Rabu, 24 Januari 2024

PENGKOTBAH 11:9-12:8

Sebuah Usul Terjemahan 

Oleh: Fransiskus Borgias 


11:9: Naka ga meu, o ata reba, one mose uwa de meu, kong nisang naim one mose du reme rebam. Lut ga le mau apa kaut ngoeng de naim agu minak mata lelom, maik paka bae de le mau ai sangged sa o sa situ bas de tayi le Mori Kraeng ngger one osang bete bisar! 

11:10: Oke ga le meu sangged reget one mai nai de hau, agu pande tadang koes sangged susa one mai weki de hau, ai mose uwa agu par leso de mose hoo de toe keta manga betuan a (toe manga jiri laingn a). 

12:1: Nuk ga le hau Mori Jari Dedek de hau one mose uwam ho'o, sang du toe di sai leso-leso penong susa agu toe di mai ruis sangged ntaung siot ne nggo'o benggatn le hau: 'Toe keta manga mose minakn latang te aku one lawang ntaung situ.'" 

12:2: Sang du mataleso agu gerak, wulang agu sangged ntala jiring nendeps gi, agu sain kole rewung nengkem du poli usang; 

12:3: Sang du ata lami mbaru jiri jejers gi, agu sangged ata mberes jiri tekos taung wekid ga, agu sangged taung inewai ata tuk agu penang ga emos gejurd ai toe do koed nekid bilangd ise, agu ata siot niok one mai petongang (paratongang), jiri sabuk tauk matad. 

12:4: agu sangged taung para one lupi salang poli taungs tadud, agu runit ngencung tuk agu watu penang toe danga mese agu nggecang keta, agu sangged rewerng ga jiri neho runid de kaka lelap, agu sangged taung ata dere tengguk taungs sa'id ai lemelengkus taungs ise. 

12:5: agu rantang taungs sangged ata ngo ngger eta osang langkas keta, agu one salang ga do keta ata pande sopel mose laing, agu bengkar koles wela lokom ga, rengka ga susa keta sorok weki run agu mesa taungs sangged napasu; ai mensia ga bara te ngo ngger one mbaru beo mese, agu sangged ata lorang hela haed one salang; 

12:6: du toe di pande bete rante perak agu lampu pelita one mai lolak toe di pande pesa, du toe di pande bike sangged gumbang one ruis mata wae teku agu roda te tekun waw ga pande rusak beta mai sumur; 

12;7: agu kebok jiri kole tana neho du wangka puungn danong agu hul nai mose kole-kole ngger one Mori Keraeng ata poli teid taung situ. 

12:8: Toe keta manga betuad (ata jiri laaingd) tae diha Pengkotbah, sanggen taung situ toe keta manga betuad. 


Bandung, Jalan Nias No.2, Bandung, Jawa Barat. 

Dr, Fransiskus Borgias, MA. 



Selasa, 23 Januari 2024

MAZMUR 137

MAZMUR 137 

Ini adalah terjemahan saya dari teks Mazmur 137 itu ke dalam bahasa Manggarai. 

One lupi ngalor-ngalor sina Babel. 

One lupi ngalor-ngalor sina Babel, sina hitu ami reme lonto jongok agu retang, eme nuk kole lami Sion. 

One pu'u-pu'u haju gandarusa sina osang hitu, ami teong kecapi dami. 

Ai sina hitu de ata siot deko ite ho'o tegi one ite kudut ite te dere, 

iset ata ndaek ite ho'o tegi one ite san dere ata pande nisang nai: 

"Dere ga latang te ami dere sina mai Sion!" 

Landing so'o ketay saran lite san dere dere de Mori Keraeng one tana oke ho'o? 

Eme aku hemong hau, o Yerusalem, com kong kaut dangon lime wanang daku! 

Som kong kautn lema daku depet one mu'u beta daku, eme aku toe nuk hau, 

eme aku toe pande Yerusalem jiri pu'un agu londekn nisang nai daku! 


Nuk koe Lite yo Mori, nuku wa'u Edom, ise siot du leso pande renso agu lerakn Yerusalem ga ne nggo'o taed: "Pande renso, pande renso kauty, pande renso sangge rata wa tana!" 

O meut anak molas Babel, meu ho'ot ngoeng keta te pande apa ata da'atn keta, porong bahagia koes ata siot pande leko kole latang te meu, sangged taung apa ata poli pande de meu latang te ami!" 

Porong bahagia koes ata siot deko agu pande bike anak-anak koe de meu one lobo golo watu! 


Terjemahan yang saya buat pada tanggal 24 Februari 2012. 

Saya baru sempat mengetik dan menerbitkannya dalam Blog saya. 

 

Senin, 01 Juni 2020

CERPEN: MAKANAN ADALAH SURGA

Oleh: Fransiskus Borgias M. Hujan rintik-rintik sudah berlangsung hampir dua minggu. Orang Manggarai menyebutnya dureng. Sekarang kata itu sudah masuk ke dalam salah satu kosa kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yang jelas dureng ini menyebabkan orang malas keluar rumah, sehingga babi-babipun berteriak dengan suara parau dan ramai memanggil atau merengek-rengek makanan pada tuannya. Tetapi karena hujan rintik berkepanjangan, maka sang tuan pun malas. Namun babi tidak berhenti berteriak dengan suara parau. Lain halnya bagi seorang anak SD usia sekitar 14 tahunan. Nama anak itu Nelis. Walaupun hujan rintik-rintik mau tak mau ia harus pergi antre bulgur di pastoran sebab di sanalah bantuan bencana kelaparan dipusatkan. Tetapi hari itu ia belum makan pagi. Mungkin karena persediaan makanan sudah tidak ada lagi. Perutnya tentu lapar berat. Tungkai dan lututnya terasa lemas. Ia harus berjalan sampai ke pastoran. Perutnya buncit, tanda busung lapar. Kulitnya hitam. Untung ingusnya tidak lagi mengalir seperti ketika ia masih kelas 1 sd. Kalau tidak ingus itu menyerupai dua buah sungai kecil yang mengalir sejajar di dalam hutan belantara hitam, sebab ia hitam kulitnya. Setelah berjalan cukup jauh dari kampungnya, ia tiba di pastoran. Nafasnya tersengal-sengal. Ia menggigil kedinginan karena memang ia kehujanan. Ia menjadi semakin lemas. Namun ia harus masuk dalam barisan untuk mengantre pembagian bantuan bulgur. Antrean masih cukup panjang. Ia berada di barisan kira-kira ke-65 orang. Masih cukup panjang. Sebuah penantian yang menyiksa. Belum lagi 10 orang lewat dalam layanan, tiba-tiba Nelis sudah tidak lagi mampu berdiri. Ia jatuh pingsan. Jelas, ia kelaparan dan kedinginan, dan keletihan, sebab dari kampungnya ia harus berjalan selama lebih dari satu jam untuk mencapai pusat paroki. Ayah saya, seorang guru SD yang diminta pastor Paroki untuk membantu membagi dan mendistribusikan bulgur itu, langsung meminta orang-orang agar membawa Nelis ke rumah kami. Ayah sendiri ikut mengantarkannya ke sana. “Mama, tolong kasih makan anak ini. Ia kelaparan dan kedinginan. Makanya ia jatuh pingsan ketika mengantre bulgur.” Setelah memberi keterangan singkat itu, ayah segera pulang lagi ke pastoran karena tugasnya belum selesai. Semula ibu saya hanya bengong saja melihat kedatangan orang-orang itu yang memapah Nelis. Setelah mereka semua pergi, ia pergi ke dapur mengambil apa saja yang bisa dimakan. Memang kami tidak serba kelebihan dalam soal makanan, tetapi kami tidak kelaparan selama musim lapar yang mencengkam ini. Ibu mencedok makan (nasi jagung) satu piring penuh. Yang tersisa hanya sayur dingin daun singkong. Itu juga diberikan. Tidak ada lauk-pauk lain. Nelis yang kini sudah siuman dan rada pulih kembali, duduk dan mulai makan. Ia makan dengan sangat lahapnya, sebab ia memang sangat kelaparan. Dalam sekejab nasi sepiring penuh dan sayur semangkuk penuh, habis dimakan Nelis, seakan-akan dengan menelannya begitu saja tanpa mengunyah. Sebab ia tidak terutama mau menikmati makanan itu di dalam dan dengan mulutnya, melainkan terutama dengan maksud untuk mengisi perutnya. Memang dalam keadaan seperti ini, makanan bukan lagi terutama untuk mulut, melainkan untuk perut. Lalu ia meminum segelas air yang juga sudah disediakan ibu saya. Barulah sesudah itu ia berdoa, walau pada awalnya tadi ia tidak berdoa. Sekarang ia berdoa sesudah selesai makan. Ia berdoa begitu saja tanpa diawali tanda salib sebagaimana lazimnya orang-orang Katolik berdoa. “Tuhan, terima kasih.” Jeda sejenak. “Makanan adalah surga, makanan adalah kebahagiaan.” Jeda lagi. “Engkau telah datang ke mari lewat mama dan bapa. Mereka dewa penolongku dari kelaparan ini.” Sambil memandang ibuku: “Mama e, ite dewa ata campe saep daku. Ite malaekat campe latang te aku.” Begitulah doanya dengan sepotong kalimat bahasa Manggarai. Sesudah itu, daya makanan itu sudah mulai bekerja di dalam perutnya. Itu tampak dalam pancaran sinar matanya yang mulai cerah bersinar. Ia mulai tersenyum dan mampu berbicara banyak. Memang anaknya seorang periang. Tiada henti-hentinya ia memuji kebaikan Mama yang telah menjadi tangan Tuhan baginya untuk menolong hidupnya. Setelah kenyang dan selamat, ia mohon pamit pada mama untuk kembali masuk dalam antrean di gudang pastoran. Papa memandang dia dengan senyum. Papa yakin ia sudah selamat. Ketika mata Nelis berpautan dengan papa, ia mohon ijin kepada teman di belakangnya agar menjaga baris antreannya karena ia mau menyampaikan sesuatu kepada papa. “Papa, engkaulah dewa penolong dan penyelamatku. Terima kasih bapa. Engkau telah menjadi bapaku.” Papa hanya memandang dengan terharu kepada dia. Lalu Nelis kembali lagi ke barisan antreannya. Kini dengan daya kekuatan baru, dan juga dengan sebuah tekad baru: memulai hidup baru setelah selamat dari ancaman maut kelaparan. Sebab ia tahu, kalau ia tidak segera ditolong, mungkin ia akan segera mati entah kelaparan atau kedinginan. Ia mendapat jatah bulgur, lalu dibawanya pulang untuk dimakan bersama ibunya yang menunggu di rumah. Sesungguhnya bulgur itu rasanya tidak enak di lidah, tetapi makanan bukanlah untuk lidah dan mulut melainkan untuk untuk perut. Karena ia tampak kurang gizi, maka ia juga mendapat jatah tambahan berupa susu bubuk. Tetapi susu ini baunya amis. Tetapi bukan itu masalahnya. Orang di kampung tidak pernah minum susu. Mereka tidak biasa minum susu. Begitu mendapat jatah susu bubuk, mereka mengecapnya dan merasakan sebuah cita rasa aneh. Tetapi lagi-lagi mereka tidak peduli dengan citarasa itu di mulut mereka. Yang penting ialah perut mereka. Sebab perkara perut adalah perkara hidup. Sedangkan perkara mulut adalah perkara kenikmatan sesaat. Dengan konsep seperti itu, Nelis mencoba menikmati semuanya itu dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan. Ia diberitahu bahwa sumbangan itu berasal dari Luar Negeri, mungkin dari Amerika Serikat. Konon makanan itu di sana adalah makanan ternak (kuda). Ya, mau apa lagi. Dalam situasi kelaparan seperti ini, mereka tidak punya pilihan lain. Nelis teringat akan cerita gurunya di sekolah pada hari-hari pertama pelajaran agama. Anak bungsu yang nakal itu kelaparan di negeri orang. Ia terpaksa makan makanan babi dan bahkan bersama babi. Setidaknya anak bungsu itu punya pilihan: pulang ke rumah bapanya dan bisa makan kenyang di sana. Nelis tidak mempunyai pilihan itu. Dan ia menangis karena ia tidak tahu siapa ayahnya dan di mana ayahnya. Dan ia tidak mau lagi menanyakan hal itu kepada ibunya. Satu kali ia pernah tanyakan hal itu karena didesak teman-temannya yang mengolok dia “anak lalo” (yatim). Dan ibunya hanya menjawab dengan diam, dan tetesan air mata. Bagi Nelis, tangis ibunya jauh lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa dan di mana ayahnya. Maka ia diam. Juga kalau ditanya teman-temannya.

Kamis, 04 Mei 2017

PENELUSURAN MAKNA PANTAI PEDÉ: SEBUAH SUMBANGAN HERMENEUTIK-LINGUISTIK

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M., MA.


Kasus Pantai Pedé sejak beberapa tahun belakangan ini (mungkin sejak Mabar terbentuk menjadi sebuah kabupaten tersendiri yang lepas dari Manggarai), menjadi sangat seru diperbincangkan dan diperdebatkan dalam pelbagai media dan forum. Boleh dikatakan bahwa Pantai Pedé itu menjadi tanda perbantahan (sign of contradiction). Ada pihak yang mendukung masuknya pihak swasta untuk melola pantai itu. Ada juga yang menolaknya. Masing-masing pihak mempunyai argumen pendukung sendiri. Masing-masing pihak mengklaim mempunyai basis data dan dokumen legal yang kuat. Bahkan sempat muncul polemik juga antara beberapa tokoh Manggarai di perantauan (diaspora; ata long; lawan dari ata lonto) dan juga yang tinggal di Manggarai sendiri, khususnya di Labuan Bajo (tempat lokasi Pantai Pedé itu berada). Hingga saat ini diskusi dan perdebatan itu masih sangat seru di beberapa WA group orang Manggarai. Pelbagai macam wacana juga muncul sebagai penjelasan dan mungkin pembenaran untuk posisi masing-masing. Bahkan ada rencana juga dari beberapa kelompok generasi muda untuk melaporkan hal ini ke KPK. Apa pun itu dan siapa pun itu, semuanya menegaskan bahwa Pantai Pedé memang sudah menjadi “tanda perbantahan” (sign of contradiction) di antara kita. Suka ataupun tidak suka. Mau ataupun tidak mau.

Sementara itu pada tataran lain (di luar aspek legal dari kasus tersebut) berkembang wacana historis yang mencoba mencari apa makna kata atau ungkapan Pantai Pedé itu sendiri. Siapa tahu upaya penelusuran makna itu bisa menjadi salah satu kontribusi juga dalam diskusi atau dialog (untuk tidak sampai disebut perdebatan) Pantai Pedé ini. Salah satu yang paling menonjol ialah upaya memahami arti kata pedé itu sendiri. Hingga saat ini, sejauh yang bisa saya pantau, orang pada umumnya (selalu) mengkaitkan arti kata pedé itu dengan makna pesan, kabar (bahkan kabar baik; bahkan ada yang menyebut kata “bekal” juga, walaupun yang terakhir ini tidak saya temukan dalam kamus P.Verheijen). Hal itu memang ada dasarnya dalam warisan ungkapan-ungkapan hikmat lokal (local wisdom) orang Manggarai. Misalnya tampak dalam ungkapan berikut ini: Pedé disé endé, mbaté disé amé. Secara harfiah ungkapan itu berarti “pesan (titipan) dari Ibu, dan warisan dari ayah”. Dalam artian itu, maka pedé harus dijaga, dipertahankan, dan terutama sekali ditaati. Dalam hal ini jangan sampai orang lalai melakukan kewajiban itu. Makna seperti ini bahkan langsung juga diterapkan ke Pantai Pedé itu sendiri. Hal itu terjadi misalnya dengan mengatakan (mengklaim): Pantai (Pedé) itu adalah titipan pesan dari ibu di masa silam. Tidak bisa dipungkini ada sebuah konotasi etis (moral) di sana, yaitu kita harus menjaganya, merawatnya, melestarikannya. Konotasi dari kata-kata kerja ini ialah mempertahankan alam (pantai) sebagaimana adanya, secara alami. Jadi, kalau sekarang sudah terjadi perubahan (saya tidak mau masuk ke dalam penilaian positif maupun negatif dari perubahan itu), maka itu adalah sebuah pertanda adanya kelalaian, adanya kelupaan, lupa akan tradisi, lupa akan sejarah, lupa akan warisan dari masa silam. Di hadapan fenomena kelupaan itu, maka tidak heran akan muncul gerakan “melawan lupa” (sebagaimana menjadi nama sebuah acara di televisi). Dalam upaya penelusuran etimologis seperti ini, biasanya orang menolak ide pelestarian dalam arti mengalihkan dari “nature” (natura) ke “culture” (cultura). Padahal kalau mau jujur kata “Culture” pun bernuansa makna mengolah, seperti halnya mengolah tanah dalam rangka agar tanah menjadi lebih baik, lebih subur, lebih menghasilkan banyak. Sentuhan manusia (cultura) bisa membuat alam (natura) itu menjadi lebih baik. Tentu tidak setiap orang (terutama aliran naturalis-romantisme) setuju dengan pandangan itu.

Secara leksikografis, makna yang sudah dibentangkan di atas tadi juga ada dasarnya. Pater Jilis Verheijen SVD, dalam Kamus Bahasa Manggarai-nya yang fenomenal-monumental itu (1967:435) memberi paling tidak empat gugus makna untuk kata pedé ini. Karena saya sudah menyinggung hal itu di atas, maka di sini saya hanya mau mengatakan bahwa makna pertama ialah “pesan, suruh, berwasiat”. Pater Verheijen memberi sebuah contoh pemakaian kongkret berikut ini: pedé liongm, wuat liongm tara nenggio pandés? Artinya, siapa jang memesan dan menjuruh, maka kamu berlaku begini? Contoh kedua: pedé data tu’a taka-étan. Artinya “pesanan orang tua dulu-dulu”. Kedua, kata pedé juga bisa berarti “takdirkan, tetapkan, tentukan, beri, anugerahkan, takdir, nasib”. Berikut ini beberapa contoh yang diberikan oleh pater Verheijen sendiri: tjimpa le di’a, pedé le delék, kali. Artinya, semoga (dia) diberi kebaikan, dianugerahi keuntungan. Contoh berikut dari Verheijen erat terkait dengan Tuhan sendiri: Djari agu Dédék baté pedé laing wodja agu latung. Artinya, sang “Pendjadi dan Pentjipa jang memberi padi dan djagung”. Contoh berikut: ata pedé de Murin tara nggiti rangan (Patjar). Artinya, “karena diberi Tuhan, maka mukanja demikian”. Bahkan ada juga pemakaian kata pedé yang artinya hal menemui ajalnya seseorang. Hal itu tampak dalam contoh berikut ini. Itu (muing) pedén. Artinya, itu adjalnya. Contoh terakhir dari pater Verheijen ialah berikut ini: hitu muing pedén te dungkal muing le kabaj. Artinya, memang demikian dia ditakdirkan (Tuhan), (yaitu harus) mati disondol (disundul, ditanduk) kerbau. Rangkaian makna yang saya beberkan tadi, dapat saya kategorikan sebagai hasil penelusuran etimologis. Hasil penelusuran etimologis itu memperlihatkan bahwa kata pedé itu memiliki beberapa makna.

Dalam bagian berikut ini, saya mau menampilkan sebuah penelusuran makna yang lebih bernuansa ekologis. Selain makna-makna yang sudah dibeberkan di atas tadi, pater Verheijen masih menyodorkan kepada kita dua makna lain. Pertama, pedé bisa juga berari sebangsa pandan hutan (ré’a puar; kata puar di sini dalam visi Manggarai tradisional ialah milik darat, data pélésina, sehingga tidak diolah, didatangi, dikunjungi manusia, melainkan dibiarkan saja bertumbuh apa adanya di sana) yang bercabang-cabang; daunnya panjang (mungkin nama ilmiahnya dalam Latin ialah Pandanus sp). Kedua, pede bisa juga berarti sebangsa wako, tetapi daunnya kurang lebar dan lebih tebal. Jika kategori makna kedua ini (makna ekologis) diterima, maka Pantai Pedé dulunya mungkin adalah sebuah pantai yang penuh dengan ré’a puar (pandan hutan). Pandan-pandan hutan itulah yang menandai tempat itu dulu (di masa silam). Karena tempat itu ditumbuhi pandan hutan (ré’a puar, pandan yang tidak ditanami manusia, melainkan tumbuh sendiri begitu saja; walau sesungguhnya secara tradisional orang Manggarai percaya, ré’a puar itu ditanami oleh darat), maka bagi orang Manggarai di masa silam, itu adalah pertanda bahwa tempat itu adalah tempat istimewa, tempat para darat (ata pélésina) “bekerja,” ngo duat (Erb 1999).

Kalau selama sekian abad (sebab baru pada abad modern ini Pantai Pede itu menjadi komoditas, terutama sejak ekoturisme merebak di pelbagai belahan dunia) tempat itu tampak “dibiarkan liar” tidak diolah, itu bukan pertanda bahwa ia tidak punya pemilik. Ia punya pemilik, yaitu darat. Dan karena tempat itu adalah tempat de darat, maka orang tidak mengolahnya, bahkan tidak mendatanginya juga. Tempat berlabuh kapal secara tradisional di Labuan Bajo, terletak agak jauh dari situ. Sedangkan di situ, bertumbuh pandan hutan (ré’a puar, ré’a de darat). Mungkin juga dalam imajinasi agama asli Manggarai, di situlah para darat (bidadari) berjemur, mandi, menikmati matahari sore, dan menjemur pakaian mereka, yang dalam pandangan kita manusia biasa disebut pelangi (dimar). Dalam visi tradisional orang Manggarai, dimar itu adalah salah satu pemali yang tidak boleh ditunjuk (toso). Kalau orang terlanjur toso, maka sungké-nya, orang harus mengorek lubang pantat sendiri. Entah apa hubungan dari tindakan atau perbuatan magis seperti itu.

Seperti kata orang Latin, nomén ést omén. Nama adalah pertanda. Di sini tidak berlaku perkataan William Shakespeare itu: What is in the name (apalah arti sebuah nama). Ungkapan Shakespeare ini tampak seperti agak mengecilkan arti sebuah nama. Saya tidak menganut perspektif itu di sini. Nama itu mempunyai makna yang sangat penting. Bahkan nama itu adalah pertanda. Nama itu adalah nubuat (seperti dalam perspektif para nabi Perjanjian Lama). Pantai Pedé adalah pantai pandan hutan, pantai yang ditandai ré’a puar, ré’a de darat, ré’a data pélésina. Jika ini diterima, maka mari kita kembalikan pandan-pandan itu ke Pantai Pedé. Dulu saya masih ingat, kalau orang menyebut darat (ata pelesina), orang Manggarai ada rasa sungkan, bahkan ada rasa takut juga, dicampur rasa hormat. Mungkin sekarang, rasa sungkan, rasa takut, rasa hormat itu tergusur, luntur oleh terpaan modernitas. Memang dalam terpaan modernitas, aura kesucian alam (sacralitas alam) terasa luntur. Alam dipandang sebagai sepenggal kue yang dibagi-bagi dan dikuasai, divide et impera. Tetapi itu bukan berarti darat yang “dilihat” oleh orang Manggarai di masa silam, sudah tergusur dari sana. Ini bukan untuk menakut-nakuti. Ini hanya untuk membuka sebuah perspektif pemaknaan saja lewat sebuah penelusuran makna secara etimologis dan ekologis. Semoga bermanfaat untuk memperkaya diskusi dan wacana kita sekalian.


Bandung, 5 Mei 2017

Minggu, 18 Desember 2016

GELANG KOE WA'U TA

Sebuah Refleksi Teologis Adventus ala Manggarai
Oleh: Fransiskus Borgias M.



Judul tulisan saya kali ini diambil dari judul lagu (dere) Adwentus (catatan: Menarik bahwa dipakai kata Adwentus, bukan Adventus. Mungkin karena dalam bahasa Manggarai memang tidak dikenal bunyi V dan F itu) yang diciptakan oleh bapa Philipus Manti pada tahun 1937 (DS NO.1, hl.22). Jadi, lagu ini termasuk salah satu lagu tertua dalam sejarah Gereja dan sejarah musik liturgi Gereja Manggarai, keuskupan Ruteng. Memang lagu yang tertua ialah lagu yang berjudul “Doing koe ga” (akan ada ulasan tersendiri tentang lagu tersbeut pada waktunya nanti) yang diciptakan oleh bapak Manti juga pada tahun 1936 (DS Nn.44, hl.56). Kedua lagu ini adalah derap-derap awal upaya memulai komposisi asli lagu Manggarai oleh para komponis Manggarai untuk dimasukkan ke dalam buku Dere Serani (istilah komposisi asli di sini dipakai untuk membedakan jenis lagu yang merupakan hasil adaptasi dari lagu-lagu dari Gereja tua atau induk Eropa). Bapak Philipus Manti adalah orang paling pertama yang menghasilkan lagu-lagu tersebut. Tentu saja hal itu sangat historis. Pada tahun 1937 ada juga bapak A.Loes yang juga menciptakan sebuah lagu yang indah (DS, No.80, hl.85-86; pada waktunya juga nanti akan ada ulasan khusus tentang lagu ini).

Lagu Adwentus ini terdiri atas empat ayat. Sebelum membahas lebih lanjut keempat ayat tersebut, terlebih dahulu saya membahas struktur lagu. Struktur lagu ini ialah sbb: ada dua larik pengantar yang dipakaii untuk semua keempat ayat. Kedua larik pertama itu berbunyi: Gelang koe wau ta Mori Ata Sambe eta mai lelang cai. Yang artinya (dalam terjemahan bebas saya sendiri, sebab dulu ada sebuah terjemahan lain dalam buku Syukur Kepada Bapa): “Bersegeralah turun dari surga, ya Tuhan sang Penebus dari surga, bersegeralah datang”. Jadi, kedua larik ini mengungkapkan harapan dan kerinduan dasar umat manusia akan kedatangan Tuhan sang penebus dan penyelamat ke dalam hidup mereka di dunia ini (seperti kata pemazmur itu: Jiwa kami menantikan Tuhan, lebih dari para penjaga menantikan fajar). Lalu dilanjutkan dengan masing-masing keempat ayat tsb. Lalu diakhir dengan sebuah larik yang sama yang diulang lagi pada setiap keempat ayat tadi. Larik terakhir ini hanya pendek saja. Pada dasarnya hanya mengulang lagi harapan agar Tuhan bersegera datang dan segera tiba (Mori lelang cai, lelang koe). Kedatangan Tuhan itu jangan ditunda-tunda lagi. Sebab penundaan berarti bahaya, berarti ancaman bahkan bisa berarti kematian. Dan keempat ayat itu akhirnya dijawab dengan sebuah bagian wale atau jawaban yang sama. Oleh karena strukturnya seperti itu, maka terlebih dahulu saya mengulas keempat ayat cako tadi, lalu kemudian mengulas tentang bagian wale. Untuk memudahkan pemahaman akan struktur di atas tadi, maka sebaiknya saya berikan tabel berikut ini. Saya berharap tabel ini bisa membantu memperjelas struktur lagu yang sudah saya jelaskan di atas tadi.

Larik awal
Gelang koe wa’u ta, Mori Ata Sambe eta mai lelang cai....
Cako: empat ayat
1). Gereng mede maid Ite lami ga,
2). Sangge hindi-haes kawe Ame ga,
3). Rantang boto mata dami wakar ga,
4). Ata kapir kanang dami tana ga,
Larik penutup cako
Mori lelang cai lelang koe.
Wale
Gelang wa’u Mori Sambe go, Weleng salang bana dami wakar ga. Lelang campe, Mori lelang koe.
(NB: Sayangnya tabel yg sy buat dalam naskah asli tidak bisa tampak di sini).

Dalam bagian berikut ini saya mulai dengan ayat yang pertama. Isi dari ayat pertama dari lagu ini pada dasarnya mengungkapkan kerinduan dan harapan umat manusia agar sang penebus dan penyelamat segera sudi turun (dari surga tinggi, surga secara tradisional memang dibayangkan berada atau terletak di tempat yang tinggi, di atas sana; makanya ada ungkapan “eta landong surga” dalam bahasa Manggarai). Penantian itu bukan sekadar penantian yang baru muncul kemarin sore (yang masih berusia pendek, seumur jagung), melainkan penantian itu sudah muncul sejak dari jaman purbakala, gereng mede maid (harfiah: menanti sejak dahulu kala). Manusia sudah sejak sangat lama (mede maid) menantikan (gereng) kedatangan Tuhan (Ite, kata ganti orang ketiga jamak, untuk menunjuk atau menyebut Tuhan, sebentuk pluralis majestatis).

Ayat kedua, tidak terlalu mudah untuk ditafsirkan dan dipahami. Tetapi kiranya ayat kedua ini mencoba melukiskan tentang kebingungan dan hiruk-pikuk (hilir mudik, ke sana kemari tidak tentu arah, hindi-haes) mencari (kawe) sosok dan figur Ayah (Ame). Oleh karena dalam buku Dere Serani kata ayah (ame) itu ditulis dengan huruf besar, maka tentu saja Ame yang dimaksudkan di sana bukan lagi terutama sosok ayah manusiawi, ayah biologis, ataupun dalam artian lama dari adat istiadat Manggarai, yakni ide ide-ame itu, melainkan Ame itu adalah Tuhan Allah sendiri. Memang Tuhan dalam sejarah Kristianitas disapa dengan sebutan Bapa/Ayah (Ame), atau Abba (dalam beberapa bahasa Semit). Dalam ayat ini, manusia dilukiskan sedang sibuk hilir mudik ke sana ke mati (hindi-haes) mencari Tuhan. Dan upaya pencarian itu mengalami krisis, sebab ia terancam tersesat dan tidak tercapai. Oleh karena itu, maka dimintalah bantuan sang Penyelamat itu sendiri. Paradoksal sekali: Dia yang dicari harus membantu mencari agar sang Dia yang dicari itu agar mudah segera ditemukan. Tuhan yang dicari itu diharapkan membantu mencari Dia sendiri yang dicari itu. Mungkin hal ini terasa aneh. Tetapi seperti itulah yang terjadi.

Ayat ketiga, mengungkapkan sebuah kecemasan eksistensial manusia, yaitu ketakutan akan kematian. Tetapi bapak Philipus Manti dengan sadar memilih kata-kata. Tentu kematian yang ia maksudkan dalam teks ini bukan lagi terutama kematian jasmani. Sebab kematian jasmani (biologis) itu tidak terhindarkan. Itu adalah sebuah hukum biologis, sebuah hukum alam. Tidak ada makhluk hidup yang bisa luput dari maut itu. Hidup adalah pasti menuju maut, Sein zum Tode, kata filsuf Jerman, Martin Heidegger itu. Yang diminta di dalam teks itu ialah agar jangan sampai jiwa (wakar) mengalami sebuah kematian (rantang boto mata dami wakar ga). Itu adalah hukuman kekal dalam api neraka. Jauh dari hidup abadi. Terasing dari kasih Allah. Jauh dari relasi kasih dan kedekatan dengan Allah. Itu adalah neraka. Neraka adalah sebentuk hidup dalam keterasingan yang paling mendasar dan mengerikan. Kematian seperti ini adalah sangat menakutkan. Sedangkan kematian badani (biologis) harus disambut dengan baik sebagai sesuatu yang wajar.

Ayat keempat, mengungkapkan sebuah keprihatian tentang masih adanya orang-orang di sekitar kita (bahkan juga adik kakak, sanak saudara kita) yang belum percaya akan Tuhan Yesus Kristus (ata kapir kanang dami tana ga). Kapir yang ia maksudkan di sini adalah yang orang-orang yang belum mengenal dan percaya kepada Kristus. Kata kapir yang dipakai di sini, mungkin dulu di tahun tigapuluhan mempunyai konotasi lain. Kini dalam dunia modern, tentu saja ada konotasi yang lain lagi (terutama dengan ada dan munculnya sekelompok orang yang dengan getol mencap orang lain sebagai kafir). Deskripsi ayat keempat ini, lebih melukiskan paham Kristologis dan ekklesiologis dari tahun 30-an, tidak hanya di Manggarai, melainkan dari seluruh dunia. Kiranya tidak lagi begitu cocok untuk melukiskan visi dan paham teologis-eklesiologis dewasa ini. Menarik untuk dicatat bahwa teologi dari Hendrik Kraemer (teolog misiolog dari Belanda) memaklumatkan teologi Nama-nya yang terkenal itu pada tahun 1936 di Tambaram, sebuah maklumat yang dilandaskan pada deklarasi dari Kisah Para Rasul: Tidak ada nama lain di bawah kolong langit..... (Kis.4:12).

Nah, untuk mengatasi semua hal itu, manusia mengharapkan agar Tuhan sendiri sudi segera turun tangan agar tidak ada efek lebih jauh dan lebih buruk dari kondisi-kondisi yang dilukiskan tadi. Tuhan diharapkan segera datang, tiba, Mori lelang cai, lelang koe. Desakan itu tampak dalam pengulangan ungkapan lelang cai, lelang koe itu. Situasi sudah gawat darurat, situasi sudah sedemikian gentingnya, maka Tuhan harus segera turun untuk mengatasi hal itu. Tuhan tidak boleh menunda-nunda lagi.

Keempat ayat di atas tadi ditanggapi dengan sebuah wale, sebuah jawaban (tanggapan), yang juga tidak kurang menariknya untuk disimak dan didalami lebih jauh di sini. Sekali lagi, dalam bagian awal dari jawaban ini manusia meminta dan mendesak agar Tuhan sang Penebus itu segera turun dari surga. Mengapa? Karena jiwa kami sekarang ini dan di sini sedang tersesat menempuh jalan lain (weleng salang bana dami wakar ga). Ungkapan “salang bana” ini tidak mudah juga ditafsirkan dan dipahami. Pernah dalam masa gereja purba khususnya Kisah Para Rasul, agama Kristen, sebelum disebut dengan nama itu, disebut jalan atau jalan Tuhan (Kis.9:2; 13:10; 18:2519:23; 22:4; 22:5; 24:14). Tentu saja sebutan jalan itu serta-merta mengingatkan kita akan salah satu identifikasi diri Yesus Kristus dalam injil Yohanes lewat salah satu deklarasi ego eimi-nya yang terkenal itu, ego sum via; atau dalam bahasa Yunani: ego eimi he hodos (Akulah Jalan). Kiranya, ketika bapak Philipus Manti memilih ungkapan “salang bana” dalam teks ini, ia terpikir akan Yesus Kristus sebagai jalan (kebenaran dan hidup). Maka, ungkapan “salang bana” yang dimaksudkan di sini adalah agama yang menyimpang dari “agama tu’ung”, yang menjadi salah satu butir permohonan doa malam dalam buku Dere Serani (DS hal.12. catatan: sebutan “agama tu’ung” ini adalah sebuah adaptasi asli Manggarai. Sebab rumusan aslinya doa itu hanyalah sbb: Hati Yesus yang mahakudus, kasihanilah kami. Tetapi dalam terjemahan lokal kontekstual Manggarai ada sebuah tambahan sbb: mohon bantuan belas kasih hati kudus Yesus tidak banya bagi kita sendiri saja tetapi juga bagi sanak saudara kita yaitu ase kae, yang belum mengikuti agama yang sejati, agama yang benar, agama tu’ung, sehingga rumusannya seperti yang kita baca dalam buku Dere Serani tersebut: agu ase ka’e dami ata toe di lut agama tu’ung).

Maka ungkapan “weleng salang bana” yang ada di sini kiranya berarti menyimpang dari agama tu’ung ke praktek iyo pina naeng, hidup ala kafir. Hidup yang ditandai oleh keadaan tidak atau belum mengenal Allah dan Yesus Kristus. Dan bapak Philipus Manti menganggap itu adalah sebuah ancaman yang nyata. Untuk mengatasi soal itu, Allah perlu segera datang untuk membawa shalom-nya bagi umat manusia. Pertolongan harus datang dari Tuhan agar segera muncul sebuah hidup dan bahkan ciptaan baru. Kira-kira seperti kata pemazmur itu, pertolongan kita dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi.

Akhirnya, dilihat dengan cara seperti ini, betapa dalamnya teologi dan kristologi bapa Philipus Manti dari tahun 30an itu. Bagi saya, tentu saja hal itu amat mengherankan sebab itu adalah sebuah teologi yang lahir dari praksis hidup iman dan percaya, bukan teologi yang lahir dari proses pembelajaran dalam seminari atau fakultas teologi. Ini adalah sebuah teologi eksistensial, teologi hidup dan kehidupan. Berteologi secara otodidak. Beriman secara otodidak juga. Mungkin sangat terilhami oleh teladan hidup para misionaris, para imam misionaris itu. Bagi saya ini sangat luar biasa mengingat mereka semua adalah orang yang baru pertama kali menjadi Katolik. Mereka termasuk generasi pertama, tetapi teologi dan iman mereka sudah begitu kuat dan dalamnya. Bagi saya tentu saja ini adalah mukjizat yang nyata dari iman katolik di tanah Manggarai. Sekali lagi, ini luar biasa, sebab ia (mereka pada umumnya para komponis Manggarai itu) belajar dengan cara mengajar orang lain untuk hidup percaya dan beriman. Entah berapa orang Manggarai yang hatinya sudah tercerahkan dan digerakkan dan disentuh oleh lagu ini, baik melodinya maupun juga syairnya. Sebab bagi kita lagu-lagu liturgi juga adalah sekolah pendidikan iman. Semakin kita akrab menyanyikan lagu liturgi, maka semakin kuat dan mendalam juga hidup iman kita. Itu sebabnya, saya sangat mendukung ungkapan yang sangat terkenal dari Agustinus itu: Qui bene cantat, bis orat. Siapa yang bernyanyi dengan baik, berdoa dua kali. Tidak banyak berdoa dua kali saja, melainkan beriman dua kali, maksudnya, imannya makin kuat dan mendalam, semakin diperkaya dalam hidup dan pengetahuan iman.

Yogyakarta, Desember 2016.

Sabtu, 29 Oktober 2016

LONCENG KUCING

Oleh: Fransiskus Borgias M.,


Hari ini (tanggal artikel ini ditulis) pastor parokiku dalam kotbah hari Minggunya mengangkat sebuah kisah inspiratif dan menarik dari koleksi cerita Romo Anthony de Melo SJ. Diceritakan bahwa ada sebuah biara yang sudah sangat tua usianya tempat sejumlah biarawati berdiam. Dahulu kala sang pemimpin biara itu memelihara seekor kucing karena ia sangat suka dan bahkan sayang pada kucing. Saking sayangnya maka kucing itu selalu dekat dengan dia. Ke mana saja sang abdis pergi kucing itu selalu saja mengikuti dia dan duduk di sampingnya dengan tenang. Pokoknya kucing kesayangan itu tidak mau ketinggalan.

Konon, dikisahkan juga, bahwa setiap kali mereka mau doa malam, maka suster abdis itu meminta anak buahnya agar terlebih dahulu mengikat kucing itu agar kucing itu tidak nyelonong masuk ke dalam kapel dan berbunyi meong di sana saat para biarawati itu larut dalam doa yang kuhsyuk. Begitulah selalu yang terjadi dan dilakukan para biarawati itu. Kucing itu terlebih dahulu diikat sebelum para suster itu berdoa malam. Sampai pada suatu saat sang suster kepala biara itu pun meninggal dunia. Tetapi kucing kesayangannya itu masih ada. Maka kebiasaan itu terus berlanjut: mereka mengikat kucing sebelum berdoa malam. “Mengikat kucing” lalu seperti menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan sebelum berdoa malam. Maka tatkala kucing itu mati, mereka pun mencari kucing baru, agar ritual “mengikat kucing” tadi bisa dilanjutkan terus sekarang dan ke masa depan.

Lama kelamaan orang pun sudah lupa akan konteks dan tujuan semula dari hal “mengikat kucing” itu. Orang juga sudah lupa akan sang abdis pemilik dan penyayang kucing tadi. Tetapi kebiasaan “mengikat kucing” itu masih tetap hidup dan dipraktekkan di biara itu. Akhirnya kucing itu juga mati. Tetapi karena praktek “mengikat kucing” itu sudah kuat, maka para suster pun segera mencari seekor kucing baru untuk diikat sebelum mereka berdoa malam. Akhirnya hal “mengikat kucing” itu pun menjadi kebiasaan turun temurun tanpa mengetahui lagi konteks historis dan sejarahnya. Pokoknya hal itu tetap dijaga sebagai sebuah tradisi suci yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Kalau ditinggalkan maka orang akan ditimpa rasa bersalah terhadap sejarah dan juga terhadap tradisi suci itu sendiri.

Cerita tentang kucing ini serta-merta mengingatkan saya akan sebuah tradisi yang lain dalam gereja katolik, khususnya dalam perayaan ekaristi. Tradisi yang saya maksudkan ialah tradisi membunyikan lonceng pada saat konsekrasi. Sejauh penelusuran historis yang saya lakukan, konon pada mulanya di abad pertengahan ketika gereja mulai berkembang pesat dan mekar di Eropa, maka di gereja-gereja diadakan perayaan ekaristi. Saat itu ekaristi tidak diadakan setiap hari. Setidaknya umat beriman tidak bisa ikut perayaan ekaristi tiap hari. Ada tuntutan minimal: sekali setahun. Juga pada saat itu tidak otomatis semua orang boleh ikut menyambut tubuh dan darah kristus, seperti halnya sekarang ini. Ada orang yang karena terhalang oleh dosa berat terkena hukuman larangan ikut ekaristi selama bertahun-tahun (bdk peraturan Basilius mengenai penitentia itu). Kalau toh orang itu boleh ikut ekaristi secara lengkap, maka ia tetap tidak boleh menyambut komunio.

Gereja-gereja kuno di Eropa, khususnya yang ada dekat atau nempel dengan tembok biara tertentu juga ada sel-sel bagi para rahib yang dihukum tidak boleh ikut menerima komuni. Dalam konteks seperti itulah maka muncul sebuah praksis kesalehan, yaitu kalau toh tidak boleh menyambut tubuh Kristus setidaknya orang-orang hukuman itu boleh melihat saja Tubuh itu dari kejauhan. Apalagi pada saat itu ekaristi belum tentu bisa dirayakan setiap hari, atau setiap Minggu. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk perayaan ekaristi maka ada banyak sekali umat yang hadir. Gedung gereja yang biasanya berukuran besar pun tidak mampu menampung umat yang hadir. Apalagi misa dirayakan dalam bahasa Latin sebuah bahasa elit yang belum tentu dipahami oleh semua umat beriman. Karena itu, belum tentu umat yang hadir, yang buta huruf, belum tentu menyimak perjalanan upacara itu. Misalnya, kalau orang tidak mengerti bahasanya, maka orang tidak bisa tahu, sampai pada tahap mana perayaan Ekaristi itu sekarang.

Maka pada saat konsekrasi, sang imam di altar mengangkat hosti dan piala di atas altar. Itulah saat demonstratio, saat tubuh dan darah Tuhan ditunjuk kepada umat. Agar tidak ada umat yang tidak tahu akan peristiwa itu, dan agar peristiwa agung-mulia dan langka itu tidak terlewatkan begitu saja, maka peristiwa itu kemudian diberitahukan kepada umat dengan cara membunyikan lonceng kecil di dalam gereja (bukan lonceng utama yang besar yang biasanya terletak di luar gedung gereja, dalam menara tersendiri). Ketika mendengar bunyi lonceng itu maka umat yang hadir segera berdiam diri, mengambil sikap hormat dan hening lalu memandang ke arah altar. Di sana sang imam sedang mengangkat tubuh dan darah Kristus setinggi-tingginya agar bisa dilihat oleh semua umat yang hadir.

Bahkan Romo Tom Yakob (dosen teologi Ekaristi saya dulu di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta), dalam kuliah teologi ekaristi, pernah mengatakan bahwa bahkan dulu di abad pertengahan jika misa diadakan di sebuah lapangan besar, maka peristiwa konsekrasi itu diumumkan oleh tentara yang naik kuda. Itu disebabkan karena banyaknya umat yang ikut serta dalam perayaan ekaristi itu, dan luasnya tempat perayaan (karena dilakukan di ruang terbuka). Dalam keadaan seperti tidak semua orang secara otomatis bisa menyadari sepenuhnya akan apa yang terjadi. Coba bayangkan betapa ramainya di tengah lapangan terbuka itu. Bagi sebagian umat, hanya itulah kesempatan satu-satunya yang tersedia bagi mereka untuk memandang tubuh dan darah Kristus yang telah berubah wujud, sebab mereka tidak boleh menyambut komunio karena terhalang oleh dosa berat.
Kebiasaan itu berlanjut terus menerus dari waktu ke waktu hingga sekarang ini.

Sekarang kebiasaan membunyikan lonceng itu juga masih kita kenal. Bahkan di beberapa tempat dicampur lagi dengan bunyi gong (segi kelokalan; inkulturasi). Hanya sekarang terjadi sebuah pergeseran. Terkadang orang merasa saat bunyi lonceng itulah terjadi konsekrasi. Tentu saja menurut hemat saya, hal itu salah. Konsekrasi itu terjadi saat imam mengucapkan kata-kata konsekrasi itu dalam bingkai konstitusi ekaristi. Seharusnya, tanpa bunyi lonceng pengiring itu, mukjizat ekaristi tetap terjadi. Sebab bunyi itu hanyalah pengiring. Bukan inti pokoknya. Maka menurut saya tidak apa-apa juga jika hal itu dibuang saja. Sebab, mengingat sejarah awalnya, maka sekarang hal itu sudah tidak dibutuhkan lagi seperti itu. Tetapi apakah semua umat suka akan hal itu? Mungkin akan ada juga yang menolaknya, tidak mau menerima. Tetapi bagi saya, ada bunyi lonceng atau tidak, konsekrasi sudah dan sungguh terjadi. Alangkah agung dan hikmatnya jika peristiwa itu ditandai dengan sunyi. Tanpa direcoki dengan bunyi-bunyi yang tidak perlu sama sekali.


Bandung, 30 Agustus 2015
Dosen teologi biblis, FF-UNPAR Bandung.

Sabtu, 22 Oktober 2016

“TUNU”

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Pernahkah anda mendengar kata tunu? Mungkin cukup banyak pembaca menjawab: tidak pernah. Mungkin ada juga yang menjawab: pernah. Ya, kata tunu. Dalam tulisan singkat ini saya mau berbicara tentang kata tunu itu. Mungkin sebagian besar dari para pembaca saya sudah tidak mengetahui lagi kosa kata tunu ini. Tetapi para pembaca saya yang berasal dari Manggarai (Flores, Nusa Tenggara Timur) pasti mengenal kata ini. Bahkan mungkin sangat akrab di telinga dan hati mereka. Saya tidak tahu, boleh jadi ada juga suku bangsa lain di Indonesia yang mengenal kosa kata tunu ini dalam daftar kata bahasanya, entah apa pun artinya.

Selama ini saya selalu berpikir bahwa kata tunu adalah salah satu kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, daerah asal saya, bahasa ibu saya (mother tongue). Dalam kosa kata bahasa Manggarai, kata tunu itu mempunyai arti dan fungsi khusus. Arti kata tunu itu ialah membakar jagung. Tetapi jagung yang dibakar itu tidak harus dilepaskan kulit pembungkus luarnya. Alias, jagung itu harus dibakar sekaligus dengan kulitnya. Jadi, teknik membakar jagung lengkap dengan kulit luarnya (dalam bahasa Manggarai, kombak) disebut tunu. Hasilnya, disebut latung tunu (jagung yang dibakar sekaligus dengan kulitnya). Bentuk luarnya tentu tampak gosong kulitnya, tetapi isinya persis sama seperti jagung yang direbus atau dikukus (baik dengan kulit maupun tanpa kulit).

Dalam bahasa Manggarai kata tunu itu hanya bisa dipakai untuk jagung bakar-kulit saja (Jilis Verheijen 1967:662: membakar jagung dengan gelongsong, melajur, yaitu membakar batang bambu muda untuk kemudian diambil kulitnya untuk dipakai menganyam keranjang). Kalau jagung dibakar tanpa kulit, maka disebut tapa, dipakai kata tapa (Jilis Verheijen 1967:623). Kata tapa ini sangat umum, artinya membakar, dan ia bisa dipakai untuk apa saja. Misalnya, tapa tete (bakar ubi), tapa nuru (bakar atau panggang daging), tapa manuk (bakar ayam), tapa ela (bakar babi), tapa uma (bakar kebun), tapa satar (bakar padang), tapa utung (membakar sampah yang sudah ditumpuk terlebih dahulu), dst.

Tetapi pada hari ini, 21 Oktober 2016, saya berubah pikiran sama sekali. Ternyata kata tunu itu juga ada dalam kamus kota kata bahasa Indonesia. Selama ini saya hanya berpikir, itu adalah kosa kata bahasa Manggarai saja. Ada dua kamus bahasa Indonesia yagn saya pergunakan sebagai rujukan. Yaitu, pertama, kamus dari bapak J.W.S.Poerwadarminta. Kedua, kamus dari bapak Yus Badudu dan Mochamad Zain. Saya belum sempat mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (kiranya berafiliasi dengan Depdiknas). Dalam kedua kamus rujukan yang sudah saya sebut di atas tadi, ternyata kata tunu itu berarti membakar (Badudu, p.1560). selain arti membakar ini, Poerwadarminta masih memberi arti yang lain, yaitu menyalakan, memasang (Poerwadarminta, p.1109).

Oh ya, akhirnya saya bisa juga mengakses ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dalam bentuk e-book. Ternyata di sana pun ada kata tunu yang artinya membakar, menyalakan, mengobarkan (KBBI Depdiknas 2008:p.1758). jadi, ternyata kata tunu ini bukan hanya kosa kata Manggarai saja, melainkan juga ada dalam kosa kata bahasa Indonesia, dengan artian leksikal yang kurang lebih sama. Hanya saja, di Manggarai ada perbedaan sedikit. Memang ada arti dasar membakar, tetapi bukan sembarangan membakar, melainkan hanya membakar jagung, itupun harus sekaligus dengan kulitnya (sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraf di atas tadi).

Tetapi hal yang sangat menarik perhatian saya sendiri ialah fakta bahwa saya baru bisa menyadari hal ini karena saya sedang membaca Kitab Nahum salah satu kitab para nabi dalam Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama), hasil terjemahan Katolik (Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina Cicurug, cikal bakal LBI sekarang ini) yang diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah, Ende Flores, pada tahun 1973. Tetapi imprimatur untuk terbitan itu berasal dari tahun 1970. Mungkin itulah sebabnya edisi cetakan kitab suci ini dicetak masih dengan memakai ejaan lama (ejaan Suwandi). (Padahal ejaan baru yang disempurnakan, mulai diperkenalkan dan dipakai pada tahun 1972; jadi setahun sebelum tahun terbitnya edisi yang disebut di atas tadi). Kata tunu itu ada dalam teks Nahum 2:14: “....kereta-keretamu Kutunu jadi asap....” Kiranya akan sangat menarik kalau kita bisa mengetahui berapa kalikah kata tunu itu dipakai dalam terjemahan itu. Pada tahun 1976 terbitlah edisi Terjemahan Baru (TB) dengan terjemahan baru pula (pada tahun 1996 muncul edisi revisi terjemahan khusus untuk Perjanjian Baru yang secara teknis disebut TB2). Dalam edisi terjemahan baru 1976 ini sebagaimana yang kita pergunakan sekarang ini terbaca hasil terjemahan sbb: “Aku akan membakar keretamu menjadi asap.” (Nah 2:14). Yang di atas tadi dipakai kalimat berstruktur pasif. Sedangkan yang kedua dipakai kalimat berstruktur aktif. (Terus terang saja, saya belum sempat mengecek dan membandingkan dengan hasil terjemahan versi BIMK, Bahasa Indonesia Masa Kini; dulu pernah disebut BIS, Bahasa Indonesia Sehari-hari).

Dengan perubahan terjemahan ini, maka kata tunu hilang dari terjemahan kitab suci. Bahkan hilang dari pemakaian kita sehari-hari sehingga kita sekarang tidak begitu akrab dengan kata itu. syukurlah, kita masih memiliki kamus yang berfungsi sebagai semacam ruang penyimpanan kosa kata sehingga dia bisa menjadi semacam jembatan kultural yang menghubungkan kita di masa kini dengan sebuah ruang konteks pemakaian di masa silam.

Saya memang mempunyai hobby untuk membanding-bandingkan hasil terjemahan kitab suci ke dalam beberapa bahasa yang bisa saya mengerti. Semuanya itu saya lakukan dalam rangka proses belajar terus menerus bagi diri saya sendiri, juga sebagai ajang melakukan proyek penelitian teks itu sendiri. Terkadang dari hasil pembandingan itu, muncul sebuah pemahaman baru akan teks tertentu. Terkadang juga terjadi, bahwa dalam proses dinamika pembandingan itu terjadi suatu proses penyingkapan makna tertentu. Mungkin itulah yang dalam khasanah hermeneutik disebut reproduksi makna karena dan dalam proses membaca dan membaca (reading as a process of reproducing and reconstructing meaning). Dan hal seperti itu selalu mendatangkan perasaan puas dan sukacita. Terasa seperti kita sedang memasuki sebuah ruang penyimpanan makna yang sangat kaya, luas, dan sekaligus mendalam. (Oh ya sebagai penutup catatan ini, saya mau memberitahukan bahwa dalam terjemahan Nusa Indah yang sudah disebut di atas tadi, ada banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang aneh-aneh karena sudah tidak dipakai lagi, sudah dikenal lagi. Untuk bisa memahaminya kita harus membuka kamus. Tetapi dalam rangka memperbanyak kosa kata kita, ada baiknya kata-kata itu digali dan dipakai kembali. Kiranya ini adalah kerja para ahli bahasa agar tidak terjadi kepunahan kosa kata, menjadi sekadar fosil di dalam kamus-kamus belaka).


Bandung, Jalan Nias 2, 21 Oktober 2016.