Minggu, 21 Agustus 2011

BENGGONG MBERE LELE BENGGONG

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul yang tertera di atas adalah judul sebuah lagu rakyat Manggarai yang terkenal. Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara promosi pariwisata Komodo oleh Kemenbudpar di Denpasar Bali, seorang penyanyi asal Manggarai, Ivan Nestorman, menyanyikan lagu Benggong ini di Televisi, tepatnya di Metrotv. Saya merasa senang dan bangga juga menonton dan mendengarnya; sebuah aransemen baru hasil karya Dwiki Darmawan. Saya senang dan bangga sebab akhirnya lagu rakyat itu terdengar atau diperdengarkan juga melalui media televisi nasional. Luar biasa. Sebuah loncatan dialektis-historis yang sungguh mengagumkan. Tidak lama sesudah itu muncul perbincangan dan pertanyaan di beberapa group lawa Manggarai tentang makna atau arti lagu itu. Ada yang mengaku bingung dan tidak tahu makna lagu itu. Atau apa konteks historis sosio-kultural lagu itu. Sejenak sebelum menyanyikan lagu itu, Ivan Nestorman sedikit memberi kata pengantar yang kurang lebih mengatakan bahwa lagu ini adalah lagu perpisahan ketika seorang anak pergi jauh untuk merantau. Saya tidak seluruhnya sependapat dengan anggapan atau pandangan seperti itu.

Ketika membaca semua kesaksian mengenai ketidak-tahuan dan kebingungan itu, saya tiba-tiba teringat akan catatan saya beberapa waktu sebelumnya yang mencoba merekam kembali sebuah endapan diskusi di masa silam dengan seorang tokoh pencinta dan penafsir kebudayaan Manggarai, yaitu Pater Florianus Laot OFM. Pada kesempatan ini saya hanya mau mengangkat kembali catatan singkat dan sederhana itu di sini untuk disumbangkan sebagai sumbangan pemikiran bagi kita semua dalam rangka memahami dan mendalami khasanah kebudayaan Manggarai dan kemanggaraian kita, akan warisan historis Manggarai tercinta. Saya mencatat goresan itu dalam buku harian saya; di sana saya kurang lebih menulis sebagai berikut:

Hari ini, 17 Juni 2011 saya tiba-tiba teringat akan diskusi saya dengan Pater Flori Laot OFM beberapa tahun silam di Pagal, Manggarai, Flores, ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral di sana tahun 1987-1988. Saya masih ingat dengan sangat baik bahwa pokok diskusi kami salah satunya ialah mengenai lagu rakyat Manggarai yang judulnya ialah Benggong. Dalam diskusi itu kami mencoba menjawab sebuah pertanyaan pokok ini: apa arti lagu itu? Apa konteks sosio-historis kultural lagu itu? Dari diskusi itu kemudian muncul dua hipotesis tentang makna lagu itu. Tulisan ini selanjutnya hanya mencoba mengulas kedua hipotesis tersebut.

Tetapi sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya saya kutip dulu di sini lagu itu selengkapnya sebagaimana saya menghafalnya sejak kecil (walau saya tahu bahwa sudah ada beberapa arransemen lagu itu; misalnya dalam bentuk Paduan Suara saya temukan sebuah arransemen di Seminari Kisol dulu; kami sering nyanyikan lagu itu dengan pendahuluan suara Solo dari Berti Fernandes dan kemudian John Sabinus Ongko; yang terakhir kita dengar di televisi kemarin adalah hasil arransemen Dwiki Darmawan). Beginilah bunyi lagu itu:

Benggong / mbere lele benggong / hostiga benggong / rangkang lada benggong / lako ko toe hi nana lupi nanga / ho haes teku wae / betong benggong banggong. / Rasung wa rasung wa / toe ita ende go ema go / betong benggong banggong.

Kembali ke kedua hipotesis yang saya sebutkan di atas. Pertama, hipotesis onomatopisasi bunyi. Kedua, hipotesis penelusuran etimologis untuk mencapai dan merekonstruksi makna. Saya sendiri pada saat diskusi itu ada pada kubu yang pertama. Bahkan saya berani mengatakan bahwa sayalah yang mengajukan hipotesis pertama ini. Sedangkan P.Flori ada pada kubu kedua. Tegasnya, dialah yang mengajukan hipotesis kedua ini. Beginilah alur argumentasi yang pertama.

Untuk kepentingan hipotesis onomatopisasi ini saya mengusulkan cara penulisan yang sedikit lain terhadap lagu di atas tadi. Saya mengusulkan cara penulisan seperti berikut ini.
Benggongmberelelebenggong
hostigabenggong
rangkangladabenggong
lakokotoehinanalupinanga
hohaestekuwae
betongbenggongbanggong.
Rasungwarasungwa
toeitaendegoemago
betongbenggongbanggong.


Saya mengusulkan cara penulisan seperti itu karena bagi saya Lagu Benggong itu sebenarnya hanya merupakan sebuah onomatopisasi bunyi pukulan gong dan gendang. Cara penggalan di atas menggambarkan satuan bunyi gong dan gendang. Ingat bahwa kata Benggong itu pasti ada kaitan yang sangat erat secara fonetis dengan kata Nggong (Gong) dalam untaian kata-kata lagu itu. Itulah inti hipotesisnya. Jadi, syair lagu itu bagi saya bukanlah kata-kata biasa sebagaimana yang biasa kita dengar dan pahami dalam hidup dan pemakaian sehari-hari.

Salah satu bunyi paling dasar yang berulang-ulang (semacam bunyi refrein) ialah Benggong-betong-benggong. Kita sering mendengar onomatope seperti itu untuk bunyi gong. Memang ada bunyi pukulan gong (bolo nggong) yang dionomatopisasi dengan frasa benggong-betong-benggong itu. Di tengah bunyi utama benggong-betong-benggong itu muncul onomatope-onomatope lain: misalnya onomatope bunyi pukulan gendang (yang biasa sekali dimainkan bersama gong) mberelele (tidak perlu bahwa kata mberelele itu sama dengan kata lele mbere dalam hidup dan pemakaian sehari-hari), melainkan itu hanya tiruan bunyi dari bunyi gaya pukulan gendang atau pun tambur.

Selanjutnya ada onomatope hostiga yang dalam pemahaman saya adalah onomatope bunyi gendang yang lebih kecil. Lalu ada Rangkanglada; ini juga adalah onomatope bunyi pukulan gendang. Begitu juga frasa lakokoteohinanalupinanga. Ini juga adalah onomatope bunyi pukulan gendang. Begitu juga frasa Hohaestekuwaebetongbenggong. Ini juga adalah onomatope. Begitu juga dengan penggalan terakhir: rasungwarasungwa/ toeitaendegoemago/ betongbenggongbanggong. Ini juga merupakan contoh onomatope lebih lanjut. Jadi, bagi saya lagu itu hanya onomatope yang di sana-sini secara kebetulan sesuai dengan satu kata tertentu, misalnya betong, tetapi sesungguhnya ia hanya tiruan bunyi dalam bentuk kata saja, onomatope. Dalam konteks pemahaman dan tafsir seperti ini, kata benggong sendiri tidak mempunyai arti sama sekali.

Jadi, bagi saya seluruh lagu itu adalah kata-kata yang terbentuk dari tiruan bunyi; itu sebabnya ada kata-kata yang tidak punya arti yang jelas dalam bahasa sehari-hari. Begitulah misalnya kata hostiga, atau benggong-banggong. Itu hanya onomatope. Kata-kata onomatope itu hanya punya status fungsional yaitu untuk melatihkan gaya pukulan gong dan gendang tertentu kepada anak atau generasi muda. Sebagai contoh saya memberi cara pelatihan drumband di Seminari Kisol dulu. Tiap bunyi pukulan diberi satu simbol. Dengan cara itu bunyi tersebut bisa dilatihkan kepada orang lain. Itu metode yang sangat biasa dalam pelbagai tradisi kebudayaan.

Pater Flori untuk sebagian dapat menerima hipotesis saya, tetapi kemudian ia mengajukan catatan kritis dan keberatan. Katanya: Jika lagu ini seluruhnya adalah sekadar onomatope, bagaimana kita dapat menjelaskan kata-kata yang memang jelas artinya dalam lagu tersebut; misalnya kata-kata seperti mbere, lele, betong, lako, nana,lupi, nanga, teku, wae, rasung, ende, ema, toe ita. Sejenak saya tertegun dengan argumen kontra ini, tetapi kemudian saya mengatakan bahwa kata-kata yang jelas artinya itu dipakai sekadar sebagai pelancar fungsional fonetis belaka dalam untaian bunyi onomatope itu, sebab mereka sama sekali tidak sambung menyambung dalam rangka membangun satu kompleksitas makna yang utuh dan terpadu. Tetapi argumen ini tetap tidak dapat diterima oleh P.Flori.

Karena itu, ia pun mengajukan hipotesisnya sendiri tentang makna lagu tersebut. Hipotesis itu berupa sebuah penelusuran etimologis. Atas dasar penelusuran etimologis itu P.Flori berkesimpulan bahwa lagu ini sebenarnya erat terkait dengan sejarah drama tragis perbudakan Manggarai abad 19 dan awal abad 20. Lagu itu muncul dalam konteks sejarah perbudakan tersebut. Tetapi selanjutnya menurut P.Flori, lagu itu sudah mengalami proses erosi sejarah dan karena itu mengalami kekaburan makna karena kekaburan etimologinya. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan upaya penelusuran etimologis itu. Beginilah garis besar penelusuran etimologis yang dilakukan P.Flori.

Menurut dia kata Benggong sebenarnya berasal dari kata dasar atau frasa Bengt go, yang artinya “sekarang kita akan segera berpisah” atau “Baiklah kita berpisah.” Tetapi mengapa berpisah? Itu karena “kamu akan mendapat tugas baru,” yaitu menjadi “ata lele mbere,” menjadi tukang pikul tas orang lain. Dengan kata lain, sekarang ia akan menjadi budak, menjadi pesuruh, menjadi “ata pola mendo,” “jiri ata taki mendi laing.” Peristiwa perpisahan itu akan terjadi segera karena kini ada upacara penyerahan budak-budak itu kepada para pengumpul budak: hal itu terungkap dalam kata hostiga. Menurut P.Flori kata hostiga itu berasal dari frasa Ho’os teid ga, yang artinya “sekarang ini mereka akan segera diserahkan.” Lalu ada ungkapan Rangkang lada: P.Flori melewatkan frasa ini. Ia tidak bisa menjelaskannya. Tetapi mengikuti hipotesis dia, saya memahami frasa ini sebagai sebuah metafor yang mempunyai dua makna. Pertama, jumlah mereka (para budak) itu ada banyak sebanyak bunga lada yang sedang mekar (rangkang). Kedua, peristiwa perpisahan itu terjadi pada musim bunga lada mekar, dan itu artinya sekitar bulan Juli-Agustus; memang konon itulah bulan yang menjadi saat pengumpulan upeti dulu (uang, madu, hasil bumi, barang dagang, lilin, dan termasuk para budak). P.Flori juga melewatkan begitu saja ungkapan lako ko toe hi nana lupi nanga. Ia tidak dapat menjelaskan arti ungkapan ini. Karena itu, sekali lagi, bagi saya bunyi ini justru semakin memperkuat teori onomatope saya di atas tadi. Lalu ada ungkapan Ho haes teku wae: Artinya “Inilah teman bagi kalian sebagai teman/pengiring untuk pergi menimba air.” Itu salah satu tugas pada budak, orang suruhan.

Akibat perpisahan karena nasib menjadi budak tadi, mereka (para budak) tidak dapat lagi melihat ibu dan ayah mereka untuk selama-lamanya. Itulah tatapan dan perjumpaan mereka yang terakhir. Setelah itu putus hubungan dan tidak ada lagi kontak sama sekali. Sebuah nasib yang amat menyedihkan. Tragis sekali. (NB: Ketika menulis bagian ini, saya teringat akan gambar-gambar dari museum sejarah perbudakan yang melukiskan dan merekam tatapan sedih para budak Negro dari Afrika yang dibawa oleh saudagar Belanda, setelah sebelumnya mereka ambil dari kandang-kandang yang dibangun oleh para haji di Afrika, untuk dibawa ke kawasan Karibia untuk digemukkan di sana, lalu setelah gemuk, sehat, dan kuat dijual ke perkebunan kapas dan tebu di Amerika Serikat bagian Selatan, yang sangat membutuhkan tenaga mereka). Itulah sebabnya pengalaman itu dianggap amat mencelakakan, dianggap peristiwa yang mengandung racun mematikan, karena membuat suram masa silam sekaligus masa depan. Hal itulah yang terungkap dalam frasa rasung wa, rasung wa. Ya peristiwa perpisahan itu adalah peristiwa fatal yang terjadi secara tiba-tiba begitu saja di depan mata mereka, tanpa bisa terhindarkan atau dielakkan. Dan itu memutus mata rantai relasi mereka secara total. Memang begitulah nasib tragis para budak: sejak mereka dijual menjadi budak, mereka dicabut secara total dari relasi sosial biologis dan kultural mereka. Dengan itu mereka kehilangan identitas sosial dan kultural. Hal itu tentu menyedihkan bagi manusia sebagai makhluk sosio-kultural.

Sesungguhnya saat diskusi itu kami tidak dapat mencapai kata sepakat sama sekali mengenai penafsiran atas lagu tradisional Benggong ini. Tetapi kami tidak ngotot mempertahankan pendapat kami masing-masing. Mungkin karena kami sadar kami sedang berurusan dengan masa silam yang serba kelam. Selanjutnya dalam refleksi pribadi saya cenderung untuk tidak memilih salah satu hipotesis sebagai kebenaran. Saya cenderung untuk tetap mengakomodasi kedua penjelasan dan penafsiran itu karena saya beranggapan dan berkeyakinan bahwa kedua pendekatan itu pasti bisa dipakai dan berguna untuk memaknai dan menafsirkan kembali lagu klasik Manggarai ini. Saya berharap agar di masa depan hipotesis ini bisa ditingkatkan menjadi sebuah tesis, kalau boleh bisa menjadi sebuah teori sosial yang pasti. Saya berharap generasi muda Manggarai, dengan bekal hermeneutik yang lebih baik dari saya sekarang, bisa melakukan hal itu dengan lebih baik.

Bandung, 17-18 Juni 2011.
Diketik ulang dari Buku Catatan Harianku seraya diperluas 21 Agustus 2011.

Senin, 01 Agustus 2011

REIS, RUIS, RAES, RAOS....

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hari ini, 25 April 2011, saya tiba-tiba teringat akan sebuah dialog ringan antara saya dan Pater Flori Laot OFM, beberapa puluh tahun lalu ketika saya sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di postulan OFM di Pagal, Manggarai, Flores. Seperti biasa beliau selalu muncul dengan beragam pikiran yang segar dan tajam, bahkan cenderung aneh-aneh, dan mengejutkan. Tetapi suatu kali ia tampak serius dan tampil sebagai filsuf Manggarai, yah sebab di mata saya ia adalah sosok Socrates Manggarai. Pada saat itu saya sangat ingat ia berbicara tentang substansi relasi intersubjektifias menurut paham dan pandangan orang Manggarai. Betapa saya sangat terkejut karena menurut beliau inti pokok Filsafat Manusia Manggarai sesungguhnya hanya berkisar di sekitar beberapa kata-kata kunci sbb: Reis, Ruis,Raes, Raos. Juga dengan urutan seperti itu, karena menurut Pater Flori, urutan itu tidak boleh dibalik, tidak bisa dibalik; hanya urutan itu saja yang mempunyai makna filosofis, katanya.

Sejenak setelah mengucapkan inti pokok filsafat manusia itu, seperti biasa Pater Flori berdiam diri sejenak. Dan hal itu sudah menjadi semacam kebiasaan dia di dalam metode pengajarannya. Diam untuk memancing dialog dan pertanyaan kritis entah itu terucapkan dalam kata-kata ataupun sekadar tampak melalui expresi wajah. Saat itu saya memilih diam dan hanya menampakkan pertanyaan saya lewat ekspresi wajah saya. Rupanya setelah melihat dan mendengar rasa penasaranku, Pater Flori lalu mulai menjelaskan pandangan filosofisnya dengan berangkat dari sebuah analisis semantik atas kata-kata yang sudah disebutkannya di atas tadi.

Menurut dia, keinginan manusia Manggarai untuk membangun relasi dan komunikasi terungkap secara paling mendasar dalam kata Reis. Tentu saja kata reis ini berakar pada akar kata rei yang arti leksikalnya ialah bertanya, menanyakan. Tetapi seperti yang kita lihat di sini, kata dasar rei itu diberi imbuhan akhir berupa huruf s sehingga kata dasar rei itu lalu berubah menjadi reis. Penambahan imbuhan akhir itu menyebabkan terjadi transformasi makna semantik atas kata rei itu dan sekarang dalam bentuk reis ia mempunyai arti menyapa orang lain (menyapa sesama) dengan penuh keramah-tamahan, dengan kelemah-lembutan, dan dengan memakai tutur kata yang halus, sopan, dan serba terpilih. Lalu di sana, setelah ada peristiwa reis, atau berkat reis itu, pihak yang di-reis akan membuka diri dengan senyum ramah dan tutur kata yang halus dan sopan, menjawab atau menanggapi reis itu dengan wale. Lalu di sana secara otomatis akan terbangun sebuah relasi, terbangun sebuah komunitas, komunitas wacana, community of discourse, meminjam istilah dari filsuf Jerman Juergen Habermas. Setiap kali ada tamu yang bertandang ke rumah orang Manggarai, maka tamu itu akan terlebih dahulu disapa dengan reis. Semua urusan lain datang belakangan sesudah reis itu. Reis itu menandakan bahwa si tamu yang datang bertandang itu sudah diterima di rumah itu, bahkan diterima dalam hati si tuan rumah. Tidak hanya di rumah. Bertemu di jalan juga selalu diawali dengan reis, dan dengan reis itu maka suasana pun lalu menjadi cair, akrab, dekat, dari hati ke hati. Betapa ada mukjizat kata-kata yang terucap di sana. Reis menjadi sebuah peristiwa mukjizat. Mukjizat relasi, mukjizat komunikasi dalam kata-kata, relasi verbal. Sebab menurut Yohanes, pada awal mula adalah kata, en arche en ho logos.

Buah hasil dari saling keterbukaan yang diawali dengan peristiwa dan mukjizat reis itu, muncullah sebuah suasana dan mukjizat kedua yang terungkap dalam kata kedua dalam daftar di atas tadi, Ruis. Ruis sendiri pada dasarnya berarti dekat, kedekatan, keakraban, hospitalitas, keramah-tamahan. Berkat ruis ini, dia yang tadinya adalah orang asing, orang luar, orang jauh, kini menjadi orang yang dekat, orang dalam, sanak saudara, teman ataupun sahabat, menjadi saudara (menarik untuk diperhatikan di sini bahwa konon secara etimologis kata saudara berarti satu perut, satu rahim, sa-udara). Begitulah kira-kira filsafat heterology dari Michel de Certeau dalam projek heterologinya itu yang juga sangat dipengaruhi oleh Emanuel Levinas (terutama terkenal dengan proyek “yang lain”nya yang kehadirannya menantang kita secara etis) dan Pierre Bourdieu yang terkenal dengan konsep habitus-nya itu. Dalam konteks ini terbangunkan sebuah solidaritas, sebuah belarasa, sebuah perkumpulan yang ditandai oleh kedekatan. Di sana apa yang tadinya asing lalu menjadi akrab, apa yang tadinya jauh lalu menjadi dekat, semua lalu menjadi saudara, satu rahim, satu perut.

Dalam pemikiran pater Flori, hal itu tidak hanya berhenti di ruis saja. Jika ruis sudah terbangun, maka secara otomatis akan muncul juga sebuah keinginan yang lain yaitu keinginan untuk raes. Kata raes ini pada dasarnya mempunyai arti menemani, menyertai, to accompany. Orang mau menemani karena orang sudah merasa akrab, dekat. Kedekatan itu menciptakan suasana dan rasa aman, feeling secure, security. Rasa aman itulah yang pada gilirannya mendorong dan menggerakkan orang untuk mau menemani, raes, to accompany. Tanpa perasaan ruis itu tidak mungkin muncul keinginan dan kerela-sediaan untuk raes. Ruis menjadi prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi raes. Tanpa ruis tidak akan muncul perasaan dan keinginan raes. Itu sebabnya, jika setelah terciptanya ruis, dan orang tidak ada waktu untuk raes, maka orang itu akan memohon ijin dengan penuh kesopanan agar dimaafkan karena tidak bisa terus dalam raes itu.

Lalu di akhir semuanya itu, muncullah raos. Apa arti kata raos ini? Kata Raos ini pada dasarnya berarti suasana keramaian karena keramah-tamahan. Raos itu sendiri memang berarti ramai, tetapi keramaian ini bukanlah sebuah keramaian yang terjadi karena ribut gaduh, seperti keramaian di pasar, suasana crowded, melainkan keramaian yang terbangun dari dan karena rasa kedekatan, keakraban, yang tercipta karena hospitalitas. Jadi semua alur itu bermuara pada keramaian karena keramahan, pada raos. Apa yang dimulai pada reis, lalu terus ke ruis, lalu terus ke raes, akhirnya bermuara pada raos.

Rupanya uraian filosofis pater Flori tidak hanya berhenti di situ saja. Sebab ia masih melanjutkan penuturannya dengan menerapkan filsafat kata-kata itu ke relasi personal. Menurut beliau, pada tingkat relasi personal suasana raos ini akan bermuara pada rao, yang artinya memeluk erat, dan rao (atau nggao) itu tidak lain adalah tanda cinta, tanda keakraban, tanda saling berbagi, saling berbuka, tanda menjadi satu tubuh, menjadi satu daging. Lalu dari persatuan personal, persatuan tubuh itu muncul hidup dan ada baru, dan hidup serta ada yang baru itu akan melanjutkan denyut kehidupan dan ada ke masa yang akan datang.

Ditulis kembali dan dikembangkan (dengan kata-kata saya sendiri)
02 Agustus 2011.