Senin, 24 November 2008

JEJAK LODOK DI LEMBOR?

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Beberapa hari lalu saya menelpon adik saya, Kanis (papa Nessa) di kampung, Dempol, Manggarai Barat. Ternyata sekarang dia berada di Labuan Bajo; ia sudah bekerja di sana pada salah satu kantor pemerintahan daerah di sana. Puji Tuhan atas perkembangan ini. Semoga dia semakin maju dalam kariernya itu. Pada saat itu saya sebenarnya hanya mau menanyakan kepada dia tentang satu pertanyaan penting yang belakangan ini selalu muncul dalam pemikiran saya. Inilah pertanyaan itu? Apakah di Lembor dulu memang ada uma atau lingko yang dibagi secara tradisional dalam bentuk Lodok itu? Sebab sejauh yang dapat saya ketahui dan amati selama ini, tidak ada lingko atau uma lodok di Lembor. Dan kesan atau pengetahuan awal itu menimbulkan satu pertanyaan besar dalam hati saya.

Tetapi ternyata dalam jawabannya, Kanis mengatakan bahwa dulu di Lembor sesungguhnya ada juga uma atau lingko dengan sistem lodok itu, atau sistem pembagian lingko dalam bentuk lodok. Sebagai buktinya, Kanis berkata bahwa sekarang ini kita masih bisa melihat bekasnya atau lebih baik tanda-tanda sisanya di Wae Nakeng. Masih menurut Kanis, di sana kita bisa melihat bekas lodok itu. Oleh karena ini adalah sisa, maka perlu didokumentasikan. Maka saya pun meminta Kanis agar ia segera membuat foto bekas lodok yang ada di Wae Nakeng itu sebagai bukti dan jejak sejarah adanya uma atau lingko lodok di Lembor.

Nah, kalau sekarang uma atau lingko lodok itu sudah tidak ada lagi, berarti sistem lodok itu di Lembor sudah menjadi masa silam, sebab yang tinggal hanya bekas-bekasnya saja. Sedangkan dalam kenyataannya orang tidak lagi membagi tanah mereka dengan sistem lodok itu. Sekali lagi, sistem lodok itu sudah menjadi fosil dalam ingatan manusia belaka. Ini amat menyedihkan tentu saja.

Sehubungan dengan ini muncullah beberapa pertanyaan kritis-historis dalam diri saya: Pertama, kapan uma dengan sistem pembagian berbentuk lodok ini mulai menghilang? Kedua, mengapa hal itu terjadi? Atau lebih jelasnya, mengapa fakta kehilangan lodok itu sampai bisa terjadi? Apakah hal itu terjadi karena ada hubungan dengan perubahan status tanah sebagai komoditas dagang dan sebagai barang modal atau kapital? Kapan perubahan status tanah itu mulai terjadi? Terus terang saja, saya tidak dapat memastikan hal itu. Perlu penyelidikan lapangan untuk membuktikan hal itu secara meyakinkan. Pertanyaan lain yang muncul ialah, apakah dalam visi lama tidak ada visi komoditas-ekonomis seperti itu? Pertanyaan ini juga tidak atau belum dapat saya jawab secara pasti. Perlu penelitian lapangan yang intens dan mendalam.

Kalau di Lembor tidak ada lagi lodok, maka yang paling banyak ada di Lembor ialah pembagian tanah dengan cara tilas yaitu membagi tanah menurut atau secara (dalam bentuk) persegi panjang. Mungkin hal ini dipandang jauh lebih praktis; mudah dibagi-bagi, dan terutama juga mudah dijual, yaitu dijadikan sebagai komoditas dagang. Mungkin hal itu harus dijelaskan demikian: Tidak ada lagi rasa takut atau keengganan kalau toh harus dijual, sebab tidak ada lagi sentrum kosmis atau axis mundi yang sakral di tengah lodok itu. Kalau ini benar adanya, maka inilah salah satu butir dari proses desakralisasi hidup Manggarai akibat invasi pandangan, dan nilai-nilai ekonomis modern. Kalau sentrum kosmis tidak ada lagi, maka tidak ada lagi juga tabu-tabu yang biasanya mengatur perilaku hidup orang Manggarai. Itulah beberapa pikiran spontan yang muncul dalam benak kalbu saya ketika mulai mendapat ilham seperti ini.

Dan hal ini amat berbeda dengan masa kecil saya di Ketang (Rejeng, Lelak) dulu. Sebab saya melewatkan masa kecil saya, sampai tamat sekolah dasar di sana. Rumah masa kecil saya di sana terletak di lereng bukit kecil. Dan di dataran terhampar tiga lodok sawah besar: yaitu sawah Ka dan sawah le Temek Pong, dan le Rejeng. Juga ada sawah le Londa. Belum lagi uma tana masa di golo Nosot dan di Pelus. Setiap saat saya bisa menikmati dua atau tiga “sarang laba-laba” raksasa yang indah dan mengagumkan; hijau di musim tanam, kuning di musim menuai. Kerontang di musim kemarau. Tetapi kadang-kadang menjadi danau di musim hujan, sebab air meluap menutup sawah-sawah itu.

Tiba-tiba di sini saya dilanda nostalgia yang memunculkan beberapa pertanyaan: Apakah sekarang ini sawah-sawah itu masih ada? Sebab itulah tempat saya bermain-main pada masa kecilku, tempat aku mencari ikan di kali, mencari rumput untuk kuda-kuda papaku. Juga tempat aku menyepi, baik menyepi karena mau menyepi, maupun menyepi karena merasa sedih kalau lagi dimarahin papa atau ibu. Di situlah saya mulai mengasah kecintaan dan keakraban saya dengan alam, dengan bunyi jangkrik, bunyi belalang, bunyi percikan air mengalir di sungai kecil, bunyi desau angin yang merayu dedaunan padi yang menghijau.

Di akhir nostalgia itu saya masih sempat berkata dan bertanya: Kalau sawah-sawah itu masih ada, sampai kapan hal itu akan bisa bertahan? Saya juga teringat akan sawah di Ndaring, sawah di Pengkong, sawah orang Tango. Juga sawah di Cancar. Semuanya indah. Sarang laba-laba raksasa. Sayang, kalau semuanya itu hilang karena tergusur oleh ledakan penduduk, atau cara berpikir modern dalam rupa invasi pandangan dan nilai-nilai ekonomis yang serba praktis dan pragmatis itu. Kalau itu terjadi, saya harus meratapinya mulai dari sekarang ini.


Bandung, 21 November 2008

Diketik sambil diperkaya, 25 November 2008.

2 komentar:

perikecil mengatakan...

perkenalkan, saya Ella. Saya sedang membuat dokumenter tentang Lodok lingko di desa Meler. Kalau boleh tahu, saat ini masih ada brapa lodok lingko ya, yang tersisa di Manggarai? terima kasih

canticumsolis mengatakan...

Wah Ella, mohon maaf karena saya sangat terlambat menanggapi pertanyaan anda ini. Terus terang kalau ditanya berapa persis lingko lodok yang masih tersisa di Manggarai pasti saya tidak punya data yang pasti. Tetapi menurut perkiraan saya masih ada cukup banyak. Hitungan kasar (tanpa dasar statistik atau pemindaian satelit) kira-kira begini: di Manggarai ada 36 kedaluan (hamente). Katakanlah di masing-masing kedaluan itu minimal ada dua lingko lodok. Bisa lebih dari itu tentu saja. tinggal dikalikan saja 2x36: 72 lingko lodok. mungkin di beberapa Kedaluan sudah tidak ada lagi. Mungkin di ruteng dan di beberapa tempat sudah tidak ada lagi. Ella, saya hanya bisa menjawab seperti itu. Mohon maaf karena terlambat dan tidak bisa memberimu data akurat... terima kasih....