Perlu diketahui dan diakui bahwa salah satu prestasi cemerlang dan gemilang gereja Katolik Manggarai ialah diterbitkannya buku Dere Serani pada tahun 1960-an. Itu adalah salah satu hasil paling mengagumkan hasil karya misi Ruteng. Saya bahkan berani menyebutnya sebagai sebuah loncatan peradaban teramat besar, dari peradaban lisan ke peradaban tulisan. Dan itu adalah berkat karya misi di Manggarai. Buku Dere Serani itu sekarang ini sudah mengalami edisi cetak ulang yang luar biasa besarnya (Saya lupa persis, tetapi tercantum dalam edisi terbaru dari buku itu). Sekali lagi buku ini adalah tonggak besar dalam perkembangan lagu-lagu Manggarai. Juga tonggak besar dalam pendidikan penghayatan iman Katolik orang-orang Manggarai itu sendiri. Masih ada banyak catatan yang penting sehubungan dengan ini, tetapi saya cukupkan sampai di sini dulu, sebab saya langsung mau fokus saja pada poin utama yang mau saya sasar dalam tulisan singkat dan sederhana ini.
Salah satu lagu dalam buku Dere Serani yang sangat saya sukai itu ialah lagu yang berjudul Toe Remo Kaku Mori. Ini adalah lagu untuk komunio. Tetapi secara tertentu, lagu ini bisa juga dipandang sebagai salah satu tembang Kristologis komunio yang sangat indah dan menyentuh. Syairnya sendiri diangkat dari Kitab Suci, yang sering kita pakai dalam perayaan Ekaristi kita, menjelang komuni: Ya Tuhan saya tidak pantas, Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh. Saya juga sangat hafal dalam versi bahasa Latinnya: Domine, non sum dignus, ut intres sub tectum meum, sed tantun dic verbo, et sanabitur animam meam.
Tetapi dalam kesempatan kali ini saya tidak mau mempersoalkan terjemahan teks itu ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin akan saya usahakan hal itu pada kesempatan yang lain. Dan sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya kita lihat dulu teks lagu itu dalam Dere Serani. Beginilah bunyinya:
Toe remo kaku Mori,
Toe remo kaku Mori,
Te sambut Weki Nggeluk.
Gelang ocok wakar daku,
Gelang ocok wakar daku,
Yo Yesus di’a bail.
Ada beberapa catatan penting yang harus saya kemukakan di sini. Tiga baris pertama, tidak menjadi soal besar bagi saya. Itu adalah pernyataan kerendahan hati kita, yang merasa tidak pantas bahwa Tuhan sudi mendatangi saya. Kita merasa tidak pantas untuk menyambut Tubuh Mahakudus, dan Mahamulia itu. Oleh karena itu, tiga baris pertama ini tidak akan saya bahas lebih lanjut.
Yang menjadi soal saya ialah tiga baris berikutnya. Soalnya ialah pemakaian kata ocok itu sendiri. Oleh karena itu, saya memfokuskan analisis saya pada kata ocok itu.
Kata Ocok dalam bahasa Manggarai berarti tunduk membungkuk rendah bahkan hingga sampai menyentuh ke tanah. Untuk dapat memahami hal ini, kita harus membayangkan sebuah ambang atap rumah yang sangat rendah, sehingga untuk melewatinya kita harus membungkukkan badan kita sedalam-dalamnya, serendah-rendahnya. Itulah makna yang terkandung di dalam kata ocok itu. Memang pintu rumah asli Manggarai dulu ialah atapnya sampai ke tanah (walau saya tidak sepenuhnya sependapat dengan hal itu, sebab ada juga arsitektur bruga yang mirip dengan rumah gadang minangkabau itu), sehingga kalau orang mau masuk ke dalam rumah itu, ia harus membungkukkan badannya. Kalau orang mau datang bertamu ke rumah orang lain, maka sebagai tamu ia harus berjalan membungkuk masuk ke dalam rumah si tuan rumah, untuk menghormati mereka yang berdiam di dalam rumah itu. Jadi, secara arsitektural, orang yang mau bertamu seakan-akan “dipaksa” atau diminta, dihimbau untuk tunduk dan membungkuk masuk ke dalam rumah.
Tetapi hasil dari korban perbuatan membungkuk itu ialah kemudian orang masuk ke dalam suatu keluasan ruang dalam, masuk ke dalam kehangatan dan keakraban ruang dalam, ruang keluarga, ruang hidup, Lebensraum kata orang Jerman, atau living space kata orang Inggris. Dalam artian tertentu, gaya arsitektural atap seperti itu sedikit banyak menggambarkan persepsi diri orang Manggarai. Para penafsir dan pengamat Manggarai pada umumnya mengatakan bahwa gaya atap seperti itu memperlihatkan harga diri orang Manggarai, sebab ia seakan-akan “memaksa” tetamu untuk tunduk, menyembah. Hanya dengan tunduk dan menyembah seperti itu, orang dari luar bisa masuk, bertemu dan bertamu.
Nah, sekarang perhatikanlah baik-baik. Dalam pemakaian biasa sehari-hari seperti di atas, kata ocok itu sama sekali tidak menjadi soal bagi saya. Yang menjadi soal ialah ketika kata itu dipakai untuk melukiskan atau menyatakan sesuatu tentang Yesus Kristus. Sebab syair lagu itu mengandung nada-nada imperatif alias perintah yang tegas. Sebuah seruan, invokatif. Biasanya kepada Tuhan Yesus Kristus kita mengajukan permohonan, dan bukan perintah (imperatif). Itulah yang menjadi soal saya yang pertama: kita memberi perintah kepada Yesus agar ia cepat masuk dengan menunduk ke dalam jiwaku.
Tetapi apakah itu sungguh-sungguh menjadi soal juga secara Kristologis? Itulah yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya (poin masalah kedua). Menurut hemat saya, hal itu tidak usah menjadi masalah. Bahkan hal itu mempunyai landasan biblis-kristologisnya dalam kitab suci itu. Perintah agar Yesus segera ocok wakar tidak menjadi soal bagi saya. Kita meminta Yesus agar sudi masuk ke dalam rumah kita, ke dalam space tempat tinggal kita. Adapun dasar biblis yang saya maksudkan antara lain ialah Kristologi Kenosis dalam Filipi yang amat terkenal itu: “....yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di bumi....” (Fil.2:6-9).
Saya membayangkan bahwa dulu ketika para penerjemah mengerjakan teks Dere Serani di atas tadi, terjadi sebuah diskusi batin dan diskusi kelompok yang sangat seru dan serius karena hal itu menyangkut persoalan teolgois dan kristologis. Tetapi keputusan dan pilihan sudah ada. Dan hal itu saya anggap sangat tepat. Itu adalah sebuah intuisi dan insight iman yang benar, ortodoks, dan injili. Maka saya dapat dan mau menyanyikannya tanpa harus merasa risih lagi di hadapan Tuhan Kita Yesus Kristus.
4 komentar:
Kraeng tua, selamat bertemu. Ini suara dari jauh, dari kutub utara, Polandia. Kebetulan saya lagi belajar di sini. Mengenai kalimat "gelang ocok wakar daku", hemat saya, seharusnya berbunyi "gelang koe ocok wakar daku", sehingga aspek permohonan-nya (begging aspect)lebih terasa. Ini di dalam dunia musik disebut sebagai "pesan formal implisit", artinya, bahwa kata "koe" bisa diganti/"disublimasi" dengan format musikal yang sangat kaya dalam musik tradisional Manggarai, yaitu misalnya melismatisme (perpanjangan sebuah silabus dalam lagu). Tetapi karena melodi dari lagu "Toe Remo" tersebut adalah melodi sebuah lagu dari bahasa Indonesia (hemong laku, ai beheng bail cee mbeot)maka di sini pesan formal implisit sulit kita temukan. Itulah sebabnya Bapak merasa agak ganjil membaca teks mentah dari lagu tersebut. Seandainya analisa tersebut dibaca oleh orang yang betul awam, tanpa mengetahui latar belakang tekst tersebut berasal, pasti di sini akan terjadi ketidakpuasan mendasar. Memang banyak ketidakjelasan kita temukan kalau kita menganalisa beberapa lagu dari DERE SERANI tercinta. Misalnya dalam lagu tersebut di atas, selanjutnya ada kalimat "Yo Yesus di'a bail". Maksudnya kan: Yo Yesus, Ite ata di'a keta (dalam dialek Manggarai Timur: Yesus, Ite ata di'a SOUT). Keta/sout memiliki makna yang berbeda dari kata keterangan "bail". Kelihatannya di sini yang berperan di dalam komponis/penerjemah menuliskan "Toe remo" adalah kesulitan dalam mencocokkan "go'et Manggarai" dengan not asli yang sudah ada. Nenggitu kaut di cala ta, Bapa. Selamat berkarya. Semoga suskes selalu.
Vincent Adi GM SVD
Ole Tuang, terima kasih banyak keta atas catatan ini. Saya sangat setuju dengan catatan yang tuang berikan. Kalimat dalam judul itu, saya ambil langsung saja dari teks dalam Dere Serani. Tentu kalau kata "koe" dimasukkan akan cocok secara teologis. Tetapi kata "koe" itu "terpaksa" dikeluarkan karena ruang sudah dibatasi oleh notasi. Teks yang saya tulis ini masih bersifat spontan. Tetapi dengan ini saya ingin mendorong sebuah gerakan untuk merevisi Dere Serani secara bahasa dan juga sekaligus secara teologis. Mungkin kita yang dirantau ini, punya kesempatan unik untuk melakukan itu, sebab kita "berjarak" dari kemanggaraian kita. Sekali lagi, mungkin. Mari kita menelusuri kemungkinan itu. Ko coob ta tuang?
Klu di bayangkan dgn atap/ pintu rmh asli org manggarai. Apalagi dgn makna yg di katakan pengamat Manggarai (Aku juga tak sepenuhnya sependapat dgn makna pintu rmh yg di katakan ini.) Ini mungkin makna dr cara gerak tubuh dlm keseharian. Di sisi lain org Manggarai adalah org yg rendah hati siap merangkul & kekeluagaannya yg tinggi. Harga diri tdk dgn memaksa, spt gambaran pintu rmh. Pintu rmh yg rendah mungkin menggambarkan, kekurangan, keterbatasan sehingga tamu yg msk siap menerima semua ini. Ruang kel. Yg luas menggambarkan mungkin: dgn hati yg luas kita hidup dlm satu kekeluargaan. Hal ini yg mungkin mengacu pada kata OCOK dlm lagu ini, dgn kekurangan kami: Yesus ocok wakar dami. Trimakasih krg tua. ( Guido Wanggur Pongkor)
Ase Guido yg baik, sy baru sadar bahwa ada komentar dite one natas daku ho'o.... wah terima kasih juga atas pendapat dite ho'o, ini jg salah satu kemungkinan tafsir yg masuk akal... teirma kasih atas sharing pendapat dite ce'e ho'o...bagaimanapun ini jg turut memperkaya catatan ini.... tabe ga...
Posting Komentar