Jumat, 19 Desember 2008

DERE NARING DIHA SIMEON (Luk.2:28-32)

Terjemahan agak bebas
oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


28. Mai hia tiba Anak koe hitu

agu kapu liha Anak koe hitu,

agu ne nggo’o de dere naring diha

latang te Mori Kraeng:


29. “Te ho’on wili Mori ga,

sendo koe Lite mendimM ho’o

kudut kole nggere one Ite,

kole agu nai hambor,

lorong sangged taung reweng Dite,


30. ai poli ita keta le mata miteng de rug aku Mori,

mose di’a ata poli widang Dite,


31. hiot poli pande siapd (mengkekd) Lite

bolo mai mata sangged ata one tana,


32. yaitu gerak (ko nera) hiot pande ita sangged ngoeng Dite

latangt sangged ata bangsa bana

agu jiri kemuliaan laing latangt sangged ro’eng nggeluk Dite, Israel.”


Bandung, 24 Oktober 2008

Diketik ulang sambil direvisi, diperbaiki, 19 Desember 2009


Selasa, 16 Desember 2008

DERE NGKIONG....

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dalam beberapa posting terdahulu saya sudah menulis beberapa percikan pemikiran tentang ungkapan Kuni agu Kalo yang ssangat terkenal itu, yang menurut Maribeth Erb, Kuni agu Dalo (dalam bukunya The Manggarains itu). Kedua versi ungkapan itu (Kuni agu Kalo dan Kuni agu Dalo) sudah saya beri catatan di tempat lain dalam pelbagai postingan saya.

Tetapi pada kesempatan ini ada baiknya saya menulis juga di sini sebuah lagu dalam mana saya menemukan ungkapan Kuni agu Kalo tersebut (dan bukan kuni agu dalo, sebagaimana diusulkan oleh Maribeth Erb). Lagu itu tidak lain adalah sebuah lagu rakyat yang sangat populer di antara orang-orang Manggarai. Tetapi mungkin dewasa ini orang sudah tidak lagi mengingatnya karena lagu kerakyatan itu sudah tergerus dan tergusur oleh lagu-lagu modern (baik yang berbahasa Manggarai, maupun yang berbahasa Manggarai, dan bahasa Mandarin). Tetapi paling tidak sampai era tahun 80-an, lagu itu masih banyak dihafal oleh orang-orang Manggarai. Mungkin mereka menghafalnya sekadar sebagai sebuah lagu biasa saja (misalnya untuk keperluan praktis meninabobokan anak). Tetapi mungkin saja ada orang lain yang menghafalnya dalam rangka mempertegas identitas ras dan bahkan mungkin etnik. Mungkin ada juga yang mencoba menangkap dan menimba nilai-nilai moral yang mau disampaikan oleh penulis Istana. Tetapi mungkin juga ada orang lain yang menghafalnya dalam rangka mendalami etnofilosofi Manggarai. Saya lebih cenderung menempatkan diri saya dalam kategori yang terakhir ini.

Agar tidak berpanjang kata lagi, inilah lagu yang saya maksudkan itu.

Cako:

Ngkiong a, Ngkiong oouu Ngkiong, Ngkiong e Ngkiong Ngkiong eeee

Wae Mokel ta Ngkiong e rahit a rahit awon ta Ngkiong e.

Selat Sape ta Ngkiong e rahit a rahit salen ta Ngkiong e.

Ngkiong, Ngkiong e, Ngkiong, Ngkiong e runi kaka,

Neka oke kuni agu kalon o Ngkiong Ngkiong e.

Wale:

Elang ta elang ta e ae aaaaa

Eeeee meu ame rinding mane elang ta sok tay ga

Eeeee meu ine rinding wie elang ta sok tay ga

Ngkiong, Ngkiong e Ngkiong Ngkiong e runi kaka,

Neka oke kuni agu kalon o Ngkiong Ngkiong e.

Cako:

Ngkiong a Ngkiong oouu Ngkiong, Ngkiong e, Ngkiong Ngkiong eee….

Laut Flores ta Ngkiong e rahita rahit len ta Ngkiong e.

Laut Sawu ta Ngkiong e rahita rahit laun ta Ngkiong e

Ngiong, Ngkiong e Ngkiong Ngkionge runi kaka,

Neka oke kuni agu kalon o Ngkiong Ngkiong e. (Elang ta….etc)

Ngkiong itu sendiri adalah nama sejenis burung hutan di Manggarai, yang kini mungkin sudah langka, atau bahkan mungkin sudah punah. Lagu ini sendiri memberi keterangan bahwa kata Ngkiong itu adalah sebuah kata derivative onomatope, kata benda yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi, dalam hal ini bunyi burung. Dapat diduga bahwa burung itu berbunyi ngkiong-ngkiong-ngkiong……. Mungkin onomatope ini kira-kira sama seperti kata teke yang berarti tokek, yang juga diperoleh lewat proses peniruan bunyi. Sayang, saya tidak atau belum sempat menemukan nama Latinnya burung ini.


Jakarta, 09 Juni 2007

Diketik ulang dan diperluas pada 17 Desember 2008.


KESADARAN WAKTU ORANG MANGGARAI 02

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Kalau dilihat dari judulnya, maka sudah tampak jelas bahwa ini adalah refleksi saya yang kedua tentang tema atau pokok yang sama (kesadaran akan waktu atau sejarah yang hidup dan dihayati oleh orang-orang Manggarai). Karangan yang pertama sudah saya posting-kan beberapa minggu yang lalu.

Tetapi pada hari ini tiba-tiba saya mendapat sebuah ilham yang baru dan lain. Menurut ilham ini, saya berpandangan bahwa kesadaran akan waktu atau sejarah yang hidup di antara kalangan orang-orang Manggarai juga sudah terendapkan dalam buku Dere Serani yang populer itu (Lihat Dere Serani, No.....). Pada pagi hari ini tiba-tiba saja mengalir keluar dengan sangatr lancarnya dari mulut saya sebuah lagu yang sangat populer dalam Dere Serani itu, yang sangat sering kami nyanyikan dulu dalam doa hari Minggu tanpa perayaan Ekaristi karena tidak adanya imam. Guru Agama (guru gama) atau guru Katekis, atau bahkan guru sekolah dasar pada umumnya, biasanya memimpin doa itu, termasuk juga berkotbah, dan memimpin nyanyian bersama umat. Saya sudah menghafal lagu itu sejak masih kanak-kanak di Ketang Lelak dulu. Beginilah bunyinya:

Cako:

Sangged ite oooo eeeooooo,

Mai ngaji cama laingt suju Mori.

Mai ngaji cama laingt suju Mori.

Kudut di’a diang mose ge,

Kudut jari tay mose ge, Lembu nai ge.

Wale:

Tabe Mori gooooooo, Tabe Kraeng go.

Mori titong ami lete bari

Mori sembeng ami dengkir tayin

Lembu nai ge.

Cako: ayat 2

Sangged ite oooo eeeeoooooo

Mai tikul neteng minggu suju Mori

Mai tikul neteng minggu suju Mori

Kudut di’a diang mose ge,

Kudut jari tayi mose ge, Lembu nai ge. (Disambut dengan Wale)

Cako: ayat 3

Sangged ite ooooeeeeooooo

Mai sambut mole m ntaung tiba Mori

Mai sambut mole m ntaung tiba Mori

Kudut di’a diang mose ge,

Kudut jari tayi mose ge, Lembu nai ge. (Disambut dengan Wale)

Dalam uraian dan komentar saya ini, saya tidak akan memberi perhatian kepada seluruh lagu itu baris demi baris, melainkan memusatkan perhatian pada bait yang menurut saya erat terkait dengan persepsi tentang waktu dalam diri dan alam pikiran orang-orang Manggarai. Dan menurut hemat saya, pandangan dan persepsi tentang waktu yang ada dalam lagu ini tampak dalam bagian akhir dari cako maupun wale.

Dalam cako dikatakan: kudut di’a diang mose ge, kudut jari tayi mose ge, lembu nai ge. Bagi saya ini tidak lain adalah berarti hidup dalam perspektif pengharapan, hidup dalam kesadaran akan horizon masa depan yang membentang luas, di’a diang, jari tay. Agar hari esok lebih baik, agar kelak jauh leih berhasil atau mendatangkan hasil. Tersirat di sini sebuah anggapan dan bahkan keyakinan bahwa hari esok mengandung sejuta kemungkinan dan peluang. Dengan demikian maka hidup tidak lagi serba terhimpit dan terkungkung pada tempurung yang sumpek hari ini, melainkan seakan-akan ia melesat dan melesak menuju ke masa depan. Dan hal itu mendatangkan kelegaan, dan bahkan penghiburan bagi jiwa dan kiranya juga raga, lembu nai ge. Kiranya bersama dengan itu datang juga daya kekuatan hidup baru. Sebab baik cako maupun wale, selalu diakhiri dengan ungkapan yang sama: lembu nai ge. Jiwaku merasa terhibur, merasa senang, merasa bahagia, karena hidup dalam perspektif masa depan, karena masa depan menjanjikan selaksa harapan. Bermimpi tentang hari esok yang lebih baik masih menjadi mungkin atau dimungkinkan.

Kesadaran akan waktu itu juga tampak dalam bagian akhir dari wale. Di sana dikatakan, Mori titong ami lete bari, Mori sembeng ami dengkir tayin, lembu nai ge. Tuhan menjaga dan melindungi kami setiap hari, Tuhan menjaga dan membela kami sampai selama-lamanya. Di sini tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan: dari mana datangnya ilham kesadaran waktu ini? Menurut saya, jelas ini adalah sebuah insting Manggarai. Atau kalau mau memakai istilah yang lebih baik, ini adalah sebuah intuisi dan insight Manggarai akan waktu dan sejarah. Teks itu dengan jelas menyingkapkan bahwa ada suatu kesadaran bahwa orang harus hidup dalam perspektif masa depan. Ini tidak lain berarti hidup dalam pengharapan, hidup dalam perpsektif eskatologis, kalau mau meminjam istilah khasanah teologi Kristiani, yang kiranya juga sudah mengendap dan meresap dalam-dalam dalam tanah Manggarai.

Dalam konteks hidup untuk dan ke masa depan, Tuhan menjadi cakrawala terjauh dari kehidupan. Bukan lagi diri sendiri. Bukan juga mammon, melainkan Allah. Dengan demikian lagu ini juga menggambarkan kesadaran teologi orang Manggarai untuk senantiasa hidup di dalam dan bersama Tuhan. Lagu ini mengungkapkan bahwa orang Manggarai sadar akan penyelenggaraan ilahi (providentia dei) dalam hidup ini. Dan ini pasti sudah tercampur baur dengan perspektif teologi dan iman Kristiani. Dan itu tidak apa-apa. Apa pun sumber dasarnya, yang jelas, semuanya itu diungkapkan dalam bahasa Manggari oleh si pengarang lagu. Dengan landasan kepercayaan akan hidup di masa depan, dan akan penyelenggaraan ilahi dari hari ke hari, si pengarang mengajak orang-orang untuk pergi mengungsi kepada Allah dengan harapan bahwa Allah akan memaknai hidup mereka, memberi mereka hidup, tetapi bukan hanya sekadar asal hidup, melainkan hidup dalam kelimpahan (Yoh.10:10).


Bandung, 12 Desember 2008.

Diketik ulang dan diperluas pada tanggal 17 Desember 2008


Jumat, 12 Desember 2008

CUIUS REGIO, EIUS RELIGIO DI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dalam bukunya Historiografi Manggarai (Ende: NI, 1999), Dami N.Toda mencatat sekilas proses masuknya agama Kristiani (Katolik) di Manggarai (Flores). Secara singkat saya mencatat dua hal mencolok dalam catatan dan pengamatan beliau. Pertama, proses masuk dan mengakarnya Kristianitas di Manggarai diupayakan melalui pendidikan. Kedua, proses itu diupayakan melalui pendekatan kekuasaan. Toda mencatat bahwa kehadiran misionaris Katolik di Manggarai awal abad keduapuluh membawa ambisi religius dan teritorial tersendiri, juga menyimpan agenda politik tersendiri yang terselubung. Mereka mau membangun satu “kerajaan” Katolik dengan raja atau pangeran Katolik. Ini dengan maksud untuk membendung ekspansi pengaruh kerajaan Islam Bima di Sumbawa. Sedangkan di Flores Timur sudah ada kerajaan “katolik” sejak lama.

Untuk mewujudkan cita-cita mendirikan kerajaan Kristiani di Manggarai, mereka harus membaptis salah satu dari raja-raja kecil yang ada di Manggarai. Salah satu raja kecil yang cukup berpengaruh pada saat itu adalah Todo, yang bersama raja kecil lainnya menjadi rival Cibal yang dianggap sebagai kaki tangan Bima-Goa (yang berpengaruh besar melalui Reok, Pota). Pilihan pun jatuh pada upaya Kristenisasi pangeran Todo.

Untuk itu ditempuh sebuah jalan panjang dan berliku-liku, lewat transformasi evolutif tetapi pasti melalui pendidikan modern barat. Maka salah seorang anak Todo, yaitu Frans Sales Lega dididik di Seminari Tinggi Ledalero. Anak itu, lewat pendidikan, mengalami proses pembaratan dan pengkristenan. Setelah anak ini lulus sekolah, ialah yang menjadi “misionaris” baru untuk paling tidak sanak saudaranya. Ia harus mempertobatkan mereka. Ternyata proses atau langkah ini cukup efektif. Beliau konon berhasil mentobatkan banyak anggota keluarga besarnya menjadi Katolik.

Dengan cara itu terbentuklah kerajaan Katolik di Flores Barat (Manggarai), seperti halnya kerajaan Katolik di Flores Timur, Larantuka. Setelah raja kecil yang cukup berpengaruh ini menjadi Katolik, maka mudahlah proses selanjutnya. Sebab berlaku juga adagium klasik dalam sejarah gereja, cuius regio, eius religio, siapa yang mempunyai wilayah (berkuasa atas satu wilayah), dialah yang menentukan agama yang dianut rakyat di wilayah itu. Jika dilihat dengan cara seperti ini, maka pendekatan misionaris SVD di Flores awal abad keduapuluh, sebenarnya persis sama dengan pendekatan yang dilakukan Yesuit abad kedelapanbelas ketika mereka mewartakan injil di daratan China. Suatu gaya yang akhirnya menjadi salah satu pokok pertikaian antara Yesuit dan Fransiskan di Cina.

Kembali ke Manggarai: Setelah proses awal ini dapat berjalan lancar dan mulus, maka proses Kristenisasi selanjutnya dapat berjalan dengan mulus juga. Dalam waktu yang relatif singkat, Manggarai seluruhnya menjadi Katolik. Imam pertama dari Manggarai ditahbiskan tahun 60, yaitu pater Frans Soleman, dll. Tetapi beliau ini, kalau tidak salah, cukup cepat meninggalkan imamatnya. Tetapi dalam sejarah gereja Katolik ada keyakinan bahwa kalau di suatu daerah misi sudah ada benih panggilan imam dan sudah ada yang menjadi imam, itulah tanda bahwa iman Kristiani sudah tertanam dan berurat-berakar di wilayah itu.


Bandung, 10 Juni 2007.

Diketik ulang dan diperluas dari BH-ku, 12 Desember 2008


Kamis, 11 Desember 2008

MBARU, MBAU-RU

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Mbaru adalah sebuah kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, yang artinya rumah. Setiap kali saya mendengar kata mbaru ini, saya selalu teringat akan Pater Flori Laot OFM. Pada suatu saat (sekitar tahun 1987-1988, ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral di Postulat OFM Pagal), dia mengatakan kepada saya bahwa kata mbaru itu sebenarnya berasal dari kata asal mbau-ru. Jadi, menurut dia, kata mbaru itu adalah termasuk kategori kata turunan, atau derivatives.

Beginilah dia menjelaskan etimologi kata mbaru itu. Mbau artinya naungan. Biasanya yang dimaksud ialah naungan di bawah pohon rindang, yang mendatangkan kesegaran dan kesejukan bagi orang yang berdiri di bawahnya. Sedangkan ru artinya milik atau kepunyaan sendiri. Kalau mau memakai kategori tatabahasa barat, ru itu termasuk dalam kata keterangan posesif, atau kata yang menunjukkan fungsi kepemilikan (possesive pronomina). Sehingga kata mbaru itu yang terdiri atas kata asal mbau dan ru tidak lain berarti, naungan rindang-segar kepunyaan atau milik sendiri. Menurut hemat saya, penelusuran etimologis yang dilakukan Pater Flori ini terasa amat indah, menarik dan masuk akal juga. Oleh karena itu, saya bisa menerima dan memahaminya.

Kalau hal ini benar, maka ada satu hal menarik yang patut digaris-bawahi dan juga sekaligus disadari. Kata mbau itu sendiri, seperti sudah ditulis di depan, mempunyai dua arti lagi. Pertama, mbau berarti ari-ari dan semua hal lain yang keluar bersama bayi pada saat bayi itu dilahirkan. Di dalam rahim sang ibu, ari-ari itulah yang menjadi “rumah” (mbau) primordial sang bayi, yang ketika ia datang ke dunia ini (lahir), ikut dibawanya serta juga. Tetapi kemudian mbau itu dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu pertiwi, alias dikuburkan, lalu di atasnya ditanam sebagai penanda, kuni agu kalo. Nah ketika kuni agu kalo itu tumbuh subur dan berkembang, giliran kedua pohon itu menjadi pelindung dan naungan bagi tanah di bawah dan di sekitarnya, terutama bagi mbau primordial sang anak manusia yang dikuburkan di sana. Mungkin dari situlah konteks asal-usul sebuah nasihat yang terkenal dalam bahasa Manggara: neka oke kuni agu kalo ta ngkiong-ngkiong e. (Tetapi, perlu juga diketahui bahwa ada yang menyimpan mbau itu di sungai, di jeram sungai).

Kedua, kata mbau berarti naungan rindang dan segar di bawah pohon, seperti yang baru dilukiskan sebelumnya. Kalau mbau ini adalah ruang publik, yang bisa dimasuki oleh siapa saja, termasuk binatang buas sekalipun, maka mbaru adalah ruang privat, private space, artinya, ruangan milik atau kepunyaan sendiri. Dalam artian itu dia tidak hanya mendatangkan kesejukan sesaat, melainkan mendatangkan kenyamanan dan keamanan yang bersifat permanen. Nah, dalam artian itu, mbaru menjadi prasyarat hidup, prasyarat relasi, prasyarat komunikasi, prasyarat eksistensi. Itulah arti dan makna paling mendasar dari kata mbaru. Jadi, ketika lahir manusia membawa mbau, lalu manusia itu bertumbuh-kembang di dalam mbau-ru, dalam mbaru, untuk akhirnya kemudian berjalan dan berziarah menuju mbaru surgawi, sebuah konsep yang dikenal berkat perkenalan orang manggarai dengan Kristianitas.


Bandung, 09-16-07.

Ditulis dan dikembangkan kembali 12 Desember 2008 dari BH-ku. .

Senin, 01 Desember 2008

IMBI MORI GO

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


In Retrospect

Hari ini, tanggal 02 Desember 2008, saya tiba-tiba teringat akan papa saya, Feliks Mar. Saya mengingatnya terutama dalam perannya dulu sebagai guru pelatih dere sanda Manggarai di SDK Ketang pada tahun 70-an. Pada waktu itu, sebagai guru sekolah dasar, ia terlibat dalam pelatihan lagu-lagu inkulturasi liturgi Manggarai, khusus untuk Misa pada Minggu Paskah, atau pun Pentakosta. Salah satu lagu yang masih saya hafal dari masa kecil itu adalah lagu yang berjudul Imbi Mori go. Lagu ini adalah Credo.

Pada kesempatan ini saya mau menulisnya di sini untuk mengabadikannya, sebab saya tahu bahwa itu adalah salah satu tonggak dinamis proses dan upaya inkulturasi liturgi Manggarai, yang sudah sangat gencar dilakukan oleh Mgr.Wilhelmus van Bekkum, SVD, salah satu tokoh besar dalam Konsili Vatikan II. Ya, untuk tidak berpanjang kata lagi, inilah lagu yang saya maksudkan tadi:

Imbi Mori go oo

Bengkes Mori go oo

Eeeee somba Mori gooo

Eeeee somba Mori gooo

Eeee neka oke mose Mori ge.

Ayat 1:

Yo Mori, iiii go,

Mori Kraeng Ema go,

Poli dedek tana awang,

Ole Mori neka oke

Nggere one gonggem

Dami mose…... kembali ke Refr…..

Ayat 2:

Yo Mori, iiii go,

Mori Kraeng Anak go,

Pande bajars sala data,

Ole Mori neka tapa

Wa naraka

Dami wakar….. kembali ke Refr…..

Ayat 3:

Yo Mori, iiii go,

Kraeng Nai Nggluk go

Pande Nggeluk sanggen ata,

Ole Mori neka pencar

Salang pe’ang

Ami anakM…… kembali ke Refr……

Prospect

Itulah lagu yang saya maksudkan tadi. Saya menghafalnya sejak masih sangat kecil karena keterlibatan papa saya itu dalam melatih anak-anak sekolah dasar untuk menyanyikan lagu-lagu itu. Dan sekarang saya memberi beberapa pengamatan saya mengenai lagu itu, dari segi teologisnya.

Pertama, lagu itu berstruktur atau bercorak trinitaris (Trinitarian), sebab dalam ayat-ayatnya lagu ini jelas-jelas menyinggung Tritunggal Mahakudus, sebagai Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Maka ini alat katekese Trinitarian bagi iman orang Manggarai.

Kedua, sekaligus juga ia berteologi mengenai peranan Allah Tritunggal itu dalam tata ekonomia keselamatan, walaupun mungkin dengan peran-peran yang unik, yang kiranya diambil dari perbendaharaan pemikiran religi purba Manggarai.

Ketika dalam ayat 1, lagu ini menyebut Bapa, maka Bapa itu disebut Pencipta. Jelas ini ada dalam jalur pemikiran teologi tradisional Kristiani (walau Manggarai sendiri juga mengenal ide atau konsep Pencipta dan penciptaan). Tetapi Bapa ini diminta agar jangan menghukum manusia dalam sesuatu yang disebut gonggem. Jelas kata ini adalah bahasa Manggarai. Maka pasti alam pikiran religi purba Manggarai-lah yang disimpan atau diendapkan di dalamnya. Gonggem itu berarti lubang besar, lupi nggampang mese, sebuah tempat yang mengerikan, menakutkan, menyeramkan, tempat segala sesuatu bisa terperosok ke dalamnya. Boleh jadi, para pemrakarsa inkulturasi dulu terpikir untuk menerjemahkan kata sheol dengan kata gonggem ini.

Ketika dalam ayat 2, lagu ini menyebut Anak, maka Anak itu disebut sebagai atau dalam peranNya sebagai Penebus. Jelas ini juga berada dalam jalur pemikiran teologi tradisional Kristiani. Putera ini juga diminta atau dimohon dengan sangat agar jangan sampai menghukum manusia dalam neraka. Jelas ini juga sebuah konsep yang diadopsi dari warisan teologi Kristianitas itu sendiri.

Ketika dalam ayat 3, lagu ini menyebut Roh Kudus (Kraeng Nai Nggluk), disebut juga perannya sebagai Pengudus jiwa. Ini juga dari khasanah teologi tradisional Kristiani. Tetapi masih ada peranan lain dari Pribadi ketiga ini, yaitu pemersatu. Hal ini tersirat di dalam permohonan agar Roh Kudus jangan sampai menyebabkan terjadinya perpecahan dan percerai-beraian di antara umat manusia, agar semuanya bisa tetap berada dan berjalan pada jalan yang satu dan sama, dalam jalan yang benar.

New Horizon

Berbicara mengenai jalan ini, secara spontan saya terpikir akan dua hal: pertama, saya terpikir akan he hodos, jalan, yang merupakan sebutan asali bagi orang-orang Kristiani pada jaman Perjanjian Baru dulu (lihat Kisah Para Rasul. Saya juga sudah pernah menulis artikel tentang He Hodos ini). Kedua, saya juga terpikir akan Yesus Kristus yang dalam injil Yohanes (14:6) memperkenalkan diri sebagai jalan, kebenaran dan hidup: Ego sum via, vita, et veritas. Ego eime he hodos, he zoe, he aletheia.

Maka jelas, sekali bahwa lagu ini, sangat trinitaris, dan juga sangat kristologis, sangat injili, sangat Kristiani, sangat gerejawi juga. Benar-benar efektif sebagai sarana katekese, sarana liturgis sebagai sekolah kesalehan dan iman. Maka orang-orang Manggarai harus banyak belajar dari lagu ini.


Bandung, 02 Desember 2008.


KUNI AGU DALO

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Di tempat lain saya sudah memberitahukan bahwa saya baru saja mendapat buku hasil karya Maribeth Erb (seorang peneliti bahasa Rembong di Manggarai Timur). Saya sudah membaca buku itu sampai tuntas sambil memberi beberapa catatan kritis atas beberapa hasil studi dan pengamatan beliau atas kebudayaan Manggarai. Salah satu hal yang secara langsung menarik perhatian saya ialah ungkapan “Kuni agu dalo.” Hal ini menarik karena amat mencolok. Selama ini yang saya tahu ialah ungkapan itu berbunyi “Kuni agu Kalo.” Dan dalam blog saya, saya sudah memberi catatan ringan tentang ungkapan ini. Sekarang Maribeth Erb mengatakan bahwa bukan “kuni agu kalo,” (sebagaimana yang lazim terdengar dinyanyikan atau diucapkan orang) melainkan “kuni agu dalo.” Terus terang saja, saya terkejut sekali ketika pertama kali saya membaca ungkapan itu dalam buku yang ia terbitkan.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam pandangan Erb ungkapan itu tidak berbunyi “kuni agu kalo,” melainkan berbunyi “kuni agu dalo.” Terus terang juga bahwa dari uraian Erb ini jugalah saya mendapat pemahaman dan keterangan baru mengenai kata kuni. Kalau dalam tulisan terdahulu saya mengartikan kuni itu dengan dua cara, yaitu mbau yang ditanam di tanah, atau diartikan sebagai biji jambu mete, maka sekarang saya mendapat pemahaman baru.

Tetapi sebelum saya membahas hal itu lebih lanjut saya mau memberi sebuah catatan ringan terlebih dahulu. Catatan ringan ini terutama sekali menyangkut kata dalo. Dr.Marsel Robot cenderung menyalahkan Erb dalam hal ini. Saya sendiri juga cenderung berpendapat demikian. Saya memandangnya sebagai sebuah salah dengar atau salah tangkap. Mengapa demikian? Itu karena yang kami dengar dan kami hafal selama ini ialah “kuni agu kalo.” Tidak ada “kuni agu dalo” seperti dipostulasikan Erb. Lagipula perlu diingat dan disadari bahwa dalam sejarah penyelidikan ilmu-ilmu bahasa (linguistik) tidak dikenal hukum kd, seperti halnya kita mengenal hukum rdl, di mana ketiga huruf itu bisa berganti-ganti di dalam pemakaian untuk satu kata yang sama. Misalnya, di salah satu tempat orang memakai kata padi, maka di tempat lain, mungkin orang memakai kata palai, atau pali, atau bahkan pari. Tetapi artinya sama. Tidak demikian halnya dalam kasus kata kalo dan dalo tadi: tidak ada hukum substitusi antara huruf k dan d dalam kalo dan dalo itu. Itulah yang menjadi masalah pertama.

Namun demikian, walau saya cenderung menolaknya dan menganggapnya sebagai sebentuk salah dengar, tetapi menarik juga Erb mencoba menafsirkan kata dalo itu yang tampaknya ia coba pertahankan dengan mati-matian dan konsisten. Beginilah intisari dari pembelaan beliau. Dalo adalah dalo betong, atau dalo bambu, dalo gurung. Konon dulu mbau anak yang baru lahir dikubur di dalam tanah. Tetapi sebelum dikuburkan, terlebih dahulu dibersihkan dan dimasukan ke dalam dalo bambu, dalo tadi. Itulah yang disebut kuni. Jadi, kuni itu adalah ari-ari bayi yang dilahirkan. Kemudian kuni yang sudah dimasukkan ke dalam dalo bambu dikuburkan dan kubur itu lalu ditandai dengan cara ditanami bambu dalo. Dari situlah ungkapan kuni agu dalo itu berasal. Yaitu berasal dari kuni yang disimpan di dalam dalo lalu dikubur. Dalam arti itulah ungkapan kuni agu dalo tidak lain berarti tanah tumpah darah, atau tanah tempat di mana ari-arimu di tanam di bumi ini.

Menurut Erb, dulu memang bambu amat penting dalam hidup orang Manggarai pada umumnya. Ada banyak gunanya. Sebagai bahan untuk rumah. Sebagai pagar untuk kebun. Sebagai alat timba air. Sebagai bahan dasar untuk pelbagai macam keperluan. Yang perlu dicatat ialah bahwa bambu itu juga menjadi kayu pengusung peti orang mati ke kubur. Bahkan menurut Erb, bambu itu jugalah yang dipakai sebagai alat untuk menggali kubur dulu. Maka kehadiran bambu dalam kehidupan orang Manggarai berarti mengingatkan kita akan kematian. Apalagi kalau hal itu dijadikan sebagai bahan rumah, maka rumah bambu mengingatkan kita akan eksistensi kita yang terarah kepada maut, meminjam istilah Martin Heidegger yang terkenal itu, Sein zum Tode.

Tetapi dalam proses ini tiba-tiba saya teringat akan sesuatu. Boleh jadi kehadiran bambu itu juga bisa mengingatkan orang akan mitos arkaik orang Manggarai, tentang bengkar one mai belang, bok one mai betong, menyangkut asal-usul manusia. Mungkin saja ada kaitan atau asosiasi ke sana. Tetapi ia berfungsi secara negatif. Sebab mitos itu bukan mitos positif, melainkan hadir sebagai nasihat moral untuk mengingatkan anak-anak yang kurang ajar agar menghormati orang tua mereka. Sebab orang tua adalah asal-usul mereka. Mereka tidak keluar dari bambu, melainkan mereka terlahir dari orang tua.


Bandung, 28 November 2008 (ditulis ulang, diperluas, 01 Desember 2008).


Minggu, 30 November 2008

KUNI AGU KALO 02

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Sebelumnya saya sudah pernah menulis tentang topik ini (sudah dimuat dalam blog ini). Tetapi kali ini saya mau menambah sebuah tafsir atau pemahaman baru atas istilah atau ungkapan itu, sebuah tafsir atau pemahaman baru yang saya peroleh dalam proses diskusi atau dialog dengan seorang teman, Dr.Marsel Robot (Dosen Undana Kupang). Puji Tuhan, sebab dia telah memberi sebuah sumbangan khusus menyangkut penafsiran makna kata kalo dalam ungkapan tersebut di atas. Tetapi saya perlu juga menambahkan bahwa dia tidak tahu apa arti dari kata kuni itu (dalam tulisan terdahulu saya sudah memberi penafsiran sejauh yang dapat saya ketahui). Tidak apa-apa. Saya fokus saja pada kata kalo itu sendiri. Menurut Dr.Marsel Robot, kata kalo itu mengingatkan dia akan dua hal sebagai berikut.

Pertama, kalo itu tidak lain adalah pohon yang ditanam sebagai pohon kosmis (axis mundi) di compang (altar pemujaan dalam agama asli Manggarai) yang biasanya selalu terletak di tengah perkampungan. Sekaligus sehubungan dengan ini, Dr.Marsel Robot mengatakan dengan tegas bahwa tidaklah benar atau tidaklah bersifat universal bahwa compang itu ditanami pohon beringin (yang dalam bahasa Manggarai tengah ialah Langke, dan Manngarai Timur ialah purus). Mengapa demikian? Itu tidak lain karena ada juga di tempat lain yang compang-nya ditanami dengan pohon kalo ini (baik kalo biasa, maupun kalo yang berbuah panjang dan berduri).

Dr.Marsel bahwa mengatakan di daerah mereka di Manggarai Timur memang kalo atau dadap itulah yang menjadi pohon kosmis di atas compang (sebagai exis mundi, meminjam istilah dari Mircea Eliade). Ketika dia mengatakan hal itu dengan tegas, tiba-tiba saya teringat akan kenyataan bahwa sebenarnya compang yang pernah saya lihat di Lentang dulu ditanami pohon kalo (dadap) ini. Begitu juga compang yang saya lihat di Rejeng, Dese, Wakel, dan Manu. Begitu juga compang yang ada di Lamba, dan Tango. Saya sudah lupa compang di kampung Pelus. Compang di Perang Lembor juga, ditanami kalo (dadap berduri).

Dalam artian pertama ini, Kalo berarti mengingatkan orang akan natas bate labar, dan compang bate io ko takung, compang bate naad helang. Orang Manggarai sangat dianjurkan untuk secara etis tidak pernah boleh sampai melupakan hal-hal ini. Orang tidak boleh melupakan public space tempat di mana dia sebagai anak-anak dulu pernah bermain-main di halaman rumah mereka. Compang juga menjadi sesuatu yang sangat erat dan akrab di hati orang-orang Manggarai. Maka kalau dikatakan, neka oke kuni agu kalo, itu berarti seseorang diminta untuk tetap ingat dan mengenang kampung halaman, tempat tanah tumpah darahnya.

Kedua, kalo itu juga tidak lain adalah sebuah pohon yang mudah tumbuh dan kalau sudah tumbuh ia bisa menjadi pohon pelindung, entah itu pelindung bagi tanaman lain (misalnya, kopi, cengkeh, vanilli, tembakau, dll), ataupun sebagai pelindung humus tanah, dan terutama untuk melindungi mata air kolektif. Selain itu, dipercayai juga bahwa kalo memang mempunyai daya pelindung untuk air dan humus tanah. Itulah sebabnya mata air di Manggarai banyak ditanami pohon dadap, dan waso atau waru. Kalau dalam artian ini, maka penyebutan kata kalo itu adalah sebuah penerusan tradisi pengetahuan tentang fungsi ekologis dari pohon-pohon tertentu. Ke mana saja orang Manggarai pergi, hendaknya mereka jangan sampai lupa untuk menanam pohon dadap, sebab pohon itu melindungi dan juga menyuburkan. Kebanyakan orang mengambil metafor ini ketika mereka menanam pohon dadap dalam konteks terdekat kehidupan mereka sendiri.

Bandung, 28 November 2008 (Diketik dan diperluas, 01 Desember 2008).


Kamis, 27 November 2008

KESADARAN WAKTU ORANG MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dulu ketika masih anak-anak, saya sering mendengar orang-orang tua berkata kepada satu sama lain ketika mereka akan mengakhiri satu pekerjaan bersama, terutama ketika sore hari sudah tiba dan kegelapan datang mendekat. Biasanya mereka mengungkapkan hal itu dalam sebuah singkatan yang sangat menarik sebagai berikut: nggisdi dipoda. Itu tidak lain adalah sebuah singkatan (akronim), sebuah ungkapan yang lebih panjang dalam konteks pergaulan, dan relasi sosial antara manusia. Kepanjangannya adalah Nggitus di, diang po danong. Artinya kalau diterjemahkan secara bebas adalah: cukup sekian dulu atau cukup sampai di sini dulu, untuk hari (kali) ini, nanti baru dilanjutkan atau diteruskan besok.

Mungkin generasi muda Manggarai sekarang ini sudah tidak ada lagi yang akrab dan mendengar ungkapan ini. Ya, memang ini adalah sebuah ungkapan dari dan di masa silam, terutama ketika masih ada kerja dodo atau kerja leles dalam menyelesaikan sawah atau kebun (menanam, menyiangi, dan juga menuai). Dengan demikian dalam ungkapan singkat ini ada unsur menunda penyelesaian pekerjaan.

Maka muncul kesan sepintas bahwa ini adalah sebuah mentalitas sosial yang tidak mau tuntas dalam bekerja dan pekerjaan. Juga bisa muncul kesan bahwa dengan ungkapan itu orang mau bermalas-malas. Tetapi bagi saya tidaklah demikian halnya dan adanya.

Dalam tafsiran saya itu adalah sebuah ajakan yang sopan untuk memberi istirahat pada tubuh kita sendiri. Tubuh juga perlu menikmati istirahat pada malam hari. Bila perlu tubuh itu dimanjakan setelah seharian bekerja keras, dimanjakan di dalam kebersamaan, dalam makan bersama, dalam mengobrol bersama, dll.

Kalau dilihat dan ditafsirkan dengan cara seperti ini, maka ini tidak lain adalah sebentuk kearifan yang dapat kita temukan padanannya dalam kitab Pengkotbah itu: semuanya ada waktunya dan pada waktunya. Kalau semuanya ada waktunya dan pada waktunya, maka kita bisa menghadapi dan mengarungi misteri perjalanan waktu itu dengan sangat tenang dan matang. Kalau semuanya ada waktunya dan pada waktunya, maka tidak usah tergesa-gesa di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Kita perlu berlatih bersabar di dalam rentang perjalanan waktu. Mudah-mudahan juga bisa diterima dan dipahami bahwa ketergesa-gesaan tidak dapat menyelesaikan soal atau masalah hidup.

Apa yang lebih penting: adalah bahwa ada suatu kesadaran akan hari esok. Esok itulah yang perlu dimaknai dan diapresiasi juga. Di sini saya teringat akan sebuah syair lagu rohani Kristiani dalam bahasa Inggris: Happiness is where you are and what you to be…. Tomorrow is fuller than a thousand yesterday….. ya hari esok jauh lebih bermakna dari pada sejuta hari kemarin. Kemarin itu bahkan membawa kepedihan tertentu dalam kenangan nostalgic kita seperti dikatakan oleh the Beetles dalam lagu Yesterday-nya itu.

Tetapi yang patut diingat dan disadari terus menerus adalah adanya kontinyuitas waktu dan kontinyuitas waktu itu ditandai dengan kontinyuitas kerja, aktifitas. Kontinyuitas eksistensi tidak lain adalah kontinyuitas dalam waktu dan dengan memaknai waktu itu dengan kerja. Maka istirahat bagi tubuh yang sudah lelah menjadi sangat penting, terutama dalam rangka mencegah fenomena yang disebut burnt-out itu. Juga istirahat itu dimaksudkan untuk mencegah gejala workaholic (kecanduan kerja). Istirahat bisa juga meningkatkan disiplin kerja manusia, dalam pembagian dan perencanaan waktu kerja. Ungkapan di atas tadi, menyiratkan bahwa si penutur sungguh sadar benar bahwa masih ada hari esok. Waktu tidak berhenti pada hari ini. Tetapi waktu itu akan terus mengalir dari jentera waktu masa depan. Kalau kita terpaksa menyelesaikan suatu pekerjaan dengan tergesa-gesa pada hari ini, mungkin hal itu justeru bisa bermutu rendah. Tetapi kalau dilakukan besok maka bisa menghasilkan sesuatu yang lebih indah, walau ada risiko kehilangan mood kerja dan mementum yang cepat dan tepat.

Tetapi ajakan untur beristirahat di sore hari, berarti ada waktu untuk tenang; ada waktu untuk diri sendiri, ada waktu untuk Tuhan. Ada tabu-tabu sore hari, untuk malam, yang tidak boleh dilanggar. Maka mereka harus berhenti bekerja agar jangan sampai mereka melanggar tabu-tabu malam. Sebab malam itu adalah waktu yang suci. Kadang-kadang perlu bahwa kita beristirahat atau berlibur untuk Tuhan.


Bandung, 28 November 2008.

Ditulis dalam BH 16 November 2008.


Selasa, 25 November 2008

MITOS PENCIPTAAN DALAM SANDA MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Salah satu kuliah yang saya ampu di Fakultas Filsafat UNPAR ialah fenomenologi agama. Untuk tahun ini saya memakai buku Mariasusai Dhavamony (Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995) sebagai buku pegangan (sumber). Salah satu bab yang penting dan menarik di sana adalah tentang Mitos sebagai salah satu bentuk pengungkapan agama-agama. Memang mitos-mitos penciptaan yang dilukiskan Mariasusai Dhavamony itu sangat menarik perhatian. Kemarin saya memberi kuliah tentang mitos-mitos ini kepada para mahasiswa saya di Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Ketika sedang memberi kuliah itulah saya teringat akan dua hal penting ini.

Pertama, ada dari antara mitos-mitos itu yang serta-merta mengingatkan saya akan versi-versi kisah penciptaan seperti yang dapat kita temukan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dalam perkembangan lagu-lagu rohani Kristiani, ada orang yang menciptakan lagu Abba Father. Saya kira lagu ini diilhami juga oleh kisah-kisah penciptaan dalam Kitab Suci. Sayang saya sudah lupa nama pengarang lagu ini, tetapi saya sudah menghafal lagu itu sejak awal tahun 80-an dulu.

Teks lagu itu berbunyi sebagai berikut:

Abba,

Abba Father,

You are the Potter,

We are the clay.

Selanjutnya dalam bait kedua dikatakan sebagai berikut:

Mold us,

Mold us and fashion us,

into the image,

of Jesus Your Son.

Jadi, bait kedua ini melukiskan keluhuran martabat anak manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Yesus Kristus sendiri. Sadar akan keluhuran martabat itu, maka muncullah bait ketiga yang berbunyi sebagai berikut:

Glory,

glory and praise to You,

glory and praise to You,

for ever amen.

Tiga bait lagu itu mengandung teologi penciptaan dan penyelamatan. Luar biasa. Sangat singkat, tetapi sekaligus juga sangat dalam. Dalam bait pertama, Allah dibayangkan secara antropomorfistis sebagai seorang tukang atau pengrajin tanah liat dan kita adalah tanah liat yang dibentuk oleh sang seniman agung, yang tidak lain adalah Allah itu sendiri. Dalam Bait kedua, tema teologi penciptaan itu dikatakan mengikuti modelYesus Kristus. Kiranya ini amat dipengaruhi oleh Kolose 1:15-20 (yang tidak bisa saya bahas lebih lanjut di sini).

Hal kedua yang secara spontan saya ingat dalam proses penjelasan kuliah itu adalah kidung sanda dalam bahasa Mangarai, yang juga mengandung nada-nada teologi penciptaan. Bunyinya adalah sebagai berikut:

Eaaooooo,

ooe Mori eta awang surga go Mori,

mai naring ta,

mai suju ta one Mori

e landing mesen nerane.

Dere tedeng len,

naring dengkir tayn,

naring kudut lerem,

kudut lerem dedek,

pande lerem dedeke.

Pande nggalas wakar dami Mori ga,

kudut pecing salang surga,

kudut haeng mose tedeng len, lewe len.

Somba ooooo,

ole Mori,

neka lelo ndekok mori

eeeeoooooo,

oou dadang ata neteng tana (salang)

one Moren e landing mesen nerane.

Dere tedeng len,

naring dengkir tayn,

naring kudut lerem,

kudut lerem dedek,

pande lerem dedeke.

