Kamis, 27 November 2008

KESADARAN WAKTU ORANG MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dulu ketika masih anak-anak, saya sering mendengar orang-orang tua berkata kepada satu sama lain ketika mereka akan mengakhiri satu pekerjaan bersama, terutama ketika sore hari sudah tiba dan kegelapan datang mendekat. Biasanya mereka mengungkapkan hal itu dalam sebuah singkatan yang sangat menarik sebagai berikut: nggisdi dipoda. Itu tidak lain adalah sebuah singkatan (akronim), sebuah ungkapan yang lebih panjang dalam konteks pergaulan, dan relasi sosial antara manusia. Kepanjangannya adalah Nggitus di, diang po danong. Artinya kalau diterjemahkan secara bebas adalah: cukup sekian dulu atau cukup sampai di sini dulu, untuk hari (kali) ini, nanti baru dilanjutkan atau diteruskan besok.

Mungkin generasi muda Manggarai sekarang ini sudah tidak ada lagi yang akrab dan mendengar ungkapan ini. Ya, memang ini adalah sebuah ungkapan dari dan di masa silam, terutama ketika masih ada kerja dodo atau kerja leles dalam menyelesaikan sawah atau kebun (menanam, menyiangi, dan juga menuai). Dengan demikian dalam ungkapan singkat ini ada unsur menunda penyelesaian pekerjaan.

Maka muncul kesan sepintas bahwa ini adalah sebuah mentalitas sosial yang tidak mau tuntas dalam bekerja dan pekerjaan. Juga bisa muncul kesan bahwa dengan ungkapan itu orang mau bermalas-malas. Tetapi bagi saya tidaklah demikian halnya dan adanya.

Dalam tafsiran saya itu adalah sebuah ajakan yang sopan untuk memberi istirahat pada tubuh kita sendiri. Tubuh juga perlu menikmati istirahat pada malam hari. Bila perlu tubuh itu dimanjakan setelah seharian bekerja keras, dimanjakan di dalam kebersamaan, dalam makan bersama, dalam mengobrol bersama, dll.

Kalau dilihat dan ditafsirkan dengan cara seperti ini, maka ini tidak lain adalah sebentuk kearifan yang dapat kita temukan padanannya dalam kitab Pengkotbah itu: semuanya ada waktunya dan pada waktunya. Kalau semuanya ada waktunya dan pada waktunya, maka kita bisa menghadapi dan mengarungi misteri perjalanan waktu itu dengan sangat tenang dan matang. Kalau semuanya ada waktunya dan pada waktunya, maka tidak usah tergesa-gesa di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Kita perlu berlatih bersabar di dalam rentang perjalanan waktu. Mudah-mudahan juga bisa diterima dan dipahami bahwa ketergesa-gesaan tidak dapat menyelesaikan soal atau masalah hidup.

Apa yang lebih penting: adalah bahwa ada suatu kesadaran akan hari esok. Esok itulah yang perlu dimaknai dan diapresiasi juga. Di sini saya teringat akan sebuah syair lagu rohani Kristiani dalam bahasa Inggris: Happiness is where you are and what you to be…. Tomorrow is fuller than a thousand yesterday….. ya hari esok jauh lebih bermakna dari pada sejuta hari kemarin. Kemarin itu bahkan membawa kepedihan tertentu dalam kenangan nostalgic kita seperti dikatakan oleh the Beetles dalam lagu Yesterday-nya itu.

Tetapi yang patut diingat dan disadari terus menerus adalah adanya kontinyuitas waktu dan kontinyuitas waktu itu ditandai dengan kontinyuitas kerja, aktifitas. Kontinyuitas eksistensi tidak lain adalah kontinyuitas dalam waktu dan dengan memaknai waktu itu dengan kerja. Maka istirahat bagi tubuh yang sudah lelah menjadi sangat penting, terutama dalam rangka mencegah fenomena yang disebut burnt-out itu. Juga istirahat itu dimaksudkan untuk mencegah gejala workaholic (kecanduan kerja). Istirahat bisa juga meningkatkan disiplin kerja manusia, dalam pembagian dan perencanaan waktu kerja. Ungkapan di atas tadi, menyiratkan bahwa si penutur sungguh sadar benar bahwa masih ada hari esok. Waktu tidak berhenti pada hari ini. Tetapi waktu itu akan terus mengalir dari jentera waktu masa depan. Kalau kita terpaksa menyelesaikan suatu pekerjaan dengan tergesa-gesa pada hari ini, mungkin hal itu justeru bisa bermutu rendah. Tetapi kalau dilakukan besok maka bisa menghasilkan sesuatu yang lebih indah, walau ada risiko kehilangan mood kerja dan mementum yang cepat dan tepat.

Tetapi ajakan untur beristirahat di sore hari, berarti ada waktu untuk tenang; ada waktu untuk diri sendiri, ada waktu untuk Tuhan. Ada tabu-tabu sore hari, untuk malam, yang tidak boleh dilanggar. Maka mereka harus berhenti bekerja agar jangan sampai mereka melanggar tabu-tabu malam. Sebab malam itu adalah waktu yang suci. Kadang-kadang perlu bahwa kita beristirahat atau berlibur untuk Tuhan.


Bandung, 28 November 2008.

Ditulis dalam BH 16 November 2008.


Tidak ada komentar: