Oleh: Fransiskus Borgias M.
Pernahkah anda mendengar kata tunu? Mungkin cukup banyak pembaca menjawab: tidak pernah. Mungkin ada juga yang menjawab: pernah. Ya, kata tunu. Dalam tulisan singkat ini saya mau berbicara tentang kata tunu itu. Mungkin sebagian besar dari para pembaca saya sudah tidak mengetahui lagi kosa kata tunu ini. Tetapi para pembaca saya yang berasal dari Manggarai (Flores, Nusa Tenggara Timur) pasti mengenal kata ini. Bahkan mungkin sangat akrab di telinga dan hati mereka. Saya tidak tahu, boleh jadi ada juga suku bangsa lain di Indonesia yang mengenal kosa kata tunu ini dalam daftar kata bahasanya, entah apa pun artinya.
Selama ini saya selalu berpikir bahwa kata tunu adalah salah satu kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, daerah asal saya, bahasa ibu saya (mother tongue). Dalam kosa kata bahasa Manggarai, kata tunu itu mempunyai arti dan fungsi khusus. Arti kata tunu itu ialah membakar jagung. Tetapi jagung yang dibakar itu tidak harus dilepaskan kulit pembungkus luarnya. Alias, jagung itu harus dibakar sekaligus dengan kulitnya. Jadi, teknik membakar jagung lengkap dengan kulit luarnya (dalam bahasa Manggarai, kombak) disebut tunu. Hasilnya, disebut latung tunu (jagung yang dibakar sekaligus dengan kulitnya). Bentuk luarnya tentu tampak gosong kulitnya, tetapi isinya persis sama seperti jagung yang direbus atau dikukus (baik dengan kulit maupun tanpa kulit).
Dalam bahasa Manggarai kata tunu itu hanya bisa dipakai untuk jagung bakar-kulit saja (Jilis Verheijen 1967:662: membakar jagung dengan gelongsong, melajur, yaitu membakar batang bambu muda untuk kemudian diambil kulitnya untuk dipakai menganyam keranjang). Kalau jagung dibakar tanpa kulit, maka disebut tapa, dipakai kata tapa (Jilis Verheijen 1967:623). Kata tapa ini sangat umum, artinya membakar, dan ia bisa dipakai untuk apa saja. Misalnya, tapa tete (bakar ubi), tapa nuru (bakar atau panggang daging), tapa manuk (bakar ayam), tapa ela (bakar babi), tapa uma (bakar kebun), tapa satar (bakar padang), tapa utung (membakar sampah yang sudah ditumpuk terlebih dahulu), dst.
Tetapi pada hari ini, 21 Oktober 2016, saya berubah pikiran sama sekali. Ternyata kata tunu itu juga ada dalam kamus kota kata bahasa Indonesia. Selama ini saya hanya berpikir, itu adalah kosa kata bahasa Manggarai saja. Ada dua kamus bahasa Indonesia yagn saya pergunakan sebagai rujukan. Yaitu, pertama, kamus dari bapak J.W.S.Poerwadarminta. Kedua, kamus dari bapak Yus Badudu dan Mochamad Zain. Saya belum sempat mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (kiranya berafiliasi dengan Depdiknas). Dalam kedua kamus rujukan yang sudah saya sebut di atas tadi, ternyata kata tunu itu berarti membakar (Badudu, p.1560). selain arti membakar ini, Poerwadarminta masih memberi arti yang lain, yaitu menyalakan, memasang (Poerwadarminta, p.1109).
Oh ya, akhirnya saya bisa juga mengakses ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dalam bentuk e-book. Ternyata di sana pun ada kata tunu yang artinya membakar, menyalakan, mengobarkan (KBBI Depdiknas 2008:p.1758). jadi, ternyata kata tunu ini bukan hanya kosa kata Manggarai saja, melainkan juga ada dalam kosa kata bahasa Indonesia, dengan artian leksikal yang kurang lebih sama. Hanya saja, di Manggarai ada perbedaan sedikit. Memang ada arti dasar membakar, tetapi bukan sembarangan membakar, melainkan hanya membakar jagung, itupun harus sekaligus dengan kulitnya (sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraf di atas tadi).
Tetapi hal yang sangat menarik perhatian saya sendiri ialah fakta bahwa saya baru bisa menyadari hal ini karena saya sedang membaca Kitab Nahum salah satu kitab para nabi dalam Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama), hasil terjemahan Katolik (Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina Cicurug, cikal bakal LBI sekarang ini) yang diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah, Ende Flores, pada tahun 1973. Tetapi imprimatur untuk terbitan itu berasal dari tahun 1970. Mungkin itulah sebabnya edisi cetakan kitab suci ini dicetak masih dengan memakai ejaan lama (ejaan Suwandi). (Padahal ejaan baru yang disempurnakan, mulai diperkenalkan dan dipakai pada tahun 1972; jadi setahun sebelum tahun terbitnya edisi yang disebut di atas tadi). Kata tunu itu ada dalam teks Nahum 2:14: “....kereta-keretamu Kutunu jadi asap....” Kiranya akan sangat menarik kalau kita bisa mengetahui berapa kalikah kata tunu itu dipakai dalam terjemahan itu. Pada tahun 1976 terbitlah edisi Terjemahan Baru (TB) dengan terjemahan baru pula (pada tahun 1996 muncul edisi revisi terjemahan khusus untuk Perjanjian Baru yang secara teknis disebut TB2). Dalam edisi terjemahan baru 1976 ini sebagaimana yang kita pergunakan sekarang ini terbaca hasil terjemahan sbb: “Aku akan membakar keretamu menjadi asap.” (Nah 2:14). Yang di atas tadi dipakai kalimat berstruktur pasif. Sedangkan yang kedua dipakai kalimat berstruktur aktif. (Terus terang saja, saya belum sempat mengecek dan membandingkan dengan hasil terjemahan versi BIMK, Bahasa Indonesia Masa Kini; dulu pernah disebut BIS, Bahasa Indonesia Sehari-hari).
Dengan perubahan terjemahan ini, maka kata tunu hilang dari terjemahan kitab suci. Bahkan hilang dari pemakaian kita sehari-hari sehingga kita sekarang tidak begitu akrab dengan kata itu. syukurlah, kita masih memiliki kamus yang berfungsi sebagai semacam ruang penyimpanan kosa kata sehingga dia bisa menjadi semacam jembatan kultural yang menghubungkan kita di masa kini dengan sebuah ruang konteks pemakaian di masa silam.
Saya memang mempunyai hobby untuk membanding-bandingkan hasil terjemahan kitab suci ke dalam beberapa bahasa yang bisa saya mengerti. Semuanya itu saya lakukan dalam rangka proses belajar terus menerus bagi diri saya sendiri, juga sebagai ajang melakukan proyek penelitian teks itu sendiri. Terkadang dari hasil pembandingan itu, muncul sebuah pemahaman baru akan teks tertentu. Terkadang juga terjadi, bahwa dalam proses dinamika pembandingan itu terjadi suatu proses penyingkapan makna tertentu. Mungkin itulah yang dalam khasanah hermeneutik disebut reproduksi makna karena dan dalam proses membaca dan membaca (reading as a process of reproducing and reconstructing meaning). Dan hal seperti itu selalu mendatangkan perasaan puas dan sukacita. Terasa seperti kita sedang memasuki sebuah ruang penyimpanan makna yang sangat kaya, luas, dan sekaligus mendalam. (Oh ya sebagai penutup catatan ini, saya mau memberitahukan bahwa dalam terjemahan Nusa Indah yang sudah disebut di atas tadi, ada banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang aneh-aneh karena sudah tidak dipakai lagi, sudah dikenal lagi. Untuk bisa memahaminya kita harus membuka kamus. Tetapi dalam rangka memperbanyak kosa kata kita, ada baiknya kata-kata itu digali dan dipakai kembali. Kiranya ini adalah kerja para ahli bahasa agar tidak terjadi kepunahan kosa kata, menjadi sekadar fosil di dalam kamus-kamus belaka).
Bandung, Jalan Nias 2, 21 Oktober 2016.
Sabtu, 22 Oktober 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Tunu latung agu Latung tunu.banyak makna dari bahasa Manggarai. Biasanya anak-anak dari kampung yang pergi sekolah selalu ada baa karung tunu saat musim panen latung.
ase markus, trima kasih atas komentarnya di sini... ya, memang begitulah keadaan kita dulu di Manggarai... latung tunu itu punya rasa manis tersendiri yang tidak ada pada jagung bakar biasa, atau jagung kukus atau rebus..... hehehehe.... tabe ga....
Posting Komentar