Senin, 01 Desember 2008

IMBI MORI GO

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


In Retrospect

Hari ini, tanggal 02 Desember 2008, saya tiba-tiba teringat akan papa saya, Feliks Mar. Saya mengingatnya terutama dalam perannya dulu sebagai guru pelatih dere sanda Manggarai di SDK Ketang pada tahun 70-an. Pada waktu itu, sebagai guru sekolah dasar, ia terlibat dalam pelatihan lagu-lagu inkulturasi liturgi Manggarai, khusus untuk Misa pada Minggu Paskah, atau pun Pentakosta. Salah satu lagu yang masih saya hafal dari masa kecil itu adalah lagu yang berjudul Imbi Mori go. Lagu ini adalah Credo.

Pada kesempatan ini saya mau menulisnya di sini untuk mengabadikannya, sebab saya tahu bahwa itu adalah salah satu tonggak dinamis proses dan upaya inkulturasi liturgi Manggarai, yang sudah sangat gencar dilakukan oleh Mgr.Wilhelmus van Bekkum, SVD, salah satu tokoh besar dalam Konsili Vatikan II. Ya, untuk tidak berpanjang kata lagi, inilah lagu yang saya maksudkan tadi:

Imbi Mori go oo

Bengkes Mori go oo

Eeeee somba Mori gooo

Eeeee somba Mori gooo

Eeee neka oke mose Mori ge.

Ayat 1:

Yo Mori, iiii go,

Mori Kraeng Ema go,

Poli dedek tana awang,

Ole Mori neka oke

Nggere one gonggem

Dami mose…... kembali ke Refr…..

Ayat 2:

Yo Mori, iiii go,

Mori Kraeng Anak go,

Pande bajars sala data,

Ole Mori neka tapa

Wa naraka

Dami wakar….. kembali ke Refr…..

Ayat 3:

Yo Mori, iiii go,

Kraeng Nai Nggluk go

Pande Nggeluk sanggen ata,

Ole Mori neka pencar

Salang pe’ang

Ami anakM…… kembali ke Refr……

Prospect

Itulah lagu yang saya maksudkan tadi. Saya menghafalnya sejak masih sangat kecil karena keterlibatan papa saya itu dalam melatih anak-anak sekolah dasar untuk menyanyikan lagu-lagu itu. Dan sekarang saya memberi beberapa pengamatan saya mengenai lagu itu, dari segi teologisnya.

Pertama, lagu itu berstruktur atau bercorak trinitaris (Trinitarian), sebab dalam ayat-ayatnya lagu ini jelas-jelas menyinggung Tritunggal Mahakudus, sebagai Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Maka ini alat katekese Trinitarian bagi iman orang Manggarai.

Kedua, sekaligus juga ia berteologi mengenai peranan Allah Tritunggal itu dalam tata ekonomia keselamatan, walaupun mungkin dengan peran-peran yang unik, yang kiranya diambil dari perbendaharaan pemikiran religi purba Manggarai.

Ketika dalam ayat 1, lagu ini menyebut Bapa, maka Bapa itu disebut Pencipta. Jelas ini ada dalam jalur pemikiran teologi tradisional Kristiani (walau Manggarai sendiri juga mengenal ide atau konsep Pencipta dan penciptaan). Tetapi Bapa ini diminta agar jangan menghukum manusia dalam sesuatu yang disebut gonggem. Jelas kata ini adalah bahasa Manggarai. Maka pasti alam pikiran religi purba Manggarai-lah yang disimpan atau diendapkan di dalamnya. Gonggem itu berarti lubang besar, lupi nggampang mese, sebuah tempat yang mengerikan, menakutkan, menyeramkan, tempat segala sesuatu bisa terperosok ke dalamnya. Boleh jadi, para pemrakarsa inkulturasi dulu terpikir untuk menerjemahkan kata sheol dengan kata gonggem ini.

Ketika dalam ayat 2, lagu ini menyebut Anak, maka Anak itu disebut sebagai atau dalam peranNya sebagai Penebus. Jelas ini juga berada dalam jalur pemikiran teologi tradisional Kristiani. Putera ini juga diminta atau dimohon dengan sangat agar jangan sampai menghukum manusia dalam neraka. Jelas ini juga sebuah konsep yang diadopsi dari warisan teologi Kristianitas itu sendiri.

Ketika dalam ayat 3, lagu ini menyebut Roh Kudus (Kraeng Nai Nggluk), disebut juga perannya sebagai Pengudus jiwa. Ini juga dari khasanah teologi tradisional Kristiani. Tetapi masih ada peranan lain dari Pribadi ketiga ini, yaitu pemersatu. Hal ini tersirat di dalam permohonan agar Roh Kudus jangan sampai menyebabkan terjadinya perpecahan dan percerai-beraian di antara umat manusia, agar semuanya bisa tetap berada dan berjalan pada jalan yang satu dan sama, dalam jalan yang benar.

New Horizon

Berbicara mengenai jalan ini, secara spontan saya terpikir akan dua hal: pertama, saya terpikir akan he hodos, jalan, yang merupakan sebutan asali bagi orang-orang Kristiani pada jaman Perjanjian Baru dulu (lihat Kisah Para Rasul. Saya juga sudah pernah menulis artikel tentang He Hodos ini). Kedua, saya juga terpikir akan Yesus Kristus yang dalam injil Yohanes (14:6) memperkenalkan diri sebagai jalan, kebenaran dan hidup: Ego sum via, vita, et veritas. Ego eime he hodos, he zoe, he aletheia.

Maka jelas, sekali bahwa lagu ini, sangat trinitaris, dan juga sangat kristologis, sangat injili, sangat Kristiani, sangat gerejawi juga. Benar-benar efektif sebagai sarana katekese, sarana liturgis sebagai sekolah kesalehan dan iman. Maka orang-orang Manggarai harus banyak belajar dari lagu ini.


Bandung, 02 Desember 2008.


3 komentar:

Koje89 mengatakan...

nice posting...
God bless...
salam kenal..

canticumsolis mengatakan...

walau komentar ini muncul sudah lama, tetapi tidak basi juga kalau aku ucapkan terima kasih atas komentar singkat anda.... selamat kenal juga.... terima kasih....

Unknown mengatakan...

terima kasih sy sdh membacanya....