Selasa, 11 November 2008

SYAIR LAGU-LAGU MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Sejauh yang dapat saya amati selama ini, lagu-lagu lama dalam bahasa Manggarai banyak memakai permainan variatif vokal sebagai syair utamanya. Maksud saya ialah tidak jarang syair lagu-lagu lama itu hanya berupa perpaduan dan permainan variatif vokal ou-ae-ea-io atau sekadar perpanjangan dari masing-masing vocal tadi, misalnya, iiiiooooooooooo….. Dan yang sangat menarik ialah bahwa hal itu sudah cukup atau paling tidak sudah dianggap cukup menjadi sebagai syair lagu. Mungkin akan ada orang yang secara spontan bertanya, kok syair lagu hanya seperti itu? Tetapi itulah yang menjadi kenyataan dalam tradisi lagu-lagu Manggarai lama.

Sebuah lagu dalam Dere Serani, misalnya, dimulai dengan syair sbb: ouoea, bong Morinou etane…..etc. (Dere Serani itu sendiri adalah buku kumpulan lagu-lagu liturgi Katolik dalam Bahasa Manggarai yang sudah diterbitkan sejak awal tahun 60an). Nah, muncul pertanyaan reflektif-filosofis: Gejala apakah ini? Lalu bagaimana gejala ini dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan? Itulah yang coba saya upayakan dalam tulisan yang serba singkat dan sederhana ini.

Sesungguhnya ada beberapa penjelasan tentang hal ini. Pertama, mungkin hal itu disebabkan karena kekurangan kata-kata sehingga orang cenderung memakai variasi vokal dasar yang itu-itu saja (ouoea, iiiiiooo aoaeeeaaaaa). Jadi, seakan-akan terdapat sebuah ajakan di sini untuk kembali saja ke level vokal, atau ke level fonem. Seakan-akan tersirat sebuah pesan, daripada menyusahkan atau merepotkan diri dengan mencari-cari beban makna dan pemaknaan bagi kata-kata yang menjadi syair sebuah lagu, maka lebih baik membiarkan bunyi dasar dan alami dari vokal itu menampilkan dirinya sendiri secara apa adanya, telanjang, tanpa tedeng aling-aling, dan ia memang bisa indah juga di dalam ketelanjangannya itu. Tetapi tentu saja penjelasan ini sangat sederhana walau tidak dapat diabaikan begitu saja.

Kedua, mungkin juga karena lagunya adalah lagu sedih; jadi terdengar seperti meratap (memang kebanyakan lagu-lagu tradisional Manggarai bercorak dasar sedih, atau paling tidak melankolik; mungkin karena lagu-lagu itu memantulkan geografis manggarai yang bergunung-gunung dan lembah yang dalam, yang menyebabkan orang terengah-engah kalau menempuh perjalanan melewati alam seperti itu). Dalam konteks melankoli seperti itu, sering sekali kata-kata tidak terucap dengan serba jelas. Mungkin karena sedih, dan pilu maka orang memakai vokal dan tidak memakai konsonan yang cenderung bisa meletup dalam bunyi mulut. Letupan konsonan menimbulkan efek protes, pemberontakan, kehiruk-pikukan, dan bahkan mungkin keonaran, chaos. Ya, letupan konsonan itu tentu saja tidak bisa mendatangkan efek keheningan dan haru di dalam syair lagu, juga dalam upacara peratapan sedih. Lain sekali kalau yang dipakai adalah vokal, yang mencitrakan ketenangan, keheningan. Berlambat-lambat serba mengalir tenang. Itulah efek natural dari vokal, sesuatu yang tidak mungkin terjadi lewat efek natural konsonan.

Ketiga, menurut hemat saya, hal itu juga mungkin disebabkan karena orang suka meniru bunyi-bunyi alam. Ada satu paham filsafati mengenai musik, bahwa musik tidak lain adalah tiruan dari alam (sebagaimana seni lukis dianggap sebagai pantulan dari alam, paling tidak seni lukis yang bercorak naturalis, fotografis). Dan bunyi-bunyi alam itu kebanyakan mencitrakan keheningan walau selalu dalam verbalisasi onomatopianya selalu merupakan perpaduan antara vokal dan konsonan. Bunyi burung hantu diverbalisasi dengan poh-poh-poh, jadi perpaduan antara konsonan p, vokal o, dan konsonan lembut h. Atau bunyi anak ayam yang kesepian karena merasa tertinggal sendirian: kiok-kiok-kiok (jadi perpaduan antara konsonan k di awal dan di akhir, dan di tengahnya ada dominasi vokal i dan o). Contoh-contoh seperti ini masih bisa diperpanjang lagi. Dan pola-pola ini rasanya mengendap dalam syair lagu-lagu Manggarai.

Keempat, mungkin hal itu disebabkan karena orang mau kembali ke level fonem dari bahasa dan tidak mau merepotkan diri dengan level semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, gejala tadi bisa saja dipandang sebagai semacam dekonstruksi syair: mencari makna tidak lagi pada level konstruksi semantik, atau pada level sintaksis fonem-fonem, melainkan kembali saja pada level satu fonem. Level fonetik itu sendiri sudah mengandung makna dan nilai tersendiri.

Tetapi sayang sekali bahwa dewasa ini, semua hal itu sudah hilang, sudah tidak ada lagi. Para pencipta atau pengarang lagu-lagu modern Manggarai dewasa ini cenderung mencipta syair lagu lengkap dengan kata-kata lengkap, tidak eliptik, tidak berhenti atau kembsli lagi ke level fonem tadi. Orang meninggalkan fonem dan mencoba mencari konstruksi makna pada tataran konstruksi semantik dan sintaksis dan tidak lagi membiarkan fonem, fonetik, itu menampilkan diri dalam ketelanjangannya dan di situlah letak keindahannya.

Apakah ini suatu perkembangan ataukah justru sebuah kemunduran? Bisa ya, dan bisa juga tidak. Hal ini bisa dinilai sebagai sebuah perkembangan, karena banyak pengaruh dari bentuk-bentuk sastra syair lagu-lagu modern. Ada invasi pengaruh syair modern. Tetapi bisa juga dinilai sebagai sebuah kemunduran, karena ini berarti hilangnya satu mata rantai warisan kultural berupa syair-syair lagu. Belum lagi saya berbicara tentang not-not atau nada-nada dalam lagu-lagu lama Manggarai. Terpaan nada-nada dan gaya modern sangat kuat sehingga nada-nada lama menghilang begitu saja. Agak sulit mendekskripsi secara verbal not-not asli lagu-lagu Manggarai. Tetapi kalau didengar dan dinyanyikan barulah akan terasa kekhasan dan keunikannya. Ini juga patut disayangkan. Untung sudah ada buku Dere Serani itu dalam bahasa Manggarai. Tetapi masih berapa banyakkah orang yang bisa menyanyikan lagu-lagu dalam Dere Serani itu? Ini suatu fakta yang menyedihkan dan memprihatinkan. (Di sini saya teringat akan beberapa syair dari Sutarji Calzoum Bachri, yang mencoba merobek kata-kata, agar bisa kembali ke level bunyi-bunyi dasar (fonem) di balik kata-kata itu. Dan sekaligus teringat juga akan ulasan Ignas Kleden dan Leo Kleden tentang hal itu. Ada baiknya dirujuk untuk pengembangan tulisan ini).

Bandung, 23 Mei 2008

Diketik ulang sambil diperluas dan dikoreksi, 6 November 2008


Tidak ada komentar: