Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Sebentar lagi tahun 2006 akan segera berlalu. Lembar-lembar sejarah sudah tertoreh tinta, entah hitam, entah biru, entah hijau, entah kuning, bahkan mungkin tinta merah. Dan waktu berjalan terus. Tanpa dapat kita hentikan. Tidak apa-apa. Mungkin perlu jiwa besar untuk bisa membiarkan ia berlalu, dan tinggal dalam kenangan. Mungkin perlu jiwa besar untuk tidak usah meratapi dan menyesalinya berlama-lama.
Sebentar lagi tahun 2007 datang. Menarik bahwa konon nama bulan Januari diambil dari nama salah seorang dewa Romawi Kuno, yaitu Dewa Janus. Dewa Janus itu digambarkan sebagai Dewa bermuka dua. Satu menghadap ke muka (ke arah seperti kita) dan satunya lagi menghadap ke belakang, ke punggung. Jadi, ia bisa menatap ke depan sekaligus ke belakang. Wajah yang ke depan ialah wajah untuk menerawang ke masa depan, ke cakrawala waktu yang masih mendatangi. Sedangkan wajah yang ke belakang ialah wajah untuk menerawang ke masa silam, ke cakrawala waktu yang sudah berlalu.
Tentu kita tidak usah harus bermuka dua seperti itu untuk dapat melakukan penerawangan baik masa silam maupun ke masa depan. Apalagi kata muka-dua itu berkonotasi negatif,dalam pemakaian sehari-hari, yang artinya, plintat-plintut, tidak ada pendirian, mudah ke sana dan kemari. Tidak punya sikap jelas.
Penerawangan ke masa silam berarti kaleidoskop, yaitu melihat secara kilas balik apa yang sudah terjadi dalam hidup kita baik secara personal, maupun sosial dan komunal. Sejauh mana rapor kita sudah baik dalam tahun yang berlalu ini. Sekaligus kita mengevaluasi, sejauh mana saya sudah mengalami kemajuan dari tahun 2005 sebelumnya. Atau jangan-jangan tidak ada kemajuan sama sekali. Alias tinggal di tempat. Alias mandeg. Alias tidak ada perkembangan. Kalau demikian, sayang sekali, sebab sebenarnya kita sudah mati. Mungkin kita kurang mampu me-manage waktu dan kehidupan kita. Mungkin kita kurang mampu me-manage hati (qalbu) dan pikiran kita.
Sedangkan penerawangan ke masa depan berarti rencana, niat-niat, dan target serta tekad bulat ke waktu yang akan datang. Tentu rencana, niat, target, tekad itu dibuat berdasarkan apa yang sudah secara realistik kita lakukan dalam tahun yang akan segera berlalu ini. Tidak usah muluk-muluk. Kalau misalnya dalam tahun 2006, ini saya kurang tekun belajar sebagai mahasiswa, yaitu belajar meraih dan meningkatkan prestasi, maka niat di tahun 2007 ialah, belajar tekun sebagai mahasiswa. Bukannya malah banyak tidur, atau banyak ngobrol, dan bahkan mungkin begadang main kartu, dll. Itu hanya salah satu contoh. Contoh lain bisa diperpanjang lagi. Itulah niat yang nyata dan kongkret. Niat untuk mengubah mutu hidup.
Saya juga mau menimba sedikit dari filsafat waktu orang Mangarai. Dalam bahasa Manggarai, tahun yang sudah berlalu disebut Ntaung olo. Sedangkan tahun yang masih akan datang disebut Ntaung musi. Bagi saya ini sangat menarik. Mengapa? Karena kata olo kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti depan, atau di depan. Sedangkan kata musi kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti, belakang, di belakang. Jadi, ntaung olo kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun depan (tahun yang akan datang). Sedangkan ntaung musi kalau diterjemahkan harfiah berarti Tahun belakang. Tetapi yang dimaksudkan dalam cara berpikir orang Manggarai ialah justru kebalikannya: Ntaung olo berarti tahun yang sudah lewat, tahun yang sudah berlalu. Sedangkan Ntaung musi berarti tahun yang masih akan datang, yang masih akan menyusul dari belakang untuk kemudian berjalan terus ke depan, dan akhirnya berlalu.
Filsafat waktu orang Manggarai ini harus dimengerti dalam konteks perjalanan. Kalau kita sedang dalam perjalanan, orang-orang yang sudah melewati kita, kita katakan, olo d ise bao ga, artinya mereka sudah berjalan di depan mendahului kita. Sedangkan orang yang masih di belakang kita, kita katakan, musi kid ise ye, artinya mereka masih di belakang, dan itu berarti masih akan menyusul, masih akan mendatangi kita di sini dan saat ini.
Apa yang dapat ditarik dari Filsafat waktu ini? Tidak lain ialah bahwa kita saat ini mengarungi perjalanan hidup kita dalam waktu, dalam sejarah, sambil menunggu datangnya waktu yang masih di belakang, dan sekaligus melihat atau menyaksikan waktu itu berjalan lewat ke depan kita, dan ia berjalan menuju ke depan kita.
Tetapi semoga kita tidak menatap waktu yang berjalan lewat itu dengan penuh penyesalan. Melainkan dengan tekad baru yang lebih baik lagi. Sebab menurut kitab Pengkotbah semuanya ada waktunya. Mungkin ada baiknya saya kutip kitab itu untuk menutup renungan ini:
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut apa yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, awa waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, awa waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai..... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkht 3:1-11).
Bandung, 27 Desember 2006
Taman Kopo Indah II, Blok D4.No.40 Bandung, 40218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar