Oleh: Fransiskus Borgias M.
Kata “Terima Kasih” ini adalah sebuah kosa-kata dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi: Terima kasih. Asal-usul atau akar kedua kata itu kiranya sangat jelas: Terima dan Kasih. Kalau diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris menjadi: to receive love. Kalau dianalisis lebih jauh, maka muncul gambaran berikut ini: Kasih (Love) itu telah ditawarkan, lalu ada pihak lain yang menerimanya dengan hati terbuka dan dengan sukacita juga (receive). Lalu dari konteks seperti itulah muncul ungkapan terima kasih.
Saya adalah orang Manggarai. Terus terang saja, saya merasa agak sulit mencari ungkapan yang sepadan dengan ungkapan “terima kasih” itu dalam bahasa Manggarai sebagai terjemahan konsep “terima kasih” itu ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin akan segera muncul kesan dan anggapan orang lain bahwa orang-orang Manggarai tidak tahu berterima kasih. Saya kira jangan juga cepat-cepat diartikan dan dipahami dengan cara seperti itu. Itu terlalu sederhana. Sangat simplistik. Terlalu tergesa-gesa. Sebab sesungguhnya yang ada hanyalah bahwa dalam bahasa Manggarai tidak ada terjemahan yang tepat untuk ungkapan terima kasih. Paling tidak sampai saat ini belum ada ide atau konsep yang dapat secara memadai menerjemahkan konsep itu ke dalam bahasa Manggarai. Itu saja. Titik. Tidak lebih dari itu.
Saya masih ingat, dulu kalau seseorang memberi kita sesuatu, maka hal itu akan diterima dengan diiringi ucapan: delek ta mori, yang artinya “syukurlah ya tuan” atau bahkan Tuhan. Atau di beberapa tempat ada juga seruan atau ungkapan seperti ini: “manga mose,” yang artinya, “ada hidup,” atau “hidup bisa dilanjutkan karena pemberian ini.” Bahkan di Lembor (tepatnya di Wol, Daleng, Dempol) dulu ketika saya masih kecil ada ungkapan seperti ini: “manga nemo.” Agak sulit menerjemahkan istilah ini, apalagi sekarang ini mungkin istilah itu sudah hilang, tidak dipakai lagi oleh para penutur jaman ini, tetapi saya masih merekamnya dalam ingatan saya. Selain itu, ada juga ungkapan seperti ini sebagai tanda ungkapan terima kasih tatkala seseorang menerima suatu pemberian dari orang lain: “di’a naim ta mori,” atau “di’a naim ta mori sengaji,” atau juga “di’a naim ta mori adak,” atau yang lebih singkat lagi, “di’a naim ta sengaji.”
Kata “delek” di atas tadi mengandung arti syukur, mengandung tindakan atau perbuatan bersyukur. Si penerima melambungkan syukur kepada si pemberi, yang dalam hal ini disebut “mori,” atau “adak,” atau “sengaji.” Sedangkan ungkapan “manga-mose,” mengandung arti harfiah, ada hidup. Si penerima merasa bahwa pemberian itu memungkinkan hidup dapat berjalan terus karena pemberian itu. Jadi, tersembunyi sebuah filsafat luhur di sini: hidup dimungkinkan karena pemberian dari pihak lain, dari uluran tangan dan perhatian lian, dari sesama, di dalam komunitas. Yang agak sulit ditelusuri lagi makna semantiknya ialah ungkapan “manga nemo.” Saya tidak tahu lagi arti kata “nemo” itu. Maka ia harus dipahami dari dalam konteks pemakaiannya saja. Dan konteks pemakaiannya mengarah ke makna yang kurang lebih sama dengan ungkapan “manga mose” tadi. Sedangkan ungkapan “Di’a naim ta mori” dan pelbagai variannya tadi, artinya kurang lebih ialah hati atau jiwamu baik dan mulia tuan; dan kebaikan dan kemuliaan itulah yang memungkinkan aku hidup, dan dalam hidup aku dapat bersorak kegirangan memuji.
Dalam karangan Jerome H.Neyrey SY, dalam Catholic Biblical Quarterly, 71, 2009, ada catatan bahwa tidak semua kebudayaan di dunia ini mempunyai kata atau ungkapan untuk terima kasih itu, untuk “thanks” dalam bahasa Inggris itu. Ia memberi salah satu contoh di India. Menurut dia, di sana tidak ada ungkapan “thanks” itu, karena dalam paham dan insight kebudayaan mereka, tindakan social-beneficial kepada sesama itu dipandang sebagai pemenuhan sebuah kewajiban primordial yang sudah ada secara kodratiah dalam diri masing-masing individu dalam masyarakat, dalam satu komunitas. Selanjutnya dikatakan bahwa kalau seseorang memberi sebuah pemberian kepada sesamanya, si penerima pemberian itu percaya bahwa pemberian itu adalah hasil imbalan dari kewajiban terdahulu dan karena itu dianggap sudah layak dan pantas. Sudah seharusnya memang demikian. Di sini prinsip yang bekerja dan berlaku ialah prinsip resiprositas berimbang.
Bandung, 12 Februari 2009.
Fransiskus Borgias M.
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Akhirnya ada penjelasan yang bisa saya terima dan masuk akal (untuk saya). Selama ini saya selalu terganggu ketika ada orang Manggarai yang mengucap "tiba teing". Mungkin benar. Tapi tidak enak saja di telinga saya������
Posting Komentar