Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dalam kesempatan ulang tahunku kemarin, ada beberapa teman yang berasal dari Manggarai yang mengucapkan selamat untuk saya dengan memakai bahasa Manggarai dan terutama dengan memakai doa-doa permohonan yang mengandung pengharapan dalam bahasa Manggarai dengan go’et-go’et yang indah-indah. Saya sebut saja “Doa permohonan harapan.” Intinya adalah sebuah doa permohonan yang mengandung pengharapan. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih karena ketika membaca dan menikmati go’et-go’et itu serta-merta memunculkan sebuah ilham pemikiran dalam kepala saya untuk menulis sesuatu. Maka saya pun segera mengambil alat tulis dan menuliskan percikan ide-ide itu dalam buku harian saya. Saya dapat mengkategorikannya dalam dua jenis berikut ini.
Pertama, doa permohonan harapan itu berbunyi sbb: “porong wake celer ngger wa, saung bembang ngger eta.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka artinya ialah sbb: semoga (engkau yang didoakan ini, atau yang sedang merayakan pesta tertentu) dapat bertumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan subur, indah, dan permai.
Segi kuatnya dalam doa itu disimbolkan dengan akar yang kuat menancap dan merengkuh punggung dan bahkan rahim bumi pertiwi. Memang akar pohon yang kuat, akan menancap ke dalam perut bumi, menukik ke dalam rahim pertiwi. Dengan itu pohon tadi dapat bertahan terhadap terpaan angin dan pelbagai macam daya-daya perusak lainnya. Dengan itu juga pohon itu dapat mengisap air dari dalam tanah, dan mengambil bahan makanan dari dalam tanah yang diolah secara ajaib oleh mikroba purba, dan setelah sampai ke daun (sebagai dapur) diolah berkat bantuan sinar matahari lewat proses yang dikenal dengan sebutan ilmiah photosintesis itu (sintesis yang bisa terjadi berkat daya kekuatan phos atau cahaya). Tetapi akar seperti itu mampu mengikat oksigen dalam tanah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesuburan tanah. Jalur akar membantu cacing-cacing tanah melobangi tanah, dan dengan itu bisa membantu proses peresapan air ke dalam tanah menjadi sumber-sumber abadi air tanah yang sangat bersih, segar, tidak tercemar.
Segi subur, indah, dan permainya dilambangkan dengan dedaunan yang bertumbuh subur, lebat, rimbun, rindang, hijau di atas permukaan tanah. Kita tahu bahwa dedaunan yang lebat dan rindang kita tahu menjadi sumber kesegaran bagi makhluk hidup yang lain seperti binatang dan juga manusia, sebab dedaunan itu mengeluarkan oxygen yang tidak mereka perlukan dan mengisap zat arang (CO2) yang dihasilkan oleh pernafasan manusia dan makhluk hidup mamalia yang lain dan yang dihasilkan oleh perbagai alat-alat modern lainnya. Berkat kehadiran dan mekanisme kerja dedauan seperti itu, maka muncullah rasa sejuk dan segar. Dedaunan menciptakan efek segar dan juga efek estetik.
Jadi, doa ini bagi saya adalah sebuah doa ekologis juga, yakni sebuah doa yang menukikkan perhatian kita sebagai manusia ke bumi, ke rahim pertiwi. Doa ini adalah doa bumi, doa imanen, doa yang merayap di atas permukaan bumi, mengusap punggung-punggung ibu bumi pertiwi. Manusia didoakan agar dapat menjadi seperti pohon yang berguna itu, yang mendatangkan manfaat bagi makhluk hidup yang lain di sekitarnya.
Kedua, doa permohonan harapan itu berbunyi sbb: “porong uwa haeng wulang, langkas koe haeng ntala.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka bunyinya ialah sbb: Semoga (engkau yang didoakan ini) bisa bertumbuh hingga mencapai rembulan, dan bertambah tinggi hingga mencapai bintang. Doa permohonan harapan yang kedua ini sangat menarik juga karena ia mengarahkan perhatian manusia ke atas, bukan lagi ke bumi. Jika doa yang pertama di atas tadi menukik ke bumi, maka doa yang kedua ini mengangkat kita ke atas, ke langit, ke angkasa, ke surga. Kita diharapkan untuk melampaui bumi ini, walau itu tidak berarti harus meninggalkan bumi, sebab bumi ini tetap menjadi landasan berpijak abadi dari mana kita diharapkan dapat menggapai bulan dan bintang-bintang. Doa itu sama sekali tidak menyarankan bahwa kita menggapai bulan dan bintang itu dengan terbang misalnya atau dengan memakai peralatan modern lain. Melainkan kita diharapkan menggapai bulan dan bintang itu dengan dan sambil berpijak di atas permukaan bumi ini.
Jadi, di satu pihak, kita diharapkan untuk membumi, berorientasi imanen, intramundan, tetapi di pihak lain kita itu juga melangit, atau bersifat transenden, supramundan, melampaui dunia ini. Tentu yang terakhir ini (dalam doa kedua) ini bukan lagi terutama perkara pertumbuhan jasmani belaka, melainkan perkara pertumbuhan budi, akal, jiwa, segi kerohanian kita. Badan kita memang boleh hanya melata di punggung bumi ini saja, mengikuti hukum-hukum alam yang memang tidak terhindarkan sama sekali, tetapi hati dan budi kita hendaknya terbang tinggi di atas awan-awan, menjangkau rentang cakrawala yang jauh dan bahkan rahasia. Kalau doa permohonan harapan yang pertama tadi berdimensi ekologis, maka doa permohonan harapan yang kedua ini berdimensi teologis, eskatologis, ultramundan.
Menurut hemat saya, itulah paradoks filsafat manusia Manggarai: terarah ke bawah, sekaligus juga terarah ke atas. Berorientasi realisme, sekaligus idealisme, sekaligus mengikuti Plato (idealisme) dan sekaligus juga mengamini Aristoteles (realisme). Itulah paradoksnya. Tetapi tidak apa-apa. Kita diharapkan berjalan sambil sekaligus memandang ke bawah dan ke atas. Sebuah perjalanan yang dinamis, penuh dinamika. Memang orang harus berjalan dengan sangat hati-hati antara memandang ke atas untuk menikmati dan mengagumi benda-benda angkasa yang memang sangat indah dan mengagumkan, dan sekaligus juga memandang ke bawah, yaitu ke bumi, tepatnya ke kaki, agar kaki itu tidak tersandung pada bau, melainkan dengan lincah mencari landasan-landasan pijak baru dan terpercaya untuk menjadi batu pijakan dalam menempuh langkah-langkah perjalanan hidup selanjutnya.
Sekali lagi, jika orang Manggarai berdoa bagi sesamanya ia selalu berkata, porong wake celern ngger wa, agu saung bembang nggere eta. Doa ini membawa kita ke bawah, ke muka bumi. Dan juga porong langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Sebalinya doa ini membawa kita ke atas, melampaui bumi. Semoga dengan itu ada dan tersedia kemakmuran dan keselamatan. Itu pun harapan kita juga.
Bandung, 03 Oktober 2009
Minggu, 29 Mei 2011
SOSOK PEREMPUAN BERNAMA SISI UJUD
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Waktu kecil dulu kami sekeluarga sering melewatkan masa liburan panjang sekolah kami (sekitar bulan Juni-Juli) di tempat kakek dan nenek kami di Wol, Lembor. Itu adalah suatu pengalaman yang sangat indah, penuh kenangan, dan sangat menyenangkan bagi saya. Ketika waktu itu datang, kami akan berjalan meninggalkan rumah kami di Ketang pada pagi-pagi buta, dan berjalan ke Lembor, dengan diiringi beberapa anggota keluarga yang memang datang untuk menjemput kami. Mereka biasanya datang dengan membawa kuda tunggangan dan terutama untuk membawa beban tas pakaian kami selama kami berlibur nanti.
Di Ketang kami tinggal di pusat paroki; rumah kami sangat dekat dengan sekolah dan gereja. Jadi, karena itu kami bisa ikut misa harian dan misa mingguan jika pastor paroki kami tidak sedang mengunjungi stasi-stasi di luar pusat paroki. Kalau pastor tidak ada di tempat, maka ibadat hari Minggu akan dipimpin oleh pemimpin awam; biasanya yang memimpin adalah seorang guru; syukur kalau ada seorang guru katekis.
Itulah hal yang berbeda ketika kami berlibur di Wol. Wol itu terletak jauh dari pusat paroki yaitu di Rangga. Juga jauh dari pusat stasi yang biasanya dikaitkan dengan sekolah yang saat itu ada Waemata. Oleh karena itu, kalau pada hari Minggu kami berdoa di rumah kakek dan nenek kami. Kebetulan guru agama-nya waktu itu ialah Amang Leo Katu. Beginilah irama rutinitas dia yang biasa ia lakukan. Pada Minggu pagi ia akan memukul gong yang pertama. Selang setelah jam kemudian ia akan memukul gong yang kedua. Lalu setengah jam lagi ia memukul gong yang ketiga. Biasanya pada saat itu umat pada berkumpul cukup banyak di rumah kakek dan nenek kami. Maka doa hari minggu pun dimulai. Tanpa imam. Yang ada dan ikut ambil bagian ialah hanya umat kaum awam sajar. Yah, itulah sosok gereja kaum awam.
Saya juga masih ingat sangat baik bahwa ada sebuah buku doa dalam bahasa Manggarai. Kalau tidak salah judulnya kira-kira sebagai berikut ini: Surat Ngaji Manggarai Eme toe manga Ema Tuang Pastor. Sebuah buku yang tipis. Buku itu bagi saya sangat luar biasa. Buku itu adalah sebentuk hasil proses inkulturasi liturgi Manggarai. Ketika memimpin ibadat, amang Leo memainkan peranannya dengan sangat baik, yaitu sebagai ‘imam’ pemimpin jemaat, guru agama. Menurut saya, itu adalah sebuah perkembangan yang sangat baik. Sebab itu adalah sosok gereja awam yang hidup, sadar, dan bertanggung-jawab, dan penuh inisiatif.
Kalau dalam judul tulisan saya ini ada nama Sisi Ujud, itu adalah nama seorang perempuan di kampung Wol itu, yang saya anggap sangat istimewa saat itu; ia dalam pandangan saya sebagai seorang anak kecil saat itu, ia memang luar biasa. Tetapi mengapa? Bukan karena ia cantik. Sama sekali cukup jauh dari kriteria itu bahkan. Tetapi karena ia sosok yang berani dan pandai bicara dengan logika yang sangat jelas dan mantap. Kadang-kadang ia menjadi pemimpin ibadat hari Minggu. Paling tidak mengangkat lagu-lagu dari buku Dere Serani.
Itulah hal yang saya ingat dengan sangat baik. Jadi, lengkap sudah sosok gereja di kampung Wol itu: gereja awam, dan ada wanita yang berperan secara aktif lagi. Yang jelas Sisi Ujud selalu tampil; setidaknya untuk mengangkat lagu dari buku Dere Serani, atau membaca untaian doa umat yang indah-indah dalam bahasa Manggarai yang sudah tertulis dalam buku doa yang sudah saya sebut di atas tadi.
Entah di mana ia sekarang ini. Mungkin sekali ia sekarang ada di Dempol. Kalau itu benar berarti ia ada di kampung ayah saya. Apakah ia masih aktif seperti dulu di Wol, sebagai pemimpin ibadat jemaat walaupun hanya sekadar di kampung saja. Apakah ia aktif sebagai ‘pelopor’ jemaat yang aktif, sadar, berinisiatif, berani, dan bertanggung-jawab.
Kini saya merasa bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hilang dalam hidup gereja Manggarai. Inisiatif awam, sepertinya hilang. Hal ini adalah sesuatu hal yang menyedihkan.
Yogya, 24 Maret 2011.
Dikomputerkan dan diedit kembali, 29 Mei 2011.
Waktu kecil dulu kami sekeluarga sering melewatkan masa liburan panjang sekolah kami (sekitar bulan Juni-Juli) di tempat kakek dan nenek kami di Wol, Lembor. Itu adalah suatu pengalaman yang sangat indah, penuh kenangan, dan sangat menyenangkan bagi saya. Ketika waktu itu datang, kami akan berjalan meninggalkan rumah kami di Ketang pada pagi-pagi buta, dan berjalan ke Lembor, dengan diiringi beberapa anggota keluarga yang memang datang untuk menjemput kami. Mereka biasanya datang dengan membawa kuda tunggangan dan terutama untuk membawa beban tas pakaian kami selama kami berlibur nanti.
Di Ketang kami tinggal di pusat paroki; rumah kami sangat dekat dengan sekolah dan gereja. Jadi, karena itu kami bisa ikut misa harian dan misa mingguan jika pastor paroki kami tidak sedang mengunjungi stasi-stasi di luar pusat paroki. Kalau pastor tidak ada di tempat, maka ibadat hari Minggu akan dipimpin oleh pemimpin awam; biasanya yang memimpin adalah seorang guru; syukur kalau ada seorang guru katekis.
Itulah hal yang berbeda ketika kami berlibur di Wol. Wol itu terletak jauh dari pusat paroki yaitu di Rangga. Juga jauh dari pusat stasi yang biasanya dikaitkan dengan sekolah yang saat itu ada Waemata. Oleh karena itu, kalau pada hari Minggu kami berdoa di rumah kakek dan nenek kami. Kebetulan guru agama-nya waktu itu ialah Amang Leo Katu. Beginilah irama rutinitas dia yang biasa ia lakukan. Pada Minggu pagi ia akan memukul gong yang pertama. Selang setelah jam kemudian ia akan memukul gong yang kedua. Lalu setengah jam lagi ia memukul gong yang ketiga. Biasanya pada saat itu umat pada berkumpul cukup banyak di rumah kakek dan nenek kami. Maka doa hari minggu pun dimulai. Tanpa imam. Yang ada dan ikut ambil bagian ialah hanya umat kaum awam sajar. Yah, itulah sosok gereja kaum awam.
Saya juga masih ingat sangat baik bahwa ada sebuah buku doa dalam bahasa Manggarai. Kalau tidak salah judulnya kira-kira sebagai berikut ini: Surat Ngaji Manggarai Eme toe manga Ema Tuang Pastor. Sebuah buku yang tipis. Buku itu bagi saya sangat luar biasa. Buku itu adalah sebentuk hasil proses inkulturasi liturgi Manggarai. Ketika memimpin ibadat, amang Leo memainkan peranannya dengan sangat baik, yaitu sebagai ‘imam’ pemimpin jemaat, guru agama. Menurut saya, itu adalah sebuah perkembangan yang sangat baik. Sebab itu adalah sosok gereja awam yang hidup, sadar, dan bertanggung-jawab, dan penuh inisiatif.
Kalau dalam judul tulisan saya ini ada nama Sisi Ujud, itu adalah nama seorang perempuan di kampung Wol itu, yang saya anggap sangat istimewa saat itu; ia dalam pandangan saya sebagai seorang anak kecil saat itu, ia memang luar biasa. Tetapi mengapa? Bukan karena ia cantik. Sama sekali cukup jauh dari kriteria itu bahkan. Tetapi karena ia sosok yang berani dan pandai bicara dengan logika yang sangat jelas dan mantap. Kadang-kadang ia menjadi pemimpin ibadat hari Minggu. Paling tidak mengangkat lagu-lagu dari buku Dere Serani.
Itulah hal yang saya ingat dengan sangat baik. Jadi, lengkap sudah sosok gereja di kampung Wol itu: gereja awam, dan ada wanita yang berperan secara aktif lagi. Yang jelas Sisi Ujud selalu tampil; setidaknya untuk mengangkat lagu dari buku Dere Serani, atau membaca untaian doa umat yang indah-indah dalam bahasa Manggarai yang sudah tertulis dalam buku doa yang sudah saya sebut di atas tadi.
Entah di mana ia sekarang ini. Mungkin sekali ia sekarang ada di Dempol. Kalau itu benar berarti ia ada di kampung ayah saya. Apakah ia masih aktif seperti dulu di Wol, sebagai pemimpin ibadat jemaat walaupun hanya sekadar di kampung saja. Apakah ia aktif sebagai ‘pelopor’ jemaat yang aktif, sadar, berinisiatif, berani, dan bertanggung-jawab.
Kini saya merasa bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hilang dalam hidup gereja Manggarai. Inisiatif awam, sepertinya hilang. Hal ini adalah sesuatu hal yang menyedihkan.
Yogya, 24 Maret 2011.
Dikomputerkan dan diedit kembali, 29 Mei 2011.
Kamis, 26 Mei 2011
RITUAL PEMINDAHAN MAKAM KAKEK KAMI
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Bulan 01 Juli 2011 yang akan datang kami sekeluarga besar Bapak Feliks Mar, berencana mengadakan Ekaristi syukur di rumah papa kami di Dempol. Kami sudah merencanakan hal ini selama setahun. Saya mencoba mengkoordinasi semua adik dan kakak saya. Panitia setempat sudah terbentuk. Tetapi sebelum acara itu dilaksanakan, Papa Feliks menyampaikan satu permohonan yang kami anggap sangat penting. Ia meminta dengan sangat agar makam kakek Wanta harus dipindahkan terlebih dahulu dari tempatnya yang sekarang ini ke tempat yang baru yaitu di samping makam ende tua Samong, di Bangka rumah lama. Tetapi apa yang menjadi masalah dengan makam yang lama ini? Ceritanya panjang. Nanti versi panjangnya saya kisahkan di lain kesempatan. Singkatnya, makam itu sekarang sudah menjadi jalan raya antara Dempol menuju ke Wae mata Wol, Pela, dst. Di samping jalan raya itu ada selokan pengairan sawah lembor dari bendungan Wae Lombur. Permohonan papa itu kami anggap sangat penting sebab ia mengatakan bahwa ia tidak akan merasa nyaman dengan Ekaristi itu jika makam empo Wanta belum dipindahkan.
Oleh karena itu saya instruksikan kepada Ari, Kanis, Huber untuk mengatur acara itu dengan baik. Saya serahkan sepenuhnya acara itu ke dalam koordinasi Hubert, Ari, dan Kanis. Mereka mengadakan rapat di labuan bajo kira-kira dua minggu sebelum Minggu palma. Pada malam minggu Palma mereka semua berkumpul di dempol. Semua ada di sana. Yang tidak hadir hanya dua orang, yaitu saya dan enu Essy, karena kami masih di Jawa (Tangerang dan Yogya). Saya membayangkan, betapa sangat menyenangkan pertemuan itu. Dalam pertemuan itu mereka menetapkan panitia untuk perayaan ekaristi nanti, dan yang terpenting menetapkan tanggal pemindahan makam itu. Setelah dibicarakan bersama-sama akhirnya disepakati bahwa acara pemindahan makam itu dilakukan langsung minggu pertama sesudah paskah. Semua anggaran sudah diperhitungkan oleh Huber. Kami semua para cucu ikut terlibat memberi sumbangan dalam rangka acara itu. Yang dibutuhkan ialah ayam jantan merah (karena orang pandai omong dan pemberani), dan babi kampung tekang tana, semen untuk makam, dan peti baru untuk tanah makam dan sisa-sisa tulang yang masih ada.
Akhirnya tanggal pelaksanaan pun tiba. Hal itu dilaksanakan Sabtu 30 April silam. Semua cucu berkumpul di Dempol lalu pergi ke makam. Mereka mencoba menggali di tempat yang dulu sudah ditandai para penggali selokan air dan jalan raya. Tetapi mereka sudah menggali lebih dari satu setengah meter. Mereka tidak menemukan apa-apa. Tanah hitam sudah lewat. Sudah ketemu tanah merah. Tidak juga menemukan apa-apa. Padahal itu sudah memakan waktu dan tenaga yang amat berat. Orang hampir putus asa karenanya. Lalu terdengar suara orang yang mengatakan bahwa hal seperti ini memang memerlukan orang pintar. Dan kebetulan ada orang Rangga yang pintar untuk hal-hal seperti itu, tetapi sekarang ia tinggal di Wae Nakeng. Huber pun pergi mencari dan menemui orang itu untuk meminta pertolongan. Ia menyanggupi untuk datang. Ia tiba di lokasi tepat pukul 12.00. Ia membawa satu parang dan beberapa utas tali dari daun pandan (tikar anyaman).
Ia mulai melakukan ritual itu. Tangkai parang itu ia ikatkan dengan dua tali daun pandan tadi. Tali yang satu dipegang sendiri oleh si orang pintar itu hanya dengan memakai ujung jari telunjuknya. Ujung tali yang kedua dipegang oleh siapa saja yang mau memegang tali itu. Juga dengan ujung jari telunjuk saja. Saat itu ada seseorang yang memegang tali itu, sehingga parang tadi menggantung ke bawah seperti bandul. Lalu si orang pintar mulai mengucapkan mantranya. Sesudah itu ia mengucapkan wada-nampo-nya. Sebelumnya mereka menaruh bandul parang itu ke atas makam yang sudah mereka gali tetapi tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Lalu si dukun berkata: Wahai Parang, eme manga tuu-tuung hia Empo Wanta be wa mai hau, paka putar hau kope. Tetapi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Orang pintar itu berkata, berarti makam beliau tidak ada di sini. Lalu coba digeser ke arah gunung sejauh satu meter. Lalu diucapkan lagi wada-nampo yang sama. Lagi-lagi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Masih dicoba beberapa kali, tetapi sia-sia. Akhirnya percobaan dipindahkan ke arah selatan, ke arah laut sejauh kurang lebih satu meter dari makam galian yang sama. Lalu wada-nampo yang sama diucapkan si orang pintar itu. Tiba-tiba parang itu berputar seperti gasing dengan sangat kencangnya mengikuti arah jarum jam. Hari itu ada banyak sekali orang yang datang menonton karena itu adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua orang menjadi heran dan ketakutan. Lalu si orang pintar itu berkata, berarti beliau ada di bawah ini dan di bawah titik bandul parang ini persis kepalanya. Tetapi sebelum dilakukan penggalian, banyak orang merasa penasaran, termasuk juga adik saya Huber. Ia juga termasuk orang yang mencoba memegang ujung tali itu, dan mencobanya terlebih dahulu di sembarang tempat lain, lalu kembali lagi ke tempat empo Wanta. Dan di titik itu, parang itu berputar.
Ilmu orang ini memang mengatakan bahwa parang itu hanya berputar kalau benar-benar ketemu dengan makam dari orang yang kita cari yang punya hubungan darah dengan kita. Kalau tidak maka kita tidak akan melihat apa-apa. Lalu mereka menggali di sana dan menemukan dengan sangat mudahnya sisa-sisa isi makam itu. Lain kali baru saya ceritakan detail lain mengenai hal ini. Saya loncat dulu ke hal lain.
Ketika orang sudah tahu pasti bahwa itulah makam kakek Wanta, lalu orang-orang tua yang hadir di situ saat itu memastikan bahwa yang sebelumnya tadi digali adalah makam si anu; dulunya mereka orang Dempol, tetapi sudah lama sekali anak-anaknya pindah ke Waemata sehingga mereka lebih dikenal sebagai orang Waemata daripada sebagai orang Dempol. Tetapi anehnya kata Huber mereka tidak melihat apa-apa di makam galian pertama. Ya itu tadi, ilmu ini hanya bisa menemukan yang benar-benar kita cari. Bukan untuk pencarian acak dan sembarangan saja.
Ketika saya mengatakan bahwa ini baru pertama kali saya mendengar hal seperti itu dan belum pernah melihatnya sendiri, Huber lalu mengatakan bahwa sesungguhnya ia sudah melihat hal ini untuk yang ketiga kalinya. Sebelumnya di Maras Rentung di tempat asal isterinya, ia melihat upacara serupa tetapi si dukun memanggil burung pipit: Peti, datanglah mencari makam si anu. Begitu kalimat wada-nampo-nya. Tentu sebelumnya ada kata-kata mantera yang diucapkan si dukun itu. Lalu tiba-tiba ada burung pipit yang datang dan bertengger di atas sebuah batu dan tidak mau pergi; ia baru pergi setelah orang datang mendekat padanya. Si dukun mengatakan itulah makam orang yang dicari. Masih menurut cerita Hubert, di Nara (Lembor) ia juga pernah menyaksikan suatu peristiwa yang lain. Orang pintar di sana memakai ayam yang sebelumnya sudah dimanterakan. Lalu ke atas ayam itu diucapkan wada-nampo yang sama. Setelah itu, ayam tadi dilepaskan. Lalu ayam itu akan berjalan keliling seperti biasa. Lalu di suatu tempat ayam itu berhenti dan mulai mencotok dan mengais-ngais dengan liar dan tampak seperti tidak mau berhenti. Orang pintar mengatakan di situlah makam orang yang dicari. Dengan demikian, sampai saat ini saya mencatat ada tiga cara ritual mencari makam orang yang akan dipindahkan ke tempat lain: dengan mengundang burung pipit, dengan memakai ayam, atau dengan memakai bandul parang.
Melalui media sharing ini, saya juga mau bertanya apakah di antara teman-teman ada yang punya pengalaman lain? Mari kita saling melengkapi cerita dan catatan ini. Ini sebuah catatan antropologi budaya yang sangat menarik perhatian.
Bulan 01 Juli 2011 yang akan datang kami sekeluarga besar Bapak Feliks Mar, berencana mengadakan Ekaristi syukur di rumah papa kami di Dempol. Kami sudah merencanakan hal ini selama setahun. Saya mencoba mengkoordinasi semua adik dan kakak saya. Panitia setempat sudah terbentuk. Tetapi sebelum acara itu dilaksanakan, Papa Feliks menyampaikan satu permohonan yang kami anggap sangat penting. Ia meminta dengan sangat agar makam kakek Wanta harus dipindahkan terlebih dahulu dari tempatnya yang sekarang ini ke tempat yang baru yaitu di samping makam ende tua Samong, di Bangka rumah lama. Tetapi apa yang menjadi masalah dengan makam yang lama ini? Ceritanya panjang. Nanti versi panjangnya saya kisahkan di lain kesempatan. Singkatnya, makam itu sekarang sudah menjadi jalan raya antara Dempol menuju ke Wae mata Wol, Pela, dst. Di samping jalan raya itu ada selokan pengairan sawah lembor dari bendungan Wae Lombur. Permohonan papa itu kami anggap sangat penting sebab ia mengatakan bahwa ia tidak akan merasa nyaman dengan Ekaristi itu jika makam empo Wanta belum dipindahkan.
Oleh karena itu saya instruksikan kepada Ari, Kanis, Huber untuk mengatur acara itu dengan baik. Saya serahkan sepenuhnya acara itu ke dalam koordinasi Hubert, Ari, dan Kanis. Mereka mengadakan rapat di labuan bajo kira-kira dua minggu sebelum Minggu palma. Pada malam minggu Palma mereka semua berkumpul di dempol. Semua ada di sana. Yang tidak hadir hanya dua orang, yaitu saya dan enu Essy, karena kami masih di Jawa (Tangerang dan Yogya). Saya membayangkan, betapa sangat menyenangkan pertemuan itu. Dalam pertemuan itu mereka menetapkan panitia untuk perayaan ekaristi nanti, dan yang terpenting menetapkan tanggal pemindahan makam itu. Setelah dibicarakan bersama-sama akhirnya disepakati bahwa acara pemindahan makam itu dilakukan langsung minggu pertama sesudah paskah. Semua anggaran sudah diperhitungkan oleh Huber. Kami semua para cucu ikut terlibat memberi sumbangan dalam rangka acara itu. Yang dibutuhkan ialah ayam jantan merah (karena orang pandai omong dan pemberani), dan babi kampung tekang tana, semen untuk makam, dan peti baru untuk tanah makam dan sisa-sisa tulang yang masih ada.
Akhirnya tanggal pelaksanaan pun tiba. Hal itu dilaksanakan Sabtu 30 April silam. Semua cucu berkumpul di Dempol lalu pergi ke makam. Mereka mencoba menggali di tempat yang dulu sudah ditandai para penggali selokan air dan jalan raya. Tetapi mereka sudah menggali lebih dari satu setengah meter. Mereka tidak menemukan apa-apa. Tanah hitam sudah lewat. Sudah ketemu tanah merah. Tidak juga menemukan apa-apa. Padahal itu sudah memakan waktu dan tenaga yang amat berat. Orang hampir putus asa karenanya. Lalu terdengar suara orang yang mengatakan bahwa hal seperti ini memang memerlukan orang pintar. Dan kebetulan ada orang Rangga yang pintar untuk hal-hal seperti itu, tetapi sekarang ia tinggal di Wae Nakeng. Huber pun pergi mencari dan menemui orang itu untuk meminta pertolongan. Ia menyanggupi untuk datang. Ia tiba di lokasi tepat pukul 12.00. Ia membawa satu parang dan beberapa utas tali dari daun pandan (tikar anyaman).
Ia mulai melakukan ritual itu. Tangkai parang itu ia ikatkan dengan dua tali daun pandan tadi. Tali yang satu dipegang sendiri oleh si orang pintar itu hanya dengan memakai ujung jari telunjuknya. Ujung tali yang kedua dipegang oleh siapa saja yang mau memegang tali itu. Juga dengan ujung jari telunjuk saja. Saat itu ada seseorang yang memegang tali itu, sehingga parang tadi menggantung ke bawah seperti bandul. Lalu si orang pintar mulai mengucapkan mantranya. Sesudah itu ia mengucapkan wada-nampo-nya. Sebelumnya mereka menaruh bandul parang itu ke atas makam yang sudah mereka gali tetapi tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Lalu si dukun berkata: Wahai Parang, eme manga tuu-tuung hia Empo Wanta be wa mai hau, paka putar hau kope. Tetapi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Orang pintar itu berkata, berarti makam beliau tidak ada di sini. Lalu coba digeser ke arah gunung sejauh satu meter. Lalu diucapkan lagi wada-nampo yang sama. Lagi-lagi parang itu tidak bergerak sedikit pun. Masih dicoba beberapa kali, tetapi sia-sia. Akhirnya percobaan dipindahkan ke arah selatan, ke arah laut sejauh kurang lebih satu meter dari makam galian yang sama. Lalu wada-nampo yang sama diucapkan si orang pintar itu. Tiba-tiba parang itu berputar seperti gasing dengan sangat kencangnya mengikuti arah jarum jam. Hari itu ada banyak sekali orang yang datang menonton karena itu adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua orang menjadi heran dan ketakutan. Lalu si orang pintar itu berkata, berarti beliau ada di bawah ini dan di bawah titik bandul parang ini persis kepalanya. Tetapi sebelum dilakukan penggalian, banyak orang merasa penasaran, termasuk juga adik saya Huber. Ia juga termasuk orang yang mencoba memegang ujung tali itu, dan mencobanya terlebih dahulu di sembarang tempat lain, lalu kembali lagi ke tempat empo Wanta. Dan di titik itu, parang itu berputar.
Ilmu orang ini memang mengatakan bahwa parang itu hanya berputar kalau benar-benar ketemu dengan makam dari orang yang kita cari yang punya hubungan darah dengan kita. Kalau tidak maka kita tidak akan melihat apa-apa. Lalu mereka menggali di sana dan menemukan dengan sangat mudahnya sisa-sisa isi makam itu. Lain kali baru saya ceritakan detail lain mengenai hal ini. Saya loncat dulu ke hal lain.
Ketika orang sudah tahu pasti bahwa itulah makam kakek Wanta, lalu orang-orang tua yang hadir di situ saat itu memastikan bahwa yang sebelumnya tadi digali adalah makam si anu; dulunya mereka orang Dempol, tetapi sudah lama sekali anak-anaknya pindah ke Waemata sehingga mereka lebih dikenal sebagai orang Waemata daripada sebagai orang Dempol. Tetapi anehnya kata Huber mereka tidak melihat apa-apa di makam galian pertama. Ya itu tadi, ilmu ini hanya bisa menemukan yang benar-benar kita cari. Bukan untuk pencarian acak dan sembarangan saja.
Ketika saya mengatakan bahwa ini baru pertama kali saya mendengar hal seperti itu dan belum pernah melihatnya sendiri, Huber lalu mengatakan bahwa sesungguhnya ia sudah melihat hal ini untuk yang ketiga kalinya. Sebelumnya di Maras Rentung di tempat asal isterinya, ia melihat upacara serupa tetapi si dukun memanggil burung pipit: Peti, datanglah mencari makam si anu. Begitu kalimat wada-nampo-nya. Tentu sebelumnya ada kata-kata mantera yang diucapkan si dukun itu. Lalu tiba-tiba ada burung pipit yang datang dan bertengger di atas sebuah batu dan tidak mau pergi; ia baru pergi setelah orang datang mendekat padanya. Si dukun mengatakan itulah makam orang yang dicari. Masih menurut cerita Hubert, di Nara (Lembor) ia juga pernah menyaksikan suatu peristiwa yang lain. Orang pintar di sana memakai ayam yang sebelumnya sudah dimanterakan. Lalu ke atas ayam itu diucapkan wada-nampo yang sama. Setelah itu, ayam tadi dilepaskan. Lalu ayam itu akan berjalan keliling seperti biasa. Lalu di suatu tempat ayam itu berhenti dan mulai mencotok dan mengais-ngais dengan liar dan tampak seperti tidak mau berhenti. Orang pintar mengatakan di situlah makam orang yang dicari. Dengan demikian, sampai saat ini saya mencatat ada tiga cara ritual mencari makam orang yang akan dipindahkan ke tempat lain: dengan mengundang burung pipit, dengan memakai ayam, atau dengan memakai bandul parang.
Melalui media sharing ini, saya juga mau bertanya apakah di antara teman-teman ada yang punya pengalaman lain? Mari kita saling melengkapi cerita dan catatan ini. Ini sebuah catatan antropologi budaya yang sangat menarik perhatian.
Langganan:
Postingan (Atom)