Selasa, 27 September 2011

TOPONIM: ARTI PENTING SEBUAH NAMA TEMPAT

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Kemarin saya membaca dalam sebuah tabloid online Papua, TABLOIDJUBI. Ada seorang pakar Linguistik yang bernama Andreas Deda. Ia menulis tentang gejala punahnya beberapa bahasa lokal di Papua karena tergerus oleh arus modernisasi yang dibawa oleh orang-orang Luar, baik itu Eropah maupun bagian lain dari Indonesia. Ternyata kepunahan bahasa itu berefek mengerikan dalam bingkai rencana pembangunan masyarakat setempat. Untuk mempertegas tesisnya itu, ia lalu memberi dua contoh: Pertama, kasus banjir bandang di Wasior. Ternyata dalam bahasa Biak kata wasior itu artinya ialah tempat yang masih basah atau tempat yang belum kering karena di sana ada banyak air, atau sesewaktu bisa saja akan datang air dalam jumlah yang banyak (banjir). Oleh karena itu, tempat itu sangat rawan untuk dihuni. Nama tempat itu telah diberi oleh para petualang Biak di masa silam. Tetapi dewasa ini orang sudah tidak tahu lagi arti etimologis wasior itu dan membangun perumahan transmigran di sana. Kita semua tahu tragedi banjir tahun lalu yang menimpa daerah itu, menyapu bersih jejak pembangunan yang ada di sana. Kedua, ia juga masih beri contoh lain: ada sebuah perumnas di Waena, Padang Bulan yang pada tahun 2000 lalu tiba-tiba terendam banjir. Nama asli tempat itu Rebali dari bahasa lokal Sentani. Rebali itu sendiri terdiri atas dua kata: Re, artinya rawa-rawa, ebeli: panjatkan atau secara harfiah berarti tertinggal. Di sana di tempat itu ada sungai kecil, wi yobi yang artinya sungai nenek moyang. Jadi, rebali ialah nenek moyang yang tertinggal sebagai rawa-rawa. Menarik sekali penelitian si pakar linguistik ini.

Bagaimana dengan di Manggarai? Toponim (nama tempat: dari bahasa Yunani: onoma, nama, topos, tempat) di pelbagai belahan dunia, termasuk di Manggarai pasti juga berdasarkan hasil pengamatan manusia-manusia dulu atas gejala-gejala alam yang sudah dan mungkin selalu akan terjadi di sana. Saya berpendapat bahwa dalam kebijakan pembangunan kita di suatu tempat, kita harus memperhatikan semua gejala bahasa toponim itu agar pembangunan tidak menjadi sia-sia. Salah satu proyek mercusuar Manggarai dulu ialah pembangunan sebuah menara yang sangat tinggi di puncak gunung Ranaka. Sekarang mungkin hal itu sudah ditinggalkan, karena masalah Anaka (Anak Ranaka), padahal pembangunannya sudah mendatangkan bencana ekologis yang sangat besar: misalnya pemusnahan hutan alami untuk membangun jalan ke puncak itu. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah bisa saya terima sejak awal, tetapi siapalah saya saat itu dulu bahkan juga sekarang ini. Padahal nenek moyang kita sudah memberi nama tempat itu RANAKA. Secara etimologis Ranaka terdiri atas dua kata yaitu RANA dan KA. Rana artinya DANAU, dan Ka berarti burung gagak. Tetapi yg terpenting di sini bukan burungnya, melainkan warna burung itu, yaitu hitam. Jadi, Rana-Ka pada dasarnya berarti Danau Hitam. Danau Hitam itu mungkin erat terkait dengan gejala alam kawah gunung api di masa silam.

Setelah Ranaka meletus secara mengejutkan pada bulan Januari 1988 silam (mengejutkan karena gunung itu sama sekali tidak menampakkan gejala sebagai gunung berapi karena hutannya yang sangat hijau dan lebat), muncullah Anaka. Sejak saat itu, lalu muncul sebuah nama lama dan nama itu menjadi sangat populer dan bahkan menjadi judul sebuah lagu: NAMPAR NOS. Jelas orang-orang dulu (baca: nenek moyang) memberi nama tempat itu (toponim) karena di sana sudah terjadi sesuatu di tempat itu. Ada gejala asap keluar dari sana, dan hal itu menyebabkan dinding cadas (nampar) yang ada di sana berubah warna menjadi gosong (nos). Jadi, toponim itu sendiri sudah memberitahukan sesuatu atau pesan tertentu kepada kita sekarang dan di sini. Tetapi kita biasanya melupakan begitu saja fenomena toponim itu. Padahal aktifitas toponim adalah juga dimaksudkan sebagai salah satu cara berkomunikasi dari manusia di masa silam (leluhur) kepada kita sekarang ini.

Khusus di MABAR. Pemda Mabar sekarang sedang gencar-gencarnya membangun dan mengembangkan SANO NGGOANG sebagai sebuah tempat pariwisata alam, air panas. Tentu saja hal itu sangat menyenangkan. Derap kemajuan pembangunan semakin maju sampai ke pelosok-pelosok MABAR. Luar biasa. Tetapi jangan sampai dilupakan bahwa nenek moyang kita di masa silam telah memberi nama kepada tempat itu SANO NGGOANG. Kata Sano berarti Danau, Nggoang, berarti Bernyala-nyala, atau berpijar-pijar. Sekali lagi saya menegaskan bahwa toponim menyimpan pasti sebuah pesan terselubung. Toponim ini adalah sebentuk komunikasi dari mereka (para leluhur) kepada kita. Entahlah. Saya tidak tahu di mana persisnya terjadi NGGOANG itu di masa silam. Mungkin seluruhnya. Mungkin untuk mengetahui hal ini kita harus tanya, harus meneliti lagi dengan cermat, kaum penduduk setempat, mengenai tabu-tabu yang mungkin masih hidup sehubungan dengan mitologi Sano-Nggoang itu. Pasti tabu-tabu itu juga memberitahukan sesuatu, bahkan bisa juga menubuatkan sesuatu. Dan tabu-tabu itu perlu diperhatikan secara detail dalam prospek pengembangan dan pembangunan pariwisata di tempat itu agar tidak menjadi bencana nantinya di kemudian hari.

Satu lagi: ULUMBU. Saya akrab sekali dengan nama tempat ini, karena dulu di masa kecil saya sering sekali mendengar nama ini dan pernah juga pergi ke sana, ketika Papi saya mengajar sebagai guru SD di Wewo yang terletak tidak terlalu jauh dari Ulumbu itu. Ingatan yang saya rekam dari masa kecil itu, sampai sekarang ini masih sangat kuat terbayang-bayang. Sering sekali saya juga sangat terganggu karena bau belerang yang terpancar keluar dari sana, sebab bisa tercium sampai ke Wewo bahkan sampai ke Ponggeok. Apa artinya ULUMBU? Dalam analisis saya, kata itu dapat diturunkan dari dua akar kata: ULU dan Mbu. Ulu artinya: Mata air (ulu wae), walaupun bisa juga berarti Kepala. Mbu: adalah onomatope yang meniru bunyi air yang sedang bumbuluak keluar dari dalam tanah. Memang itulah yang terjadi di sana. Ada ulu yang selalu mbu-mbu-mbu terus sepanjang waktu. Bahkan dulu waktu saya kecil, sebenarnya di beberapa tempat ada beberapa ulu yang selalu mbu-mbu seperti itu. Saya masih ingat, papa saya sering mengajak saya pergi ke ulumbu untuk mencari jambu yang memang tumbuh subur di sana. Tetapi kami harus berjalan berhati-hati untuk menghindari beberapa tempat yang basah dan kadang-kadang terlihat sedang bumbuluak juga tentu dengan bau belerang yang sangat kuat.

Tentu masih ada banyak toponim lain di Manggarai yang menyimpan pesan dan menyampaikan sebuah nubuat bagi kita sekarang. Saya menulis tentang hal ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk sekadar mengingatkan kita semua, bahwa kita tidak pernah boleh mengabaikan toponim yang ada, sebab toponim itu mengandung makna tertentu. Melalui toponim nenek moyang kita bermaksud menyimpan satu kebenaran sejarah, dan bermaksud juga menyampaikan sebuah kebenaran sejarah juga di dalamnya. Ketika kita bermaksud membangun sesuatu di suatu tempat, kita tidak pernah boleh mengabaikan begitu saja toponim yang ada. Mungkin pendapat saya ini boleh jadi keliru, tetapi melihat paling tidak beberapa contoh yang sudah saya kemukakan di atas tadi, kiranya kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja kebenaran tersebut. Tentu contoh-contoh seperti ini masih bisa diperpanjang dengan data lain dari tempat lain di seluruh Indonesia atau bahkan dari seluruh dunia. Mungkin ada yang bisa memberi contoh lain mengenai arti penting toponim itu, dan bahwa toponim itu jangan sampai kita abaikan.

Yogya, 27 September 2011

Rabu, 07 September 2011

TINU, TOING, TITONG: FILSAFAT PENDIDIKAN PATER FLORI LAOT OFM

Oleh: Fransiskus Borgias M.

PENGANTAR:
Beberapa waktu lalu, adik saya, Arie Marius Saridin (yang kini tinggal dan bekerja di Labuan Bajo), menulis sebuah komentar di postingan saya di salah satu Group FaceBook Manggarai tentang “Reis, Raes, Ruis, Raos” dalam analisis filsafat sosial ala Pater Florianus Laot OFM. Dalam komentar itu Arie bahkan sempat menguraikan sedikit semacam perluasan ilustratif untuk beberapa aspek dari Reis ini, karena memang ada beberapa jenis reis dalam tradisi Manggarai; dan orang harus secara tepat memakainya pada waktu dan tempatnya. Setelah itu ia lalu memberi informasi bahwa Pater Flori juga mempunyai pandangan tersendiri tentang pendidikan Manggarai yang ia padatkan dalam tiga huruf T berikut ini: Tinu, Toing, Titong.

Serta merta hal itu mengingatkan saya akan catatan saya sendiri dalam Buku Harian (BH) saya mengenai hal yang sama. Saya ingat bahwa ketika menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) di Pagal dulu, saya berusaha memberi kesempatan kepada para pastor tua OFM yang datang ke Pagal untuk mengajarkan apa saja yang mereka miliki kepada para postulan OFM (salah satunya ialah adik saya), agar mereka tidak hanya bertemu dengan magister dan frater toper-nya saja, melainkan juga bertemu dan berkenalan dengan banyak pastor senior lainnya. Sejauh saya tahu hanya P.Flori yang dengan senang hati menerima tantangan dan tugas serta tanggung-jawab itu. Ia beberapa kali memberi kuliah kepada para postulan kami dalam kesempatan kunjungannya ke Pagal. Nah dalam konteks seperti itulah, saya bisa mendengar dari kamar saya yang tidak jauh dari ruang kelas yang sekaligus ruang makan kami, bagaimana ia mengajarkan tidak hanya 4/5R yang sudah saya tuliskan sebelumnya, melainkan juga tentang 3T yang akan segera saya beberkan sekarang dan di sini.

Saya menganggap hal itu sangat menarik dan cemerlang, sehingga tidak lama sesudah kuliah itu saya mengajak dia untuk berdiskusi lebih lanjut tentang ketiga kata itu. Dengan senang hati Pater Flori menyetujuinya dan kami pun berbicara santai di ruang rekreasi komunitas mengenai hal itu. Bagi saya itu adalah semacam kuliah Filsafat Pendidikan dari seorang filsuf Manggarai, sebuah kerangka berpikir filosofis yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah filsafat di STF Driyarkara maupun di Kentungan Yogyakarta. Di sana saya hanya bertemu dan disuguhkan dengan pemikiran filosofis dari para filsuf pendidikan nasional dan internasional seperti Ki Hadjar Dewantara, Sudjatmoko, Mangunwidjaja, Rabindranath Tagore, Paulo Freire, Ivan Illich, Petrarcha, Boccasio, J.J.Rousseau, John Dewey, Leo Tolstoy, Immanuel Kant, St.Agustinus, Boethius, bahkan hingga sampai ke Socrates, Plato, Aristoteles, dll. Nah sekarang, di tanah kelahiran saya sendiri, saya bertemu dengan Sokrates Manggarai, yaitu Pater Flori. Itulah sebabnya saya sama sekali tidak mau melewatkannya atau menyia-nyiakannya. Walau pertemuan itu amat singkat, tetapi hal itu sudah mampu membuka cakrawala pemahaman baru yang amat luas dan mendalam bagi saya akan ke-manggarai-an saya pada umumnya. Itu sebabnya hal itu tetap amat berbekas dalam diri saya hingga sekarang ini sehingga saya dengan mudah dapat menuliskannya kembali sekarang dan di sini. Itulah yang akan saya bentangkan dalam tulisan ini selanjutnya.

Pater Flori Laot OFM ternyata mempunyai pandangan tersendiri tentang Filsafat Pendidikan Orang Manggarai. Ia mencoba memadatkan visi Filsafat Pendidikan itu dalam tiga huruf T yaitu Tinu, Toing, Titong. Menurut Pater Flori, seluruh pandangan filosofis orang Manggarai tentang dasar dan arah pendidikan terpadatkan dalam tiga huruf T suci dan mulia tersebut. Dan ketiga huruf suci itu sudah berlangsung sejak sangat dini dalam kehidupan seorang anak manusia Manggarai.

TINU
Mari kita mulai dengan melihat kata pertama yaitu, Tinu. Apa arti kata Tinu ini? Tinu pada dasarnya berarti memelihara, merawat, menjaga agar sesuatu bisa hidup dengan baik dan pada suatu saat kelak bisa membuahkan hasil yang melimpah dan yang mengarah kepada hidup yang baru. Dalam kata Tinu ini tercakup segala aspek per-hati-an dan pemeliharaan yang memungkinkan hidup dapat berkembang mekar dan menjadi lebih hidup. Tinu tentu pertama-tama sekali menyangkut kebutuhan jasmani, seperti halnya makanan, minuman, sandang, dan papan. Tetapi kiranya tidak hanya terbatas di situ saja.

Kata Tinu itu pasti juga mencakup tata perilaku dan tutur kata yang sopan. Misalnya seorang anak Manggarai harus tahu kebudayaan reis dengan pelbagai macam variasinya dan tahu juga cara pemakaiannya yang tepat. Atau contoh lain: Ada perbedaan yang sangat besar antara jawaban Io dan Eng dalam bahasa dan adat istiadat Manggarai. Seorang anak Manggarai harus juga tahu akan perbedaan itu. Io adalah jawaban sopan dari anak-anak (anak) kepada orang tua dan yang dituakan, yang lebih tua usianya. Eng adalah jawaban terhadap orang yang masih kurang lebih seusia atau lebih muda. Juga ada perbedaan besar antara pemakaian hau dan ite. Orang tua harus mengajarkan hal-hal seperti itu kepada anak-anaknya; sebab pada akhirnya Tinu adalah kewajiban moral-sosial orang tua terhadap anak, sekaligus juga terhadap masyarakat, dan terhadap masa depan. Orang tua tidak boleh melalaikan tugas dan tanggung-jawab itu. Tinu, singkatnya berarti mengupayakan dan menginginkan apa yang terbaik untuk anak dan masa depannya, sebab mereka, kata Kahlil Gibran dalam buku Sang Nabi-nya yang terkenal itu, adalah penghuni rumah masa depan.

TOING
Sekarang saya mau masuk ke pembahasan kata yang kedua, yaitu kata Toing. Kata ini berasal dari kata dasar (kata kerja, atau kata tugas) toi, yang berarti memberitahu, to in-form (dengan sengaja saya menulisnya dengan cara seperti itu untuk menekankan kata form itu, bentuk, membentuk, memberi bentuk). Toing adalah kata benda, yaitu pemberitahuan, in-formation. Saya melihat ada kaitan yang sangat erat antara kata Toi ini dan kata To’o, yang berarti bangun, tersadar dari tidur yang lelap. Kaitan fonetis itu dengan sengaja saya angkat dan tampilkan di sini sebab memang hasil utama dari Toi(ng) ialah To’o, terbangun, keadaan sadar dari situasi keterlelapan, lalu mulai bangun menyongsong fajar pengetahuan dan keinsyafan. Dengan kata lain, ini berarti tumbuhnya satu kesadaran baru, munculnya sebuah entitas baru. Dalam filsafat pendidikan Paulo Freire hal ini disebut conscientisation (yang selalu diterjemahkan dengan penyadaran). Singkatnya Toi(ng) berefek To’o. Kalau toi(ng) tidak berefek to’o maka toing itu sudah gagal total.

Dalam kerangka toing inilah kita memerlukan toming, contoh, atau keteladanan hidup. Toing sangat membutuhkan toming. Tidak bisa tidak. Itu sebuah conditio sine qua non. Mutlak tidak terhindarkan. Sebuah pepatah klasik Latin dengan sangat baik mengilustrasikan kebenaran abadi yang terkandung dalam pandangan sederhana ini. Bunyinya: verba vollant, exempla trahunt. Artinya, kata-kata bisa hilang lenyap (terbang), tetapi teladan akan selalu menarik. Toing yang efektif hanya mungkin dengan toming yang terpuji. Menarik bahwa toming dibentangkan di hadapan anak-anak agar mereka menirunya, tunti. Proses belajar ialah proses tunti, proses meniru yang baik. Seorang anak didik harus tunti sebuah toming yang bagus agar proses toing-nya dia mencapai hasilnya yang baik. Itu sebabnya, kata murid dalam bahasa Manggarai diterjemahkan dengan kata ata nungku, yaitu orang yang mau belajar, belajar meniru, nungku te tunti toming ata di’a.

Sedemikian pentingnya kata toming ini, sehingga kata itu dipakai dalam buku Dere Serani sebagai bagian utuh dari sebuah lagu untuk memuji Bunda Maria: Sangged toming reme mose. Tanpa toming (keteladanan) unggul, maka toing tidak akan bisa mencapai hasil yang baik. Jelas ini adalah sebuah prioritas perbuatan di atas kata-kata. Tentu paling baik jika keduanya (perbuatan dan kata-kata, toming dan toing) bisa sejalan satu sama lain, sehingga yang satu mendukung yang lain. Tetapi faktanya tidak selalu berjalan dalam tataran ideal seperti itu. Jika harus memilih, maka orang lebih suka memilih untuk mengunggulkan toming di atas toing. Itulah yang saya sebut the primacy of toming over the toing. Maka benarlah jika dikatakan: Toing le toming; mengajar dengan teladan, dengan perbuatan yang baik, yang patut diteladani. Itulah yang paling efektif, paling berdaya ubah.

TITONG
Sekarang saya menguraikan huruf T ketiga yaitu kata titong. Apa artinya? Sesungguhnya tidak mudah untuk mengartikan kata Titong ini. Tetapi untuk sementara sebagai titik awal refleksi ini, saya mulai dengan arti sederhana saja, yaitu menjaga, melindungi, dari sesuatu yang negatif atau dari orang-orang yang jahat. Di sini saya tiba-tiba teringat bahwa salah satu tugas sang Hikmat dalam kitab Amsal ialah memberi pendidikan dan hikmat terhadap kaum muda agar terluput dari bahaya teman yang jahat, bahaya kemalasan, dan bahaya perempuan jalang (bahkan terjemahan LAI menyebut, isteri orang). Dalam buku lagu Dere Serani kita mengharapkan Titong ini dari Bunda Maria; di sana kita bernyanyi demikian: Candang lime titong mose, Ende cembes sembeng ga.

Untuk mempertegas atau mempertajam arti Titong ini, ada baiknya saya mengangkat sebuah kata yang lain sebagai alat bantu hermeneutik untuk memahami lebih baik kata Titong ini; dan kata alat bantu itu ialah kata Tatong. Apa ini? Arti dasariahnya ialah godaan atau pencobaan. Tatong de Jing da’at: Godaan si Jahat. Atau contoh bentuk pemakaian yang lain. Tatong le Jing da’at: Digoda oleh si Jahat. Titong dan toing selalu dikaitkan dengan sesuatu yang positif, dan juga dengan Bunda Maria. Sebaliknya Tatong itu terutama sekali dikaitkan dengan setan, Iblis, lucifer. Titong membawa kita ke surga, sementara tatong mencemplungkan kita justru ke neraka. Di sini saya tiba-tiba teringat akan sebuah doa dalam bahasa Manggarai dulu yang sering sekali dipakai dalam ibadat hari Minggu jika tidak ada pastor sebagai pemimpin ibadat: salang ngger eta surga salang tuke ngampang kanang, salang ngger wa api naraka salang bea kanang.

Dalam hidup manusia di dunia ini ada banyak tatong. Tatong itu mempunyai banyak bentuk atau wujudnya. Misalnya saja Tatong dalam bentuk keinginan untuk tako, untuk ngoeng ata, te nggopet, te humer nai te tako ceca data, te paki ata, dst. Nah Titong terutama sekali dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi orang dari Tatong itu. Dan itu semua adalah tugas dan tanggung-jawab orang tua, para penatua, para pendidik, para pemimpin terhadap anak-anak atau generasi muda mereka. Tanpa titong orang mudah jatuh ke dalam tatong, apalagi jika tidak kuat menahan godaan, alias eme toe ta’ong. Titong dimaksudkan untuk te ta’ang tatong agu damang. Jadi, di sini ada permainan kata-kata lagi sesungguhnya: antara Titong,Tatong, ta’ong.

Sedikit lagi catatan tentang ungkapan Teing Tinu. Kini ungkapan ini mengalami kemerosotan atau pemerosotan makna, yaitu dipahami sebagai upacara setengah suci yang merupakan sebuah perwujudan kewajiban moral-sosial dari pihak anak terhadap orang tua, untuk memelihara orang tua itu di masa tuanya dalam hidup di dunia ini. Kita mendengar perintah agung: Hiang ga ende agu emam kudut lewe mosem one lino hoo. Itu bunyi perintah yang keempat dalam Sepuluh Perenta Allah. Tetapi dalam prakteknya orang baru memberi ela atau manuk atau mbe teing tinu itu justru pada saat orang tua itu sudah sakit-sakitan dan bahkan mungkin sudah hampir mati juga, dan tidak bisa lagi menikmati makanan dengan sangat baik.

Dalam pandangan dan pemahaman saya teing tinu pada awalnya ialah sebuah kewajiban orang tua kepada anak untuk membesarkan dan menghidupkan anak. Jika ini gagal, maka yang muncul ialah teing toni, yang berarti mengandung penolakan, dan bahkan penghinaan. Teing toni ini adalah sebuah bentuk penghinaan yang amat menyakitkan dalam konteks pemahaman orang Manggarai. Itu sebabnya jika ada orang yang duduk membelakangi orang lain, orang itu harus terlebih dahulu meminta maaf terhadap orang yang dibelakanginya. Sebab teing toni dianggap tidak sopan sebagai perilaku sosial di ruang publik. Perbuatan teing tinu sesungguhnya sangat agung dan mulia. Gagal teing tinu pasti akan bermuara pada teing toni; dalam konteks ini hal itu berarti putus relasi, atau dalam bahasa Manggarai terungkap dalam dua kata sbb: bike (yang artinya pecah atau retak), bete (yang artinya putus, tidak bisa disambung kembali). Jika ini yang terjadi, maka idelisme tradisional “muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng jaong” menjadi kehilangan makna sama sekali karena orang tidak mudah dan bahkan mungkin tidak mau menjalankannya lagi. Ia sekadar menjadi sebuah nilai yang terasing belaka.

Yogya, 05 Juni 2011 (Diketik ulang sambil diperluas dan diperbaiki, Yogya, 22 Agustus 2011).