Kamis, 11 Desember 2008

MBARU, MBAU-RU

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Mbaru adalah sebuah kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, yang artinya rumah. Setiap kali saya mendengar kata mbaru ini, saya selalu teringat akan Pater Flori Laot OFM. Pada suatu saat (sekitar tahun 1987-1988, ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral di Postulat OFM Pagal), dia mengatakan kepada saya bahwa kata mbaru itu sebenarnya berasal dari kata asal mbau-ru. Jadi, menurut dia, kata mbaru itu adalah termasuk kategori kata turunan, atau derivatives.

Beginilah dia menjelaskan etimologi kata mbaru itu. Mbau artinya naungan. Biasanya yang dimaksud ialah naungan di bawah pohon rindang, yang mendatangkan kesegaran dan kesejukan bagi orang yang berdiri di bawahnya. Sedangkan ru artinya milik atau kepunyaan sendiri. Kalau mau memakai kategori tatabahasa barat, ru itu termasuk dalam kata keterangan posesif, atau kata yang menunjukkan fungsi kepemilikan (possesive pronomina). Sehingga kata mbaru itu yang terdiri atas kata asal mbau dan ru tidak lain berarti, naungan rindang-segar kepunyaan atau milik sendiri. Menurut hemat saya, penelusuran etimologis yang dilakukan Pater Flori ini terasa amat indah, menarik dan masuk akal juga. Oleh karena itu, saya bisa menerima dan memahaminya.

Kalau hal ini benar, maka ada satu hal menarik yang patut digaris-bawahi dan juga sekaligus disadari. Kata mbau itu sendiri, seperti sudah ditulis di depan, mempunyai dua arti lagi. Pertama, mbau berarti ari-ari dan semua hal lain yang keluar bersama bayi pada saat bayi itu dilahirkan. Di dalam rahim sang ibu, ari-ari itulah yang menjadi “rumah” (mbau) primordial sang bayi, yang ketika ia datang ke dunia ini (lahir), ikut dibawanya serta juga. Tetapi kemudian mbau itu dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu pertiwi, alias dikuburkan, lalu di atasnya ditanam sebagai penanda, kuni agu kalo. Nah ketika kuni agu kalo itu tumbuh subur dan berkembang, giliran kedua pohon itu menjadi pelindung dan naungan bagi tanah di bawah dan di sekitarnya, terutama bagi mbau primordial sang anak manusia yang dikuburkan di sana. Mungkin dari situlah konteks asal-usul sebuah nasihat yang terkenal dalam bahasa Manggara: neka oke kuni agu kalo ta ngkiong-ngkiong e. (Tetapi, perlu juga diketahui bahwa ada yang menyimpan mbau itu di sungai, di jeram sungai).

Kedua, kata mbau berarti naungan rindang dan segar di bawah pohon, seperti yang baru dilukiskan sebelumnya. Kalau mbau ini adalah ruang publik, yang bisa dimasuki oleh siapa saja, termasuk binatang buas sekalipun, maka mbaru adalah ruang privat, private space, artinya, ruangan milik atau kepunyaan sendiri. Dalam artian itu dia tidak hanya mendatangkan kesejukan sesaat, melainkan mendatangkan kenyamanan dan keamanan yang bersifat permanen. Nah, dalam artian itu, mbaru menjadi prasyarat hidup, prasyarat relasi, prasyarat komunikasi, prasyarat eksistensi. Itulah arti dan makna paling mendasar dari kata mbaru. Jadi, ketika lahir manusia membawa mbau, lalu manusia itu bertumbuh-kembang di dalam mbau-ru, dalam mbaru, untuk akhirnya kemudian berjalan dan berziarah menuju mbaru surgawi, sebuah konsep yang dikenal berkat perkenalan orang manggarai dengan Kristianitas.


Bandung, 09-16-07.

Ditulis dan dikembangkan kembali 12 Desember 2008 dari BH-ku. .

Tidak ada komentar: