Senin, 01 Desember 2008

KUNI AGU DALO

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Di tempat lain saya sudah memberitahukan bahwa saya baru saja mendapat buku hasil karya Maribeth Erb (seorang peneliti bahasa Rembong di Manggarai Timur). Saya sudah membaca buku itu sampai tuntas sambil memberi beberapa catatan kritis atas beberapa hasil studi dan pengamatan beliau atas kebudayaan Manggarai. Salah satu hal yang secara langsung menarik perhatian saya ialah ungkapan “Kuni agu dalo.” Hal ini menarik karena amat mencolok. Selama ini yang saya tahu ialah ungkapan itu berbunyi “Kuni agu Kalo.” Dan dalam blog saya, saya sudah memberi catatan ringan tentang ungkapan ini. Sekarang Maribeth Erb mengatakan bahwa bukan “kuni agu kalo,” (sebagaimana yang lazim terdengar dinyanyikan atau diucapkan orang) melainkan “kuni agu dalo.” Terus terang saja, saya terkejut sekali ketika pertama kali saya membaca ungkapan itu dalam buku yang ia terbitkan.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam pandangan Erb ungkapan itu tidak berbunyi “kuni agu kalo,” melainkan berbunyi “kuni agu dalo.” Terus terang juga bahwa dari uraian Erb ini jugalah saya mendapat pemahaman dan keterangan baru mengenai kata kuni. Kalau dalam tulisan terdahulu saya mengartikan kuni itu dengan dua cara, yaitu mbau yang ditanam di tanah, atau diartikan sebagai biji jambu mete, maka sekarang saya mendapat pemahaman baru.

Tetapi sebelum saya membahas hal itu lebih lanjut saya mau memberi sebuah catatan ringan terlebih dahulu. Catatan ringan ini terutama sekali menyangkut kata dalo. Dr.Marsel Robot cenderung menyalahkan Erb dalam hal ini. Saya sendiri juga cenderung berpendapat demikian. Saya memandangnya sebagai sebuah salah dengar atau salah tangkap. Mengapa demikian? Itu karena yang kami dengar dan kami hafal selama ini ialah “kuni agu kalo.” Tidak ada “kuni agu dalo” seperti dipostulasikan Erb. Lagipula perlu diingat dan disadari bahwa dalam sejarah penyelidikan ilmu-ilmu bahasa (linguistik) tidak dikenal hukum kd, seperti halnya kita mengenal hukum rdl, di mana ketiga huruf itu bisa berganti-ganti di dalam pemakaian untuk satu kata yang sama. Misalnya, di salah satu tempat orang memakai kata padi, maka di tempat lain, mungkin orang memakai kata palai, atau pali, atau bahkan pari. Tetapi artinya sama. Tidak demikian halnya dalam kasus kata kalo dan dalo tadi: tidak ada hukum substitusi antara huruf k dan d dalam kalo dan dalo itu. Itulah yang menjadi masalah pertama.

Namun demikian, walau saya cenderung menolaknya dan menganggapnya sebagai sebentuk salah dengar, tetapi menarik juga Erb mencoba menafsirkan kata dalo itu yang tampaknya ia coba pertahankan dengan mati-matian dan konsisten. Beginilah intisari dari pembelaan beliau. Dalo adalah dalo betong, atau dalo bambu, dalo gurung. Konon dulu mbau anak yang baru lahir dikubur di dalam tanah. Tetapi sebelum dikuburkan, terlebih dahulu dibersihkan dan dimasukan ke dalam dalo bambu, dalo tadi. Itulah yang disebut kuni. Jadi, kuni itu adalah ari-ari bayi yang dilahirkan. Kemudian kuni yang sudah dimasukkan ke dalam dalo bambu dikuburkan dan kubur itu lalu ditandai dengan cara ditanami bambu dalo. Dari situlah ungkapan kuni agu dalo itu berasal. Yaitu berasal dari kuni yang disimpan di dalam dalo lalu dikubur. Dalam arti itulah ungkapan kuni agu dalo tidak lain berarti tanah tumpah darah, atau tanah tempat di mana ari-arimu di tanam di bumi ini.

Menurut Erb, dulu memang bambu amat penting dalam hidup orang Manggarai pada umumnya. Ada banyak gunanya. Sebagai bahan untuk rumah. Sebagai pagar untuk kebun. Sebagai alat timba air. Sebagai bahan dasar untuk pelbagai macam keperluan. Yang perlu dicatat ialah bahwa bambu itu juga menjadi kayu pengusung peti orang mati ke kubur. Bahkan menurut Erb, bambu itu jugalah yang dipakai sebagai alat untuk menggali kubur dulu. Maka kehadiran bambu dalam kehidupan orang Manggarai berarti mengingatkan kita akan kematian. Apalagi kalau hal itu dijadikan sebagai bahan rumah, maka rumah bambu mengingatkan kita akan eksistensi kita yang terarah kepada maut, meminjam istilah Martin Heidegger yang terkenal itu, Sein zum Tode.

Tetapi dalam proses ini tiba-tiba saya teringat akan sesuatu. Boleh jadi kehadiran bambu itu juga bisa mengingatkan orang akan mitos arkaik orang Manggarai, tentang bengkar one mai belang, bok one mai betong, menyangkut asal-usul manusia. Mungkin saja ada kaitan atau asosiasi ke sana. Tetapi ia berfungsi secara negatif. Sebab mitos itu bukan mitos positif, melainkan hadir sebagai nasihat moral untuk mengingatkan anak-anak yang kurang ajar agar menghormati orang tua mereka. Sebab orang tua adalah asal-usul mereka. Mereka tidak keluar dari bambu, melainkan mereka terlahir dari orang tua.


Bandung, 28 November 2008 (ditulis ulang, diperluas, 01 Desember 2008).


Tidak ada komentar: