Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dulu pada waktu novisiat di Yogyakarta saya pernah menulis begini dalam Buku Harianku untuk mencoba merekam beberapa kenangan dan pengalaman dari dan selama masa postulat di Pagal, Manggarai, Flores: ketika aku melihat pohon kapuk (randu) di kampung Pagal, saya melihat sebuah citra kampung Manggarai tradisional di sana. Sebab pohon kapuk itu mengingatkan saya akan kampung-kampung asli Manggarai. Seakan-akan kehadiran pohon kapuk itu merekam dan menyimpan data dan jejak sejarah dari masa silam. Entahlah mengapa, dan entahlah juga bagaimana.
Tetapi sekarang ini saya mendapat sebuah ilham tafsir dan pemahaman baru dari gejala itu. Biasanya kampung-kampung asli di Manggarai dulu rindang oleh pepohonan, entah itu pohon nangka, entah itu pohon asam, entah jambu mente, pohon kemiri, dan beringin atau juga kalo di compang (altar pemujaan leluhur dalam agama asli). Kalau dilihat dari kejauhan tampak kentara itu adalah perkampungan terutama di daerah yang didominasi oleh padang sabana dan stepa. Tentu lain lagi keadaannya dengan perkampungan yang ada di daerah pegunungan yang umumnya jauh lebih hijau. Tetapi tetap kentara bahwa itu adalah sebuah perkampungan atau bekas perkampungan atau disebut mukang.
Nah, di tengah rimbun perkampungan yang hijau permai itu ada juga pohon kapuk atau randu. Dan yang amat menarik perhatian saya ialah, pada musim gugur-daun (yang terjadi sekitar bulan Agustus sampai September karena pulau Flores cukup dekat dengan belahan selatan bumi kita), pohon-pohon itu pada umumnya mulai meranggas, dan di tengah pepohonan yang meranggas itu muncullah pohon Randu atau Kapuk yang juga sama-sama meranggas tanpa daun. Paling-paling hanya tersisa beberapa helai daun, dan mungkin beberapa buah yang menggantung, yang luput dari mangsa kalong di malam hari. Bagi saya itu sebuah pemandangan yang sangat indah, sebuah perpaduan yang sangat unik, sebuah estetika alami yang luar biasa, justru karena kesederhanaannya.
Ketika sekarang ini saya mencoba merenungkannya lagi, paling tidak muncul dua tafsir atau pemahaman atas gejala perkampungan seperti itu. Tentu saya sadar bahwa apa yang saya katakan ini tidak disetujui oleh semua pihak. Tetapi inilah yang menjadi pendapat dan pandangan saya sebagai seorang pengamat dan penafsir gejala, seorang penafsir fenomenologis. Pertama, pohon kapuk tanpa daun itu tampak dari kejauhan seperti tiang-tiang layar kapal atau perahu di tepi laut, yang sedang menurunkan layarnya karena sedang berlabuh atau sedang membuang sauh di sebuah teluk yang aman dan indah permai. Jika dilihat dan dipahami secara demikian, maka Kampung itu serasa sedang tetirah, sedang berlabuh di tengah sebuah perjalanan pelayaran yang teramat panjang dan jauh entah dari mana dan entah ke mana. Tetapi sekaligus juga, perahu itu siap untuk selalu berlayar kembali. Ya hidup memang adalah sebuah perjalanan, hidup adalah sebuah ziarah, karena manusia, menurut filsuf Prancis bernama Gabriel Marcel, adalah homo viator, manusia yang sedang berada dalam perjalanan, manusia adalah peziarah. We are on a journey; kita ini adalah perantau dan pendatang di bumi ini. Ya, itulah pemahaman dan tafsir pertama.
Pemahaman dan tafsir kedua ialah sbb: pohon randu yang tandus meranggas itu tegak ke atas di atas dedauan pelindung kampung. Sekali lagi saya katakan, ujung-ujung pohon randu itu tegak seperti antena yang menantang dan menusuk langit, seakan-akan sedang mencoba menangkap “sinyal-sinyal transendensi,” meminjam kosa kata dari sosiologi-teologi Peter Berger. Bagi saya, hal ini dengan sangat jelas menandakan dimensi vertikalitas eksistensi manusia. Hal itu dengan sangat tegas menandakan dimensi transenden hidup manusia di dunia ini. Samar-samar pohon itu menyiratkan keterarahan transendental-vertikal hidup manusia di dunia ini. Hidup tidak hanya berhenti di sini saja. Tidak hanya terbelenggu oleh daya gravitasi bumi saja. Melainkan ia bisa melayang pergi, dan terbang tinggi, bahkan bisa juga “knock, knock, knocking on heaven’s door,” kalau meniru sepenggal syair satu kelompok musik metal Amerika beberapa tahun silam.
Ya, mengutip seorang teolog Yesuit Jerman, Karl Rahner, manusia adalah sekaligus makhluk eksistensial-transendental. Eksistensial, karena ia berada di sana, yaitu berada di dunia ini, Dasein, mengutip seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger, yang sangat kuat pengaruhnya pada Karl Rahner ini. Transendental, karena manusia mempunyai tendensi untuk segera mengatasi atau melampauinya juga sekarang dan di sini. Dalam segi yang terakhir ini, manusia terarah ke atas, mencari sumber asal dan asalinya, mencari sang citra primordialnya, mencari titik awal en arche-nya, dan itu tidak lain adalah di dalam Allah sendiri.
Mungkin itulah yang juga dialami oleh Santo Agustinus dari Hippo yang sangat sibuk dalam dan dengan pencarian dan pemaknaan hidupnya di masa mudanya, tetapi yang akhirnya menemukan makna final itu di dalam Tuhan sendiri. Itulah sebuah penemuan yang menjadi sebuah peristiwa perjumpaan penuh makna bagi dia, sehingga dia dengan perasaan sangat lega mengatakan dan bahkan mungkin seperti setengah berteriak: cor meum inquietus est donec requiescat in Te. Ya, hatiku belumlah bisa menjadi tenang sebelum beristirahat padaMu.
Orang-orang Manggarai menjejakkan citra dan arah transendental itu dengan konstruksi kampungnya yang ditandai dengan pucuk-pucuk randu tandus, yang seakan-akan “tegak lurus dengan langit,” meminjam salah satu judul cerpen terkenal dari Iwan Simatupang, yang dikumpulkan oleh Dami Ndadu Toda (seorang penyair dan sastrawan Manggarai, berasal dari Todo), menjadi judul sebuah kumpulan cerpen yang indah dan menarik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar