Oleh: Fransiskus Borgias M.
Bulan 01 Juli 2011 yang akan datang kami sekeluarga besar Bapak Feliks Mar, berencana mengadakan Ekaristi syukur di rumah papa kami di Dempol. Kami sudah merencanakan hal ini selama setahun. Saya mencoba mengkoordinasi semua adik dan kakak saya. Panitia setempat sudah terbentuk. Tetapi sebelum acara itu dilaksanakan, Papa Feliks menyampaikan satu permohonan yang kami anggap sangat penting. Ia meminta dengan sangat agar makam kakek Wanta harus dipindahkan terlebih dahulu dari tempatnya yang sekarang ini ke tempat yang baru yaitu di samping makam ende tua Samong, di Bangka rumah lama. Tetapi apa yang menjadi masalah dengan makam yang lama ini? Ceritanya panjang. Nanti versi panjangnya saya kisahkan di lain kesempatan. Singkatnya, makam itu sekarang sudah menjadi jalan raya antara Dempol menuju ke Wae mata Wol, Pela, dst. Di samping jalan raya itu ada selokan pengairan sawah lembor dari bendungan Wae Lombur. Permohonan papa itu kami anggap sangat penting sebab ia mengatakan bahwa ia tidak akan merasa nyaman dengan Ekaristi itu jika makam empo Wanta belum dipindahkan.
Oleh karena itu saya instruksikan kepada Ari, Kanis, Huber untuk mengatur acara itu dengan baik. Saya serahkan sepenuhnya acara itu ke dalam koordinasi Hubert, Ari, dan Kanis. Mereka mengadakan rapat di labuan bajo kira-kira dua minggu sebelum Minggu palma. Pada malam minggu Palma mereka semua berkumpul di dempol. Semua ada di sana. Yang tidak hadir hanya dua orang, yaitu saya dan enu Essy, karena kami masih di Jawa (Tangerang dan Yogya). Saya membayangkan, betapa sangat menyenangkan pertemuan itu. Dalam pertemuan itu mereka menetapkan panitia untuk perayaan ekaristi nanti, dan yang terpenting menetapkan tanggal pemindahan makam itu. Setelah dibicarakan bersama-sama akhirnya disepakati bahwa acara pemindahan makam itu dilakukan langsung minggu pertama sesudah paskah. Semua anggaran sudah diperhitungkan oleh Huber. Kami semua para cucu ikut terlibat memberi sumbangan dalam rangka acara itu. Yang dibutuhkan ialah ayam jantan merah (karena orang pandai omong dan pemberani), dan babi kampung tekang tana, semen untuk makam, dan peti baru untuk tanah makam dan sisa-sisa tulang yang masih ada.
Akhirnya tanggal pelaksanaan pun tiba. Hal itu dilaksanakan Sabtu 30 April silam. Semua cucu berkumpul di Dempol lalu pergi ke makam. Mereka mencoba menggali di tempat yang dulu sudah ditandai para penggali selokan air dan jalan raya. Tetapi mereka sudah menggali lebih dari satu setengah meter. Mereka tidak menemukan apa-apa. Tanah hitam sudah lewat. Sudah ketemu tanah merah. Tidak juga menemukan apa-apa. Padahal itu sudah memakan waktu dan tenaga yang amat berat. Orang hampir putus asa karenanya. Lalu terdengar suara orang yang mengatakan bahwa hal seperti ini memang memerlukan orang pintar. Dan kebetulan ada orang Rangga yang pintar untuk hal-hal seperti itu, tetapi sekarang ia tinggal di Wae Nakeng. Huber pun pergi mencari dan menemui orang itu untuk meminta pertolongan. Ia menyanggupi untuk datang. Ia tiba di lokasi tepat pukul 12.00. Ia membawa satu parang dan beberapa utas tali dari daun pandan (tikar anyaman).
Ia mulai melakukan ritual itu. Tangkai parang itu ia ikatkan dengan dua tali daun pandan tadi. Tali yang satu dipegang sendiri oleh si orang pintar itu hanya dengan memakai ujung jari telunjuknya. Ujung tali yang kedua dipegang oleh siapa saja yang mau memegang tali itu. Juga dengan ujung jari telunjuk saja. Saat itu ada seseorang yang memegang tali itu, sehingga parang tadi menggantung ke bawah seperti bandul. Lalu si orang pintar mulai mengucapkan mantranya. Sesudah itu ia mengucapkan wada-nampo-nya. Sebelumnya mereka menaruh bandul parang itu ke atas makam yang sudah mereka gali tetapi tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Lalu si dukun berkata: Wahai Parang, eme manga tuu-tuung hia Empo Wanta be wa mai hau, paka putar hau kope. Tetapi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Orang pintar itu berkata, berarti makam beliau tidak ada di sini. Lalu coba digeser ke arah gunung sejauh satu meter. Lalu diucapkan lagi wada-nampo yang sama. Lagi-lagi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Masih dicoba beberapa kali, tetapi sia-sia. Akhirnya percobaan dipindahkan ke arah selatan, ke arah laut sejauh kurang lebih satu meter dari makam galian yang sama. Lalu wada-nampo yang sama diucapkan si orang pintar itu. Tiba-tiba parang itu berputar seperti gasing dengan sangat kencangnya mengikuti arah jarum jam. Hari itu ada banyak sekali orang yang datang menonton karena itu adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua orang menjadi heran dan ketakutan. Lalu si orang pintar itu berkata, berarti beliau ada di bawah ini dan di bawah titik bandul parang ini persis kepalanya. Tetapi sebelum dilakukan penggalian, banyak orang merasa penasaran, termasuk juga adik saya Huber. Ia juga termasuk orang yang mencoba memegang ujung tali itu, dan mencobanya terlebih dahulu di sembarang tempat lain, lalu kembali lagi ke tempat empo Wanta. Dan di titik itu, parang itu berputar.
Ilmu orang ini memang mengatakan bahwa parang itu hanya berputar kalau benar-benar ketemu dengan makam dari orang yang kita cari yang punya hubungan darah dengan kita. Kalau tidak maka kita tidak akan melihat apa-apa. Lalu mereka menggali di sana dan menemukan dengan sangat mudahnya sisa-sisa isi makam itu. Lain kali baru saya ceritakan detail lain mengenai hal ini. Saya loncat dulu ke hal lain.
Ketika orang sudah tahu pasti bahwa itulah makam kakek Wanta, lalu orang-orang tua yang hadir di situ saat itu memastikan bahwa yang sebelumnya tadi digali adalah makam si anu; dulunya mereka orang Dempol, tetapi sudah lama sekali anak-anaknya pindah ke Waemata sehingga mereka lebih dikenal sebagai orang Waemata daripada sebagai orang Dempol. Tetapi anehnya kata Huber mereka tidak melihat apa-apa di makam galian pertama. Ya itu tadi, ilmu ini hanya bisa menemukan yang benar-benar kita cari. Bukan untuk pencarian acak dan sembarangan saja.
Ketika saya mengatakan bahwa ini baru pertama kali saya mendengar hal seperti itu dan belum pernah melihatnya sendiri, Huber lalu mengatakan bahwa sesungguhnya ia sudah melihat hal ini untuk yang ketiga kalinya. Sebelumnya di Maras Rentung di tempat asal isterinya, ia melihat upacara serupa tetapi si dukun memanggil burung pipit: Peti, datanglah mencari makam si anu. Begitu kalimat wada-nampo-nya. Tentu sebelumnya ada kata-kata mantera yang diucapkan si dukun itu. Lalu tiba-tiba ada burung pipit yang datang dan bertengger di atas sebuah batu dan tidak mau pergi; ia baru pergi setelah orang datang mendekat padanya. Si dukun mengatakan itulah makam orang yang dicari. Masih menurut cerita Hubert, di Nara (Lembor) ia juga pernah menyaksikan suatu peristiwa yang lain. Orang pintar di sana memakai ayam yang sebelumnya sudah dimanterakan. Lalu ke atas ayam itu diucapkan wada-nampo yang sama. Setelah itu, ayam tadi dilepaskan. Lalu ayam itu akan berjalan keliling seperti biasa. Lalu di suatu tempat ayam itu berhenti dan mulai mencotok dan mengais-ngais dengan liar dan tampak seperti tidak mau berhenti. Orang pintar mengatakan di situlah makam orang yang dicari. Dengan demikian, sampai saat ini saya mencatat ada tiga cara ritual mencari makam orang yang akan dipindahkan ke tempat lain: dengan mengundang burung pipit, dengan memakai ayam, atau dengan memakai bandul parang.
Melalui media sharing ini, saya juga mau bertanya apakah di antara teman-teman ada yang punya pengalaman lain? Mari kita saling melengkapi cerita dan catatan ini. Ini sebuah catatan antropologi budaya yang sangat menarik perhatian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar