Rabu, 21 Maret 2012

NEKA NA'AS TOMBO DATA: "THE IDEA OF MORAL SELF" MENURUT ORANG MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hari ini, tanggal 6 November 2011, dalam rangka persiapan ujian comprehensive saya di ICRS minggu ini, saya membaca kembali teks dari Charles Taylor, The Politics of Recognition; sebuah teks yang sangat menarik dan penting karena dimensi kebaruan dan keragaman pemikiran yang dilontarkan di dalamnya. Politik pengakuan itu sangat penting dalam dunia multikultural dewasa ini. Wacana Politik pengakuan (politics of recognition) itu menggeser wacana sebelumnya, politik asimilasi (politics of assimilation). Memang dalam teks itu ada banyak hal yang dibahas oleh Taylor. Salah satunya ialah ide tentang “the moral self.” Saya hanya akan fokus pada fenomena “the moral self” itu saja dalam tulisan singkat dan sederhana ini. Tetapi saya akan mencoba menerapkannya dalam studi saya yang terus menerus akan Manggarai dan fenomena ke-Manggarai-an, yang dalam salah satu serial terbitan buku internasional disebut sebagai salah satu contoh dari “the vanishing cultures in the world” (kebudayaan yang sedang dalam proses menghilang, memudar, lalu sekadar menjadi fosil sejarah). Sayang sekali.

Charles Taylor menyebut hal ini (kesadaran akan “the moral self”) sebuah temuan baru dalam sejarah perkembangan filsafat moral di Eropa sejak abad kedelapanbelas, sebuah wacana yang berkembang juga di belahan dunia lain yang dipengaruhi oleh alam pemikiran barat itu. Perkembangan pemikiran moral itu antara lain dibantu dan didorong oleh orang-orang seperti Jean Jacques Rousseau dari Perancis, dan Johann Gottlob Herder dari Jerman (Multiculturalism, pp.29-30). Rousseau misalnya kurang lebih mengatakan bahwa perkara moral adalah soal mengikuti suara hati alami di dalam diri seseorang itu sendiri, yang dialami sebagai sumber sukacita dan harga diri dan otentisitas sebagai diri pribadi. Dalam rangka itu Rousseau mengatakan, suara ini, walaupun ada dalam hati setiap manusia, bisa saja hilang atau luntur karena pengaruh dua hal, yaitu karena ketidak-dewasaan (dalam bentuk rasa tergantung pada orang lain dalam soal keputusan moral), dan kedua, karena dosa keangkuhan atau kesombongan yang menjadi salah satu sifat manusia yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu, menurut Rousseau, keselamatan (shalom) terutama sekali ditentukan oleh kontak moral otentik dengan diri kita sendiri, dan bukan karena mengarahkan orientasi pertimbangan moral kita kepada orang lain sebagai agen putusan moral.

Masih menurut Taylor, pemikir Jerman Herder, mengintensifikasi dan meradikalisasi pemikiran filsafat moral Rousseau. Menurut Herder, setiap kita mempunyai cara original dan unik untuk menjadi manusia, untuk menjadi diri kita sendiri. Penghargaan akan diri sendiri adalah cara khas aku berada; ini sangat unik dan einmalich (kata orang Jerman: hanya satu kali saja ada dan terjadinya, tidak terulang). Taylor mengutip perkataan Herder yang sangat terkenal berikut ini: “Jeder Mensch hat ein eigenes Maass, gleichsam eine eigene Stimmung aller seiner sinnlichen Gefuehle zu einander” (Dikutip Taylor, p.30). Menurut Herder, hal ini bisa terancam hilang juga karena dua alasan berikut ini. Pertama, ia bisa terancam hilang karena adanya tekanan untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal atau orang-orang lain di luar sana; kedua, ia juga bisa terancam hilang karena sang aku telah kehilangan kemampuan mendengar suara batiniah akibat adanya pendirian instrumentalistis terhadap diri sendiri (p.30).

Harus saya akui dengan jujur bahwa sesungguhnya rada sulit juga untuk menjelaskan hal ini karena bersifat abstrak. Tetapi karena ini bukan fokus uraian saya, maka saya lewatkan saja dulu. Tetapi yang jelas, kedua pemikiran ini, memicu pemikiran saya untuk memikirkan tentang ke-Manggarai-an saya. Ke-Manggarai-an itulah yang akan saya uraikan lebih lanjut dalam bagian berikut dari karangan saya ini.

Ketika membaca semuanya ini, baik yang dari Rousseau maupun Herder yang diramu Taylor dengan sangat baik dalam teksnya ini, saya tiba-tiba teringat akan sebuah nasihat moral dalam wacana moral orang-orang Manggarai, yang menurut saya sangat sejalan dengan visi moral baru ini. Wacana moral itu biasanya diungkapkan dalam dan melalui bentuk lagu yang dinyanyikan dalam kesempatan perkumpulan bersama, seperti pesta adat, dll. Ada baiknya saya mengutipnya terlebih dahulu di sini secara harfiah; sesudah itu saya akan mencoba menguraikan dan membentangkan makna dan pemaknaannya. Wacana itu berbunyi sbb:

Neka na’as tombo data, nia tutup (tutus) nai rum lando lekot nai ge.
Itu baris yang pertama. Masih ada baris kedua yang berbunyi sbb:
Neka imbis tombo nipi nia tutup (tutus) nai rum,lando lekot nai ge.

Sebelum membahas lebih lanjut makna yang ada, terlebih dahulu yang membentangkan beberapa pengamatan awal berikut ini. Perhatikan baik-baik bentuk dari kedua baris petuah moral ini. Mereka mengikuti kesamaan dalam pola bunyi pilihan kata-kata: na’as... data.... dan imbis...nipi. Yang pertama, ada bunyi dominan sebagai penciri a. Dalam yang kedua, ada bunyi dominan sebagai penciri i. Di tengah-tengahnya ada kata tombo.

Ada pun arti ungkapan ini secara harfiah ialah kira-kira demikian: Jangan (Neka) menyimpan (na’a-s) apa kata orang (tombo data), tetapi berpeganglah teguh pada (ikutlah dengan setia dan konsekwen) apa kata Hati Nuranimu sendiri. Di sini diharapkan agar jangan sampai pendapat dan sikap moral kita ditentukan oleh orang lain, oleh masyarakat sosial yang tampak atau kelihatan. Baris kedua dapat diartikan demikian: Jangan (neka) percaya (imbi-s) begitu saja kata-kata yang terdengar dalam mimpi, tetapi berpeganglah teguh pada (ikutlah dengan setia dan konsekwen) apa kata Hati Nuranimu sendiri (Nia tutup/tutus nai rum). Tombo nipi, apa yang terdengar dalam mimpi, bisa diartikan dan dipahami dalam artian yang sangat luas, yaitu apa saja yang didengar, dilihat, dalam dan ketika orang sedang bermimpi. Bisa juga diartikan sebagai igauan orang yang sedang tidur, yang sering didengar orang. (Anehnya, walaupun sudah ada petuah moral seperti ini dalam warisan kultural Manggarai, tetapi ketika judi togel orang tetap mencari sumber inspirasi itu dalam mimpi. Benar-benar aneh).

Ketika berbicara tentang mimpi ini, tiba-tiba saya teringat akan kuliah tentang mimpi yang pernah saya ikuti dulu di Universitas Radboud Nijmegen, Belanda tahun 2000 dulu. Anehnya ialah bahwa kuliah tentang mimpi ini justru diberikan sebagai sebuah topik dalam studi Kitab Suci. Sebab ternyata mimpi ini dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru, dipakai sebagai media perwahyuan juga. Ada banyak tokoh yang mendapat perwahyuan ilahi dalam dan melalui mimpi. Beberapa contoh: mimpi Yusuf, mimpi Yakub, mimpi Paulus (untuk menyeberang ke Eropa dari Asia untuk mewartakan Injil di sana), mimpi Maria, Mimpi Yusuf, Mimpi Tiga Raja dari Timur. Dst... Masih ada banyak lagi contoh lain.

Sekarang saya mau mencoba mengartikan bagian akhir dari petuah moral dalam khasanah orang Manggarai di atas tadi: Lando lekot nai ge. Apa arti dari ungkapan ini yang diulang di akhir dari kedua baris petuah moral itu. Lando bisa berarti bunga. Dalam bahasa Manggarai sesungguhnya ada dua kata untuk bunga: yaitu lando dan wela. Lando untuk teu, kolor, padi atau woja, latung atau jagung. Wela untuk pau, nangka, ndesi, labu, ka’ung, dst. Dengan sengaja yang dipilih ialah kata Lando dan bukan wela, karena mengamati fenomena alami pada perkembangan fisikal lando itu sendiri. Lando woja, kalau semakin padat berisi, maka ia akan semakin merunduk. Sesungguhnya pengamatan itulah yang diungkapkan di sini: Bagai ilmu padi, kian berisi kian merunduk. Segi merunduk itu tampak dalam kata lekot yang berarti semakin turun ke bawah karena berat isinya. Sebaliknya kalau lando woja itu terkena serangan hama wereng (nengep), maka ia akan mengering, dan bunga itu menjadi putih dan tetap tegak lurus (cedek atau tondek) ke atas. Itu menandakan dengan sangat jelas bahwa ia tidak berisi sama sekali. Kosong melompong. Tohor. Tetapi mengapa kedua baris petuah moral itu diakhiri dengan ilmu lando-lekot ini? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi salah satu penjelasan rasional dalam olah pemikiran filosofis saya ialah demikian: jika orang semakin menukik ke dalam suara hatinya sendiri (dan tindakan menukik ke dalam itu sangat membutuhkan keberanian moral dan ketegasan intelektual juga), maka diharapkan orang itu akan semakin rendah hati, semakin merunduk (lando lekot). Perjalanan batiniah, perjalanan ke dalam, perjalanan menjelajah suara hati, membuat orang semakin rendah hati, bukannya membuat orang semakin sombong atau angkuh. Jika seseorang semakin banyak dan berani mendengar suara nuraninya sendiri, maka ia akan menjadi semakin rendah hati. Kerendahan hati itu menjadi sikap jiwanya, nai ge.

Akhirnya masih ada dua catatan ringan yang perlu dikemukakan di bagian akhir refleksi ini. Pertama, mengenai kata tutup yang dipakai dalam untaian petuah moral di atas tadi. Sesungguhnya, dulu ketika saya masih kecil yang saya dengar dalam nyanyian orang-orang tua ialah kata tutus (totos). Agak sulit juga memberi arti dan penjelasan kata ini. Tetapi dalam konstruksi makna yang terbangun dalam benak kalbu saya ialah kata itu berarti keputusan tegas hati nurani sendiri (nia tutus nai rum). Tetapi dalam perkembangan beberapa tahun belakangan ini, yang sering sekali saya dengar terucap dalam lagu atau nyanyian ialah kata tutup, sehingga terdengar demikian: Nia tutup nai rum lando lekot nai ge. Sesungguhnya artinya tetap sama. Saya sendiri sesungguhnya lebih condong memilih kata tutus (totos) daripada tutup, agar kita terhindar dari tumpang tindih pengertian kata tutup dalam bahasa Indonesia. Tetapi inilah salah satu problematika dari bahasa tutur (lisan): tidak ada model cara penulisan yang baku dan final, jadi ia berkembang secara dinamis terus menerus. Di satu pihak hal itu ada baiknya juga: tidak ada tendensi menjadi otoritarian karena hukum-hukum tulis dan tertulis. Di pihak lain ada segi negatifnya: yaitu tidak ada bentuk final dari sebuah kata penting. Ia terbentuk terus menerus dalam proses tutur dan proses dengar dan salah dengar dari masing-masing orang, masing-masing pemakai atau penutur sebuah bahasa.

Catatan kedua, sangat penting. Yaitu: kalau dikatakan bahwa orang harus menjadikan suara hati sebagai titik referensi final sebuah keputusan moral, itu tidak berarti bahwa kita merelativir ada dan kehadiran dari orang lain, dan pendapat dan pertimbangan moralnya. Mereka itu tetap sangat penting sebab substansi proses pendidikan (saya sudah menguraikan tentang filsafat pendidikan itu pada tempat dan kesempatan lain) adalah mengarahkan perhatian dan mendengarkan orang lain. Mendengarkan toing dan titong dari orang lain. Tentu bisa dikatakan bahwa mendengar dan menerima toing dan titong itu hanya berlaku pada tahap perkembangan tertentu dari usia manusia yaitu ketika orang masih kecil dan remaja. Maka petuah moral di atas tadi, memang lebih ditujukan kepada orang-orang dewasa yang diharapkan lebih mandiri dalam sikap dan keputusan moralnya. Biasanya baris nasihat ini terdengar dan diucapkan orang ketika terjadi situasi konflik interpreasi dan desisi moral. Kematangan dan kedewasaan moral seseorang ditentukan oleh dan terlihat dari keberanian moral ini. Mendengar dan memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat orang lain tetap penting, tetapi yang pada akhirnya menentukan ialah diri kita sendiri, dan bukan orang lain. Ya, pendidikan moral harus mengarah kepada sikap rendah hati: menjadi semakin lekot karena berat isinya, dan tidak conga atau songak yang menandakan kesombongan atau keangkuhan.

Yogyakarta, 06 November 2011.

Tidak ada komentar: