endapan diskusi di masa silam dengan seorang tokoh pencinta dan penafsir kebudayaan Manggarai, yaitu Pater Florianus Laot OFM. Pada kesempatan ini saya hanya mau mengangkat kembali catatan singkat dan sederhana itu di sini untuk disumbangkan sebagai sumbangan pemikiran bagi kita semua dalam rangka memahami dan mendalami khasanah kebudayaan Manggarai dan kemanggaraian kita, akan warisan historis Manggarai tercinta. Saya mencatat goresan itu dalam buku harian saya; di sana saya kurang lebih menulis sebagai berikut:

Hari ini, 17 Juni 2011 saya tiba-tiba teringat akan diskusi saya dengan Pater Flori Laot OFM beberapa tahun silam di Pagal, Manggarai, Flores, ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral di sana tahun 1987-1988. Saya masih ingat dengan sangat baik bahwa pokok diskusi kami salah satunya ialah mengenai lagu rakyat Manggarai yang judulnya ialah Benggong. Dalam diskusi itu kami mencoba menjawab sebuah pertanyaan pokok ini: apa arti lagu itu? Apa konteks sosio-historis kultural lagu itu? Dari diskusi itu kemudian muncul dua hipotesis tentang makna lagu itu. Tulisan ini selanjutnya hanya mencoba mengulas kedua hipotesis tersebut.

Tetapi sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya saya kutip dulu di sini lagu itu selengkapnya sebagaimana saya menghafalnya sejak kecil (walau saya tahu bahwa sudah ada beberapa arransemen lagu itu; misalnya dalam bentuk Paduan Suara saya temukan sebuah arransemen di Seminari Kisol dulu; kami sering nyanyikan lagu itu dengan pendahuluan suara Solo dari Berti Fernandes dan kemudian John Sabinus Ongko; yang terakhir kita dengar di televisi kemarin adalah hasil arransemen Dwiki Darmawan). Beginilah bunyi lagu itu:

Benggong / mbere lele benggong / hostiga benggong / rangkang lada benggong / lako ko toe hi nana lupi nanga / ho haes teku wae / betong benggong banggong. / Rasung wa rasung wa / toe ita ende go ema go / betong benggong banggong.

Kembali ke kedua hipotesis yang saya sebutkan di atas. Pertama, hipotesis onomatopisasi bunyi. Kedua, hipotesis penelusuran etimologis untuk mencapai dan merekonstruksi makna. Saya sendiri pada saat diskusi itu ada pada kubu yang pertama. Bahkan saya berani mengatakan bahwa sayalah yang mengajukan hipotesis pertama ini. Sedangkan P.Flori ada pada kubu kedua. Tegasnya, dialah yang mengajukan hipotesis kedua ini. Beginilah alur argumentasi yang pertama.

Untuk kepentingan hipotesis onomatopisasi ini saya mengusulkan cara penulisan yang sedikit lain terhadap lagu di atas tadi. Saya mengusulkan cara penulisan seperti berikut ini.
Benggongmberelelebenggong
hostigabenggong
rangkangladabenggong
lakokotoehinanalupinanga
hohaestekuwae
betongbenggongbanggong.
Rasungwarasungwa
toeitaendegoemago
betongbenggongbanggong.


Saya mengusulkan cara penulisan seperti itu karena bagi saya Lagu Benggong itu sebenarnya hanya merupakan sebuah onomatopisasi bunyi pukulan gong dan gendang. Cara penggalan di atas menggambarkan satuan bunyi gong dan gendang. Ingat bahwa kata Benggong itu pasti ada kaitan yang sangat erat secara fonetis dengan kata Nggong (Gong) dalam untaian kata-kata lagu itu. Itulah inti hipotesisnya. Jadi, syair lagu itu bagi saya bukanlah kata-kata biasa sebagaimana yang biasa kita dengar dan pahami dalam hidup dan pemakaian sehari-hari.

Salah satu bunyi paling dasar yang berulang-ulang (semacam bunyi refrein) ialah Benggong-betong-benggong. Kita sering mendengar onomatope seperti itu untuk bunyi gong. Memang ada bunyi pukulan gong (bolo nggong) yang dionomatopisasi dengan frasa benggong-betong-benggong itu. Di tengah bunyi utama benggong-betong-benggong itu muncul onomatope-onomatope lain: misalnya onomatope bunyi pukulan gendang (yang biasa sekali dimainkan bersama gong) mberelele (tidak perlu bahwa kata mberelele itu sama dengan kata lele mbere dalam hidup dan pemakaian sehari-hari), melainkan itu hanya tiruan bunyi dari bunyi gaya pukulan gendang atau pun tambur.

Selanjutnya ada onomatope hostiga yang dalam pemahaman saya adalah onomatope bunyi gendang yang lebih kecil. Lalu ada Rangkanglada; ini juga adalah onomatope bunyi pukulan gendang. Begitu juga frasa lakokoteohinanalupinanga. Ini juga adalah onomatope bunyi pukulan gendang. Begitu juga frasa Hohaestekuwaebetongbenggong. Ini juga adalah onomatope. Begitu juga dengan penggalan terakhir: rasungwarasungwa/ toeitaendegoemago/ betongbenggongbanggong. Ini juga merupakan contoh onomatope lebih lanjut. Jadi, bagi saya lagu itu hanya onomatope yang di sana-sini secara kebetulan sesuai dengan satu kata tertentu, misalnya betong, tetapi sesungguhnya ia hanya tiruan bunyi dalam bentuk kata saja, onomatope. Dalam konteks pemahaman dan tafsir seperti ini, kata benggong sendiri tidak mempunyai arti sama sekali.

Jadi, bagi saya seluruh lagu itu adalah kata-kata yang terbentuk dari tiruan bunyi; itu sebabnya ada kata-kata yang tidak punya arti yang jelas dalam bahasa sehari-hari. Begitulah misalnya kata hostiga, atau benggong-banggong. Itu hanya onomatope. Kata-kata onomatope itu hanya punya status fungsional yaitu untuk melatihkan gaya pukulan gong dan gendang tertentu kepada anak atau generasi muda. Sebagai contoh saya memberi cara pelatihan drumband di Seminari Kisol dulu. Tiap bunyi pukulan diberi satu simbol. Dengan cara itu bunyi tersebut bisa dilatihkan kepada orang lain. Itu metode yang sangat biasa dalam pelbagai tradisi kebudayaan.

Pater Flori untuk sebagian dapat menerima hipotesis saya, tetapi kemudian ia mengajukan catatan kritis dan keberatan. Katanya: Jika lagu ini seluruhnya adalah sekadar onomatope, bagaimana kita dapat menjelaskan kata-kata yang memang jelas artinya dalam lagu tersebut; misalnya kata-kata seperti mbere, lele, betong, lako, nana,lupi, nanga, teku, wae, rasung, ende, ema, toe ita. Sejenak saya tertegun dengan argumen kontra ini, tetapi kemudian saya mengatakan bahwa kata-kata yang jelas artinya itu dipakai sekadar sebagai pelancar fungsional fonetis belaka dalam untaian bunyi onomatope itu, sebab mereka sama sekali tidak sambung menyambung dalam rangka membangun satu kompleksitas makna yang utuh dan terpadu. Tetapi argumen ini tetap tidak dapat diterima oleh P.Flori.

