Jumat, 24 Juli 2009

TERIMA KASIH.....

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kata “Terima Kasih” ini adalah sebuah kosa-kata dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi: Terima kasih. Asal-usul atau akar kedua kata itu kiranya sangat jelas: Terima dan Kasih. Kalau diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris menjadi: to receive love. Kalau dianalisis lebih jauh, maka muncul gambaran berikut ini: Kasih (Love) itu telah ditawarkan, lalu ada pihak lain yang menerimanya dengan hati terbuka dan dengan sukacita juga (receive). Lalu dari konteks seperti itulah muncul ungkapan terima kasih.

Saya adalah orang Manggarai. Terus terang saja, saya merasa agak sulit mencari ungkapan yang sepadan dengan ungkapan “terima kasih” itu dalam bahasa Manggarai sebagai terjemahan konsep “terima kasih” itu ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin akan segera muncul kesan dan anggapan orang lain bahwa orang-orang Manggarai tidak tahu berterima kasih. Saya kira jangan juga cepat-cepat diartikan dan dipahami dengan cara seperti itu. Itu terlalu sederhana. Sangat simplistik. Terlalu tergesa-gesa. Sebab sesungguhnya yang ada hanyalah bahwa dalam bahasa Manggarai tidak ada terjemahan yang tepat untuk ungkapan terima kasih. Paling tidak sampai saat ini belum ada ide atau konsep yang dapat secara memadai menerjemahkan konsep itu ke dalam bahasa Manggarai. Itu saja. Titik. Tidak lebih dari itu.

Saya masih ingat, dulu kalau seseorang memberi kita sesuatu, maka hal itu akan diterima dengan diiringi ucapan: delek ta mori, yang artinya “syukurlah ya tuan” atau bahkan Tuhan. Atau di beberapa tempat ada juga seruan atau ungkapan seperti ini: “manga mose,” yang artinya, “ada hidup,” atau “hidup bisa dilanjutkan karena pemberian ini.” Bahkan di Lembor (tepatnya di Wol, Daleng, Dempol) dulu ketika saya masih kecil ada ungkapan seperti ini: “manga nemo.” Agak sulit menerjemahkan istilah ini, apalagi sekarang ini mungkin istilah itu sudah hilang, tidak dipakai lagi oleh para penutur jaman ini, tetapi saya masih merekamnya dalam ingatan saya. Selain itu, ada juga ungkapan seperti ini sebagai tanda ungkapan terima kasih tatkala seseorang menerima suatu pemberian dari orang lain: “di’a naim ta mori,” atau “di’a naim ta mori sengaji,” atau juga “di’a naim ta mori adak,” atau yang lebih singkat lagi, “di’a naim ta sengaji.”

Kata “delek” di atas tadi mengandung arti syukur, mengandung tindakan atau perbuatan bersyukur. Si penerima melambungkan syukur kepada si pemberi, yang dalam hal ini disebut “mori,” atau “adak,” atau “sengaji.” Sedangkan ungkapan “manga-mose,” mengandung arti harfiah, ada hidup. Si penerima merasa bahwa pemberian itu memungkinkan hidup dapat berjalan terus karena pemberian itu. Jadi, tersembunyi sebuah filsafat luhur di sini: hidup dimungkinkan karena pemberian dari pihak lain, dari uluran tangan dan perhatian lian, dari sesama, di dalam komunitas. Yang agak sulit ditelusuri lagi makna semantiknya ialah ungkapan “manga nemo.” Saya tidak tahu lagi arti kata “nemo” itu. Maka ia harus dipahami dari dalam konteks pemakaiannya saja. Dan konteks pemakaiannya mengarah ke makna yang kurang lebih sama dengan ungkapan “manga mose” tadi. Sedangkan ungkapan “Di’a naim ta mori” dan pelbagai variannya tadi, artinya kurang lebih ialah hati atau jiwamu baik dan mulia tuan; dan kebaikan dan kemuliaan itulah yang memungkinkan aku hidup, dan dalam hidup aku dapat bersorak kegirangan memuji.

Dalam karangan Jerome H.Neyrey SY, dalam Catholic Biblical Quarterly, 71, 2009, ada catatan bahwa tidak semua kebudayaan di dunia ini mempunyai kata atau ungkapan untuk terima kasih itu, untuk “thanks” dalam bahasa Inggris itu. Ia memberi salah satu contoh di India. Menurut dia, di sana tidak ada ungkapan “thanks” itu, karena dalam paham dan insight kebudayaan mereka, tindakan social-beneficial kepada sesama itu dipandang sebagai pemenuhan sebuah kewajiban primordial yang sudah ada secara kodratiah dalam diri masing-masing individu dalam masyarakat, dalam satu komunitas. Selanjutnya dikatakan bahwa kalau seseorang memberi sebuah pemberian kepada sesamanya, si penerima pemberian itu percaya bahwa pemberian itu adalah hasil imbalan dari kewajiban terdahulu dan karena itu dianggap sudah layak dan pantas. Sudah seharusnya memang demikian. Di sini prinsip yang bekerja dan berlaku ialah prinsip resiprositas berimbang.

Bandung, 12 Februari 2009.
Fransiskus Borgias M.

IMPOMPENG.....

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul tulisan ini tentu saja aneh bagi kebanyakan orang atau pembaca. Yang jelas ini adalah sebuah onomatope dalam bahasa Manggarai. Menurut ilmu bahasa, onomatope adalah kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi, entah itu bunyi dari alam ataupun bunyi dari alat-alat buatan manusia. Setiap kebudayaan dan bahasa mempunyai sistem dan proses pembuatan atau pembentukan kosa-kata onomatopenya sendiri. Sekadar beberapa contoh dalam bahasa Indonesia misalnya ialah: kata seperti siar-siur (meniru desau angin yang membelai manja dedauan kelapa atau bambu, atau batang padi dan ilalang di padang rumput). Contoh lain ialah aum atau mengaum (yang meniru bunyi singa mengaum). Atau kotek, berkotek (yang meniru atau memvokalisasi bunyi ayam betina yang sedang bertelur atau mencari perhatian pejantan).

Dalam bahasa Manggarai ada juga beberapa contoh onomatope seperti itu. Misalnya kata teke, atau tokek dalam bahasa Indonesia, adalah tiruan atau vokalisasi bunyi tokek menurut pendengaran telinga orang Manggarai. Contoh lain: ngai-ngaok (vokalisasi keributan dalam kerumunan orang banyak atau anak kecil yang bermain, berbicara). Yang menarik bagi saya ialah fakta bahwa ada beberapa kata dalam bahasa Manggarai yang dibentuk berdasarkan tiruan atau vokalisasi gerak (bukan bunyi). Secara ilmu bahasa, hal ini tidak atau belum ada istilahnya. Mungkin ini peluang bagi para ahli bahasa untuk menciptakan istilah baru (atau mungkin saya yang belum mengetahui istilahnya saja). Sebab dalam bahasa Yunani, yang ada hanya onomatopoeia, tiruan bunyi (bukan tiruan gerak) yang menjadi kata. Beberapa contoh dari kata hasil tiruan gerak itu (yang memang diiringi bunyi juga) ialah: ngkalong, nggirung-nggarung, jiok. Sebenarnya hal ini juga ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya: muncrat, prot-prot, ciprat, jepret, dll.

Sehubungan dengan judul tulisan ini, saya teringat akan lagu yang diajarkan oleh Bapak Guru Frans Ebat dan Feliks Mar dulu di SDK Ketang. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya saya kutip lagu onomatope itu di sini. Inilah lengkapnya lagu itu:


Impompeng,
Impompeng pudene pudene ska impompeng adoretete;
mine-mine masam,
mine mine masam
kwing kwang kworung kwing kwang kwong,
kwing kwang kworung kwing kwang kwong……etc,

(lalu diakhiri dengan bunyi kwong-kwong-kwong
yang dibawakan dengan cara fading out).


Sebagai seorang murid sekolah dasar, saya menghafal lagu itu sampai lancar di luar kepala (learn by heart, kata orang Inggris). Adalah terutama kaum perempuanlah (murid sekolah yang perempuan, atau para ibu-ibu dalam perkampungan tradisional) yang memperagakan untaian bunyi itu pada gong dan gendang. Dan saya masih ingat lagu itu sampai sekarang ini. Saya menulisnya sekarang di sini berdasarkan ingatan yang sangat kuat itu.

Ada sebuah pertanyaan penting yang masuk ke dalam pikiran saya saat menulis pikiran ini. Apa konteks kemunculan lagu onomatope ini? Menurut hemat saya, konteks kemunculan lagu ini, erat terkait dengan fungsinya. Menurut hemat saya, syair lagu itu adalah onomatope gong dan gendang. Jadi, lagu itu muncul dari hasil peniruan bunyi gong gendang. Bebunyian dijadikan syair yang hanya bermakna jika onomatopenya dipahami dalam konteks kemunculannya.

Tetapi apa fungsi dan tujuan penciptaannya? Mungkin itu adalah proses pembelajaran bunyi dan cara memukul gong dan gendang dalam kebudayaan Manggarai. Mungkin itu adalah semacam alat bantu pembelajaran, semacam jembatan keledai yang memudahkan orang untuk menghafal. Yang jelas di sini bebunyian menjadi syair. Orang bernyanyi lewat lirikalisasi dan verbalisasi onomatope. Dan dengan cara itu, bunyi itu diabadikan. Dan dengan cara itu juga ia dapat dilestarikan, diajarkan kepada orang lain. Jadi, onomatope ini menjadi alat pembelajaran, menjadi ruang pembelajaran. Semoga dugaan saya ini benar adanya. Mohon diskusi dan tanggapan atau catatan kritisnya.