Lagu ini adalah lagu yang saya angkat dari perbendaharaan misa inkulturasi ke dalam budaya Manggarai yang sangat hidup pada era tahun 70-an. Kalau ditilik syairnya, maka di beberapa tempat ia juga berkisah antara lain tentang penciptaan dan penyelenggaraan hidup harian dalam dan kepada Tuhan.

Saya sudah menghafal lagu ini sejak masih kecil, karena sejauh saya ingat, adalah papa saya, Feliks Mar, yang melatih lagu-lagu sanda ini kepada anak-anak SDK (Sekolah Dasar Katolik) Ketang, untuk dibawakan dalam pesta-pesta besar gereja, terutama Paskah dan Pentakosta. Ya, memang papa saya itu adalah guru dan juga seniman yang bagaimana pun juga punya sedikit andil menanamkan kepada kami, suatu apresiasi dan kecintaan akan lagu-lagu Manggarai. Saya sendiri masih ingat akan semuanya itu dengan sangat baik hingga saat ini.

Memang ingatan yang sudah ditanamkan sejak kecil terus saja akan berbekas hingga kita menjadi dewasa. Itulah kekuatan lagu-lagu, dan cerita, kekuatan para penyanyi, dan kekuatan para pencerita.


Bandung, 25 November 2008

(ditulis dalam BH dan dikomputerisasi sambil dikembangkan lebih lanjut).


Senin, 24 November 2008

ATA NDOSO ATAU ATA NDASA?

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Saya baru saja selesai membaca sebuah buku dari penulis yang bernama Maribeth Erb tentang Manggarai. Judul buku itu ialah The Manggarains, A Guide in Traditional Life Style. Salah satu bagian yang menarik perhatian saya dalam buku itu adalah cerita yang ia beberkan tentang orang-orang (ata) Kilor itu.

Konon orang-orang Kilor itu adalah kaum imigran yang berasal atau dating dari luar Manggarai. Sedangkan tetangga kampung mereka yaitu kampung Ndoso (orang-orang Ndoso) adalah penduduk asli setempat (autochtons). (Tentu saja pernyataan ini segera menimbulkan sebuah pertanyaan historis-kritis, karena ata Ndoso itu sendiri juga mempunyai cerita sejarah turun temurun bahwa mereka pun adalah imigran yang berasal dari luar Manggarai).

Pada suatu saat orang-orang Kilor tidak mempunyai api, bahkan diberi kesan juga bahwa mereka tidak mengenal teknologi api. Oleh karena itu, mereka pun memakan makanan mereka dalam keadaan mentah saja. Maribeth Erb sudah memberi sebuah catatan kritis di sini, bahwa ada keanehan: kalau memang benar orang-orang Kilor itu adalah imigran yang datang dari luar, maka mereka pasti lebih maju dan pasti sudah mengenal api. Tetapi ternyata menurut cerita ini tidak demikian adanya. Maka harus dihadapi dengan sikap kritis.

Karena mereka (orang-orang Kilor) belum mengenal api, maka mereka pergi meminta api itu kepada orang-orang Ndoso yang mempunyai api dan sudah mengenal teknologi api. Orang Kilor pun datang meminta api itu kepada orang Ndoso. (Memang dulu, dalam masyarakat tradisional, api itu termasuk barang atau sesuatu yang diminta kepada tetangga, seperti halnya orang meminta garam, atau barang-barang konsumtif lainnya).

Tetapi orang-orang Ndoso takut bahwa api itu akan disalah-gunakan. Mungkin juga ada sedikit latar belakang pandangan mitis dan pandangan suci, bahwa api itu adalah barang suci yang tidak boleh dialih-pindahkan begitu saja. Mungkin ada pandangan bahwa api adalah barang suci, maka harus eksklusif, dan monopoli. (Siapa tahu itu adalah endapan dari pandangan kuno seperti yang terdapat di India bahwa api itu termasuk dewa, yaitu dewa api, dewa Agni). Tetapi tentang hal ini tidak dapat saya pastikan.

Namun demikian orang-orang Kilor tetap datang ke Ndoso, lalu mencoba berpura-pura berdiang di dekat api. Pada saat berdiang itulah mereka mencuri api dari orang-orang Ndoso. Caranya lucu dan sederhana saja: tali celana dari salah satu orang Kilor itu terbakar (atau sengaja dibakar, ditutung dengan api), lalu dengan nyala api pada tali celana itu mereka pulang ke Kilor. Dengan api itulah orang-orang Kilor kemudian dapat membuat api mereka sendiri.

Setelah orang-orang Ndoso tahu bahwa api mereka telah dicuri oleh orang Kilor, maka orang Ndoso pun menjadi marah dan mereka datang untuk menyerang ke Kilor. Konon pada saat itu terjadi perang yang seru dan sengit. Dikisahkan juga bahwa orang Kilor cukup kewalahan menghadapi orang Ndoso, karena orang Ndoso ini memakai baju perang yang terbuat dari ijuk. Tetapi kemudian dikisahkan juga bahwa orang-orang Kilor tidak kehilangan akal atau tidak kehabisan akal. Entah bagaimana caranya mereka tahu bahwa ijuk itu mudah terbakar. Maka mereka kemudian memakai api yang telah mereka curi itu untuk membakar baju perang orang-orang Nodoso. Memang wunut itu sangat mudah terbakar apalagi kalau dalam keadaan kering-kerontang. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini yang namanya senjata makan tuan, baik itu senjata api, maupun senjata baju perang dari wunut tadi. Api yang tadi diambil dari Ndoso kini dipakai untuk membakar orang Ndoso. Demikian juga baju ijuk yang dimaksudkan sebagai pelindung tubuh, kini bisa membakar tubuh mereka sendiri juga. Maka orang Ndoso pun kalah dan melarikan diri (pulang ke kampung mereka di gunung sebelah Kilor).

Tetapi terhadap cerita ini serta merta muncul beberapa pertanyaan kritis: Perlu diingat dan disadari juga bahwa orang-orang Ndoso sendiri juga mempunyai cerita turun temurun sebagai imigran, perantau, pendatang dari luar Manggarai. Pertanyaan saya secara pribadi ialah, samakah orang Ndoso itu dengan orang Ndasa, leluhur kami? Saya belum dapat menjawab pertanyaan ini dengan pasti. Maka saya bertekad untuk meneliti tentang hal ini. Ya, saya harus cari tahu versi cerita ini dari orang-orang Ndoso atau Ndasa. Kalau orang Ndoso sama dengan orang Ndasa, mengapa mereka mengungsi dari Gunung? Memang kalau kita lihat dari jauh, di kampung Ndoso di gunung itu ada tanah longsor. Mungkin hal itulah yang menyebabkan mereka melarikan diri dan menetap di dataran rendah di Lembor, di daerah persawahan. Sekarang ini pun dari jauh kita masih bisa melihat sebuah langke besar di mukang beo di Ndasa itu. Kata orang-orang di Kampung, konon di sana masih ada compang. Maka suatu saat aku harus bisa sampai ke sana untuk merekam suasana Kampung asli dan purba di sana. Ya aku harus ke sana.


Bandung, 25 November 2008. (dikomputerisasi dan diperluas isinya).

Ditulis dalam BH-ku tanggal 21 November 2008.


JEJAK LODOK DI LEMBOR?

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Beberapa hari lalu saya menelpon adik saya, Kanis (papa Nessa) di kampung, Dempol, Manggarai Barat. Ternyata sekarang dia berada di Labuan Bajo; ia sudah bekerja di sana pada salah satu kantor pemerintahan daerah di sana. Puji Tuhan atas perkembangan ini. Semoga dia semakin maju dalam kariernya itu. Pada saat itu saya sebenarnya hanya mau menanyakan kepada dia tentang satu pertanyaan penting yang belakangan ini selalu muncul dalam pemikiran saya. Inilah pertanyaan itu? Apakah di Lembor dulu memang ada uma atau lingko yang dibagi secara tradisional dalam bentuk Lodok itu? Sebab sejauh yang dapat saya ketahui dan amati selama ini, tidak ada lingko atau uma lodok di Lembor. Dan kesan atau pengetahuan awal itu menimbulkan satu pertanyaan besar dalam hati saya.

Tetapi ternyata dalam jawabannya, Kanis mengatakan bahwa dulu di Lembor sesungguhnya ada juga uma atau lingko dengan sistem lodok itu, atau sistem pembagian lingko dalam bentuk lodok. Sebagai buktinya, Kanis berkata bahwa sekarang ini kita masih bisa melihat bekasnya atau lebih baik tanda-tanda sisanya di Wae Nakeng. Masih menurut Kanis, di sana kita bisa melihat bekas lodok itu. Oleh karena ini adalah sisa, maka perlu didokumentasikan. Maka saya pun meminta Kanis agar ia segera membuat foto bekas lodok yang ada di Wae Nakeng itu sebagai bukti dan jejak sejarah adanya uma atau lingko lodok di Lembor.

Nah, kalau sekarang uma atau lingko lodok itu sudah tidak ada lagi, berarti sistem lodok itu di Lembor sudah menjadi masa silam, sebab yang tinggal hanya bekas-bekasnya saja. Sedangkan dalam kenyataannya orang tidak lagi membagi tanah mereka dengan sistem lodok itu. Sekali lagi, sistem lodok itu sudah menjadi fosil dalam ingatan manusia belaka. Ini amat menyedihkan tentu saja.

Sehubungan dengan ini muncullah beberapa pertanyaan kritis-historis dalam diri saya: Pertama, kapan uma dengan sistem pembagian berbentuk lodok ini mulai menghilang? Kedua, mengapa hal itu terjadi? Atau lebih jelasnya, mengapa fakta kehilangan lodok itu sampai bisa terjadi? Apakah hal itu terjadi karena ada hubungan dengan perubahan status tanah sebagai komoditas dagang dan sebagai barang modal atau kapital? Kapan perubahan status tanah itu mulai terjadi? Terus terang saja, saya tidak dapat memastikan hal itu. Perlu penyelidikan lapangan untuk membuktikan hal itu secara meyakinkan. Pertanyaan lain yang muncul ialah, apakah dalam visi lama tidak ada visi komoditas-ekonomis seperti itu? Pertanyaan ini juga tidak atau belum dapat saya jawab secara pasti. Perlu penelitian lapangan yang intens dan mendalam.

Kalau di Lembor tidak ada lagi lodok, maka yang paling banyak ada di Lembor ialah pembagian tanah dengan cara tilas yaitu membagi tanah menurut atau secara (dalam bentuk) persegi panjang. Mungkin hal ini dipandang jauh lebih praktis; mudah dibagi-bagi, dan terutama juga mudah dijual, yaitu dijadikan sebagai komoditas dagang. Mungkin hal itu harus dijelaskan demikian: Tidak ada lagi rasa takut atau keengganan kalau toh harus dijual, sebab tidak ada lagi sentrum kosmis atau axis mundi yang sakral di tengah lodok itu. Kalau ini benar adanya, maka inilah salah satu butir dari proses desakralisasi hidup Manggarai akibat invasi pandangan, dan nilai-nilai ekonomis modern. Kalau sentrum kosmis tidak ada lagi, maka tidak ada lagi juga tabu-tabu yang biasanya mengatur perilaku hidup orang Manggarai. Itulah beberapa pikiran spontan yang muncul dalam benak kalbu saya ketika mulai mendapat ilham seperti ini.

Dan hal ini amat berbeda dengan masa kecil saya di Ketang (Rejeng, Lelak) dulu. Sebab saya melewatkan masa kecil saya, sampai tamat sekolah dasar di sana. Rumah masa kecil saya di sana terletak di lereng bukit kecil. Dan di dataran terhampar tiga lodok sawah besar: yaitu sawah Ka dan sawah le Temek Pong, dan le Rejeng. Juga ada sawah le Londa. Belum lagi uma tana masa di golo Nosot dan di Pelus. Setiap saat saya bisa menikmati dua atau tiga “sarang laba-laba” raksasa yang indah dan mengagumkan; hijau di musim tanam, kuning di musim menuai. Kerontang di musim kemarau. Tetapi kadang-kadang menjadi danau di musim hujan, sebab air meluap menutup sawah-sawah itu.

Tiba-tiba di sini saya dilanda nostalgia yang memunculkan beberapa pertanyaan: Apakah sekarang ini sawah-sawah itu masih ada? Sebab itulah tempat saya bermain-main pada masa kecilku, tempat aku mencari ikan di kali, mencari rumput untuk kuda-kuda papaku. Juga tempat aku menyepi, baik menyepi karena mau menyepi, maupun menyepi karena merasa sedih kalau lagi dimarahin papa atau ibu. Di situlah saya mulai mengasah kecintaan dan keakraban saya dengan alam, dengan bunyi jangkrik, bunyi belalang, bunyi percikan air mengalir di sungai kecil, bunyi desau angin yang merayu dedaunan padi yang menghijau.

Di akhir nostalgia itu saya masih sempat berkata dan bertanya: Kalau sawah-sawah itu masih ada, sampai kapan hal itu akan bisa bertahan? Saya juga teringat akan sawah di Ndaring, sawah di Pengkong, sawah orang Tango. Juga sawah di Cancar. Semuanya indah. Sarang laba-laba raksasa. Sayang, kalau semuanya itu hilang karena tergusur oleh ledakan penduduk, atau cara berpikir modern dalam rupa invasi pandangan dan nilai-nilai ekonomis yang serba praktis dan pragmatis itu. Kalau itu terjadi, saya harus meratapinya mulai dari sekarang ini.


Bandung, 21 November 2008

Diketik sambil diperkaya, 25 November 2008.

Kamis, 13 November 2008

KUNI AGU KALO

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Ada kaitan yang erat antara nativity dan identity. Identitas seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya (nativity). Sebab di sanalah orang itu dilahirkan; itulah tanah tumpah darahnya, tanah tempat darahnya tertumpah untuk pertama kalinya dalam proses lahirya dan terutama dalam proses pemotongan tali pusarnya (umbilical cord). Boleh dikatakan itulah kuni agu kalo-nya. Dalam paham dan pandangan orang Manggara, kuni agu kalo ini sangat penting. Jangan sampai orang membuangnya, atau melupakannya; jangan sampai orang mengabaikannya. Maka ada nasihat dalam sebuah lagu rakyat yang sangat terkenal, yang berbunyi sbb: Neka oke kuni agu kalo n ta ngkiong ngkiong e.

Tetapi apa itu kuno agu kalo? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab atau dicari jawaban dan penjelasannya. Cukup lama saya berusaha mencari penjelasan dan jawaban atas pertanyaan itu, atau tentang kedua kata kata. Dalam rangka itu saya mencoba bertanya kepada siapa saja, baik di Manggarai sendiri maupun pada orang-orang Manggarai di perantauan. Untunglah, saya baru mendapatkannya kurang lebih dua tahun yang lalu (dihitung dari tahun ketika teks ini ditulis dengan tulisan tangan dalam BH-ku, jadi dari tahun 2007). Walau penjelasan itu belum memuaskan, dan bukan satunya penjelasan yang sah dan memadai tentang hal itu. Oleh karena itu, saya masih akan tetap mencari penjelasan lebih lanjut lagi. Di bawah ini adalah salah satu penjelasan yang bisa saya kemukakan tentang hal itu.

Ada banyak cara orang memperlakukan “barang” yang keluar bersama bayi pada saat lahir. Dalam bahasa Manggarai disebut mbau, yang secara harfiah berarti naungan, perlindungan, suaka, yang memberi kesegaran, yang memberi daya hidup baru (tetapi sekaligus tersirat bahaya, sebab di sana bisa ada atau datang binatang buas untuk mencari naungan dari terik matahari). Ada yang membuang mbau itu dengan cara direndam di riam sungai, atau jeram. Tetapi sesungguhnya dulu orang menguburkan mbau itu dalam tanah, seperti upacara penguburan biasa. Kemudian kuburan itu ditandai dengan ditanam di atasnya pohon dadap (kalo) dan jambu mete; biji jambu mete itu disebut kuni. Dengan demikian, sebagian jatidiri awal bayi itu ditanam di bumi dan ditandai dengan pohon.

Jadi, nasihat “neka oke kuni agu kalo” itu artinya jangan sampai orang melupakan tanah tumpah darahnya, tanah di mana mbau awalnya ditanam, seakan-akan mendahului dan menigngatkan akan eksistensi kita kelak, yaitu mati, dan kita semua akan kembali ke tanah, ke dalam rahim pertiwi. Tentu menarik untuk bertanya lebih lanjut: mengapa kuni dan mengapa kalo? Kalo biasanya berfungsi sebagai tanaman pelindung dan diyakini mengandung air. Mata air ditanami dadap agar mata air itu lestari. Mungkin karena ia mempunyai daya resap yang tinggi. Maka dadap berarti perlindungan dan air sumber hidup. Sedangkan kuni? Mungkin fungsinya seperti asam dalam masyarakat Betawi, Kampung Sawah. Kalau pohon itu nanti berbuah, banyak pihak ngiler. Tidak hanya manusia, tetapi juga binatang, kalong, dll. Lebah amat menyukai kembangnya yang banyak. Mungkin rindang daunnya yang hijau abadi (ever-green) juga dibayangkan sebagai naungan, mbau, bagi mbau awal kita.

Mega Matra Jakarta,

30 Mei 2007

Diketik kembali dan diperluas, 14 November 2008


Selasa, 11 November 2008

DERE NARING DIHA MARIA (LUK.1:46-56)

Terjemahan: Fransiskus Borigas M. (EFBE@fransisbm)

46 Mai tae di Maria ga:

“O nai go paka naring ga Morin,

47 o wakar daku kole ga nisang ketay

ai Mori Kraeng de Ata Sambe daku,

48 ai Hia poli lelon mose kasi-asi daku mendiN.

Te tu’un wili ga,

pu’ung kaut te ho’on,

sangged taung wa’u one tana lino ho’o

ita/lelo mose di’a daku,

49 ai Hia Sengaji Mese

poli pande tanda lenget latang taku,

ai nggeluk keta de ngasang Diha.

50 Loli Liha molem ntaung widang nggeluk

latang te ata io agu suju Hia.

51 Toto kole Liha kuasaN,

ali sangged apa kaut ata pande Diha

agu pande mbehars (becangs) liha

sangged taung ata siot mese keta naid.

52 Pande pa’us Liha

sangged ata siot raja laings lawang ho’o,

agu tetis Liha sangged ata siot lembak keta naid;

53 Hia kole poli teing apa-apa kaut

latangt ata siod darem mese,

agu wurs Liha sangged taung ata bora,

ngo ne nggitu kauts agu lme kanang;

54 Hia kole poli campe ata Israel, mendiN,

ai nuk kid Liha (ai teo hemongs Liha) widang NggelukN.

55 Neho ata poli reke Diha danong main ga

latang te empo liok dite danong,

latangt hia Abraham

agu sangged taung wa’u uku diha

dengkir tayn agu tedeng len.”

56 Hi Maria ga ka’eng lawang kira-kira telu wulang one mbaru diha Elisabet; poli hitu ga hia kole nggere one mbaru de run.

Bandung, 24 Oktober 2008.

Terjemahan percobaan (agak bebas): Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


MAZMUR 23:1-6

Mori Ame go, ata gembala di’a keta

Mazmur diha Mori Adak Raja David

  1. Mori go ata gembala daku,

toe manga susa apa-apan mose daku.

  1. Hia pande elor aku one oka peno remang lebo,

Hia dadang aku ngger one ulu wae liok-lingop.

  1. Hia pande ngelo wakar daku,

Hia dadang aku loleng salang ata molorn,

lorong ata poli tae Derun (lorong kuasa ngasang Derun)

  1. Konem po aku lako loleng malok nendep,

aku toe rantang ata da’at,

ai Ite lami aku.

Dongkar agu sembore Dite Mori pande lembu nai daku.

  1. Ite pande siap dia-dia hang minak latang te aku,

olo mai mata data bali daku.

Ite loma sa’i daku, le mina benge;

Ite tiba aku neho meka mese,

piala daku penong terus (mole m ntaung).

  1. Bae laku More Ite di’a bail latang te aku,

agu momang aku molem taung turung duhu cemoln mose daku,

sehingga senang keta nai daku te kaeng one mbaru Dite

dengkir tayn agu tedeng len.

(Amen).


Terjemahan: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm).

Lokakarya: Hand Book, LAI Bogor. Selasa, 15 Maret 2005

OLD AND NEW: 2006-2007, FILSAFAT WAKTU

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Sebentar lagi tahun 2006 akan segera berlalu. Lembar-lembar sejarah sudah tertoreh tinta, entah hitam, entah biru, entah hijau, entah kuning, bahkan mungkin tinta merah. Dan waktu berjalan terus. Tanpa dapat kita hentikan. Tidak apa-apa. Mungkin perlu jiwa besar untuk bisa membiarkan ia berlalu, dan tinggal dalam kenangan. Mungkin perlu jiwa besar untuk tidak usah meratapi dan menyesalinya berlama-lama.

Sebentar lagi tahun 2007 datang. Menarik bahwa konon nama bulan Januari diambil dari nama salah seorang dewa Romawi Kuno, yaitu Dewa Janus. Dewa Janus itu digambarkan sebagai Dewa bermuka dua. Satu menghadap ke muka (ke arah seperti kita) dan satunya lagi menghadap ke belakang, ke punggung. Jadi, ia bisa menatap ke depan sekaligus ke belakang. Wajah yang ke depan ialah wajah untuk menerawang ke masa depan, ke cakrawala waktu yang masih mendatangi. Sedangkan wajah yang ke belakang ialah wajah untuk menerawang ke masa silam, ke cakrawala waktu yang sudah berlalu.

Tentu kita tidak usah harus bermuka dua seperti itu untuk dapat melakukan penerawangan baik masa silam maupun ke masa depan. Apalagi kata muka-dua itu berkonotasi negatif,dalam pemakaian sehari-hari, yang artinya, plintat-plintut, tidak ada pendirian, mudah ke sana dan kemari. Tidak punya sikap jelas.

Penerawangan ke masa silam berarti kaleidoskop, yaitu melihat secara kilas balik apa yang sudah terjadi dalam hidup kita baik secara personal, maupun sosial dan komunal. Sejauh mana rapor kita sudah baik dalam tahun yang berlalu ini. Sekaligus kita mengevaluasi, sejauh mana saya sudah mengalami kemajuan dari tahun 2005 sebelumnya. Atau jangan-jangan tidak ada kemajuan sama sekali. Alias tinggal di tempat. Alias mandeg. Alias tidak ada perkembangan. Kalau demikian, sayang sekali, sebab sebenarnya kita sudah mati. Mungkin kita kurang mampu me-manage waktu dan kehidupan kita. Mungkin kita kurang mampu me-manage hati (qalbu) dan pikiran kita.

Sedangkan penerawangan ke masa depan berarti rencana, niat-niat, dan target serta tekad bulat ke waktu yang akan datang. Tentu rencana, niat, target, tekad itu dibuat berdasarkan apa yang sudah secara realistik kita lakukan dalam tahun yang akan segera berlalu ini. Tidak usah muluk-muluk. Kalau misalnya dalam tahun 2006, ini saya kurang tekun belajar sebagai mahasiswa, yaitu belajar meraih dan meningkatkan prestasi, maka niat di tahun 2007 ialah, belajar tekun sebagai mahasiswa. Bukannya malah banyak tidur, atau banyak ngobrol, dan bahkan mungkin begadang main kartu, dll. Itu hanya salah satu contoh. Contoh lain bisa diperpanjang lagi. Itulah niat yang nyata dan kongkret. Niat untuk mengubah mutu hidup.

Saya juga mau menimba sedikit dari filsafat waktu orang Mangarai. Dalam bahasa Manggarai, tahun yang sudah berlalu disebut Ntaung olo. Sedangkan tahun yang masih akan datang disebut Ntaung musi. Bagi saya ini sangat menarik. Mengapa? Karena kata olo kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti depan, atau di depan. Sedangkan kata musi kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti, belakang, di belakang. Jadi, ntaung olo kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun depan (tahun yang akan datang). Sedangkan ntaung musi kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun belakang. Tetapi yang dimaksudkan dalam cara berpikir orang Manggarai ialah justru kebalikannya: Ntaung olo berarti tahun yang sudah lewat, tahun yang sudah berlalu. Sedangkan Ntaung musi berarti tahun yang masih akan datang, yang masih akan menyusul dari belakang untuk kemudian berjalan terus ke depan, dan akhirnya berlalu.

Filsafat waktu orang Manggarai ini harus dimengerti dalam konteks perjalanan. Kalau kita sedang dalam perjalanan, orang-orang yang sudah melewati kita, kita katakan, olo d ise bao ga, artinya mereka sudah berjalan di depan mendahului kita. Sedangkan orang yang masih di belakang kita, kita katakan, musi kid ise ye, artinya mereka masih di belakang, dan itu berarti masih akan menyusul, masih akan mendatangi kita di sini dan saat ini.

Apa yang dapat ditarik dari Filsafat waktu ini? Tidak lain ialah bahwa kita saat ini mengarungi perjalanan hidup kita dalam waktu, dalam sejarah, sambil menunggu datangnya waktu yang masih di belakang, dan sekaligus melihat atau menyaksikan waktu itu berjalan lewat ke depan kita, dan ia berjalan menuju ke depan kita.

Tetapi semoga kita tidak menatap waktu yang berjalan lewat itu dengan penuh penyesalan. Melainkan dengan tekad baru yang lebih baik lagi. Sebab menurut kitab Pengkotbah semuanya ada waktunya. Mungkin ada baiknya saya kutip kitab itu untuk menutup renungan ini:

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut apa yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, awa waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, awa waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai..... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkht 3:1-11).

Bandung, 27 Desember 2006

Taman Kopo Indah II, Blok D4.No.40 Bandung, 40218.