Karena itu, ia pun mengajukan hipotesisnya sendiri tentang makna lagu tersebut. Hipotesis itu berupa sebuah penelusuran etimologis. Atas dasar penelusuran etimologis itu P.Flori berkesimpulan bahwa lagu ini sebenarnya erat terkait dengan sejarah drama tragis perbudakan Manggarai abad 19 dan awal abad 20. Lagu itu muncul dalam konteks sejarah perbudakan tersebut. Tetapi selanjutnya menurut P.Flori, lagu itu sudah mengalami proses erosi sejarah dan karena itu mengalami kekaburan makna karena kekaburan etimologinya. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan upaya penelusuran etimologis itu. Beginilah garis besar penelusuran etimologis yang dilakukan P.Flori.

Menurut dia kata Benggong sebenarnya berasal dari kata dasar atau frasa Bengt go, yang artinya “sekarang kita akan segera berpisah” atau “Baiklah kita berpisah.” Tetapi mengapa berpisah? Itu karena “kamu akan mendapat tugas baru,” yaitu menjadi “ata lele mbere,” menjadi tukang pikul tas orang lain. Dengan kata lain, sekarang ia akan menjadi budak, menjadi pesuruh, menjadi “ata pola mendo,” “jiri ata taki mendi laing.” Peristiwa perpisahan itu akan terjadi segera karena kini ada upacara penyerahan budak-budak itu kepada para pengumpul budak: hal itu terungkap dalam kata hostiga. Menurut P.Flori kata hostiga itu berasal dari frasa Ho’os teid ga, yang artinya “sekarang ini mereka akan segera diserahkan.” Lalu ada ungkapan Rangkang lada: P.Flori melewatkan frasa ini. Ia tidak bisa menjelaskannya. Tetapi mengikuti hipotesis dia, saya memahami frasa ini sebagai sebuah metafor yang mempunyai dua makna. Pertama, jumlah mereka (para budak) itu ada banyak sebanyak bunga lada yang sedang mekar (rangkang). Kedua, peristiwa perpisahan itu terjadi pada musim bunga lada mekar, dan itu artinya sekitar bulan Juli-Agustus; memang konon itulah bulan yang menjadi saat pengumpulan upeti dulu (uang, madu, hasil bumi, barang dagang, lilin, dan termasuk para budak). P.Flori juga melewatkan begitu saja ungkapan lako ko toe hi nana lupi nanga. Ia tidak dapat menjelaskan arti ungkapan ini. Karena itu, sekali lagi, bagi saya bunyi ini justru semakin memperkuat teori onomatope saya di atas tadi. Lalu ada ungkapan Ho haes teku wae: Artinya “Inilah teman bagi kalian sebagai teman/pengiring untuk pergi menimba air.” Itu salah satu tugas pada budak, orang suruhan.

Akibat perpisahan karena nasib menjadi budak tadi, mereka (para budak) tidak dapat lagi melihat ibu dan ayah mereka untuk selama-lamanya. Itulah tatapan dan perjumpaan mereka yang terakhir. Setelah itu putus hubungan dan tidak ada lagi kontak sama sekali. Sebuah nasib yang amat menyedihkan. Tragis sekali. (NB: Ketika menulis bagian ini, saya teringat akan gambar-gambar dari museum sejarah perbudakan yang melukiskan dan merekam tatapan sedih para budak Negro dari Afrika yang dibawa oleh saudagar Belanda, setelah sebelumnya mereka ambil dari kandang-kandang yang dibangun oleh para haji di Afrika, untuk dibawa ke kawasan Karibia untuk digemukkan di sana, lalu setelah gemuk, sehat, dan kuat dijual ke perkebunan kapas dan tebu di Amerika Serikat bagian Selatan, yang sangat membutuhkan tenaga mereka). Itulah sebabnya pengalaman itu dianggap amat mencelakakan, dianggap peristiwa yang mengandung racun mematikan, karena membuat suram masa silam sekaligus masa depan. Hal itulah yang terungkap dalam frasa rasung wa, rasung wa. Ya peristiwa perpisahan itu adalah peristiwa fatal yang terjadi secara tiba-tiba begitu saja di depan mata mereka, tanpa bisa terhindarkan atau dielakkan. Dan itu memutus mata rantai relasi mereka secara total. Memang begitulah nasib tragis para budak: sejak mereka dijual menjadi budak, mereka dicabut secara total dari relasi sosial biologis dan kultural mereka. Dengan itu mereka kehilangan identitas sosial dan kultural. Hal itu tentu menyedihkan bagi manusia sebagai makhluk sosio-kultural.

Sesungguhnya saat diskusi itu kami tidak dapat mencapai kata sepakat sama sekali mengenai penafsiran atas lagu tradisional Benggong ini. Tetapi kami tidak ngotot mempertahankan pendapat kami masing-masing. Mungkin karena kami sadar kami sedang berurusan dengan masa silam yang serba kelam. Selanjutnya dalam refleksi pribadi saya cenderung untuk tidak memilih salah satu hipotesis sebagai kebenaran. Saya cenderung untuk tetap mengakomodasi kedua penjelasan dan penafsiran itu karena saya beranggapan dan berkeyakinan bahwa kedua pendekatan itu pasti bisa dipakai dan berguna untuk memaknai dan menafsirkan kembali lagu klasik Manggarai ini. Saya berharap agar di masa depan hipotesis ini bisa ditingkatkan menjadi sebuah tesis, kalau boleh bisa menjadi sebuah teori sosial yang pasti. Saya berharap generasi muda Manggarai, dengan bekal hermeneutik yang lebih baik dari saya sekarang, bisa melakukan hal itu dengan lebih baik.

Bandung, 17-18 Juni 2011.
Diketik ulang dari Buku Catatan Harianku seraya diperluas 21 Agustus 2011.

Senin, 01 Agustus 2011

REIS, RUIS, RAES, RAOS....

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hari ini, 25 April 2011, saya tiba-tiba teringat akan sebuah dialog ringan antara saya dan Pater Flori Laot OFM, beberapa puluh tahun lalu ketika saya sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di postulan OFM di Pagal, Manggarai, Flores. Seperti biasa beliau selalu muncul dengan beragam pikiran yang segar dan tajam, bahkan cenderung aneh-aneh, dan mengejutkan. Tetapi suatu kali ia tampak serius dan tampil sebagai filsuf Manggarai, yah sebab di mata saya ia adalah sosok Socrates Manggarai. Pada saat itu saya sangat ingat ia berbicara tentang substansi relasi intersubjektifias menurut paham dan pandangan orang Manggarai. Betapa saya sangat terkejut karena menurut beliau inti pokok Filsafat Manusia Manggarai sesungguhnya hanya berkisar di sekitar beberapa kata-kata kunci sbb: Reis, Ruis,Raes, Raos. Juga dengan urutan seperti itu, karena menurut Pater Flori, urutan itu tidak boleh dibalik, tidak bisa dibalik; hanya urutan itu saja yang mempunyai makna filosofis, katanya.

Sejenak setelah mengucapkan inti pokok filsafat manusia itu, seperti biasa Pater Flori berdiam diri sejenak. Dan hal itu sudah menjadi semacam kebiasaan dia di dalam metode pengajarannya. Diam untuk memancing dialog dan pertanyaan kritis entah itu terucapkan dalam kata-kata ataupun sekadar tampak melalui expresi wajah. Saat itu saya memilih diam dan hanya menampakkan pertanyaan saya lewat ekspresi wajah saya. Rupanya setelah melihat dan mendengar rasa penasaranku, Pater Flori lalu mulai menjelaskan pandangan filosofisnya dengan berangkat dari sebuah analisis semantik atas kata-kata yang sudah disebutkannya di atas tadi.

Menurut dia, keinginan manusia Manggarai untuk membangun relasi dan komunikasi terungkap secara paling mendasar dalam kata Reis. Tentu saja kata reis ini berakar pada akar kata rei yang arti leksikalnya ialah bertanya, menanyakan. Tetapi seperti yang kita lihat di sini, kata dasar rei itu diberi imbuhan akhir berupa huruf s sehingga kata dasar rei itu lalu berubah menjadi reis. Penambahan imbuhan akhir itu menyebabkan terjadi transformasi makna semantik atas kata rei itu dan sekarang dalam bentuk reis ia mempunyai arti menyapa orang lain (menyapa sesama) dengan penuh keramah-tamahan, dengan kelemah-lembutan, dan dengan memakai tutur kata yang halus, sopan, dan serba terpilih. Lalu di sana, setelah ada peristiwa reis, atau berkat reis itu, pihak yang di-reis akan membuka diri dengan senyum ramah dan tutur kata yang halus dan sopan, menjawab atau menanggapi reis itu dengan wale. Lalu di sana secara otomatis akan terbangun sebuah relasi, terbangun sebuah komunitas, komunitas wacana, community of discourse, meminjam istilah dari filsuf Jerman Juergen Habermas. Setiap kali ada tamu yang bertandang ke rumah orang Manggarai, maka tamu itu akan terlebih dahulu disapa dengan reis. Semua urusan lain datang belakangan sesudah reis itu. Reis itu menandakan bahwa si tamu yang datang bertandang itu sudah diterima di rumah itu, bahkan diterima dalam hati si tuan rumah. Tidak hanya di rumah. Bertemu di jalan juga selalu diawali dengan reis, dan dengan reis itu maka suasana pun lalu menjadi cair, akrab, dekat, dari hati ke hati. Betapa ada mukjizat kata-kata yang terucap di sana. Reis menjadi sebuah peristiwa mukjizat. Mukjizat relasi, mukjizat komunikasi dalam kata-kata, relasi verbal. Sebab menurut Yohanes, pada awal mula adalah kata, en arche en ho logos.

Buah hasil dari saling keterbukaan yang diawali dengan peristiwa dan mukjizat reis itu, muncullah sebuah suasana dan mukjizat kedua yang terungkap dalam kata kedua dalam daftar di atas tadi, Ruis. Ruis sendiri pada dasarnya berarti dekat, kedekatan, keakraban, hospitalitas, keramah-tamahan. Berkat ruis ini, dia yang tadinya adalah orang asing, orang luar, orang jauh, kini menjadi orang yang dekat, orang dalam, sanak saudara, teman ataupun sahabat, menjadi saudara (menarik untuk diperhatikan di sini bahwa konon secara etimologis kata saudara berarti satu perut, satu rahim, sa-udara). Begitulah kira-kira filsafat heterology dari Michel de Certeau dalam projek heterologinya itu yang juga sangat dipengaruhi oleh Emanuel Levinas (terutama terkenal dengan proyek “yang lain”nya yang kehadirannya menantang kita secara etis) dan Pierre Bourdieu yang terkenal dengan konsep habitus-nya itu. Dalam konteks ini terbangunkan sebuah solidaritas, sebuah belarasa, sebuah perkumpulan yang ditandai oleh kedekatan. Di sana apa yang tadinya asing lalu menjadi akrab, apa yang tadinya jauh lalu menjadi dekat, semua lalu menjadi saudara, satu rahim, satu perut.

Dalam pemikiran pater Flori, hal itu tidak hanya berhenti di ruis saja. Jika ruis sudah terbangun, maka secara otomatis akan muncul juga sebuah keinginan yang lain yaitu keinginan untuk raes. Kata raes ini pada dasarnya mempunyai arti menemani, menyertai, to accompany. Orang mau menemani karena orang sudah merasa akrab, dekat. Kedekatan itu menciptakan suasana dan rasa aman, feeling secure, security. Rasa aman itulah yang pada gilirannya mendorong dan menggerakkan orang untuk mau menemani, raes, to accompany. Tanpa perasaan ruis itu tidak mungkin muncul keinginan dan kerela-sediaan untuk raes. Ruis menjadi prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi raes. Tanpa ruis tidak akan muncul perasaan dan keinginan raes. Itu sebabnya, jika setelah terciptanya ruis, dan orang tidak ada waktu untuk raes, maka orang itu akan memohon ijin dengan penuh kesopanan agar dimaafkan karena tidak bisa terus dalam raes itu.

Lalu di akhir semuanya itu, muncullah raos. Apa arti kata raos ini? Kata Raos ini pada dasarnya berarti suasana keramaian karena keramah-tamahan. Raos itu sendiri memang berarti ramai, tetapi keramaian ini bukanlah sebuah keramaian yang terjadi karena ribut gaduh, seperti keramaian di pasar, suasana crowded, melainkan keramaian yang terbangun dari dan karena rasa kedekatan, keakraban, yang tercipta karena hospitalitas. Jadi semua alur itu bermuara pada keramaian karena keramahan, pada raos. Apa yang dimulai pada reis, lalu terus ke ruis, lalu terus ke raes, akhirnya bermuara pada raos.

Rupanya uraian filosofis pater Flori tidak hanya berhenti di situ saja. Sebab ia masih melanjutkan penuturannya dengan menerapkan filsafat kata-kata itu ke relasi personal. Menurut beliau, pada tingkat relasi personal suasana raos ini akan bermuara pada rao, yang artinya memeluk erat, dan rao (atau nggao) itu tidak lain adalah tanda cinta, tanda keakraban, tanda saling berbagi, saling berbuka, tanda menjadi satu tubuh, menjadi satu daging. Lalu dari persatuan personal, persatuan tubuh itu muncul hidup dan ada baru, dan hidup serta ada yang baru itu akan melanjutkan denyut kehidupan dan ada ke masa yang akan datang.

Ditulis kembali dan dikembangkan (dengan kata-kata saya sendiri)
02 Agustus 2011.

Minggu, 24 Juli 2011

THE PHENOMENON OF "REWUNG TAKI TANA"

By: Fransiskus Borgias M.

Today (31 May 2011) I remember one of linguistic expressions in Manggarain Language. This linguistic expression is Rewung taki tana. It is not so easy actually to translate it into English. But let me try: Rewung means cloud; taki tana means touch until to the ground. So literaly it means the cloud that touches until to the ground. This expression is of course closely related to the natural phenomenon of Manggarai, because Manggarai in its mountain areas are full of cloudy day, especially during June until September. But this natural-linguistic expression was used in Poem, in traditional songs. I heard it for the first time in my childhood. This expression was used by a certain Manggarain traditional singer, Makarius Arus from Rentung (Maras, near Cancar) in his song with the title Rewung taki tana. It is interesting that Makarius Arus is actually a blind man; as such he cannot see the beauty of natural, or mountains, or sun, or tress. He cannot enjoy the beauty and the wonder of nature. But he uses the beauty of natural phenomenon in his songs. He uses this beauty of nature to express the cosmic melancholy of human mind. This is one of the mistery of Makarius; he is actually blind but he can “see”; it is something paradoxical. This mystery makes me confused since my childhood, because the song of Makarius was popular in the 70s, with his unique guitar style. Maybe that is the Manggarain guitar style.

