Kamis, 12 Maret 2009

PERCIKAN FILOSOFI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)


Dalam beberapa sms-nya kepada saya, adik saya Hubertus Mega Tanji, yang sejak tahun 2004 memutuskan untuk kembali dan tinggal di Manggarai (tepatnya di Labuan Bajo), menyajikan beberapa percikan refleksi filosofi-antropologi-kultural tentang beberapa aspek dari pemikiran yang terendapkan dalam kebudayaan Manggarai. Tentu saja saya sambut dengan sangat baik inisiatif yang diambil adik saya itu. Sebab bagi saya ini adalah sebuah sumbangan penting bagi proyek teologi inkulturasi saya yang sedang saya persiapkan sebagai sebuah tema penelitian.

Antara lain dia memberi catatan tentang perkawinan antara adat dan agama: “poli kaut pande manuk teing hang empo, rejeki saya mengalir.” Entah apa pula hubungan yang ada atau terjadi di antara kedua fakta dan tindakan itu. Dan inilah tafsir yang ia berikan: Di sini letak kegagalan kaum intelektual Manggarai dalam memformulasikan dengan bahasa yang pas untuk orang di sini, lantas dibilang kafir, menyembah berhala, dsb. Pada hal pande manuk itu sama dengan hukum cinta kasih. Oleh karena itu, sangat diperlukan studi mengenai agama dan adat.” Demikianlah katanya memberi sekilas opini singkat. Dan usul itu betul. Saya memposisikan diri ke arah itu.

Pada kesempatan lain ia membeberkan filosofinya tentang mbaru gendang (di Lembor dan Kempo disebut mbaru tembong) dalam budaya dan kehidupan orang-orang Manggarai. Menurut dia filosofi mbaru gendang atau mbaru tembong itu dapat secara ringkas diungkapkan sbb: ca mbaru (satu rumah) bate ka’eng (tempat tinggal), ca wae (satu mata air), bate teku (tempat menimba air sejuk dan segar), ca uma (satu kebun) bate duat (tempat berusaha, berkebun), ca natas (satu halaman, atau public physical space) bate labar (tempat bermain, berinteraksi, bersosialisasi). Dan inilah komentar singkat dia tetapi dalam bentuk sebuah pertanyaan retoris: “Bukankah ide itu mirip dengan komunisme?” Saya sendiri belum bisa memberi komentar balik banyak secara spontan tentang pertanyaan itu. Hanya saya merasa, mungkin bukan komunisme, melainkan lebih tepat komunalisme, ya, komunalisme Manggarai.

Terlepas dari itu semua, ketika saya membaca dan menulis kembali semua hal ini saya tiba-tiba teraingat akan Pater Flori Laot OFM. Saya teringat akan beliau setidaknya menyangkut dua hal. Pertama, pada suatu saat dia pernah mengatakan kepada saya mengenai lima tanda komunitas dan komunalitas masyarakat Manggarai. Kelima hal itu ialah: Mbaru gendang, compang, natas, wae teku, lingko. Di sini saya tiba-tiba teringat akan Sanda-Lima dalam warisan adat lama Manggarai. Mungkin Sanda-Lima ini ada kaitan erat dengan kelima unsur pokok kehidupan di atas tadi. Saya belum bisa menjawab hal ini dengan pasti. Saya masih harus ke Manggarai untuk menggali dan menyelidika hal itu. Sekaligus saya sadar di sini bahwa masih ada satu unsur yang tidak disebut oleh Huber dalam sms-nya tadi, yaitu ia tidak menyebut unsur compang (altar pemujaan dalam konteks religi purba dan asli Manggarai). Tetapi tidak apa-apa juga.

Kedua, ketika menyebut ungkapan mbaru gendang atau mbaru tembong, saya spontan teringat akan analisis penelusuran etimologis Pater Flori atas kata mbaru itu sendiri. Menurut Pater Flori, kata mbaru itu terbentuk dari dua akar kata yaitu mbau dan ru. Mbau artinya naungan (biasanya di bawah pohon rindang, atau di bawah ceruk batu karang atau nampar dalam bahasa Manggarai) yang sejuk dan nyaman. Ru, adalah kata posesif, yang artinya kepunyaan sendiri. Maka berdasarkan etimologi itu mbaru berarti naungan yang sejuk-nyaman kepunyaan atau milik sendiri. Jika analisis-penelusuran etimologis ini benar, maka dalam kata mbaru sesungguhnya tersimpan satu endapan historis filsafat orang Manggarai tentang harta milik pribadi (personal property right); yakni semacam hak atas aset.

Tetapi hal ini muncul atau terjadi karena klaim atas sebagian wilayah publik; sebab kata ru selalu berarti klaim personal atas benda, barang atau ruang bahkan orang. Dan serentak di sini tersiratlah potensi konfliknya yang mengandung bahaya besar. Sebab bisa saja ada beberapa pihak yang mengklaim hak milik pribadi atas hal yang satu dan sama. Hal itu jelas terendapkan dalam kata mbau itu sendiri. Biasanya dalam alam sabana dan stepa, naungan pohon (mbau) selalu menjadi tempat rebutan: antar sesama binatang buas, atau antar manusia dan binatang buas. Semua mau beristirahat di sana. Kalau semua mau ke sana, maka mbau bisa menjadi ajang konflik, konflik kepentingan, konflik interpretasi kepentingan juga. Fenomena yang sama terjadi juga untuk oase atau mata air. Ke sanalah semua orang dan semua makhluk datang. Maka di sana orang bisa berkoeksistensi secara damai, seperti idealisme mazmur 23 itu, atau saling berebut, eksploitasi, menindas, menyikut, dan saling menyingkirkan satu sama lain. Jadi, mbaru menyimpan potensi konflik, potensi “perpecahan”, potensi “menyebar,” atau potensi disperse dalam artian negatif dari kata itu.

Bandung, sekitar pertengahan Mei 2005.

Ditulis kembali dalam komputer di Bandung, 10 Maret 2008


Tidak ada komentar: