Senin, 01 Juni 2020

CERPEN: MAKANAN ADALAH SURGA

Oleh: Fransiskus Borgias M. Hujan rintik-rintik sudah berlangsung hampir dua minggu. Orang Manggarai menyebutnya dureng. Sekarang kata itu sudah masuk ke dalam salah satu kosa kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yang jelas dureng ini menyebabkan orang malas keluar rumah, sehingga babi-babipun berteriak dengan suara parau dan ramai memanggil atau merengek-rengek makanan pada tuannya. Tetapi karena hujan rintik berkepanjangan, maka sang tuan pun malas. Namun babi tidak berhenti berteriak dengan suara parau. Lain halnya bagi seorang anak SD usia sekitar 14 tahunan. Nama anak itu Nelis. Walaupun hujan rintik-rintik mau tak mau ia harus pergi antre bulgur di pastoran sebab di sanalah bantuan bencana kelaparan dipusatkan. Tetapi hari itu ia belum makan pagi. Mungkin karena persediaan makanan sudah tidak ada lagi. Perutnya tentu lapar berat. Tungkai dan lututnya terasa lemas. Ia harus berjalan sampai ke pastoran. Perutnya buncit, tanda busung lapar. Kulitnya hitam. Untung ingusnya tidak lagi mengalir seperti ketika ia masih kelas 1 sd. Kalau tidak ingus itu menyerupai dua buah sungai kecil yang mengalir sejajar di dalam hutan belantara hitam, sebab ia hitam kulitnya. Setelah berjalan cukup jauh dari kampungnya, ia tiba di pastoran. Nafasnya tersengal-sengal. Ia menggigil kedinginan karena memang ia kehujanan. Ia menjadi semakin lemas. Namun ia harus masuk dalam barisan untuk mengantre pembagian bantuan bulgur. Antrean masih cukup panjang. Ia berada di barisan kira-kira ke-65 orang. Masih cukup panjang. Sebuah penantian yang menyiksa. Belum lagi 10 orang lewat dalam layanan, tiba-tiba Nelis sudah tidak lagi mampu berdiri. Ia jatuh pingsan. Jelas, ia kelaparan dan kedinginan, dan keletihan, sebab dari kampungnya ia harus berjalan selama lebih dari satu jam untuk mencapai pusat paroki. Ayah saya, seorang guru SD yang diminta pastor Paroki untuk membantu membagi dan mendistribusikan bulgur itu, langsung meminta orang-orang agar membawa Nelis ke rumah kami. Ayah sendiri ikut mengantarkannya ke sana. “Mama, tolong kasih makan anak ini. Ia kelaparan dan kedinginan. Makanya ia jatuh pingsan ketika mengantre bulgur.” Setelah memberi keterangan singkat itu, ayah segera pulang lagi ke pastoran karena tugasnya belum selesai. Semula ibu saya hanya bengong saja melihat kedatangan orang-orang itu yang memapah Nelis. Setelah mereka semua pergi, ia pergi ke dapur mengambil apa saja yang bisa dimakan. Memang kami tidak serba kelebihan dalam soal makanan, tetapi kami tidak kelaparan selama musim lapar yang mencengkam ini. Ibu mencedok makan (nasi jagung) satu piring penuh. Yang tersisa hanya sayur dingin daun singkong. Itu juga diberikan. Tidak ada lauk-pauk lain. Nelis yang kini sudah siuman dan rada pulih kembali, duduk dan mulai makan. Ia makan dengan sangat lahapnya, sebab ia memang sangat kelaparan. Dalam sekejab nasi sepiring penuh dan sayur semangkuk penuh, habis dimakan Nelis, seakan-akan dengan menelannya begitu saja tanpa mengunyah. Sebab ia tidak terutama mau menikmati makanan itu di dalam dan dengan mulutnya, melainkan terutama dengan maksud untuk mengisi perutnya. Memang dalam keadaan seperti ini, makanan bukan lagi terutama untuk mulut, melainkan untuk perut. Lalu ia meminum segelas air yang juga sudah disediakan ibu saya. Barulah sesudah itu ia berdoa, walau pada awalnya tadi ia tidak berdoa. Sekarang ia berdoa sesudah selesai makan. Ia berdoa begitu saja tanpa diawali tanda salib sebagaimana lazimnya orang-orang Katolik berdoa. “Tuhan, terima kasih.” Jeda sejenak. “Makanan adalah surga, makanan adalah kebahagiaan.” Jeda lagi. “Engkau telah datang ke mari lewat mama dan bapa. Mereka dewa penolongku dari kelaparan ini.” Sambil memandang ibuku: “Mama e, ite dewa ata campe saep daku. Ite malaekat campe latang te aku.” Begitulah doanya dengan sepotong kalimat bahasa Manggarai. Sesudah itu, daya makanan itu sudah mulai bekerja di dalam perutnya. Itu tampak dalam pancaran sinar matanya yang mulai cerah bersinar. Ia mulai tersenyum dan mampu berbicara banyak. Memang anaknya seorang periang. Tiada henti-hentinya ia memuji kebaikan Mama yang telah menjadi tangan Tuhan baginya untuk menolong hidupnya. Setelah kenyang dan selamat, ia mohon pamit pada mama untuk kembali masuk dalam antrean di gudang pastoran. Papa memandang dia dengan senyum. Papa yakin ia sudah selamat. Ketika mata Nelis berpautan dengan papa, ia mohon ijin kepada teman di belakangnya agar menjaga baris antreannya karena ia mau menyampaikan sesuatu kepada papa. “Papa, engkaulah dewa penolong dan penyelamatku. Terima kasih bapa. Engkau telah menjadi bapaku.” Papa hanya memandang dengan terharu kepada dia. Lalu Nelis kembali lagi ke barisan antreannya. Kini dengan daya kekuatan baru, dan juga dengan sebuah tekad baru: memulai hidup baru setelah selamat dari ancaman maut kelaparan. Sebab ia tahu, kalau ia tidak segera ditolong, mungkin ia akan segera mati entah kelaparan atau kedinginan. Ia mendapat jatah bulgur, lalu dibawanya pulang untuk dimakan bersama ibunya yang menunggu di rumah. Sesungguhnya bulgur itu rasanya tidak enak di lidah, tetapi makanan bukanlah untuk lidah dan mulut melainkan untuk untuk perut. Karena ia tampak kurang gizi, maka ia juga mendapat jatah tambahan berupa susu bubuk. Tetapi susu ini baunya amis. Tetapi bukan itu masalahnya. Orang di kampung tidak pernah minum susu. Mereka tidak biasa minum susu. Begitu mendapat jatah susu bubuk, mereka mengecapnya dan merasakan sebuah cita rasa aneh. Tetapi lagi-lagi mereka tidak peduli dengan citarasa itu di mulut mereka. Yang penting ialah perut mereka. Sebab perkara perut adalah perkara hidup. Sedangkan perkara mulut adalah perkara kenikmatan sesaat. Dengan konsep seperti itu, Nelis mencoba menikmati semuanya itu dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan. Ia diberitahu bahwa sumbangan itu berasal dari Luar Negeri, mungkin dari Amerika Serikat. Konon makanan itu di sana adalah makanan ternak (kuda). Ya, mau apa lagi. Dalam situasi kelaparan seperti ini, mereka tidak punya pilihan lain. Nelis teringat akan cerita gurunya di sekolah pada hari-hari pertama pelajaran agama. Anak bungsu yang nakal itu kelaparan di negeri orang. Ia terpaksa makan makanan babi dan bahkan bersama babi. Setidaknya anak bungsu itu punya pilihan: pulang ke rumah bapanya dan bisa makan kenyang di sana. Nelis tidak mempunyai pilihan itu. Dan ia menangis karena ia tidak tahu siapa ayahnya dan di mana ayahnya. Dan ia tidak mau lagi menanyakan hal itu kepada ibunya. Satu kali ia pernah tanyakan hal itu karena didesak teman-temannya yang mengolok dia “anak lalo” (yatim). Dan ibunya hanya menjawab dengan diam, dan tetesan air mata. Bagi Nelis, tangis ibunya jauh lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa dan di mana ayahnya. Maka ia diam. Juga kalau ditanya teman-temannya.