Now I go back to the natural phenomenon of Rewung taki tana. It usually happens during the dry season in June to August or September, every year. When this natural phenomenon comes, our sight was very limited; maybe not more than three meters. In my childhood, this period was considered very dangerous because it is said and even believed that at that time empo degong make their activities. Who are they? According to the story they are the head hunters. Usually they are escorted by ata Karong, the guide. Usually ata karong is a local people. So According to my mother this rewung taki tana period was a critical and dangerous time; thus came the prohibitation: neka lako mane rantang cumang pake, toe pake bon pake mpareng. Usually my mom prohibited us to go outside of house in this time. But according to me precisely this is the good opportunity for the theft to take whatever they want from others, because every people are in their own houses. My other analysis is that this old story of Empo Degong was a story of the period of slave hunters in the past history of Manggarai. In that period the slave traders usually catch their victims in this kind of time. From the other source I know that in the time of war, rewung taki tana was used as a strategy and camouflage. In the war between Todo against Cibal in Benteng Weol, the panglima of Todo disguised himself as a lady of Todo and coming or approaching benteng Weol during the time of rewung taki tana. Yes rewung Golo Nawang is very wellknown and also Rewung in sawah Cancar.

At the beginning of this month I have also made a notes on Rewung Taki Tana in Indonesian language. I include also this note here. Rewung taki tana adalah gejala alam pada bulan Juni sampai September di daerah pegunungan di Manggarai. Pada bulan-bulan itu pada sore hari, awan akan datang (rewung) menyelimuti gunung, lembah, kampung, dan bahkan rumah-rumah, sampai ke tanah (taki tana). Akibat peristiwa alam ini, maka daya jangkau pandangan mata kita menjadi sangat terbatas. Kita tidak dapat melihat jauh, tidak dapat menembus awan-awan tebal. Biasanya peristiwa rewung taki tana itu dipakai oleh para pencuri untuk melakukan aksinya, mencuri dan menjarah hasil bumi di kebun orang lain; bahkan termasuk mencuri ternak peliharaan. Ada mitos menakutkan: ada empo degong, ata karong; anak-anak tidak boleh main jauh dari rumah; bahkan tidak boleh keluar rumah sama sekali. Fenomena rewung taki tana ini dulu juga dikaitkan dengan salah satu periode tragis dalam sejarah Manggarai, yaitu penculikan manusia dalam rangka perdagangan budak (wendo ata te taki mendi laing).

Dalam bukunya, Historiografi Manggarai, Dami N.Toda, melukiskan salah satu periode perang Cibal melawan Todo; Cibal saat itu bertahan di benteng Weol di dekat Cancar; mereka sulit sekali diserang dan ditaklukkan. Akhirnya Todo melakukan tipu muslihat; dengan memakai rewung taki tana golo nawang panglima perang Todo menyamar sebagai perempuan cantik. Benteng Weol pun lalu dibuka karena yang datang adalah perempuan; ternyata itu hanya samaran. Weol dihancurkan dari dalam oleh Todo. Kira-kira mirip dengan tragedi Troya.

Beberapa waktu lalu ada orang di Face Book (saya lupa namanya) memberitakan wafatnya Bapa Makarius Arus. Ia seorang penyanyi buta dan gitaris dari Rentung or Maras. Ialah yang dalam salah satu lagunya mempopulerkan fenomena alam rewung taki tana ini. Dan ini sangat menarik, karena walau ia buta toh ia nyanyi dengan syair lagu yang mengangkat fenomena alam, rewung taki tana. Alam yang melankolik, melankolik kosmik. Sampai saat ini saya tetap masih bertanya, bagaimana hal ini mungkin terjadi? Mungkin Makarius itu seperti Fransiskus dari Asisi, yang buta tetapi menulis sebuah puisi kosmik yang indah dengan judul Gita Sang Surya itu. Tetapi dalam hal Fransiskus, ia buta belakangan; jadi, ia pernah bisa melihat. Itu sebabnya Fransiskus bisa memuja alam dalam puisinya, walau ia menulis puisi itu ketika sudah tidak bisa lagimelihat. Apakah Makarius juga seperti itu atau begitu? Walahualam. Hal ini harus ditanyakan kepada keluarganya sendiri.

Yogyakarta, Lempong Lor 25 Juli 2011

Senin, 18 Juli 2011

MENIKMATI DERAP PEMBANGUNAN LABUAN BAJO: SEBUAH CATATAN PERJALANAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
CATATAN:
INI CATATAN PERJALANAN DARI BEBERAPA TAHUN SILAM YG SAYA AMBIL DARI BUKU HARIAN SAYA. DIBUANG SAYANG. LEBIH BAIK DISHARING-KAN DI SINI. SEMOGA ADA GUNANYA.


Rabu 4 Juli 2007 silam, saya terbang dari Denpasar ke Bandara Komodo, Labuan Bajo (LB), dengan Indonesian Air Transport. Ketika akan mendarat di LB, pesawat menurunkan ketinggian jelajah dan terbang rendah. Saat itu saya bisa menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau kecil yang indah di sekitar LB. Ya, sangat indah. Pasirnya putih, laut di sekitar pantai bening, taman laut nan indah. Tatkala mendarat, saya bisa merasakan derap LB ke arah modernisasi lewat pembangunan yang diupayakan dengan gencar oleh pemda. Saat itu saya berpikir tentang tantangan yang dihadapi LB ke depan. Memang ke depan derap pembangunan LB bisa meninggalkan perkembangan kota-kota dan wilayah lain di Flores bahkan NTT. Sehubungan dengan itu ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan.

Pertama, potensi ekowisata yang mengagumkan. Mabar harus mengembangkan ekowisata dengan baik, jangan sampai mengorbankan lingkungan hidup itu sendiri. Salah satu daya tarik utama LB ialah Komodo. Jangan sampai derap modernisasi, justru berdampak buruk bagi eksistensi Komodo. Hal yang sama bisa dikatakan tentang pelbagai satwa liar dan langka lain di Mabar. Adik saya, staf Swiss-Contact (LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan wisata), bercerita tentang “istana ular” yang ditemukan tidak jauh dari tempat di mana saya dulu semasa kecil mencari kayu api. Pemda diberi rekomendasi pengaspalan jalan ke “istana” itu. Dalam konteks itu saya pikir, sebaiknya dilakukan studi kelayakan oleh ilmuwan tentang daya dukung lingkungan ular-ular yang konon berukuran raksasa. Memang National Geography sudah datang. Tetapi saya kira yang mereka buat barulah dokumentasi. Yang lebih penting ialah studi kelayakan mengenai ketersediaan makanan, pola perkembang-biakan, irama siklus hidup harian, ketahanan terhadap perubahan iklim, cuaca, dan faktor kebisingan akibat hiruk-pikuk manusia. Sebab tidak bisa disangkal bahwa tatkala nanti semakin banyak wisatawan berkunjung, maka kesunyian alami istana itu terganggu. Siapa tahu, ular-ular itu akan menyelinap pergi mencari istana lain, atau malah punah. Sayang kalau itu yang terjadi.

Kedua, masih terkait dengan ekowisata, yaitu masalah sampah. Salah satu ekses hidup modern, yang serba instan karena pengaruh through-away-culture, ialah masalah sampah. Sampah adalah produk dan efek gaya hidup. Sampah harus mulai dikelola sedemikian rupa sehingga jangan sampai mendatangkan efek pencemaran lingkungan. Misalnya mengotori dan mencemari pantai-pantai dengan pasir putih maupun pasir pink yang sangat indah mempesona (terutama di Komodo; di sana ada pantai pasir pink). Sampah inorganik memang tidak hanya mengotori, melainkan juga bisa mencemari dan meracuni lingkungan. Inilah yang harus dijaga pemda. Saya boleh berbangga bahwa laut di sekitar Mabar masih bersih. Permukaan pantai maupun tengah laut tidak tampak tumpukan sampah. Hal ini harus dipertahankan dan dijaga mengingat ke depan produk sampah akan semakin meningkat sebagai efek urbanisasi, overpopulasi, dan through-away and instant culture. Maka pendidikan melola sampah harus digalakkan sekarang juga. Sampah harus menjadi kepedulian dan tanggung-jawab sosial. Kalau tidak, cepat atau lambat, ia akan menjadi masalah sosial.

Ketiga, masih terkait dengan ekowisata, yaitu masalah air. Tentu air amat penting bagi hidup. Kalau LB mau hidup dari ekowisata, maka manajemen air harus dipikirkan dan dikelola dengan baik. Ada beberapa kawasan di LB yang kesulitan air. Air harus didatangkan dengan tanki. Belum apa-apa, air sudah menjadi komoditas pasar. Akan berbahaya kalau air sudah menjadi komoditas pasar. Sebab ia bisa dimonopoli dan monopoli selalu mengandung manipulasi. Kawasan yang sulit misalnya, di Cowang Ndereng. Tetapi ada juga beberapa kawasan yang kelimpahan air; baik itu pam, maupun air sungai yang belum tercemar, masih murni dan alami. Pater Konstan Bahang OFM, bercerita tentang situasi “surplus” air di sekitar rumahnya. Sementara Maksimus S.Hasiman dari BPD-NTT, LB, berkeluh-kesah tentang kekurangan air. Maka di sini saya berpikir tentang tantangan dan kewajiban pemda untuk menyediakan air dan pemerataan pemakaian air. Kiranya air yang harus disebarkan ialah air gunung atau dari mata air alami yang jangan sampai menjadi komoditas dagang. Memang pembuatan sumur dapat menjadi salah satu cara mengatasi problem air. Tetapi saya tidak mau mengambil opsi ini, sebab sumur mengancam eksistensi dan konservasi air tanah. Sumur bisa menciptakan lobang bawah tanah, dan dalam jangka panjang hal itu bisa menyebabkan terjadinya dislokasi, dan penurunan permukaan tanah. Sebab air tanah yang dipompa ke permukaan, bisa menyebabkan intrusi air laut ke daratan lewat bawah tanah. Intrusi air laut adalah sesuatu yang berbahaya. Maka sebaiknya, orang harus mengefektifkan pemakaian air gunung.

Keempat, masih terkait dengan lingkungan hidup. LB yang menggeliat ke arah pembangunan dan modernisasi juga harus memikirkan keindahan tata kota, tata ruang. Mumpung masih cukup dini dalam perkembangan itu, ada baiknya mulai ditata sedemikian rupa agar muncul kota asri. Jalan harus diperbanyak karena kota modern tanpa sarana jalan adalah tidak mungkin. Lalulintas akan mampet. Jalan juga harus dihiasi dengan tanaman yang indah dan hijau permai. Pemandangan menjadi indah. Tetapi lebih dari itu tanaman mendatangkan efek-ekologis positif yaitu mengurangi pencemaran CO2 yang dikonsumsi tanaman. Tentu agar tanaman itu tumbuh subur dan hijau mereka perlu air. Maka poin ini erat terkait dengan soal tata air. Tanaman memang perlu. Tetapi taman juga perlu. Taman hijau, tampan, asri, taman peresapan, sarana bermain, public square, alun-alun. Maka dalam tata kota, selain berpikir tentang jalan, juga orang harus berpikir tentang taman. Sebab taman itu sumber hiburan, ketenangan dan kedamaian, “apalagi” kalau ada kolam hias di dalamnya.

Kelima, pemda juga harus serius memikirkan dampak positif derap pembangunan dan modernisasi LB bagi penduduk setempat. Sebuah ilustrasi sederhana. Di LB akan ada banyak restoran; mereka butuh sayur, timun, wortel, kentang, dll. Penduduk setempat harus diberdayakan untuk menangkap peluang ini dengan menjadi petani wortel, kentang, timun. Tentu dengan harapan bahwa ke depan hal-hal itu tidak usah didatangkan dari luar pulau. Kalau tidak, LB yang mengalami modernisasi, tetapi petani Lombok, Sumbawa atau Makasar bahkan Jawa yang kenyang dan meraup untung dari padanya. Maka sekali lagi pemda hendaknya menyadarkan dan mengadakan penyuluhan bagi petani setempat untuk menjadi petani “spesialis” satu komoditas tertentu (timun, kentang, wortel, tomat, dll). Kalau hal itu sudah terjadi, perlu ada regulasi untuk pembatasan masuknya sayur-sayuran dari luar, agar sayur dari dalam tidak layu dan mati sebelum berkembang.

Keenam, pemda juga harus memikirkan manajemen potensi konflik. Modernisasi membawa serta gejolak potensi konflik sosial. Jurnal Internasional Concilium, edisi Mei 2007, mengusung tema tanah: Land Conflicts, Land Utopias. Di sana antara lain dilukiskan pelbagai konflik yang terjadi karena tanah. Hal itu juga bisa terjadi di LB. Pemda harus berani mengatasi hal itu. Jadi, akhirnya, perlu manajemen konflik juga.

Minggu, 29 Mei 2011

DOA PENGHARAPAN ORANG MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dalam kesempatan ulang tahunku kemarin, ada beberapa teman yang berasal dari Manggarai yang mengucapkan selamat untuk saya dengan memakai bahasa Manggarai dan terutama dengan memakai doa-doa permohonan yang mengandung pengharapan dalam bahasa Manggarai dengan go’et-go’et yang indah-indah. Saya sebut saja “Doa permohonan harapan.” Intinya adalah sebuah doa permohonan yang mengandung pengharapan. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih karena ketika membaca dan menikmati go’et-go’et itu serta-merta memunculkan sebuah ilham pemikiran dalam kepala saya untuk menulis sesuatu. Maka saya pun segera mengambil alat tulis dan menuliskan percikan ide-ide itu dalam buku harian saya. Saya dapat mengkategorikannya dalam dua jenis berikut ini.

Pertama, doa permohonan harapan itu berbunyi sbb: “porong wake celer ngger wa, saung bembang ngger eta.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka artinya ialah sbb: semoga (engkau yang didoakan ini, atau yang sedang merayakan pesta tertentu) dapat bertumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan subur, indah, dan permai.

Segi kuatnya dalam doa itu disimbolkan dengan akar yang kuat menancap dan merengkuh punggung dan bahkan rahim bumi pertiwi. Memang akar pohon yang kuat, akan menancap ke dalam perut bumi, menukik ke dalam rahim pertiwi. Dengan itu pohon tadi dapat bertahan terhadap terpaan angin dan pelbagai macam daya-daya perusak lainnya. Dengan itu juga pohon itu dapat mengisap air dari dalam tanah, dan mengambil bahan makanan dari dalam tanah yang diolah secara ajaib oleh mikroba purba, dan setelah sampai ke daun (sebagai dapur) diolah berkat bantuan sinar matahari lewat proses yang dikenal dengan sebutan ilmiah photosintesis itu (sintesis yang bisa terjadi berkat daya kekuatan phos atau cahaya). Tetapi akar seperti itu mampu mengikat oksigen dalam tanah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesuburan tanah. Jalur akar membantu cacing-cacing tanah melobangi tanah, dan dengan itu bisa membantu proses peresapan air ke dalam tanah menjadi sumber-sumber abadi air tanah yang sangat bersih, segar, tidak tercemar.

Segi subur, indah, dan permainya dilambangkan dengan dedaunan yang bertumbuh subur, lebat, rimbun, rindang, hijau di atas permukaan tanah. Kita tahu bahwa dedaunan yang lebat dan rindang kita tahu menjadi sumber kesegaran bagi makhluk hidup yang lain seperti binatang dan juga manusia, sebab dedaunan itu mengeluarkan oxygen yang tidak mereka perlukan dan mengisap zat arang (CO2) yang dihasilkan oleh pernafasan manusia dan makhluk hidup mamalia yang lain dan yang dihasilkan oleh perbagai alat-alat modern lainnya. Berkat kehadiran dan mekanisme kerja dedauan seperti itu, maka muncullah rasa sejuk dan segar. Dedaunan menciptakan efek segar dan juga efek estetik.

Jadi, doa ini bagi saya adalah sebuah doa ekologis juga, yakni sebuah doa yang menukikkan perhatian kita sebagai manusia ke bumi, ke rahim pertiwi. Doa ini adalah doa bumi, doa imanen, doa yang merayap di atas permukaan bumi, mengusap punggung-punggung ibu bumi pertiwi. Manusia didoakan agar dapat menjadi seperti pohon yang berguna itu, yang mendatangkan manfaat bagi makhluk hidup yang lain di sekitarnya.

Kedua, doa permohonan harapan itu berbunyi sbb: “porong uwa haeng wulang, langkas koe haeng ntala.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka bunyinya ialah sbb: Semoga (engkau yang didoakan ini) bisa bertumbuh hingga mencapai rembulan, dan bertambah tinggi hingga mencapai bintang. Doa permohonan harapan yang kedua ini sangat menarik juga karena ia mengarahkan perhatian manusia ke atas, bukan lagi ke bumi. Jika doa yang pertama di atas tadi menukik ke bumi, maka doa yang kedua ini mengangkat kita ke atas, ke langit, ke angkasa, ke surga. Kita diharapkan untuk melampaui bumi ini, walau itu tidak berarti harus meninggalkan bumi, sebab bumi ini tetap menjadi landasan berpijak abadi dari mana kita diharapkan dapat menggapai bulan dan bintang-bintang. Doa itu sama sekali tidak menyarankan bahwa kita menggapai bulan dan bintang itu dengan terbang misalnya atau dengan memakai peralatan modern lain. Melainkan kita diharapkan menggapai bulan dan bintang itu dengan dan sambil berpijak di atas permukaan bumi ini.

Jadi, di satu pihak, kita diharapkan untuk membumi, berorientasi imanen, intramundan, tetapi di pihak lain kita itu juga melangit, atau bersifat transenden, supramundan, melampaui dunia ini. Tentu yang terakhir ini (dalam doa kedua) ini bukan lagi terutama perkara pertumbuhan jasmani belaka, melainkan perkara pertumbuhan budi, akal, jiwa, segi kerohanian kita. Badan kita memang boleh hanya melata di punggung bumi ini saja, mengikuti hukum-hukum alam yang memang tidak terhindarkan sama sekali, tetapi hati dan budi kita hendaknya terbang tinggi di atas awan-awan, menjangkau rentang cakrawala yang jauh dan bahkan rahasia. Kalau doa permohonan harapan yang pertama tadi berdimensi ekologis, maka doa permohonan harapan yang kedua ini berdimensi teologis, eskatologis, ultramundan.

Menurut hemat saya, itulah paradoks filsafat manusia Manggarai: terarah ke bawah, sekaligus juga terarah ke atas. Berorientasi realisme, sekaligus idealisme, sekaligus mengikuti Plato (idealisme) dan sekaligus juga mengamini Aristoteles (realisme). Itulah paradoksnya. Tetapi tidak apa-apa. Kita diharapkan berjalan sambil sekaligus memandang ke bawah dan ke atas. Sebuah perjalanan yang dinamis, penuh dinamika. Memang orang harus berjalan dengan sangat hati-hati antara memandang ke atas untuk menikmati dan mengagumi benda-benda angkasa yang memang sangat indah dan mengagumkan, dan sekaligus juga memandang ke bawah, yaitu ke bumi, tepatnya ke kaki, agar kaki itu tidak tersandung pada bau, melainkan dengan lincah mencari landasan-landasan pijak baru dan terpercaya untuk menjadi batu pijakan dalam menempuh langkah-langkah perjalanan hidup selanjutnya.

Sekali lagi, jika orang Manggarai berdoa bagi sesamanya ia selalu berkata, porong wake celern ngger wa, agu saung bembang nggere eta. Doa ini membawa kita ke bawah, ke muka bumi. Dan juga porong langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Sebalinya doa ini membawa kita ke atas, melampaui bumi. Semoga dengan itu ada dan tersedia kemakmuran dan keselamatan. Itu pun harapan kita juga.

Bandung, 03 Oktober 2009

SOSOK PEREMPUAN BERNAMA SISI UJUD

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Waktu kecil dulu kami sekeluarga sering melewatkan masa liburan panjang sekolah kami (sekitar bulan Juni-Juli) di tempat kakek dan nenek kami di Wol, Lembor. Itu adalah suatu pengalaman yang sangat indah, penuh kenangan, dan sangat menyenangkan bagi saya. Ketika waktu itu datang, kami akan berjalan meninggalkan rumah kami di Ketang pada pagi-pagi buta, dan berjalan ke Lembor, dengan diiringi beberapa anggota keluarga yang memang datang untuk menjemput kami. Mereka biasanya datang dengan membawa kuda tunggangan dan terutama untuk membawa beban tas pakaian kami selama kami berlibur nanti.

Di Ketang kami tinggal di pusat paroki; rumah kami sangat dekat dengan sekolah dan gereja. Jadi, karena itu kami bisa ikut misa harian dan misa mingguan jika pastor paroki kami tidak sedang mengunjungi stasi-stasi di luar pusat paroki. Kalau pastor tidak ada di tempat, maka ibadat hari Minggu akan dipimpin oleh pemimpin awam; biasanya yang memimpin adalah seorang guru; syukur kalau ada seorang guru katekis.

Itulah hal yang berbeda ketika kami berlibur di Wol. Wol itu terletak jauh dari pusat paroki yaitu di Rangga. Juga jauh dari pusat stasi yang biasanya dikaitkan dengan sekolah yang saat itu ada Waemata. Oleh karena itu, kalau pada hari Minggu kami berdoa di rumah kakek dan nenek kami. Kebetulan guru agama-nya waktu itu ialah Amang Leo Katu. Beginilah irama rutinitas dia yang biasa ia lakukan. Pada Minggu pagi ia akan memukul gong yang pertama. Selang setelah jam kemudian ia akan memukul gong yang kedua. Lalu setengah jam lagi ia memukul gong yang ketiga. Biasanya pada saat itu umat pada berkumpul cukup banyak di rumah kakek dan nenek kami. Maka doa hari minggu pun dimulai. Tanpa imam. Yang ada dan ikut ambil bagian ialah hanya umat kaum awam sajar. Yah, itulah sosok gereja kaum awam.

Saya juga masih ingat sangat baik bahwa ada sebuah buku doa dalam bahasa Manggarai. Kalau tidak salah judulnya kira-kira sebagai berikut ini: Surat Ngaji Manggarai Eme toe manga Ema Tuang Pastor. Sebuah buku yang tipis. Buku itu bagi saya sangat luar biasa. Buku itu adalah sebentuk hasil proses inkulturasi liturgi Manggarai. Ketika memimpin ibadat, amang Leo memainkan peranannya dengan sangat baik, yaitu sebagai ‘imam’ pemimpin jemaat, guru agama. Menurut saya, itu adalah sebuah perkembangan yang sangat baik. Sebab itu adalah sosok gereja awam yang hidup, sadar, dan bertanggung-jawab, dan penuh inisiatif.

Kalau dalam judul tulisan saya ini ada nama Sisi Ujud, itu adalah nama seorang perempuan di kampung Wol itu, yang saya anggap sangat istimewa saat itu; ia dalam pandangan saya sebagai seorang anak kecil saat itu, ia memang luar biasa. Tetapi mengapa? Bukan karena ia cantik. Sama sekali cukup jauh dari kriteria itu bahkan. Tetapi karena ia sosok yang berani dan pandai bicara dengan logika yang sangat jelas dan mantap. Kadang-kadang ia menjadi pemimpin ibadat hari Minggu. Paling tidak mengangkat lagu-lagu dari buku Dere Serani.

Itulah hal yang saya ingat dengan sangat baik. Jadi, lengkap sudah sosok gereja di kampung Wol itu: gereja awam, dan ada wanita yang berperan secara aktif lagi. Yang jelas Sisi Ujud selalu tampil; setidaknya untuk mengangkat lagu dari buku Dere Serani, atau membaca untaian doa umat yang indah-indah dalam bahasa Manggarai yang sudah tertulis dalam buku doa yang sudah saya sebut di atas tadi.

Entah di mana ia sekarang ini. Mungkin sekali ia sekarang ada di Dempol. Kalau itu benar berarti ia ada di kampung ayah saya. Apakah ia masih aktif seperti dulu di Wol, sebagai pemimpin ibadat jemaat walaupun hanya sekadar di kampung saja. Apakah ia aktif sebagai ‘pelopor’ jemaat yang aktif, sadar, berinisiatif, berani, dan bertanggung-jawab.

Kini saya merasa bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hilang dalam hidup gereja Manggarai. Inisiatif awam, sepertinya hilang. Hal ini adalah sesuatu hal yang menyedihkan.

Yogya, 24 Maret 2011.
Dikomputerkan dan diedit kembali, 29 Mei 2011.

Kamis, 26 Mei 2011

RITUAL PEMINDAHAN MAKAM KAKEK KAMI

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Bulan 01 Juli 2011 yang akan datang kami sekeluarga besar Bapak Feliks Mar, berencana mengadakan Ekaristi syukur di rumah papa kami di Dempol. Kami sudah merencanakan hal ini selama setahun. Saya mencoba mengkoordinasi semua adik dan kakak saya. Panitia setempat sudah terbentuk. Tetapi sebelum acara itu dilaksanakan, Papa Feliks menyampaikan satu permohonan yang kami anggap sangat penting. Ia meminta dengan sangat agar makam kakek Wanta harus dipindahkan terlebih dahulu dari tempatnya yang sekarang ini ke tempat yang baru yaitu di samping makam ende tua Samong, di Bangka rumah lama. Tetapi apa yang menjadi masalah dengan makam yang lama ini? Ceritanya panjang. Nanti versi panjangnya saya kisahkan di lain kesempatan. Singkatnya, makam itu sekarang sudah menjadi jalan raya antara Dempol menuju ke Wae mata Wol, Pela, dst. Di samping jalan raya itu ada selokan pengairan sawah lembor dari bendungan Wae Lombur. Permohonan papa itu kami anggap sangat penting sebab ia mengatakan bahwa ia tidak akan merasa nyaman dengan Ekaristi itu jika makam empo Wanta belum dipindahkan.

Oleh karena itu saya instruksikan kepada Ari, Kanis, Huber untuk mengatur acara itu dengan baik. Saya serahkan sepenuhnya acara itu ke dalam koordinasi Hubert, Ari, dan Kanis. Mereka mengadakan rapat di labuan bajo kira-kira dua minggu sebelum Minggu palma. Pada malam minggu Palma mereka semua berkumpul di dempol. Semua ada di sana. Yang tidak hadir hanya dua orang, yaitu saya dan enu Essy, karena kami masih di Jawa (Tangerang dan Yogya). Saya membayangkan, betapa sangat menyenangkan pertemuan itu. Dalam pertemuan itu mereka menetapkan panitia untuk perayaan ekaristi nanti, dan yang terpenting menetapkan tanggal pemindahan makam itu. Setelah dibicarakan bersama-sama akhirnya disepakati bahwa acara pemindahan makam itu dilakukan langsung minggu pertama sesudah paskah. Semua anggaran sudah diperhitungkan oleh Huber. Kami semua para cucu ikut terlibat memberi sumbangan dalam rangka acara itu. Yang dibutuhkan ialah ayam jantan merah (karena orang pandai omong dan pemberani), dan babi kampung tekang tana, semen untuk makam, dan peti baru untuk tanah makam dan sisa-sisa tulang yang masih ada.

Akhirnya tanggal pelaksanaan pun tiba. Hal itu dilaksanakan Sabtu 30 April silam. Semua cucu berkumpul di Dempol lalu pergi ke makam. Mereka mencoba menggali di tempat yang dulu sudah ditandai para penggali selokan air dan jalan raya. Tetapi mereka sudah menggali lebih dari satu setengah meter. Mereka tidak menemukan apa-apa. Tanah hitam sudah lewat. Sudah ketemu tanah merah. Tidak juga menemukan apa-apa. Padahal itu sudah memakan waktu dan tenaga yang amat berat. Orang hampir putus asa karenanya. Lalu terdengar suara orang yang mengatakan bahwa hal seperti ini memang memerlukan orang pintar. Dan kebetulan ada orang Rangga yang pintar untuk hal-hal seperti itu, tetapi sekarang ia tinggal di Wae Nakeng. Huber pun pergi mencari dan menemui orang itu untuk meminta pertolongan. Ia menyanggupi untuk datang. Ia tiba di lokasi tepat pukul 12.00. Ia membawa satu parang dan beberapa utas tali dari daun pandan (tikar anyaman).

Ia mulai melakukan ritual itu. Tangkai parang itu ia ikatkan dengan dua tali daun pandan tadi. Tali yang satu dipegang sendiri oleh si orang pintar itu hanya dengan memakai ujung jari telunjuknya. Ujung tali yang kedua dipegang oleh siapa saja yang mau memegang tali itu. Juga dengan ujung jari telunjuk saja. Saat itu ada seseorang yang memegang tali itu, sehingga parang tadi menggantung ke bawah seperti bandul. Lalu si orang pintar mulai mengucapkan mantranya. Sesudah itu ia mengucapkan wada-nampo-nya. Sebelumnya mereka menaruh bandul parang itu ke atas makam yang sudah mereka gali tetapi tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Lalu si dukun berkata: Wahai Parang, eme manga tuu-tuung hia Empo Wanta be wa mai hau, paka putar hau kope. Tetapi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Orang pintar itu berkata, berarti makam beliau tidak ada di sini. Lalu coba digeser ke arah gunung sejauh satu meter. Lalu diucapkan lagi wada-nampo yang sama. Lagi-lagi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Masih dicoba beberapa kali, tetapi sia-sia. Akhirnya percobaan dipindahkan ke arah selatan, ke arah laut sejauh kurang lebih satu meter dari makam galian yang sama. Lalu wada-nampo yang sama diucapkan si orang pintar itu. Tiba-tiba parang itu berputar seperti gasing dengan sangat kencangnya mengikuti arah jarum jam. Hari itu ada banyak sekali orang yang datang menonton karena itu adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua orang menjadi heran dan ketakutan. Lalu si orang pintar itu berkata, berarti beliau ada di bawah ini dan di bawah titik bandul parang ini persis kepalanya. Tetapi sebelum dilakukan penggalian, banyak orang merasa penasaran, termasuk juga adik saya Huber. Ia juga termasuk orang yang mencoba memegang ujung tali itu, dan mencobanya terlebih dahulu di sembarang tempat lain, lalu kembali lagi ke tempat empo Wanta. Dan di titik itu, parang itu berputar.

Ilmu orang ini memang mengatakan bahwa parang itu hanya berputar kalau benar-benar ketemu dengan makam dari orang yang kita cari yang punya hubungan darah dengan kita. Kalau tidak maka kita tidak akan melihat apa-apa. Lalu mereka menggali di sana dan menemukan dengan sangat mudahnya sisa-sisa isi makam itu. Lain kali baru saya ceritakan detail lain mengenai hal ini. Saya loncat dulu ke hal lain.

Ketika orang sudah tahu pasti bahwa itulah makam kakek Wanta, lalu orang-orang tua yang hadir di situ saat itu memastikan bahwa yang sebelumnya tadi digali adalah makam si anu; dulunya mereka orang Dempol, tetapi sudah lama sekali anak-anaknya pindah ke Waemata sehingga mereka lebih dikenal sebagai orang Waemata daripada sebagai orang Dempol. Tetapi anehnya kata Huber mereka tidak melihat apa-apa di makam galian pertama. Ya itu tadi, ilmu ini hanya bisa menemukan yang benar-benar kita cari. Bukan untuk pencarian acak dan sembarangan saja.

Ketika saya mengatakan bahwa ini baru pertama kali saya mendengar hal seperti itu dan belum pernah melihatnya sendiri, Huber lalu mengatakan bahwa sesungguhnya ia sudah melihat hal ini untuk yang ketiga kalinya. Sebelumnya di Maras Rentung di tempat asal isterinya, ia melihat upacara serupa tetapi si dukun memanggil burung pipit: Peti, datanglah mencari makam si anu. Begitu kalimat wada-nampo-nya. Tentu sebelumnya ada kata-kata mantera yang diucapkan si dukun itu. Lalu tiba-tiba ada burung pipit yang datang dan bertengger di atas sebuah batu dan tidak mau pergi; ia baru pergi setelah orang datang mendekat padanya. Si dukun mengatakan itulah makam orang yang dicari. Masih menurut cerita Hubert, di Nara (Lembor) ia juga pernah menyaksikan suatu peristiwa yang lain. Orang pintar di sana memakai ayam yang sebelumnya sudah dimanterakan. Lalu ke atas ayam itu diucapkan wada-nampo yang sama. Setelah itu, ayam tadi dilepaskan. Lalu ayam itu akan berjalan keliling seperti biasa. Lalu di suatu tempat ayam itu berhenti dan mulai mencotok dan mengais-ngais dengan liar dan tampak seperti tidak mau berhenti. Orang pintar mengatakan di situlah makam orang yang dicari. Dengan demikian, sampai saat ini saya mencatat ada tiga cara ritual mencari makam orang yang akan dipindahkan ke tempat lain: dengan mengundang burung pipit, dengan memakai ayam, atau dengan memakai bandul parang.

Melalui media sharing ini, saya juga mau bertanya apakah di antara teman-teman ada yang punya pengalaman lain? Mari kita saling melengkapi cerita dan catatan ini. Ini sebuah catatan antropologi budaya yang sangat menarik perhatian.

Sabtu, 26 Maret 2011

LOPO CUWI FROM REJENG

By: Fransiskus Borgias M.

Lopo Cuwi is a name of a person I knew in my life from my childhood. He is an old wise man, from Rejeng. At that time he was very old. Actually I did not know his real name. I only knew his name as Lopo Cuwi. This is the name usually used by people to name this old man. This is only his calling name. In my childhood I knew him as an old man. I also know him as a man of prayer, a holy man. I don’t know why now I immediately remember him. There are a lot of memories I want to write down here about him. But I will just concentrate on two or three important points.

First, I usually saw him in my childhood in our parish Church in Rejeng. At that time our parish church was still in Rejeng. Our parish priest also lived in Rejeng, in a pastori near by the Church. Our parish priest was Father Thomas Krumpt SVD (a priest from Hungary). Now back to Lopo Cuwi again. He is a holy man, a man of prayer. Every Sunday I saw him already in the position of praying in the church, whereas others still use their time outside or in front of the church chatting to each other and even to have cigarettes.

In the church Lopo Cuwi will sit or kneel in a prayer position. Sometimes I saw him recited oral prayer like the rosary and the litany of Saint Mary; but most of the time I saw him used a book prayer. I don’t know the title of the book; it is an old book, maybe it is written in Dutch language. (I am curious, whether his sons or grandsons still keep those historical and important prayer books).

In his sitting position he looked like Mahatma Gandhi with his very unique thick spectacles. That is why I was thinking that he was Gandhi. Yes, actually he was Gandhi from Rejeng. He is very serious and involved in his prayer. He seemed never be disturbed by the noisy church because of the children. Sometimes some people, if they walked pass near him, they will walk as if near a sacred place. They will walk slowly and with a little bit bent body, as if they did not want to disturb the mystical experience of this mystic old man.

Other thing that I remembered of him is, once I heard from a story about him, that he usually connected his life using the pillar of the year of 1917. He said that at that particular time he was already a young guy. He knew already the world great news at that time within the circle of Catholic world about the appearance of the Holy Virgin Mary in Fatima (to three children: Lucia, Yashinta, and Francesco). So it means that he must be born before the year of 1910. I would like to guess that he was born in the year of 1900 or even before. And the time when we still use the Church in Rejeng was in the year of 1970. If he was born in the year of 1900, it means that he was seventy years old at the time of Fatima event. When the church was moved to Ketang in 1972, he rarely came to the church because of old age; because from Rejeng to Ketang people must pass over two rivers: Wae Selang or Wae Lelang and Wae Ka.

Now I came to the most important thing in my own life, but also related to this old holy man. After finishing my minor Seminary in 1981 (Kisol), I apply to the Postulant OFM in Pagal. Having staying one year in Pagal I went to the novitiate of OFM in Papringan, Yogyakarta. Before left for Yogya, I was escorted by Om Lambertus Jerawan (a cathechist in Ketang, now he is dead) to pay a visit to him. At that time the old man was still alive. He was very old. I visit him to ask for pray for my religious vocation. I remember that at that time he prayed for me, and also blessed me.

Before leaving, om Lambert asked a question about his prediction of my vocation. Unfortunately to be honest I forgot his answer. But it seemed that he talked positively about me, from his old age condition: myopia and deaf, only laying in his bed and sometimes sitting. Yes, Lopo Cuwi is a holy man of Manggarai. He is one of the first batches of Manggarain Catholic people.

I wrote down this story as a part of my personal preparation for the centenary commemoration of Catholic Church’s presence in the lovely land of Manggarai.

Plemburan, Yogyakarta, 18 March 2011 (computerized and edited, 26 March, 2011).