Jumat, 02 Januari 2015

NUSA LALE

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kita sangat akrab dengan nama pulau Flores, Pulau Bunga. Tetapi itu sesungguhnya adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang luar (para pelaut Portugis), dan kita akhirnya mau dan bisa menerimanya. Lalu sesungguhnya, apa sih nama asli pulau yang kini terkenal dengan sebutan Pulau Flores itu? Pertanyaan itulah yang coba saya bahas dalam tulisan singkat dan sederhana ini. Ada beberapa versi nama “asli” pulau Flores.
Ada yang menyebutnya Nusa Nipa. Pada umumnya nama itu dikenal di bagian tengah dan timur pulau itu. Tetapi juga sesungguhnya nama itu tidak asing bagi bagian barat, khususnya Manggarai. Tetapi pada umumnya di Manggarai pulau ini disebut Nusa Lale. Dalam beberapa dialek lokal disebut Nuca Lale, karena ada kecenderungan dan gejala mengganti s dengan c (kira-kira sama seperti hukum RDL itu dari Klinkert, atau pola sh-shift di Kolang, begitu juga di sini ada pola sc-shift). Tetapi yang lebih proto kiranya ialah Nusa, mengingat kesamaan akar kata nusa itu dengan beberapa bahasa lain di nusantara bahkan bahasa dunia, sebab dalam bahasa Yunani disebut nesos (pasti bukan necos). Jadi mereka kurang lebih mempunyai akar yang sama.

Sejak abad enambelas para pelaut Portugis, yang mendarat di ujung timur pulau Flores, ujung yang dalam peta tampak seperti naik ke atas, seperti ekor yang sedang mengibas, yang dalam bahasa Melayu saat itu disebut Tanjung Bunga, menamainya pulau Bunga, Flores. Para pelaut Portugis mengira bahwa nama tanjung sepotong itu adalah nama untuk seluruh Pulau, sehingga mereka menyebutnya Pulau Flores, artinya pulau bunga. Nama sepotong tanjung di ujung timur, Tanjung Bunga, karena penetapan kolonial yang datang dari luar, menjadi nama untuk seluruh pulau itu, pars pro toto. Kiranya ini adalah salah satu ilustrasi betapa orang asing yang datang dari luar dan mempunyai teknologi yang lebih baik, mempunyai the power of naming giving. Dan kekuatan dari naming giving itu juga secara ontologis mengandaikan the power of occupying the space, the territory (Choan Seng Song, Tells Us Our Names). Sejak saat itu nama pulau itupun berubah dari Nusa Nipa menjadi pulau Flores. Lagi-lagi daya kekuatan kolonial di sini mempunyai pengaruh besar untuk mengubah nama tempat. Dengan nama baru maka lahir juga sebuah tempat baru. Nama melahirkan ada.

Tetapi di sini saya tidak bermaksud menulis tentang nama itu. Saya hanya mau mengomentari sebuah kutipan dari peneliti Flores yang berasal dari Australia. Namanya RAF Paul Webb. Ia adalah dosen dan peneliti senior pada SEA Studies Northern Territory University, Darwin NT Australia. Pada tahun 1994, ia menerbitkan sebuah artikel ilmiah dengan judul sangat menarik: “The Children of Mori Kereng: Education and Development Strategies in Manggarai, Flores.” (Philippine Quarterly of Culture and Society, Vol.22, No.2, June 1944 , pp. 141-158). Dalam karangan ini ia mengutip sebuah monografnya yang terlebih dahulu dari tahun 1986. Dalam karya ini ia memberi keterangan tentang Nusa Nipa itu, sbb: “...from the fancied shape of the ‘head’ at the eastern tip, its ‘backbone,’ the ranges of volcanic mountains, and its 'tail' in the district of Manggarai in the west...” (Webb, Palms and the Cross: Socio-economic Development in Nusa Tenggara. James Cook University, Center for SEA Studies, Monograph No.15, 1986 , pp.3&7; lalu dikutip lagi, semacam auto citation, dalam teks tahun 1994, hal.142).

Saya mau mengomentari kutipan itu. Teks itu kalau diterjemahkan adalah kira-kira sbb: “Dari bentuknya dibayangkan bahwa kepalanya ada di ujung timur, lalu 'tulang punggungnya' ialah bentangan gunung-gunung berapi, dan 'ekornya' ada di distrik Manggarai di barat.” Menurut saya pengamatan itu tidak tepat. Justru sebaliknyalah yang benar, yaitu kepala, yang selalu lebih besar, ada di Barat, yaitu di Manggarai, lalu ekornya ada di ujung timur mulai dari Maumere terus ke Larantuka dan berujung di tanjung bunga. Kalau dilihat sekilas lebih tepat disebut seperti ikan hias koi. Kepala besar di barat, ekor kecil di timur. Hal itu mendorong saya untuk diam-diam bertanya: entah dari mana si Webb itu mendapat informasi seperti itu? Sebab yang saya tahu, yang hidup dalam imajinasi umum orang Flores ialah kepala di Manggarai dan ekor di Larantuka dan bukan terbalik seperti yang dikatakan oleh Webb. Tetapi tidak apa apa.

Ternyata Webb tidak sendirian dalam berkata begitu. Sebab Gregory Forth juga mencatat bahwa “...Nage do speak of Flores as being shaped like a snake with its head in the east and tail in the west.” (Forth, Beneath the Volcano, p.207). Dan Forth mungkin juga Webb mendasarkan diri pada apa yang dikatakan Sareng Orin Bao (Nusa Nipa: nama pribumi nusa Flores, Ende: Arnoldus NI, 1969: 118). Kalau tidak salah nama ini adalah nama samaran pastor Piet Petu SVD. Ia berasal dari timur entah Maumere entah Larantuka. Masuk akal jika ia menempatkan kepala itu di timur. Tetapi betapa tidak proporsionalnya nipa itu, yang kecil kepala besar ekor. Lebih masuk akal jika kepala di barat, Manggarai, dan ekor di Larantuka. Itu baru proporsional, besar di kepala, kecil di ekor.

Memang nama Flores itu indah dan sudah melekat dalam ingatan kolektif kita semua. Tetapi hendaknya kita jangan sampai lupa akan nama asli pulau itu sendiri. Nusa Nipa. Ada juga yang berkata bahwa nama Nusa Nipa itu tidak hanya dikaitkan dengan bentuknya yang memang menyerupai ular naga raksasa, tetapi konon juga terkait dengan kenyataan bahwa di pulau itu dulu pernah ada banyak ular raksasa, nipa, atau nepa dalam bahasa Manggarai. Mungkin sekarang nipa-nipa atau nepa-nepa itu sudah jarang terlihat karena sudah punah atau populasinya berkurang karena faktor ekologis tertentu. Tetapi sesungguhnya masih tetap “tersimpan” dalam collective memory orang Flores dalam bentuk dongeng-dongeng.

Di pelbagai bagian pulau Flores ada cerita tentang ular raksasa itu. Di Ngada misalnya ada cerita tentang ular naga (Forth, Beneath the Volcano, p. 54.62.69.88-98 .dll). Di Manggarai juga ada cerita tentang nepa-nepa itu, manungge. Pelbagai cerita itu adalah endapan historis dari sebuah realitas masa silam yang kini sudah tidak ada lagi. Tetapi endapan historis dalam bentuk cerita itu menjadi semacam fosil kultural bagi kita. Dulu pernah ada dan kini tidak ada lagi. Tetapi seperti batu bara kita masih bisa menggalinya lagi dari pelbagai lapisan kata dan bahasa dan khasanah cerita kita. Berbeda dengan tambang, bedah dan eksplorasi arkeologis ini tidak merusak sama sekali. Jadi, betapa pun Flores itu nama yang cantik itu tetap sebuah nama pemberian orang asing.

Lalu kita ke Manggarai sekarang. Di Manggarai ada nama tersendiri untuk pulau itu, setidaknya untuk bagian baratnya. Nama itu ialah Nusa Lale. Menurut Verheijen nama Latin dari Lale ialah artocarpus elasticus (Dictionary of Plant Names in Manggarai, p.32). Itu terkait dengan kenyataan bahwa di Manggarai dulu ada banyak pohon Lale. Itu adalah pohon yang bisa berukuran raksasa, tinggi, dan kayunya kuat. Sekarang kayu itu semakin jarang di Manggarai. Dulu di masa kecil di Rangga di dekat Wae Wangkung ada banyak sekali haju Lale. Memang di dekat situ ada situs purbakala yang terkenal juga karena tersimpan dalam sebuah lagu Kakor Sale Lale Lombong hia empo pe’ang mai. Sekarang itu ada di dekat kampung Deket dan Pana, termasuk dalam desa Pontoara. Saya sudah menulis khusus tentang Lale Lombong ini. Pohonnya mirip dengan pohon kerara atau sukun. Mungkin dari jenis yang sama. Di tempat lain di Manggarai disebut Bakar atau artocarpus altilis (Verheijen, ibid., p.13).

Apa keistimewaan Lale ini? Maribeth Erb (1999) menyebut keistimewaan kayu ini karena kulitnya yang dulu kiranya oleh leluhur orang Manggarai diambil untuk dijadikan bahan pakaian. Mungkin juga sebagai bahan untuk tali yang kuat dan mungkin untuk diekspor. Mungkin juga kulitnya disadap untuk diambil zat warnanya untuk dipakai mewarnai benang hasil tiling kampas mereka sendiri (Manggarai, p.....).

Tetapi ada satu hal yang tidak disebut Erb, yaitu buah pohon itu. Biji buahnya sangat enak. Dulu di Wol pada masa kecil biji wua Lale itu dijemur dan kalau sudah kering disangrai (sero/cero), lalu dimakan. Lezat sekali seperti makan biji jambu mete ataupun kacang tanah. Kiranya biji Lale itu juga merupakan salah satu arti penting dari pohon ini. Sedemikian banyaknya dulu Lale itu di Manggarai, dan sedemikian lezatnya biji buah lale itu, maka semua itu oleh para leluhur kita diabadikan dalam dan menjadi sebuah nama pulau itu, juga kiranya berlaku hukum pars pro toto di sini.
Nama Manggarai itu sendiri, yang sekarang menjadi nama indah bagi dan dalam ingatan kolektif semua orang Manggarai, adalah nama pemberian asing; konon hal itu ada kaitan dengan perjumpaan historis dengan orang Bima. Tetapi hal itu tidak akan saya bahas lebih lanjut di sini. Di Bima konon nama atau kata itu secara sosiologis mempunyai konotasi buruk. Saya pernah membaca sebuah catatan sosiologis dari Dr.Affan Gaffar (dosen UGM dari Bima, sekarang sudah almarhum), bahwa dulu di Bima ada ungkapan “do manggarai.” Itu artinya sedang terjadi kekacauan, keributan, huru-hara, bahkan kerusuhan. Sayang saat ini saya tidak bisa segera mendapat lagi rujukan buku itu. Tetapi saya akan terus mencarinya. Seingat saya, saya membaca buku itu di perpustakaan kami di Fakultas Filsafat Unpar Bandung. Gaffar tidak banyak memberi penjelasan tentang ungkapan do manggarai itu. Tetapi saya menduga hal itu ada kaitannya dengan sejarah perbudakan. Ketika ada banyak orang Manggarai ditangkap menjadi budak dan dibawa ke Batavia, mereka dibawa melalui Bima karena para saudagar Islam dari Bima bermain dalam kejahatan kemanusiaan itu. Rupanya dalam perjalanan lewat Bima, Dompu, Sumbawa, banyak bakal budak itu memberontak dan melawan dan hal itu menimbulkan keonaran dan kerusuhan. Kebetulan kebanyakan dari mereka adalah orang Manggarai, yang dalam bahasa Manggarai disebut do manggarai. Tetapi do manggarai itu jadi dikaitkan dengan keonaran dan kerusuhan. Di mana ada do manggarai, spontan orang di sana berpikir tentang kerusuhan.

Sejenak mungkin hal itu terasa negatif. Tetapi bagi saya itu adalah tanda bahwa orang Manggarai tidak mau tunduk begitu saja, melainkan terus melawan dan melawan demi menegakkan martabat kemanusiaan mereka. Dalam relasi historis dengan Bima yang Islam, Manggarai terkungkung dan terancam oleh tragika perbudakan. Di bawah Belanda, martabat kemanusiaan Manggarai dipulihkan dan diangkat ke tempat yang sepatutnya, lewat modernisasi dunia pendidikan, transformasi pertanian, pertukangan, dan juga layanan kesehatan. Dalam arti itu, bagi saya sebagai orang Manggarai, Belanda (terutama melalui para misionarisnya, yang memang juga erat terkait dengan kebijakan politik pemerintahan kolonial Belanda juga) adalah pembebas dan pemulih martabat kemanusiaan yang sekian lama diancam oleh bayang-bayang perbudakan dengan agen-agen utama saudagar Islam dari Bima. Sebagai orang Manggarai, saya dan kita semua jangan sampai pernah melupakan hal itu.


Georgetown University, Washington DC
Pertengahan Desember 2014