Minggu, 29 Mei 2011

SOSOK PEREMPUAN BERNAMA SISI UJUD

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Waktu kecil dulu kami sekeluarga sering melewatkan masa liburan panjang sekolah kami (sekitar bulan Juni-Juli) di tempat kakek dan nenek kami di Wol, Lembor. Itu adalah suatu pengalaman yang sangat indah, penuh kenangan, dan sangat menyenangkan bagi saya. Ketika waktu itu datang, kami akan berjalan meninggalkan rumah kami di Ketang pada pagi-pagi buta, dan berjalan ke Lembor, dengan diiringi beberapa anggota keluarga yang memang datang untuk menjemput kami. Mereka biasanya datang dengan membawa kuda tunggangan dan terutama untuk membawa beban tas pakaian kami selama kami berlibur nanti.

Di Ketang kami tinggal di pusat paroki; rumah kami sangat dekat dengan sekolah dan gereja. Jadi, karena itu kami bisa ikut misa harian dan misa mingguan jika pastor paroki kami tidak sedang mengunjungi stasi-stasi di luar pusat paroki. Kalau pastor tidak ada di tempat, maka ibadat hari Minggu akan dipimpin oleh pemimpin awam; biasanya yang memimpin adalah seorang guru; syukur kalau ada seorang guru katekis.

Itulah hal yang berbeda ketika kami berlibur di Wol. Wol itu terletak jauh dari pusat paroki yaitu di Rangga. Juga jauh dari pusat stasi yang biasanya dikaitkan dengan sekolah yang saat itu ada Waemata. Oleh karena itu, kalau pada hari Minggu kami berdoa di rumah kakek dan nenek kami. Kebetulan guru agama-nya waktu itu ialah Amang Leo Katu. Beginilah irama rutinitas dia yang biasa ia lakukan. Pada Minggu pagi ia akan memukul gong yang pertama. Selang setelah jam kemudian ia akan memukul gong yang kedua. Lalu setengah jam lagi ia memukul gong yang ketiga. Biasanya pada saat itu umat pada berkumpul cukup banyak di rumah kakek dan nenek kami. Maka doa hari minggu pun dimulai. Tanpa imam. Yang ada dan ikut ambil bagian ialah hanya umat kaum awam sajar. Yah, itulah sosok gereja kaum awam.

Saya juga masih ingat sangat baik bahwa ada sebuah buku doa dalam bahasa Manggarai. Kalau tidak salah judulnya kira-kira sebagai berikut ini: Surat Ngaji Manggarai Eme toe manga Ema Tuang Pastor. Sebuah buku yang tipis. Buku itu bagi saya sangat luar biasa. Buku itu adalah sebentuk hasil proses inkulturasi liturgi Manggarai. Ketika memimpin ibadat, amang Leo memainkan peranannya dengan sangat baik, yaitu sebagai ‘imam’ pemimpin jemaat, guru agama. Menurut saya, itu adalah sebuah perkembangan yang sangat baik. Sebab itu adalah sosok gereja awam yang hidup, sadar, dan bertanggung-jawab, dan penuh inisiatif.

Kalau dalam judul tulisan saya ini ada nama Sisi Ujud, itu adalah nama seorang perempuan di kampung Wol itu, yang saya anggap sangat istimewa saat itu; ia dalam pandangan saya sebagai seorang anak kecil saat itu, ia memang luar biasa. Tetapi mengapa? Bukan karena ia cantik. Sama sekali cukup jauh dari kriteria itu bahkan. Tetapi karena ia sosok yang berani dan pandai bicara dengan logika yang sangat jelas dan mantap. Kadang-kadang ia menjadi pemimpin ibadat hari Minggu. Paling tidak mengangkat lagu-lagu dari buku Dere Serani.

Itulah hal yang saya ingat dengan sangat baik. Jadi, lengkap sudah sosok gereja di kampung Wol itu: gereja awam, dan ada wanita yang berperan secara aktif lagi. Yang jelas Sisi Ujud selalu tampil; setidaknya untuk mengangkat lagu dari buku Dere Serani, atau membaca untaian doa umat yang indah-indah dalam bahasa Manggarai yang sudah tertulis dalam buku doa yang sudah saya sebut di atas tadi.

Entah di mana ia sekarang ini. Mungkin sekali ia sekarang ada di Dempol. Kalau itu benar berarti ia ada di kampung ayah saya. Apakah ia masih aktif seperti dulu di Wol, sebagai pemimpin ibadat jemaat walaupun hanya sekadar di kampung saja. Apakah ia aktif sebagai ‘pelopor’ jemaat yang aktif, sadar, berinisiatif, berani, dan bertanggung-jawab.

Kini saya merasa bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hilang dalam hidup gereja Manggarai. Inisiatif awam, sepertinya hilang. Hal ini adalah sesuatu hal yang menyedihkan.

Yogya, 24 Maret 2011.
Dikomputerkan dan diedit kembali, 29 Mei 2011.

Tidak ada komentar: