Oleh: Fransiskus Borgias M.
Judul tulisan ini tentu saja aneh bagi kebanyakan orang atau pembaca. Yang jelas ini adalah sebuah onomatope dalam bahasa Manggarai. Menurut ilmu bahasa, onomatope adalah kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi, entah itu bunyi dari alam ataupun bunyi dari alat-alat buatan manusia. Setiap kebudayaan dan bahasa mempunyai sistem dan proses pembuatan atau pembentukan kosa-kata onomatopenya sendiri. Sekadar beberapa contoh dalam bahasa Indonesia misalnya ialah: kata seperti siar-siur (meniru desau angin yang membelai manja dedauan kelapa atau bambu, atau batang padi dan ilalang di padang rumput). Contoh lain ialah aum atau mengaum (yang meniru bunyi singa mengaum). Atau kotek, berkotek (yang meniru atau memvokalisasi bunyi ayam betina yang sedang bertelur atau mencari perhatian pejantan).
Dalam bahasa Manggarai ada juga beberapa contoh onomatope seperti itu. Misalnya kata teke, atau tokek dalam bahasa Indonesia, adalah tiruan atau vokalisasi bunyi tokek menurut pendengaran telinga orang Manggarai. Contoh lain: ngai-ngaok (vokalisasi keributan dalam kerumunan orang banyak atau anak kecil yang bermain, berbicara). Yang menarik bagi saya ialah fakta bahwa ada beberapa kata dalam bahasa Manggarai yang dibentuk berdasarkan tiruan atau vokalisasi gerak (bukan bunyi). Secara ilmu bahasa, hal ini tidak atau belum ada istilahnya. Mungkin ini peluang bagi para ahli bahasa untuk menciptakan istilah baru (atau mungkin saya yang belum mengetahui istilahnya saja). Sebab dalam bahasa Yunani, yang ada hanya onomatopoeia, tiruan bunyi (bukan tiruan gerak) yang menjadi kata. Beberapa contoh dari kata hasil tiruan gerak itu (yang memang diiringi bunyi juga) ialah: ngkalong, nggirung-nggarung, jiok. Sebenarnya hal ini juga ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya: muncrat, prot-prot, ciprat, jepret, dll.
Sehubungan dengan judul tulisan ini, saya teringat akan lagu yang diajarkan oleh Bapak Guru Frans Ebat dan Feliks Mar dulu di SDK Ketang. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya saya kutip lagu onomatope itu di sini. Inilah lengkapnya lagu itu:
Impompeng,
Impompeng pudene pudene ska impompeng adoretete;
mine-mine masam,
mine mine masam
kwing kwang kworung kwing kwang kwong,
kwing kwang kworung kwing kwang kwong……etc,
(lalu diakhiri dengan bunyi kwong-kwong-kwong
yang dibawakan dengan cara fading out).
Sebagai seorang murid sekolah dasar, saya menghafal lagu itu sampai lancar di luar kepala (learn by heart, kata orang Inggris). Adalah terutama kaum perempuanlah (murid sekolah yang perempuan, atau para ibu-ibu dalam perkampungan tradisional) yang memperagakan untaian bunyi itu pada gong dan gendang. Dan saya masih ingat lagu itu sampai sekarang ini. Saya menulisnya sekarang di sini berdasarkan ingatan yang sangat kuat itu.
Ada sebuah pertanyaan penting yang masuk ke dalam pikiran saya saat menulis pikiran ini. Apa konteks kemunculan lagu onomatope ini? Menurut hemat saya, konteks kemunculan lagu ini, erat terkait dengan fungsinya. Menurut hemat saya, syair lagu itu adalah onomatope gong dan gendang. Jadi, lagu itu muncul dari hasil peniruan bunyi gong gendang. Bebunyian dijadikan syair yang hanya bermakna jika onomatopenya dipahami dalam konteks kemunculannya.
Tetapi apa fungsi dan tujuan penciptaannya? Mungkin itu adalah proses pembelajaran bunyi dan cara memukul gong dan gendang dalam kebudayaan Manggarai. Mungkin itu adalah semacam alat bantu pembelajaran, semacam jembatan keledai yang memudahkan orang untuk menghafal. Yang jelas di sini bebunyian menjadi syair. Orang bernyanyi lewat lirikalisasi dan verbalisasi onomatope. Dan dengan cara itu, bunyi itu diabadikan. Dan dengan cara itu juga ia dapat dilestarikan, diajarkan kepada orang lain. Jadi, onomatope ini menjadi alat pembelajaran, menjadi ruang pembelajaran. Semoga dugaan saya ini benar adanya. Mohon diskusi dan tanggapan atau catatan kritisnya.
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar