Sebuah Refleksi Teologis Adventus ala Manggarai
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Judul tulisan saya kali ini diambil dari judul lagu (dere) Adwentus (catatan: Menarik bahwa dipakai kata Adwentus, bukan Adventus. Mungkin karena dalam bahasa Manggarai memang tidak dikenal bunyi V dan F itu) yang diciptakan oleh bapa Philipus Manti pada tahun 1937 (DS NO.1, hl.22). Jadi, lagu ini termasuk salah satu lagu tertua dalam sejarah Gereja dan sejarah musik liturgi Gereja Manggarai, keuskupan Ruteng. Memang lagu yang tertua ialah lagu yang berjudul “Doing koe ga” (akan ada ulasan tersendiri tentang lagu tersbeut pada waktunya nanti) yang diciptakan oleh bapak Manti juga pada tahun 1936 (DS Nn.44, hl.56). Kedua lagu ini adalah derap-derap awal upaya memulai komposisi asli lagu Manggarai oleh para komponis Manggarai untuk dimasukkan ke dalam buku Dere Serani (istilah komposisi asli di sini dipakai untuk membedakan jenis lagu yang merupakan hasil adaptasi dari lagu-lagu dari Gereja tua atau induk Eropa). Bapak Philipus Manti adalah orang paling pertama yang menghasilkan lagu-lagu tersebut. Tentu saja hal itu sangat historis. Pada tahun 1937 ada juga bapak A.Loes yang juga menciptakan sebuah lagu yang indah (DS, No.80, hl.85-86; pada waktunya juga nanti akan ada ulasan khusus tentang lagu ini).
Lagu Adwentus ini terdiri atas empat ayat. Sebelum membahas lebih lanjut keempat ayat tersebut, terlebih dahulu saya membahas struktur lagu. Struktur lagu ini ialah sbb: ada dua larik pengantar yang dipakaii untuk semua keempat ayat. Kedua larik pertama itu berbunyi: Gelang koe wau ta Mori Ata Sambe eta mai lelang cai. Yang artinya (dalam terjemahan bebas saya sendiri, sebab dulu ada sebuah terjemahan lain dalam buku Syukur Kepada Bapa): “Bersegeralah turun dari surga, ya Tuhan sang Penebus dari surga, bersegeralah datang”. Jadi, kedua larik ini mengungkapkan harapan dan kerinduan dasar umat manusia akan kedatangan Tuhan sang penebus dan penyelamat ke dalam hidup mereka di dunia ini (seperti kata pemazmur itu: Jiwa kami menantikan Tuhan, lebih dari para penjaga menantikan fajar). Lalu dilanjutkan dengan masing-masing keempat ayat tsb. Lalu diakhir dengan sebuah larik yang sama yang diulang lagi pada setiap keempat ayat tadi. Larik terakhir ini hanya pendek saja. Pada dasarnya hanya mengulang lagi harapan agar Tuhan bersegera datang dan segera tiba (Mori lelang cai, lelang koe). Kedatangan Tuhan itu jangan ditunda-tunda lagi. Sebab penundaan berarti bahaya, berarti ancaman bahkan bisa berarti kematian. Dan keempat ayat itu akhirnya dijawab dengan sebuah bagian wale atau jawaban yang sama. Oleh karena strukturnya seperti itu, maka terlebih dahulu saya mengulas keempat ayat cako tadi, lalu kemudian mengulas tentang bagian wale. Untuk memudahkan pemahaman akan struktur di atas tadi, maka sebaiknya saya berikan tabel berikut ini. Saya berharap tabel ini bisa membantu memperjelas struktur lagu yang sudah saya jelaskan di atas tadi.
Larik awal
Gelang koe wa’u ta, Mori Ata Sambe eta mai lelang cai....
Cako: empat ayat
1). Gereng mede maid Ite lami ga,
2). Sangge hindi-haes kawe Ame ga,
3). Rantang boto mata dami wakar ga,
4). Ata kapir kanang dami tana ga,
Larik penutup cako
Mori lelang cai lelang koe.
Wale
Gelang wa’u Mori Sambe go, Weleng salang bana dami wakar ga. Lelang campe, Mori lelang koe.
(NB: Sayangnya tabel yg sy buat dalam naskah asli tidak bisa tampak di sini).
Dalam bagian berikut ini saya mulai dengan ayat yang pertama. Isi dari ayat pertama dari lagu ini pada dasarnya mengungkapkan kerinduan dan harapan umat manusia agar sang penebus dan penyelamat segera sudi turun (dari surga tinggi, surga secara tradisional memang dibayangkan berada atau terletak di tempat yang tinggi, di atas sana; makanya ada ungkapan “eta landong surga” dalam bahasa Manggarai). Penantian itu bukan sekadar penantian yang baru muncul kemarin sore (yang masih berusia pendek, seumur jagung), melainkan penantian itu sudah muncul sejak dari jaman purbakala, gereng mede maid (harfiah: menanti sejak dahulu kala). Manusia sudah sejak sangat lama (mede maid) menantikan (gereng) kedatangan Tuhan (Ite, kata ganti orang ketiga jamak, untuk menunjuk atau menyebut Tuhan, sebentuk pluralis majestatis).
Ayat kedua, tidak terlalu mudah untuk ditafsirkan dan dipahami. Tetapi kiranya ayat kedua ini mencoba melukiskan tentang kebingungan dan hiruk-pikuk (hilir mudik, ke sana kemari tidak tentu arah, hindi-haes) mencari (kawe) sosok dan figur Ayah (Ame). Oleh karena dalam buku Dere Serani kata ayah (ame) itu ditulis dengan huruf besar, maka tentu saja Ame yang dimaksudkan di sana bukan lagi terutama sosok ayah manusiawi, ayah biologis, ataupun dalam artian lama dari adat istiadat Manggarai, yakni ide ide-ame itu, melainkan Ame itu adalah Tuhan Allah sendiri. Memang Tuhan dalam sejarah Kristianitas disapa dengan sebutan Bapa/Ayah (Ame), atau Abba (dalam beberapa bahasa Semit). Dalam ayat ini, manusia dilukiskan sedang sibuk hilir mudik ke sana ke mati (hindi-haes) mencari Tuhan. Dan upaya pencarian itu mengalami krisis, sebab ia terancam tersesat dan tidak tercapai. Oleh karena itu, maka dimintalah bantuan sang Penyelamat itu sendiri. Paradoksal sekali: Dia yang dicari harus membantu mencari agar sang Dia yang dicari itu agar mudah segera ditemukan. Tuhan yang dicari itu diharapkan membantu mencari Dia sendiri yang dicari itu. Mungkin hal ini terasa aneh. Tetapi seperti itulah yang terjadi.
Ayat ketiga, mengungkapkan sebuah kecemasan eksistensial manusia, yaitu ketakutan akan kematian. Tetapi bapak Philipus Manti dengan sadar memilih kata-kata. Tentu kematian yang ia maksudkan dalam teks ini bukan lagi terutama kematian jasmani. Sebab kematian jasmani (biologis) itu tidak terhindarkan. Itu adalah sebuah hukum biologis, sebuah hukum alam. Tidak ada makhluk hidup yang bisa luput dari maut itu. Hidup adalah pasti menuju maut, Sein zum Tode, kata filsuf Jerman, Martin Heidegger itu. Yang diminta di dalam teks itu ialah agar jangan sampai jiwa (wakar) mengalami sebuah kematian (rantang boto mata dami wakar ga). Itu adalah hukuman kekal dalam api neraka. Jauh dari hidup abadi. Terasing dari kasih Allah. Jauh dari relasi kasih dan kedekatan dengan Allah. Itu adalah neraka. Neraka adalah sebentuk hidup dalam keterasingan yang paling mendasar dan mengerikan. Kematian seperti ini adalah sangat menakutkan. Sedangkan kematian badani (biologis) harus disambut dengan baik sebagai sesuatu yang wajar.
Ayat keempat, mengungkapkan sebuah keprihatian tentang masih adanya orang-orang di sekitar kita (bahkan juga adik kakak, sanak saudara kita) yang belum percaya akan Tuhan Yesus Kristus (ata kapir kanang dami tana ga). Kapir yang ia maksudkan di sini adalah yang orang-orang yang belum mengenal dan percaya kepada Kristus. Kata kapir yang dipakai di sini, mungkin dulu di tahun tigapuluhan mempunyai konotasi lain. Kini dalam dunia modern, tentu saja ada konotasi yang lain lagi (terutama dengan ada dan munculnya sekelompok orang yang dengan getol mencap orang lain sebagai kafir). Deskripsi ayat keempat ini, lebih melukiskan paham Kristologis dan ekklesiologis dari tahun 30-an, tidak hanya di Manggarai, melainkan dari seluruh dunia. Kiranya tidak lagi begitu cocok untuk melukiskan visi dan paham teologis-eklesiologis dewasa ini. Menarik untuk dicatat bahwa teologi dari Hendrik Kraemer (teolog misiolog dari Belanda) memaklumatkan teologi Nama-nya yang terkenal itu pada tahun 1936 di Tambaram, sebuah maklumat yang dilandaskan pada deklarasi dari Kisah Para Rasul: Tidak ada nama lain di bawah kolong langit..... (Kis.4:12).
Nah, untuk mengatasi semua hal itu, manusia mengharapkan agar Tuhan sendiri sudi segera turun tangan agar tidak ada efek lebih jauh dan lebih buruk dari kondisi-kondisi yang dilukiskan tadi. Tuhan diharapkan segera datang, tiba, Mori lelang cai, lelang koe. Desakan itu tampak dalam pengulangan ungkapan lelang cai, lelang koe itu. Situasi sudah gawat darurat, situasi sudah sedemikian gentingnya, maka Tuhan harus segera turun untuk mengatasi hal itu. Tuhan tidak boleh menunda-nunda lagi.
Keempat ayat di atas tadi ditanggapi dengan sebuah wale, sebuah jawaban (tanggapan), yang juga tidak kurang menariknya untuk disimak dan didalami lebih jauh di sini. Sekali lagi, dalam bagian awal dari jawaban ini manusia meminta dan mendesak agar Tuhan sang Penebus itu segera turun dari surga. Mengapa? Karena jiwa kami sekarang ini dan di sini sedang tersesat menempuh jalan lain (weleng salang bana dami wakar ga). Ungkapan “salang bana” ini tidak mudah juga ditafsirkan dan dipahami. Pernah dalam masa gereja purba khususnya Kisah Para Rasul, agama Kristen, sebelum disebut dengan nama itu, disebut jalan atau jalan Tuhan (Kis.9:2; 13:10; 18:2519:23; 22:4; 22:5; 24:14). Tentu saja sebutan jalan itu serta-merta mengingatkan kita akan salah satu identifikasi diri Yesus Kristus dalam injil Yohanes lewat salah satu deklarasi ego eimi-nya yang terkenal itu, ego sum via; atau dalam bahasa Yunani: ego eimi he hodos (Akulah Jalan). Kiranya, ketika bapak Philipus Manti memilih ungkapan “salang bana” dalam teks ini, ia terpikir akan Yesus Kristus sebagai jalan (kebenaran dan hidup). Maka, ungkapan “salang bana” yang dimaksudkan di sini adalah agama yang menyimpang dari “agama tu’ung”, yang menjadi salah satu butir permohonan doa malam dalam buku Dere Serani (DS hal.12. catatan: sebutan “agama tu’ung” ini adalah sebuah adaptasi asli Manggarai. Sebab rumusan aslinya doa itu hanyalah sbb: Hati Yesus yang mahakudus, kasihanilah kami. Tetapi dalam terjemahan lokal kontekstual Manggarai ada sebuah tambahan sbb: mohon bantuan belas kasih hati kudus Yesus tidak banya bagi kita sendiri saja tetapi juga bagi sanak saudara kita yaitu ase kae, yang belum mengikuti agama yang sejati, agama yang benar, agama tu’ung, sehingga rumusannya seperti yang kita baca dalam buku Dere Serani tersebut: agu ase ka’e dami ata toe di lut agama tu’ung).
Maka ungkapan “weleng salang bana” yang ada di sini kiranya berarti menyimpang dari agama tu’ung ke praktek iyo pina naeng, hidup ala kafir. Hidup yang ditandai oleh keadaan tidak atau belum mengenal Allah dan Yesus Kristus. Dan bapak Philipus Manti menganggap itu adalah sebuah ancaman yang nyata. Untuk mengatasi soal itu, Allah perlu segera datang untuk membawa shalom-nya bagi umat manusia. Pertolongan harus datang dari Tuhan agar segera muncul sebuah hidup dan bahkan ciptaan baru. Kira-kira seperti kata pemazmur itu, pertolongan kita dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi.
Akhirnya, dilihat dengan cara seperti ini, betapa dalamnya teologi dan kristologi bapa Philipus Manti dari tahun 30an itu. Bagi saya, tentu saja hal itu amat mengherankan sebab itu adalah sebuah teologi yang lahir dari praksis hidup iman dan percaya, bukan teologi yang lahir dari proses pembelajaran dalam seminari atau fakultas teologi. Ini adalah sebuah teologi eksistensial, teologi hidup dan kehidupan. Berteologi secara otodidak. Beriman secara otodidak juga. Mungkin sangat terilhami oleh teladan hidup para misionaris, para imam misionaris itu. Bagi saya ini sangat luar biasa mengingat mereka semua adalah orang yang baru pertama kali menjadi Katolik. Mereka termasuk generasi pertama, tetapi teologi dan iman mereka sudah begitu kuat dan dalamnya. Bagi saya tentu saja ini adalah mukjizat yang nyata dari iman katolik di tanah Manggarai. Sekali lagi, ini luar biasa, sebab ia (mereka pada umumnya para komponis Manggarai itu) belajar dengan cara mengajar orang lain untuk hidup percaya dan beriman. Entah berapa orang Manggarai yang hatinya sudah tercerahkan dan digerakkan dan disentuh oleh lagu ini, baik melodinya maupun juga syairnya. Sebab bagi kita lagu-lagu liturgi juga adalah sekolah pendidikan iman. Semakin kita akrab menyanyikan lagu liturgi, maka semakin kuat dan mendalam juga hidup iman kita. Itu sebabnya, saya sangat mendukung ungkapan yang sangat terkenal dari Agustinus itu: Qui bene cantat, bis orat. Siapa yang bernyanyi dengan baik, berdoa dua kali. Tidak banyak berdoa dua kali saja, melainkan beriman dua kali, maksudnya, imannya makin kuat dan mendalam, semakin diperkaya dalam hidup dan pengetahuan iman.
Yogyakarta, Desember 2016.
Minggu, 18 Desember 2016
Sabtu, 29 Oktober 2016
LONCENG KUCING
Oleh: Fransiskus Borgias M.,
Hari ini (tanggal artikel ini ditulis) pastor parokiku dalam kotbah hari Minggunya mengangkat sebuah kisah inspiratif dan menarik dari koleksi cerita Romo Anthony de Melo SJ. Diceritakan bahwa ada sebuah biara yang sudah sangat tua usianya tempat sejumlah biarawati berdiam. Dahulu kala sang pemimpin biara itu memelihara seekor kucing karena ia sangat suka dan bahkan sayang pada kucing. Saking sayangnya maka kucing itu selalu dekat dengan dia. Ke mana saja sang abdis pergi kucing itu selalu saja mengikuti dia dan duduk di sampingnya dengan tenang. Pokoknya kucing kesayangan itu tidak mau ketinggalan.
Konon, dikisahkan juga, bahwa setiap kali mereka mau doa malam, maka suster abdis itu meminta anak buahnya agar terlebih dahulu mengikat kucing itu agar kucing itu tidak nyelonong masuk ke dalam kapel dan berbunyi meong di sana saat para biarawati itu larut dalam doa yang kuhsyuk. Begitulah selalu yang terjadi dan dilakukan para biarawati itu. Kucing itu terlebih dahulu diikat sebelum para suster itu berdoa malam. Sampai pada suatu saat sang suster kepala biara itu pun meninggal dunia. Tetapi kucing kesayangannya itu masih ada. Maka kebiasaan itu terus berlanjut: mereka mengikat kucing sebelum berdoa malam. “Mengikat kucing” lalu seperti menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan sebelum berdoa malam. Maka tatkala kucing itu mati, mereka pun mencari kucing baru, agar ritual “mengikat kucing” tadi bisa dilanjutkan terus sekarang dan ke masa depan.
Lama kelamaan orang pun sudah lupa akan konteks dan tujuan semula dari hal “mengikat kucing” itu. Orang juga sudah lupa akan sang abdis pemilik dan penyayang kucing tadi. Tetapi kebiasaan “mengikat kucing” itu masih tetap hidup dan dipraktekkan di biara itu. Akhirnya kucing itu juga mati. Tetapi karena praktek “mengikat kucing” itu sudah kuat, maka para suster pun segera mencari seekor kucing baru untuk diikat sebelum mereka berdoa malam. Akhirnya hal “mengikat kucing” itu pun menjadi kebiasaan turun temurun tanpa mengetahui lagi konteks historis dan sejarahnya. Pokoknya hal itu tetap dijaga sebagai sebuah tradisi suci yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Kalau ditinggalkan maka orang akan ditimpa rasa bersalah terhadap sejarah dan juga terhadap tradisi suci itu sendiri.
Cerita tentang kucing ini serta-merta mengingatkan saya akan sebuah tradisi yang lain dalam gereja katolik, khususnya dalam perayaan ekaristi. Tradisi yang saya maksudkan ialah tradisi membunyikan lonceng pada saat konsekrasi. Sejauh penelusuran historis yang saya lakukan, konon pada mulanya di abad pertengahan ketika gereja mulai berkembang pesat dan mekar di Eropa, maka di gereja-gereja diadakan perayaan ekaristi. Saat itu ekaristi tidak diadakan setiap hari. Setidaknya umat beriman tidak bisa ikut perayaan ekaristi tiap hari. Ada tuntutan minimal: sekali setahun. Juga pada saat itu tidak otomatis semua orang boleh ikut menyambut tubuh dan darah kristus, seperti halnya sekarang ini. Ada orang yang karena terhalang oleh dosa berat terkena hukuman larangan ikut ekaristi selama bertahun-tahun (bdk peraturan Basilius mengenai penitentia itu). Kalau toh orang itu boleh ikut ekaristi secara lengkap, maka ia tetap tidak boleh menyambut komunio.
Gereja-gereja kuno di Eropa, khususnya yang ada dekat atau nempel dengan tembok biara tertentu juga ada sel-sel bagi para rahib yang dihukum tidak boleh ikut menerima komuni. Dalam konteks seperti itulah maka muncul sebuah praksis kesalehan, yaitu kalau toh tidak boleh menyambut tubuh Kristus setidaknya orang-orang hukuman itu boleh melihat saja Tubuh itu dari kejauhan. Apalagi pada saat itu ekaristi belum tentu bisa dirayakan setiap hari, atau setiap Minggu. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk perayaan ekaristi maka ada banyak sekali umat yang hadir. Gedung gereja yang biasanya berukuran besar pun tidak mampu menampung umat yang hadir. Apalagi misa dirayakan dalam bahasa Latin sebuah bahasa elit yang belum tentu dipahami oleh semua umat beriman. Karena itu, belum tentu umat yang hadir, yang buta huruf, belum tentu menyimak perjalanan upacara itu. Misalnya, kalau orang tidak mengerti bahasanya, maka orang tidak bisa tahu, sampai pada tahap mana perayaan Ekaristi itu sekarang.
Maka pada saat konsekrasi, sang imam di altar mengangkat hosti dan piala di atas altar. Itulah saat demonstratio, saat tubuh dan darah Tuhan ditunjuk kepada umat. Agar tidak ada umat yang tidak tahu akan peristiwa itu, dan agar peristiwa agung-mulia dan langka itu tidak terlewatkan begitu saja, maka peristiwa itu kemudian diberitahukan kepada umat dengan cara membunyikan lonceng kecil di dalam gereja (bukan lonceng utama yang besar yang biasanya terletak di luar gedung gereja, dalam menara tersendiri). Ketika mendengar bunyi lonceng itu maka umat yang hadir segera berdiam diri, mengambil sikap hormat dan hening lalu memandang ke arah altar. Di sana sang imam sedang mengangkat tubuh dan darah Kristus setinggi-tingginya agar bisa dilihat oleh semua umat yang hadir.
Bahkan Romo Tom Yakob (dosen teologi Ekaristi saya dulu di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta), dalam kuliah teologi ekaristi, pernah mengatakan bahwa bahkan dulu di abad pertengahan jika misa diadakan di sebuah lapangan besar, maka peristiwa konsekrasi itu diumumkan oleh tentara yang naik kuda. Itu disebabkan karena banyaknya umat yang ikut serta dalam perayaan ekaristi itu, dan luasnya tempat perayaan (karena dilakukan di ruang terbuka). Dalam keadaan seperti tidak semua orang secara otomatis bisa menyadari sepenuhnya akan apa yang terjadi. Coba bayangkan betapa ramainya di tengah lapangan terbuka itu. Bagi sebagian umat, hanya itulah kesempatan satu-satunya yang tersedia bagi mereka untuk memandang tubuh dan darah Kristus yang telah berubah wujud, sebab mereka tidak boleh menyambut komunio karena terhalang oleh dosa berat.
Kebiasaan itu berlanjut terus menerus dari waktu ke waktu hingga sekarang ini.
Sekarang kebiasaan membunyikan lonceng itu juga masih kita kenal. Bahkan di beberapa tempat dicampur lagi dengan bunyi gong (segi kelokalan; inkulturasi). Hanya sekarang terjadi sebuah pergeseran. Terkadang orang merasa saat bunyi lonceng itulah terjadi konsekrasi. Tentu saja menurut hemat saya, hal itu salah. Konsekrasi itu terjadi saat imam mengucapkan kata-kata konsekrasi itu dalam bingkai konstitusi ekaristi. Seharusnya, tanpa bunyi lonceng pengiring itu, mukjizat ekaristi tetap terjadi. Sebab bunyi itu hanyalah pengiring. Bukan inti pokoknya. Maka menurut saya tidak apa-apa juga jika hal itu dibuang saja. Sebab, mengingat sejarah awalnya, maka sekarang hal itu sudah tidak dibutuhkan lagi seperti itu. Tetapi apakah semua umat suka akan hal itu? Mungkin akan ada juga yang menolaknya, tidak mau menerima. Tetapi bagi saya, ada bunyi lonceng atau tidak, konsekrasi sudah dan sungguh terjadi. Alangkah agung dan hikmatnya jika peristiwa itu ditandai dengan sunyi. Tanpa direcoki dengan bunyi-bunyi yang tidak perlu sama sekali.
Bandung, 30 Agustus 2015
Dosen teologi biblis, FF-UNPAR Bandung.
Hari ini (tanggal artikel ini ditulis) pastor parokiku dalam kotbah hari Minggunya mengangkat sebuah kisah inspiratif dan menarik dari koleksi cerita Romo Anthony de Melo SJ. Diceritakan bahwa ada sebuah biara yang sudah sangat tua usianya tempat sejumlah biarawati berdiam. Dahulu kala sang pemimpin biara itu memelihara seekor kucing karena ia sangat suka dan bahkan sayang pada kucing. Saking sayangnya maka kucing itu selalu dekat dengan dia. Ke mana saja sang abdis pergi kucing itu selalu saja mengikuti dia dan duduk di sampingnya dengan tenang. Pokoknya kucing kesayangan itu tidak mau ketinggalan.
Konon, dikisahkan juga, bahwa setiap kali mereka mau doa malam, maka suster abdis itu meminta anak buahnya agar terlebih dahulu mengikat kucing itu agar kucing itu tidak nyelonong masuk ke dalam kapel dan berbunyi meong di sana saat para biarawati itu larut dalam doa yang kuhsyuk. Begitulah selalu yang terjadi dan dilakukan para biarawati itu. Kucing itu terlebih dahulu diikat sebelum para suster itu berdoa malam. Sampai pada suatu saat sang suster kepala biara itu pun meninggal dunia. Tetapi kucing kesayangannya itu masih ada. Maka kebiasaan itu terus berlanjut: mereka mengikat kucing sebelum berdoa malam. “Mengikat kucing” lalu seperti menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan sebelum berdoa malam. Maka tatkala kucing itu mati, mereka pun mencari kucing baru, agar ritual “mengikat kucing” tadi bisa dilanjutkan terus sekarang dan ke masa depan.
Lama kelamaan orang pun sudah lupa akan konteks dan tujuan semula dari hal “mengikat kucing” itu. Orang juga sudah lupa akan sang abdis pemilik dan penyayang kucing tadi. Tetapi kebiasaan “mengikat kucing” itu masih tetap hidup dan dipraktekkan di biara itu. Akhirnya kucing itu juga mati. Tetapi karena praktek “mengikat kucing” itu sudah kuat, maka para suster pun segera mencari seekor kucing baru untuk diikat sebelum mereka berdoa malam. Akhirnya hal “mengikat kucing” itu pun menjadi kebiasaan turun temurun tanpa mengetahui lagi konteks historis dan sejarahnya. Pokoknya hal itu tetap dijaga sebagai sebuah tradisi suci yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Kalau ditinggalkan maka orang akan ditimpa rasa bersalah terhadap sejarah dan juga terhadap tradisi suci itu sendiri.
Cerita tentang kucing ini serta-merta mengingatkan saya akan sebuah tradisi yang lain dalam gereja katolik, khususnya dalam perayaan ekaristi. Tradisi yang saya maksudkan ialah tradisi membunyikan lonceng pada saat konsekrasi. Sejauh penelusuran historis yang saya lakukan, konon pada mulanya di abad pertengahan ketika gereja mulai berkembang pesat dan mekar di Eropa, maka di gereja-gereja diadakan perayaan ekaristi. Saat itu ekaristi tidak diadakan setiap hari. Setidaknya umat beriman tidak bisa ikut perayaan ekaristi tiap hari. Ada tuntutan minimal: sekali setahun. Juga pada saat itu tidak otomatis semua orang boleh ikut menyambut tubuh dan darah kristus, seperti halnya sekarang ini. Ada orang yang karena terhalang oleh dosa berat terkena hukuman larangan ikut ekaristi selama bertahun-tahun (bdk peraturan Basilius mengenai penitentia itu). Kalau toh orang itu boleh ikut ekaristi secara lengkap, maka ia tetap tidak boleh menyambut komunio.
Gereja-gereja kuno di Eropa, khususnya yang ada dekat atau nempel dengan tembok biara tertentu juga ada sel-sel bagi para rahib yang dihukum tidak boleh ikut menerima komuni. Dalam konteks seperti itulah maka muncul sebuah praksis kesalehan, yaitu kalau toh tidak boleh menyambut tubuh Kristus setidaknya orang-orang hukuman itu boleh melihat saja Tubuh itu dari kejauhan. Apalagi pada saat itu ekaristi belum tentu bisa dirayakan setiap hari, atau setiap Minggu. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk perayaan ekaristi maka ada banyak sekali umat yang hadir. Gedung gereja yang biasanya berukuran besar pun tidak mampu menampung umat yang hadir. Apalagi misa dirayakan dalam bahasa Latin sebuah bahasa elit yang belum tentu dipahami oleh semua umat beriman. Karena itu, belum tentu umat yang hadir, yang buta huruf, belum tentu menyimak perjalanan upacara itu. Misalnya, kalau orang tidak mengerti bahasanya, maka orang tidak bisa tahu, sampai pada tahap mana perayaan Ekaristi itu sekarang.
Maka pada saat konsekrasi, sang imam di altar mengangkat hosti dan piala di atas altar. Itulah saat demonstratio, saat tubuh dan darah Tuhan ditunjuk kepada umat. Agar tidak ada umat yang tidak tahu akan peristiwa itu, dan agar peristiwa agung-mulia dan langka itu tidak terlewatkan begitu saja, maka peristiwa itu kemudian diberitahukan kepada umat dengan cara membunyikan lonceng kecil di dalam gereja (bukan lonceng utama yang besar yang biasanya terletak di luar gedung gereja, dalam menara tersendiri). Ketika mendengar bunyi lonceng itu maka umat yang hadir segera berdiam diri, mengambil sikap hormat dan hening lalu memandang ke arah altar. Di sana sang imam sedang mengangkat tubuh dan darah Kristus setinggi-tingginya agar bisa dilihat oleh semua umat yang hadir.
Bahkan Romo Tom Yakob (dosen teologi Ekaristi saya dulu di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta), dalam kuliah teologi ekaristi, pernah mengatakan bahwa bahkan dulu di abad pertengahan jika misa diadakan di sebuah lapangan besar, maka peristiwa konsekrasi itu diumumkan oleh tentara yang naik kuda. Itu disebabkan karena banyaknya umat yang ikut serta dalam perayaan ekaristi itu, dan luasnya tempat perayaan (karena dilakukan di ruang terbuka). Dalam keadaan seperti tidak semua orang secara otomatis bisa menyadari sepenuhnya akan apa yang terjadi. Coba bayangkan betapa ramainya di tengah lapangan terbuka itu. Bagi sebagian umat, hanya itulah kesempatan satu-satunya yang tersedia bagi mereka untuk memandang tubuh dan darah Kristus yang telah berubah wujud, sebab mereka tidak boleh menyambut komunio karena terhalang oleh dosa berat.
Kebiasaan itu berlanjut terus menerus dari waktu ke waktu hingga sekarang ini.
Sekarang kebiasaan membunyikan lonceng itu juga masih kita kenal. Bahkan di beberapa tempat dicampur lagi dengan bunyi gong (segi kelokalan; inkulturasi). Hanya sekarang terjadi sebuah pergeseran. Terkadang orang merasa saat bunyi lonceng itulah terjadi konsekrasi. Tentu saja menurut hemat saya, hal itu salah. Konsekrasi itu terjadi saat imam mengucapkan kata-kata konsekrasi itu dalam bingkai konstitusi ekaristi. Seharusnya, tanpa bunyi lonceng pengiring itu, mukjizat ekaristi tetap terjadi. Sebab bunyi itu hanyalah pengiring. Bukan inti pokoknya. Maka menurut saya tidak apa-apa juga jika hal itu dibuang saja. Sebab, mengingat sejarah awalnya, maka sekarang hal itu sudah tidak dibutuhkan lagi seperti itu. Tetapi apakah semua umat suka akan hal itu? Mungkin akan ada juga yang menolaknya, tidak mau menerima. Tetapi bagi saya, ada bunyi lonceng atau tidak, konsekrasi sudah dan sungguh terjadi. Alangkah agung dan hikmatnya jika peristiwa itu ditandai dengan sunyi. Tanpa direcoki dengan bunyi-bunyi yang tidak perlu sama sekali.
Bandung, 30 Agustus 2015
Dosen teologi biblis, FF-UNPAR Bandung.
Sabtu, 22 Oktober 2016
“TUNU”
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Pernahkah anda mendengar kata tunu? Mungkin cukup banyak pembaca menjawab: tidak pernah. Mungkin ada juga yang menjawab: pernah. Ya, kata tunu. Dalam tulisan singkat ini saya mau berbicara tentang kata tunu itu. Mungkin sebagian besar dari para pembaca saya sudah tidak mengetahui lagi kosa kata tunu ini. Tetapi para pembaca saya yang berasal dari Manggarai (Flores, Nusa Tenggara Timur) pasti mengenal kata ini. Bahkan mungkin sangat akrab di telinga dan hati mereka. Saya tidak tahu, boleh jadi ada juga suku bangsa lain di Indonesia yang mengenal kosa kata tunu ini dalam daftar kata bahasanya, entah apa pun artinya.
Selama ini saya selalu berpikir bahwa kata tunu adalah salah satu kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, daerah asal saya, bahasa ibu saya (mother tongue). Dalam kosa kata bahasa Manggarai, kata tunu itu mempunyai arti dan fungsi khusus. Arti kata tunu itu ialah membakar jagung. Tetapi jagung yang dibakar itu tidak harus dilepaskan kulit pembungkus luarnya. Alias, jagung itu harus dibakar sekaligus dengan kulitnya. Jadi, teknik membakar jagung lengkap dengan kulit luarnya (dalam bahasa Manggarai, kombak) disebut tunu. Hasilnya, disebut latung tunu (jagung yang dibakar sekaligus dengan kulitnya). Bentuk luarnya tentu tampak gosong kulitnya, tetapi isinya persis sama seperti jagung yang direbus atau dikukus (baik dengan kulit maupun tanpa kulit).
Dalam bahasa Manggarai kata tunu itu hanya bisa dipakai untuk jagung bakar-kulit saja (Jilis Verheijen 1967:662: membakar jagung dengan gelongsong, melajur, yaitu membakar batang bambu muda untuk kemudian diambil kulitnya untuk dipakai menganyam keranjang). Kalau jagung dibakar tanpa kulit, maka disebut tapa, dipakai kata tapa (Jilis Verheijen 1967:623). Kata tapa ini sangat umum, artinya membakar, dan ia bisa dipakai untuk apa saja. Misalnya, tapa tete (bakar ubi), tapa nuru (bakar atau panggang daging), tapa manuk (bakar ayam), tapa ela (bakar babi), tapa uma (bakar kebun), tapa satar (bakar padang), tapa utung (membakar sampah yang sudah ditumpuk terlebih dahulu), dst.
Tetapi pada hari ini, 21 Oktober 2016, saya berubah pikiran sama sekali. Ternyata kata tunu itu juga ada dalam kamus kota kata bahasa Indonesia. Selama ini saya hanya berpikir, itu adalah kosa kata bahasa Manggarai saja. Ada dua kamus bahasa Indonesia yagn saya pergunakan sebagai rujukan. Yaitu, pertama, kamus dari bapak J.W.S.Poerwadarminta. Kedua, kamus dari bapak Yus Badudu dan Mochamad Zain. Saya belum sempat mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (kiranya berafiliasi dengan Depdiknas). Dalam kedua kamus rujukan yang sudah saya sebut di atas tadi, ternyata kata tunu itu berarti membakar (Badudu, p.1560). selain arti membakar ini, Poerwadarminta masih memberi arti yang lain, yaitu menyalakan, memasang (Poerwadarminta, p.1109).
Oh ya, akhirnya saya bisa juga mengakses ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dalam bentuk e-book. Ternyata di sana pun ada kata tunu yang artinya membakar, menyalakan, mengobarkan (KBBI Depdiknas 2008:p.1758). jadi, ternyata kata tunu ini bukan hanya kosa kata Manggarai saja, melainkan juga ada dalam kosa kata bahasa Indonesia, dengan artian leksikal yang kurang lebih sama. Hanya saja, di Manggarai ada perbedaan sedikit. Memang ada arti dasar membakar, tetapi bukan sembarangan membakar, melainkan hanya membakar jagung, itupun harus sekaligus dengan kulitnya (sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraf di atas tadi).
Tetapi hal yang sangat menarik perhatian saya sendiri ialah fakta bahwa saya baru bisa menyadari hal ini karena saya sedang membaca Kitab Nahum salah satu kitab para nabi dalam Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama), hasil terjemahan Katolik (Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina Cicurug, cikal bakal LBI sekarang ini) yang diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah, Ende Flores, pada tahun 1973. Tetapi imprimatur untuk terbitan itu berasal dari tahun 1970. Mungkin itulah sebabnya edisi cetakan kitab suci ini dicetak masih dengan memakai ejaan lama (ejaan Suwandi). (Padahal ejaan baru yang disempurnakan, mulai diperkenalkan dan dipakai pada tahun 1972; jadi setahun sebelum tahun terbitnya edisi yang disebut di atas tadi). Kata tunu itu ada dalam teks Nahum 2:14: “....kereta-keretamu Kutunu jadi asap....” Kiranya akan sangat menarik kalau kita bisa mengetahui berapa kalikah kata tunu itu dipakai dalam terjemahan itu. Pada tahun 1976 terbitlah edisi Terjemahan Baru (TB) dengan terjemahan baru pula (pada tahun 1996 muncul edisi revisi terjemahan khusus untuk Perjanjian Baru yang secara teknis disebut TB2). Dalam edisi terjemahan baru 1976 ini sebagaimana yang kita pergunakan sekarang ini terbaca hasil terjemahan sbb: “Aku akan membakar keretamu menjadi asap.” (Nah 2:14). Yang di atas tadi dipakai kalimat berstruktur pasif. Sedangkan yang kedua dipakai kalimat berstruktur aktif. (Terus terang saja, saya belum sempat mengecek dan membandingkan dengan hasil terjemahan versi BIMK, Bahasa Indonesia Masa Kini; dulu pernah disebut BIS, Bahasa Indonesia Sehari-hari).
Dengan perubahan terjemahan ini, maka kata tunu hilang dari terjemahan kitab suci. Bahkan hilang dari pemakaian kita sehari-hari sehingga kita sekarang tidak begitu akrab dengan kata itu. syukurlah, kita masih memiliki kamus yang berfungsi sebagai semacam ruang penyimpanan kosa kata sehingga dia bisa menjadi semacam jembatan kultural yang menghubungkan kita di masa kini dengan sebuah ruang konteks pemakaian di masa silam.
Saya memang mempunyai hobby untuk membanding-bandingkan hasil terjemahan kitab suci ke dalam beberapa bahasa yang bisa saya mengerti. Semuanya itu saya lakukan dalam rangka proses belajar terus menerus bagi diri saya sendiri, juga sebagai ajang melakukan proyek penelitian teks itu sendiri. Terkadang dari hasil pembandingan itu, muncul sebuah pemahaman baru akan teks tertentu. Terkadang juga terjadi, bahwa dalam proses dinamika pembandingan itu terjadi suatu proses penyingkapan makna tertentu. Mungkin itulah yang dalam khasanah hermeneutik disebut reproduksi makna karena dan dalam proses membaca dan membaca (reading as a process of reproducing and reconstructing meaning). Dan hal seperti itu selalu mendatangkan perasaan puas dan sukacita. Terasa seperti kita sedang memasuki sebuah ruang penyimpanan makna yang sangat kaya, luas, dan sekaligus mendalam. (Oh ya sebagai penutup catatan ini, saya mau memberitahukan bahwa dalam terjemahan Nusa Indah yang sudah disebut di atas tadi, ada banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang aneh-aneh karena sudah tidak dipakai lagi, sudah dikenal lagi. Untuk bisa memahaminya kita harus membuka kamus. Tetapi dalam rangka memperbanyak kosa kata kita, ada baiknya kata-kata itu digali dan dipakai kembali. Kiranya ini adalah kerja para ahli bahasa agar tidak terjadi kepunahan kosa kata, menjadi sekadar fosil di dalam kamus-kamus belaka).
Bandung, Jalan Nias 2, 21 Oktober 2016.
Pernahkah anda mendengar kata tunu? Mungkin cukup banyak pembaca menjawab: tidak pernah. Mungkin ada juga yang menjawab: pernah. Ya, kata tunu. Dalam tulisan singkat ini saya mau berbicara tentang kata tunu itu. Mungkin sebagian besar dari para pembaca saya sudah tidak mengetahui lagi kosa kata tunu ini. Tetapi para pembaca saya yang berasal dari Manggarai (Flores, Nusa Tenggara Timur) pasti mengenal kata ini. Bahkan mungkin sangat akrab di telinga dan hati mereka. Saya tidak tahu, boleh jadi ada juga suku bangsa lain di Indonesia yang mengenal kosa kata tunu ini dalam daftar kata bahasanya, entah apa pun artinya.
Selama ini saya selalu berpikir bahwa kata tunu adalah salah satu kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, daerah asal saya, bahasa ibu saya (mother tongue). Dalam kosa kata bahasa Manggarai, kata tunu itu mempunyai arti dan fungsi khusus. Arti kata tunu itu ialah membakar jagung. Tetapi jagung yang dibakar itu tidak harus dilepaskan kulit pembungkus luarnya. Alias, jagung itu harus dibakar sekaligus dengan kulitnya. Jadi, teknik membakar jagung lengkap dengan kulit luarnya (dalam bahasa Manggarai, kombak) disebut tunu. Hasilnya, disebut latung tunu (jagung yang dibakar sekaligus dengan kulitnya). Bentuk luarnya tentu tampak gosong kulitnya, tetapi isinya persis sama seperti jagung yang direbus atau dikukus (baik dengan kulit maupun tanpa kulit).
Dalam bahasa Manggarai kata tunu itu hanya bisa dipakai untuk jagung bakar-kulit saja (Jilis Verheijen 1967:662: membakar jagung dengan gelongsong, melajur, yaitu membakar batang bambu muda untuk kemudian diambil kulitnya untuk dipakai menganyam keranjang). Kalau jagung dibakar tanpa kulit, maka disebut tapa, dipakai kata tapa (Jilis Verheijen 1967:623). Kata tapa ini sangat umum, artinya membakar, dan ia bisa dipakai untuk apa saja. Misalnya, tapa tete (bakar ubi), tapa nuru (bakar atau panggang daging), tapa manuk (bakar ayam), tapa ela (bakar babi), tapa uma (bakar kebun), tapa satar (bakar padang), tapa utung (membakar sampah yang sudah ditumpuk terlebih dahulu), dst.
Tetapi pada hari ini, 21 Oktober 2016, saya berubah pikiran sama sekali. Ternyata kata tunu itu juga ada dalam kamus kota kata bahasa Indonesia. Selama ini saya hanya berpikir, itu adalah kosa kata bahasa Manggarai saja. Ada dua kamus bahasa Indonesia yagn saya pergunakan sebagai rujukan. Yaitu, pertama, kamus dari bapak J.W.S.Poerwadarminta. Kedua, kamus dari bapak Yus Badudu dan Mochamad Zain. Saya belum sempat mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (kiranya berafiliasi dengan Depdiknas). Dalam kedua kamus rujukan yang sudah saya sebut di atas tadi, ternyata kata tunu itu berarti membakar (Badudu, p.1560). selain arti membakar ini, Poerwadarminta masih memberi arti yang lain, yaitu menyalakan, memasang (Poerwadarminta, p.1109).
Oh ya, akhirnya saya bisa juga mengakses ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dalam bentuk e-book. Ternyata di sana pun ada kata tunu yang artinya membakar, menyalakan, mengobarkan (KBBI Depdiknas 2008:p.1758). jadi, ternyata kata tunu ini bukan hanya kosa kata Manggarai saja, melainkan juga ada dalam kosa kata bahasa Indonesia, dengan artian leksikal yang kurang lebih sama. Hanya saja, di Manggarai ada perbedaan sedikit. Memang ada arti dasar membakar, tetapi bukan sembarangan membakar, melainkan hanya membakar jagung, itupun harus sekaligus dengan kulitnya (sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraf di atas tadi).
Tetapi hal yang sangat menarik perhatian saya sendiri ialah fakta bahwa saya baru bisa menyadari hal ini karena saya sedang membaca Kitab Nahum salah satu kitab para nabi dalam Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama), hasil terjemahan Katolik (Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina Cicurug, cikal bakal LBI sekarang ini) yang diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah, Ende Flores, pada tahun 1973. Tetapi imprimatur untuk terbitan itu berasal dari tahun 1970. Mungkin itulah sebabnya edisi cetakan kitab suci ini dicetak masih dengan memakai ejaan lama (ejaan Suwandi). (Padahal ejaan baru yang disempurnakan, mulai diperkenalkan dan dipakai pada tahun 1972; jadi setahun sebelum tahun terbitnya edisi yang disebut di atas tadi). Kata tunu itu ada dalam teks Nahum 2:14: “....kereta-keretamu Kutunu jadi asap....” Kiranya akan sangat menarik kalau kita bisa mengetahui berapa kalikah kata tunu itu dipakai dalam terjemahan itu. Pada tahun 1976 terbitlah edisi Terjemahan Baru (TB) dengan terjemahan baru pula (pada tahun 1996 muncul edisi revisi terjemahan khusus untuk Perjanjian Baru yang secara teknis disebut TB2). Dalam edisi terjemahan baru 1976 ini sebagaimana yang kita pergunakan sekarang ini terbaca hasil terjemahan sbb: “Aku akan membakar keretamu menjadi asap.” (Nah 2:14). Yang di atas tadi dipakai kalimat berstruktur pasif. Sedangkan yang kedua dipakai kalimat berstruktur aktif. (Terus terang saja, saya belum sempat mengecek dan membandingkan dengan hasil terjemahan versi BIMK, Bahasa Indonesia Masa Kini; dulu pernah disebut BIS, Bahasa Indonesia Sehari-hari).
Dengan perubahan terjemahan ini, maka kata tunu hilang dari terjemahan kitab suci. Bahkan hilang dari pemakaian kita sehari-hari sehingga kita sekarang tidak begitu akrab dengan kata itu. syukurlah, kita masih memiliki kamus yang berfungsi sebagai semacam ruang penyimpanan kosa kata sehingga dia bisa menjadi semacam jembatan kultural yang menghubungkan kita di masa kini dengan sebuah ruang konteks pemakaian di masa silam.
Saya memang mempunyai hobby untuk membanding-bandingkan hasil terjemahan kitab suci ke dalam beberapa bahasa yang bisa saya mengerti. Semuanya itu saya lakukan dalam rangka proses belajar terus menerus bagi diri saya sendiri, juga sebagai ajang melakukan proyek penelitian teks itu sendiri. Terkadang dari hasil pembandingan itu, muncul sebuah pemahaman baru akan teks tertentu. Terkadang juga terjadi, bahwa dalam proses dinamika pembandingan itu terjadi suatu proses penyingkapan makna tertentu. Mungkin itulah yang dalam khasanah hermeneutik disebut reproduksi makna karena dan dalam proses membaca dan membaca (reading as a process of reproducing and reconstructing meaning). Dan hal seperti itu selalu mendatangkan perasaan puas dan sukacita. Terasa seperti kita sedang memasuki sebuah ruang penyimpanan makna yang sangat kaya, luas, dan sekaligus mendalam. (Oh ya sebagai penutup catatan ini, saya mau memberitahukan bahwa dalam terjemahan Nusa Indah yang sudah disebut di atas tadi, ada banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang aneh-aneh karena sudah tidak dipakai lagi, sudah dikenal lagi. Untuk bisa memahaminya kita harus membuka kamus. Tetapi dalam rangka memperbanyak kosa kata kita, ada baiknya kata-kata itu digali dan dipakai kembali. Kiranya ini adalah kerja para ahli bahasa agar tidak terjadi kepunahan kosa kata, menjadi sekadar fosil di dalam kamus-kamus belaka).
Bandung, Jalan Nias 2, 21 Oktober 2016.
Rabu, 21 September 2016
WITU, LECEM, TEREP: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Pendahuluan
Mungkin selama ini kita menganggap remeh studi dan riset linguistik yang dilakukan oleh para ahli linguistik karena kita tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan dan kita tidak sungguh-sungguh menyadari apa kegunaan dan aplikasi praktis dari hasil studi mereka. Hal itu terjadi karena kita berjarak. Kita tidak tahu persis apa yang mereka kerjakan karena kita tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada hal itu. Tetapi sesungguhnya kita tidak dapat dan juga tidak boleh sama sekali menyepelekan studi dan penelitian di bidang linguistik yang dilakukan oleh para ahli. Sebab penelitian di bidang inipun bisa menghasilkan suatu temuan yang cemerlang dan tidak terduga-duga sama sekali, yang juga bisa memberi sumbangan besar terhadap ilmu, kebudayan, dan bahkan kemanusiaan itu sendiri.
Misalnya, hanya untuk menyebut salah satu contoh kongkret saja, hasil ketekunan studi dan penelitian linguistik yang telah dilakukan oleh pater Jilis Verheijen SVD selama ini di Manggarai. Walaupun dia hanya seorang pastor misionaris dan bukan seorang ahli linguistik profesional, tetapi dia telah melakukan penelitian dan studi terhadap gejala bahasa di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi orang-orang yang menaruh minat dan kepedulian besar terhadap antropologi, studi dari pater Verheijen itu amat penting dan mendasar. Misalnya, dari dan berdasarkan studi beliau tentang nama tetumbuhan di Manggarai, muncul sebuah kamus nama tetumbuhan (Verheijen 1982), dan kita juga dapat menemukan dua kategori temuan yang ajaib. Pertama, kita dapat menemukan nama kuno dari tetumbuhan tertentu; disebut nama kuno karena kini sudah dipakai lagi sebagai nama tetumbuhan, melainkan hanya sebagai nama tempat (toponim) saja. Kedua, dari dan berdasarkan studi itu kita juga dapat menyingkapkan nama tetumbuhan yang kini diduga sudah hilang atau punah, tetapi saat ini masih tetap dilestarikan sebagai nama tempat ataupun nama kampung tertentu. Contoh-contoh akan diberikan pada waktunya nanti.
Rekam Jejak Masa Silam Dalam Bahasa
Hal itu mungkin bisa terjadi karena kata Pater Verheijen (mungkin sekali karena berada di bawah bayang-bayang pengaruh filsafat Heideger tentang bahasa sebagai rumah ada, the house of being), di dalam bahasa-bahasa terekam dan tersimpan sejumlah data historis dari masa silam yang bisa menyingkapkan sesuatu tentang misteri masa silam itu bagi masa kini dan juga bagi masa depan (1982:34). Maka adalah mungkin kita bisa menemukan di dalam “rekaman” linguistik itu nama tetumbuhan yang kini sudah tidak lagi digunakan orang karena sudah ada nama baru yang lebih popular, tetapi popularitas nama baru itu sama sekali tidak menggusur nama lama, nama arkais (kuno) tadi. Dalam konteks bahasa-bahasa yang tidak mempunyai tradisi tertulis, dan juga tidak ada catatan-catatan tertulis (karena berbentuk tradisi lisan), seperti halnya di Manggarai, fakta dan proses kehilangan seperti itu hanya dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh kasus saja. Memang harus diakui bahwa semuanya ini masih sangat terbatas. Tetapi dari yang serba terbatas itu, kita masih bisa menyingkapkan masa silam dengan cukup baik.
Munandjar Widiyatmoko, dalam bukunya yang berjudul Cendana, dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur (2014:3-4) menyinggung mengenai kenyataan bahwa di masa silam cendana itu tumbuh di sebagian besar pulau-pulau utama di kawasan Nusa Tenggara Timur, seperti Flores, Sumba, Timor, Alor. Di sana kayu Cendana itu dikenal dengan pelbagai macam nama-nama lokal. Khususnya di Manggarai kayu itu dikenal dengan sebutan haju benge (Hemo 1987/1988:38). Tetapi akibat derap-laju perdagangan internasional, akhirnya kayu itu sudah hilang (punah) dari beberapa pulau utama di NTT dan kini hanya tinggal tersisa di Timor saja sehingga dewasa ini hanya pulau Timor saja yang dikenal sebagai pulau penghasil Cendana tersebut. Sedangkan pulau-pulau lain (Flores, Sumba, Alor) hanya tinggal sebuah kenangan historis dari masa silam belaka. Peristiwa tragika kepunahan yang terjadi di dalam sejarah masa silam Nusa Tenggara Timur, sesungguhnya tidak hanya menimpa nasib kayu Cendana saja. Masih ada cukup banyak jenis tetumbuhan, pepohonan lain yang pasti sudah mengalami nasib yang sama, hanya saja mungkin belum terungkapkan dalam sebuah studi, penelitian, maupun sekadar sebuah dokumentasi tertulis. Hal ini bisa saja masuk akal karena NTT, menurut Parimartha (2002:181-255;363-364), juga berada di kawasan jalur perdagangan laut internasional sejak dahulu hingga sekarang ini. Kayu cendana menjadi hilang (punah) dari beberapa pulau di NTT justru karena efek dari perdagangan internasional tersebut. Banyak orang datang untuk mencarinya, menebangnya dan mengangkutnya keluar untuk dipasarkan di pasar internasional, dengan meninggalkan di belakang pulau-pulau tandus, hamparan sabana dan stepa yang kering kerontang. Belum lagi kita memperhitungkan persoalan lain seperti perubahan musim ekstrem, maupun juga bencana alam seperti letusan gunung berapi, seperti letusan Tambora tahun 1815 yang sangat terkenal itu (Boers 1995:37-60), dan juga letusan-letusan gunung-gunung yang lain, yang memang ada sangat banyak di kawasan itu, sehingga orang mengenalnya juga dengan sebutan yang cukup serem, Ring of Fire (Cincin Api). Untuk menguak semuanya itu tentu saja dibutuhkan sebuah studi yang panjang dan mendalam. Semoga ada pakar lain yang tergerak untuk melakukan hal itu di waktu-waktu yang akan datang.
Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini, saya hanya akan mencoba menelusuri nama dari tiga tetumbuhan di Manggarai. Dari ketiga nama tersebut ada dua nama yang termasuk kategori pohon (haju) dan satu yang termasuk kategori rerumputan (remang). Ketiganya ialah, disebut menurut urutan kategori di atas tadi, Lecem, Terep, dan Witu. Tetapi dalam uraian saya di bawah ini, saya akan menempuh sebuah urutan terbalik, yaitu mulai dengan kategori rerumputan (Witu), baru sesudah itu saya mengulas mengenai kategori pohon (Lecem, Terep).
Witu, Werwitu
Pertama, kata Witu. Sejujurnya, saya harus akui dengan jujur dan berani bahwa sebelumnya saya tidak mengetahui kosa kata ini, apalagi sebagai nama sebuah rumput di Manggarai (dan mungkin di tempat lain, seperti di Ende, sebagaimana diinformasikan oleh pater Verheijen sendiri). Bahkan saya juga belum pernah mendengar nama tempat yang bernama Witu di Manggarai. Tetapi menurut hasil studi linguistik-botani-biologi dari pater Verheijen, Witu adalah nama rumput yang hilang dalam pemakaian bahasa sehari-hari di Manggarai. Boleh jadi rumputnya sendiri masih ada, tetapi dewasa ini rumput itu mungkin sudah dikenal atau disebut dengan nama yang lain. Mungkin sekarang ini orang Manggarai tidak tahu lagi bahwa dulu di tanah Manggarai ada sejenis rerumputan yang bernama Witu tetapi yang kini sudah punah, artinya secara fisik sudah tidak lagi ada bekasnya di Manggarai, tetapi eksistensinya terekap (tersimpan) secara linguistik dalam kata (bahasa). Entah apa sebabnya ia hilang atau punah. Tetapi adalah pater Jilis Verheijen svd yang bisa “menemukannya” lagi, dan membuktikan bahwa dulu rumput itu pernah ada dan hidup di Manggarai. Bagaimana caranya? Kita semua tahu bahwa Pater Verheijen mengumpulkan banyak cerita rakyat Manggarai, menyusun kamus bahasa Manggarai, menjadi peneliti flora dan fauna Manggarai (dalam hal ini ia tidak sendirian, melainkan ada juga rekannya sesama misionaris dari Eropa yaitu Pater Erwin Schmutzs svd, yang juga sudah menghasilkan sebuah karya monumental tentang botani Manggarai). Sesungguhnya kedua orang ini adalah pastor misionaris biasa belaka, tetapi mereka mempunyai minat dan perhatian khusus dalam bidang bahasa dan botani (Pater Verheijen untuk keduanya, sedangkan Pater Erwin Schmutzs khusus untuk bidang botani, tetumbuhan di Manggarai).
Dalam semua proses kegiatan penelitian inilah, pada suatu saat pater Verheijen menemukan sebuah kata dalam kosa kata Manggarai berupa sebuah nama tempat (geographical names, atau toponym). Tetapi hal yang sangat menarik ialah bahwa pada saat ia menemukannya, sesungguhnya ia tidak ketahui lagi arti dari kata itu, karena bahkan orang-orang setempat pun sudah tidak tahu lagi artinya. Misalnya ada tempat bernama Liang Witu (yang terletak di North Riwu? Atau Riwu Utara?), juga ada nama tempat Purang Witu (yang diduga terletak di Todo?). Ada juga nama tempat Werwitu (yang diduga terletak di Lambaleda?), yaitu Liang Witu yang artinya Gua yang bernama Witu. Purang Witu artinya Kubangan Kerbau yang bernama Witu. Yang agak membingungkan ialah nama tempat yang bernama Werwitu. Pater Verheijen, dalam studi ilmiahnya, menduga bahwa mungkin saja aslinya nama Werwitu itu ialah Wae Witu, tetapi yang dalam proses pengucapan yang dipersingkat dan terpeleset karena the split of the tongue (keseleo lidah), lalu lama kelamaan kemudian menjadi Werwitu. Jika dugaan ini benar maka mungkin saja kata Werwitu itu sesungguhnya berarti Sungai Witu, atau suatu tempat yang terletak di dekan Sungai yang bernama Witu.
Lalu pertanyaan berikutnya yang juga amat penting, dari mana dan atas dasar apa pater Verheijen yakin bahwa nama-nama tempat itu aslinya adalah nama sejenis rerumputan? Tentu saja tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi kiranya hal itu bisa dijawab dengan cara berikut ini. Pater Verheijen bisa menemukan hal itu lewat sebuah studi perbandingan linguistik (comparative linguistic) sederhana berdasarkan hasil kunjungan risetnya ke beberapa daerah lain di luar Manggarai. Kita tahu bahwa pater Verheijen juga melakukan perjalanan keliling di beberapa tempat di Pulau Flores (bahkan juga keluar pulau Flores, tetapi masih di kawasan Nusa Tenggara Timur), dalam rangka melakukan semacam studi perbandingan linguistik ringan dan sederhana. Misalnya di Ngadha dan Ende ia menemukan kata Witu dalam artian (nama sejenis) rumput, yang dalam bahasa Latin ilmiahnya disebut Saccharum spontaneum. Di East Sumba, rumput itu, selain disebut witu juga ada varian wicu, wucu, wusu. Di Sawu ada varian widu yang mungkin artinya ialah “rumput alang-alang” atau Imperata cylindrica. Di Dawan, Eban di WTimor ia menemukan juga witu untuk nama rumput yang dalam Latin disebut Oplismenus sp..
Atas dasar studi perbandingan sederhana itulah Pater Verheijen lalu berani menarik sebuah simpulkn bahwa, kata witu, yang tidak diketahui lagi artinya di Manggarai, tetapi yang tetap terekam dan tersimpan dalam dan sebagai nama tempat (toponim) di tempat lain, adalah nama sejenis tetumbuhan (rumput) dulu di Manggarai dan yang kini sudah hilang. Walaupun rumput itu sendiri kini sudah hilang (punah), tetapi keberadaannya secara historis masih terekam dan kini bisa ditemukan kembali sebagai sebuah kosa kata NTT (tidak hanya terbatas di Manggarai saja); kosa kata itu, dalam artian yang asli, kini masih bisa ditemukan juga di pelbagai tempat yang lain. Itulah yang saya maksudkan dengan keajaiban kata dan bahasa, yaitu mampu merekam dan menyimpan data dan fakta historis dari masa silam. Berdasarkan rekaman kosa kata Witu (sebagai sebuah nama tempat), kita bisa mengetahui bahwa di masa silam Manggarai, pernah ada sejenis rumput yang disebut Witu oleh orang setempat, dan yang kini sudah hilang.
Lesem, Lecem, Leseng, Leceng
Selain kata Witu yang sudah dijelaskan di atas tadi, pater Verheijen juga masih menemukan nama sejenis pohon buah-buahan yang juga kini sudah hilang alias tidak ada lagi di Manggarai. Tetapi namanya, dan di balik nama itu pasti ada eksistensinya juga, tetap disimpan secara abadi sebagai sebuah nama tempat (toponim, geographical name), yaitu persisnya sebagai nama sebuah Kampung. Nama kampung yang dimaksud ialah Lesem atau Lecem yang terletak di Cibal Utara. Saya juga harus mengakui dengan jujur bahwa saya tidak tahu jenis pohon yang bernama Lecem atau Leseng ini, maupun juga nama-nama variannya. Yang saya tahu hanya bahwa itu adalah nama sebuah kampung di Cibal utara. Konon ini adalah sejenis pohon buah-buahan liar yang tumbuh di hutan, tidak dibudi-dayakan oleh manusia. Pohon ini bernama Latin ilmiah Spondias malayana. Di Manggarai Barat dan Komodo pohon ini juga dikenal dengan nama yang sejenis identik yaitu leseng (Kmd: Komodo?); dan di Mw (Matawae?) pohon ini dikenal dengan nama atau sebutan Leceng. Hal yang amat menarik ialah fakta bahwa di dalam Kamus Manggarai dari pater Verheijen, kita tidak dapat menemukan kata Lecem ini. Sebaliknya, kita hanya bisa menemukan kata Letjeng (Leceng) saja. Di sana diberi keterangan berikut ini: Itu adalah nama buah dari sebuah pohon (Letjeng) yang buahnya terasa asam (kecut) (Verheijen 1967:278).
Di beberapa tempat lain kata yang identik sejenis itu sudah tidak lagi dikenal sebagai nama pohon melainkan lebih dikenal sebagai nama tempat atau kampung (toponim, geographical name). Begitu misalnya di Patjar (Pacar) dan di Riung barat ada kampung yang juga bernama Lesem dan di Cibal ada kampung yang juga bernama Lecem. Menurut pater Verheijen, saat dia bertanya tentang arti kata Lecem ini di Cibal atau di Riung, ternyata sudah tidak ada lagi orang setempat yang masih mengetahui arti nama lecem/lesem/leceng itu dalam bahasa lokal mereka. Begitu juga orang tidak lagi mengenal pohon yang bernama Lecem atau Lesem itu. Walaupun demikian, pater Verheijen tidak ragu sedikitpun untuk menyimpulkan bahwa nama pohon ini dulu pada suatu saat pernah dipakai di tempat-tempat tadi ketika pohon itu masih ada dan hidup di sana. Bahkan tempat atau kampung itu dikenal dan diberi nama demikian justru karena memang dulu di sana pernah tumbuh pohon Lesem. Memang untuk memastikan hal ini, masih harus dipelajari juga dengan teliti cara dan pola pemberian nama tempat dalam tradisi Manggarai. Tentu saja salah satu polanya ialah dengan mengaitkan tempat itu dengan pohon atau rumput apa yang tumbuh di atasnya. Pasti masih ada cara lain seperti penjelasan mitologis, atau penjelasan berdasarkan nama tokoh yang pernah berperan besar dalam sejarah masa silam di suatu tempat tertentu. Tetapi hal itu tidak akan dibahas lebih lanjut di sini. Semoga di lain kesempatan saya bisa membahasnya lagi secara ilmiah dan historis.
Jadi eksistensi pohon itu secara historis diabadikan dalam nama tempat (geographical names atau toponym) (Verheijen, 1984:37). Dalam catatan akhir pater Verheijen mengatakan bahwa tidak lama sesudah kebingungan dan ketidak-tahuan awali itu, di kampung Lecem Cibal Utara, ada orang yang kemudian mengaku bahwa dia mengenal pohon Lecem itu. Bagi Verheijen, klaim pengenalan itu sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa pohon itu sudah tidak ada lagi dalam fakta, juga tidak ada lagi bahkan dalam ingatan kolektif komunitas; eksistensi historisnya sekarang ini hanya terekam sebagai sebuah toponym belaka. Ia juga menambahkan sebuah informasi penting bahwa di Cibal ada sebuah kampung bernama Teni, tetapi tidak ada seorang pun di sana yang tahu bahwa teni itu sesungguhnya adalah nama sejenis tumbuhan yang termasuk kategori umbi-umbian (tuberous plant). Walau di Cibal khususnya di Teni sendiri, orang sudah tidak mengenal lagi teni itu sebagai umbi-umbian, tetapi Teni sebagai nama umbi-umbian masih dikenal di South Lamba-Leda (Verheijen 1984:78). Justru atas dasar temuan linguistitik perbandingan di Lamba-Leda itulah, Verheijen bisa memastikan mengenai arti Teni itu juga di tempat lain, termasuk di Cibal.
Terep (Teureup, Citeureup?)
Akhirnya saya juga mau berbicara tentang sebuah pohon yang bernama Terep. Pohon ini juga dulu sesungguhnya dikenal di Manggarai dan oleh orang-orang Manggarai, tetapi dengan sebuah nama lain yang akan dikatakan kemudian. Saya baru mengenal kata Terep ini sebagai nama pohon, setelah saya merantau ke Pulau Jawa (terutama Jawa Barat, Sunda) dan menemukan di sana ada tempat bernama ce-Terep dan itu dikaitkan secara jelas dengan nama sebuah pohon, yaitu Terep. Ketika saya masih di Manggarai dulu juga, setidaknya di daerah Cibal, saya sudah tahu ada nama sebuah kampung Terep, tetapi saya tidak mengetahui bahwa boleh jadi Terep itu dulunya adalah nama sebuah Pohon. Menurut keterangan dari pater Verheijen pohon Terep (kluwih, sukun) ini tumbuh di Manggarai pada ketinggian antara 100-700m dpl. (Verheijen 1984:34). Biji dari buah pohon kluwih atau sukun ini di Manggarai dulu biasa disangrai (cero, sero) dan dimakan. Biji yang sudah disangrai itu terasa sangat lezat seperti kacang tanah atau biji jambu mete. Getah pohonnya dipakai untuk macam-macam kegunaan antara lain untuk menjerat burung (roku). Juga dulu dipakai untuk menguatkan sambungan balok-balok rumah. Tetapi yang paling banyak digunakan ialah kulit pohon itu. Kulit pohon yang besar biasa dipakai untuk membuat langkok atau joreng atau cecer, yakni wadah raksasa (berbentuk melingkar, berdiameter minimal satu setengah meter) untuk menyimpan padi secara tradisional di Manggarai. Di beberapa tempat seperti di Matawae (Mw?), kulit pohon ini juga dipakai sebagai pembungkus (rokot) mayat. Juga di beberapa tempat untuk bahan pakaian dan tali. Mungkin juga kulit pohon itu diolah untuk menjadi zat pewarna alami untuk dipakai dalam dunia pertenunan tradisional Manggarai.
Entah bagaimana proses terjadinya, tetapi kini di banyak tempat di Manggarai pohon ini dikenal dengan nama yang lain (nama baru) Lale. Bahkan kata lale ini pernah diabadikan sebagai nama lain (alias) untuk Manggarai, bahkan mungkin juga itu adalah nama asli Manggarai, Nusa Lale, yang artinya Pulau Lale (Nunca, Nuca Lale; disebut dengan nama seperti itu barangkali karena di sana ada banyak pohon lale di masa yang silam; Verheijen 1967:393). Tetapi fakta bahwa di beberapa tempat, misalnya di Cibal ada sebuah kampung yang bernama Terep, bagi pater Verheijen, itu adalah bukti dan pertanda historis yang cukup memadai bahwa dulu kosa kata Terep ini juga pernah dikenal di Manggarai. Kata atau nama terep (teureup) inilah yang paling banyak dikenal dan ditemukan di beberapa kawasan Nusantara ini (Erb 1999:60). Hanya Manggarai sendiri saja, kata Erb, yang memakai kata Lale untuk pohon yang di mana-mana di Nusantara disebut Terep. Hanya tetap menjadi sebuah misteri besar ialah mengapa dan bagaimana kata atau nama Terep itu bisa hilang di Manggarai sebagai nama pohon lalu sebagai gantinya muncul nama atau sebutan Lale.
Di bawah ini bisa diberikan beberapa kemungkinan penjelasan hipotetis untuk menjelaskan hal itu. Pertama, mungkin sekali nama Lale itu adalah sebuah nama bawaan suku-suku pendatang tertentu (kaum imigrant), lalu nama Lale itu lambat laun menjadi nama tempat seperti Lale Lombong dekat Perang, Deket dan Pana itu. Memang secara nyata di tempat itu sekarang dan juga di sekitarnya tumbuh pohon Lale, walaupun kini sudah terancam punah juga karena kayunya banyak ditebang, sebab memang kayunya termasuk kategori kayu yang kuat dan keras. Jika penjelasan hipotesis ini diterima maka harus diandaikan bahwa para pendatang itu pasti berasal dari tempat yang jauh yang tidak memakai kata Terep untuk menyebut nama pohon tadi, tetapi memakai kata Lale untuk menyebut nama pohon itu. Ssesungguhnya, saya harus dengan berani mengatakan bahwa hipotesis ini agak sulit dibuktikan dan diterima, kalau lebih lanjut diselidiki dari manakah asal-usul para imigran itu, sehingga mereka tidak mengenal kata Terep itu, melainkan hanya mengenal kata Lale, padahal kata Terep dipakai secara meluas dan hampir merata di seluruh kawasan nusantara. Atau kedua, mungkin aslinya dulu di banyak tempat nama pohon itu adalah Terep, tetapi karena di tempat itu pohon Terep tadi punah maka orang tidak lagi mengenalnya, dan sebagai gantinya orang lebih mengenal nama Lale apalagi nama Lale itu kini diabadikan menjadi Nusa Lale, sehingga nama ini menjadi jauh lebih populer dari pada Terep di dalam pemakaian sehari-hari orang Manggarai dan juga dalam ingatan kolektif historis mereka itu.
Saya juga harus mengakui dengan jujur dan berani bahwa kedua penjelasan hipotetik ini pun belum sepenuhnya bisa menyingkap misteri perubahan dari Terep ke Lale, mengingat kenyataan bahwa hanya Manggarai sendiri saja yang mengenal Lale itu, sementara tempat-tempat lain, tidak mengenal kata itu. Atau boleh jadi, kata Lale itu memang adalah kata asli Manggarai dan bukan bawaan kaum imigran. Jika ini benar, maka mungkin kita harus memikirkan ulang mengenai hipotesis tentang asal-usul sebagian suku Manggarai yang konon berasal dari luar (imigran). Boleh jadi nama Lale itu berasal dari orang-orang Manggarai “asli” yang tidak berasal dari luar, melainkan sudah ada di sana sejak jaman purbakala. Entahlah. Semoga di masa-masa yang akan datang, dengan studi perbandingan linguistik historis yang jauh lebih baik kiranya ada para peneliti muda Manggarai yang bisa menyingkapkan hal ini. Lagi-lagi dalam kasus Terep ini pun kita juga menemukan dan menyadari sebuah fakta bahwa kata dan bahasa mampu merekam data dan fakta historis dari masa silam, sesuatu yang sangat berguna sebagai informasi historis untuk masa kini dan masa depan.
The Angry Earth: Sebuah konklusi ekologis
Di atas tadi sudah diberikan studi singkat atas fenomena beberapa kata atau nama tempat di Manggarai, yang sesungguhnya merupakan nama tetumbuhan tertentu (pohon dan rerumputan). Tetapi kini tetumbuhan itu tidak ada lagi (untuk witu dan lesem) atau nama tetumbuhan itu lebih populer dikenal dengan nama lain (untuk terep). Perlu diinsafi bahwa selama ini aktifitas ekonomis Manggarai, selain pertanian dan peternakan berskala kecil, hanya berupa perdagangan. Dalam rangka itu, hasil bumi dan alam alam diambil oleh manusia untuk perdagangan dan juga untuk konsumsi hidup manusia sehari-hari. Tetapi skala dampak ekologis dari aktifitas itu kiranya tidak seberapa, walaupun tetap ada dampak ekologis berupa punahnya beberapa nama tetumbuhan atau flora. Bahkan mungkin dulu di Manggarai juga ada cendana, yang dikenal dengan sebutan haju benge (Hemo 1987/88:35-36). Tetapi kini pohon itu sudah punah sama sekali karena ekpsploitasi sebagai side efek dari lalu lintas perdagangan internasional yang suka atau tidak suka juga merambah ke kawasan Nusa Tenggara itu (Parimartha 2013; Pelras 2006).
Coba bayangkan sekarang kalau aktifitas ekonomis itu adalah berupa aksi eksplorasi pertambangan yang brutal dan massal. Berapakah yang akan terancam hilang dan punah? Kiranya yang terancam punah bukan lagi hanya sekadar flora dan fauna saja. Kelak di masa yang akan datang, yang ikut terancam punah dan hilang adalah manusia itu sendiri. Sebab manusia juga hidup di dalam dan bersama Flora dan Fauna itu, dan bahkan kalau mau jujur dan rendah hati manusia itu adalah bagian utuh dari flora dan fauna itu juga. Kalau flora dan faunanya musnah maka tidak lama lagi manusianya pun akan hilang dan punah juga. Tinggal tunggu waktu saja. Itulah sebabnya dalam judul tulisan saya ini, saya mengingatkan kita semua akan sebuah kesadaran ekologis baru. Saya sungguh-sungguh berharap agar nama-nama pohon dan rerumputan yang kini hilang itu (sebagaimana sudah dijelaskan di atas tadi), tetapi yang kini masih tersimpan dalam ruang dan daya rekam kata dan bahasa, kiranya bisa membangkitkan kesadaran ekologis kita semua.
Rekaman linguistik itu jelas menyimpan sebuah bencana historis di masa silam bagi kita sekarang ini. Diharapkan agar rekaman linguistik historis itu, kiranya bisa membangkitkan kesadaran kita akan bencana ekologis di masa yang akan datang jika kita tidak berhati-hati dalam merawat ibu bumi kita sendiri. Ingat bahwa dalam ritual kesuburan asli orang Manggarai, bumi ini disebut Ende Wa (har. Ibu yang di Bawah, alias bumi dan segala isinya) dengan pasangan Ema Eta (har. Bapa yang di Atas, yaitu langit, matahari) (Verheijen 1991:41-42; Erb 1999:22). Jika kita tidak memperlakukan Ende Wa ini dengan baik, maka bukan tidak mungkin bahwa Ema Eta akan menjadi marah dan kemarahan itu akan mendatangkan bencana ekologis bagi semua makhluk hidup yang terlahir dari rahim pertiwi ini, seperti disarankan oleh Anthony Oliver-Smith and Susanna M.Hoffman (editor), yang mengedit dan menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Angry Earth (Bumi yang Murka). Reaksi bumi mungkin tidak hanya marah. Leonardo Boff menyarankan suatu reaksi yang lain: Bumi bisa juga menangis. Dan tangis bumi menurut Boff adalah tangis orang Miskin. The Cry of Earth, Cry of the Poor. Mari kita menjaga agar jangan sampai Ibu Pertiwi, Bunda Bumi, menangis dan marah kepada kita. Sebab kita yakin, sebagaimana pernah dikidungkan Fransiskus dalam Gita Sang Surya-nya yang terkenal itu, Ibu Bumilah yang memberi kita makan dan kehidupan.
Bibliografi:
Andaya, Leonard Y.,
2013 (2004). Warisan Arung Palaka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17.
Makassar: Ininnawa.
Boers, Bernice de Jong,
1995. “Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its
Aftermath,” in Indonesia No.60 (Oct., 1995), pp.37-60.
Boers, Bernice de Jong and Helius Sjamsuddin,
2012. Letusan Gunung Tambora 1815. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Boff, Leonardo,
1997. Cry of the Earth, Cry of the Poor. Maryknoll, New York: Orbis Books.
Erb, Maribeth,
1999. The Manggaraians, A Guide to Traditional Lifestyles, Singapore: Times
Edition.
Hemo, Doroteus,
1987/88. Sejarah Daerah Manggarai. Ruteng: Tanpa Penerbit.
Mboi, Ben,
2010. Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Oliver-Smith, Anthony and Susanna M.Hoffman (eds),
1999. The Angry Earth. Disaster in Anthropological Perspevtive. New York and
London: Routledge.
Parimartha, I Gde,
2002. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara, 1815-1915. Jakarta: KITLV-
Djambatan.
Pelras, Christian,
2006. Manusia Bugis, Jakarta: Nalar (Forum Jakarta-Paris).
Schmutz, Erwin,
1977-1980. Die Flora der Manggarai. in 5 volumes, private mimeographed
edition, arranged after families, not paginated; about 800 pages.
Toda, Dami N.,
1999. Manggarai, Mencari Pencerahan Historiografi, Ende-Flores: Nusah
Indah.
Verheijen, Jilis,
1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-KITLV.
Verheijen, Jilis,
1967. Kamus Manggarai 1, Manggarai – Indonesia, ‘S-Gravenhage: KITLV,
Martinus Njihoff.
Verheijen, Jilis,
1982, Dictionary of Manggarai Plant Names, Pacific Linguistics Series D,
No.43, Canbera: Australian National University.
Verheijen, Jilis A.J.,
1984. “Plant Names in Austronesian Linguistics.” In NUSA, Linguistic Studies
of Indonesian and Other Languages in Indonesia, volume 20, 1984.
Widiyatmoko, Munandjar,
2014 (2007). Cendana dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kolese Ignatius Kota Baru Yogyakarta, April 2015
Tulisan ini dibuat berdasarkan informasi dari beberapa karya tulis pater Verheijen svd.
Pendahuluan
Mungkin selama ini kita menganggap remeh studi dan riset linguistik yang dilakukan oleh para ahli linguistik karena kita tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan dan kita tidak sungguh-sungguh menyadari apa kegunaan dan aplikasi praktis dari hasil studi mereka. Hal itu terjadi karena kita berjarak. Kita tidak tahu persis apa yang mereka kerjakan karena kita tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada hal itu. Tetapi sesungguhnya kita tidak dapat dan juga tidak boleh sama sekali menyepelekan studi dan penelitian di bidang linguistik yang dilakukan oleh para ahli. Sebab penelitian di bidang inipun bisa menghasilkan suatu temuan yang cemerlang dan tidak terduga-duga sama sekali, yang juga bisa memberi sumbangan besar terhadap ilmu, kebudayan, dan bahkan kemanusiaan itu sendiri.
Misalnya, hanya untuk menyebut salah satu contoh kongkret saja, hasil ketekunan studi dan penelitian linguistik yang telah dilakukan oleh pater Jilis Verheijen SVD selama ini di Manggarai. Walaupun dia hanya seorang pastor misionaris dan bukan seorang ahli linguistik profesional, tetapi dia telah melakukan penelitian dan studi terhadap gejala bahasa di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi orang-orang yang menaruh minat dan kepedulian besar terhadap antropologi, studi dari pater Verheijen itu amat penting dan mendasar. Misalnya, dari dan berdasarkan studi beliau tentang nama tetumbuhan di Manggarai, muncul sebuah kamus nama tetumbuhan (Verheijen 1982), dan kita juga dapat menemukan dua kategori temuan yang ajaib. Pertama, kita dapat menemukan nama kuno dari tetumbuhan tertentu; disebut nama kuno karena kini sudah dipakai lagi sebagai nama tetumbuhan, melainkan hanya sebagai nama tempat (toponim) saja. Kedua, dari dan berdasarkan studi itu kita juga dapat menyingkapkan nama tetumbuhan yang kini diduga sudah hilang atau punah, tetapi saat ini masih tetap dilestarikan sebagai nama tempat ataupun nama kampung tertentu. Contoh-contoh akan diberikan pada waktunya nanti.
Rekam Jejak Masa Silam Dalam Bahasa
Hal itu mungkin bisa terjadi karena kata Pater Verheijen (mungkin sekali karena berada di bawah bayang-bayang pengaruh filsafat Heideger tentang bahasa sebagai rumah ada, the house of being), di dalam bahasa-bahasa terekam dan tersimpan sejumlah data historis dari masa silam yang bisa menyingkapkan sesuatu tentang misteri masa silam itu bagi masa kini dan juga bagi masa depan (1982:34). Maka adalah mungkin kita bisa menemukan di dalam “rekaman” linguistik itu nama tetumbuhan yang kini sudah tidak lagi digunakan orang karena sudah ada nama baru yang lebih popular, tetapi popularitas nama baru itu sama sekali tidak menggusur nama lama, nama arkais (kuno) tadi. Dalam konteks bahasa-bahasa yang tidak mempunyai tradisi tertulis, dan juga tidak ada catatan-catatan tertulis (karena berbentuk tradisi lisan), seperti halnya di Manggarai, fakta dan proses kehilangan seperti itu hanya dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh kasus saja. Memang harus diakui bahwa semuanya ini masih sangat terbatas. Tetapi dari yang serba terbatas itu, kita masih bisa menyingkapkan masa silam dengan cukup baik.
Munandjar Widiyatmoko, dalam bukunya yang berjudul Cendana, dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur (2014:3-4) menyinggung mengenai kenyataan bahwa di masa silam cendana itu tumbuh di sebagian besar pulau-pulau utama di kawasan Nusa Tenggara Timur, seperti Flores, Sumba, Timor, Alor. Di sana kayu Cendana itu dikenal dengan pelbagai macam nama-nama lokal. Khususnya di Manggarai kayu itu dikenal dengan sebutan haju benge (Hemo 1987/1988:38). Tetapi akibat derap-laju perdagangan internasional, akhirnya kayu itu sudah hilang (punah) dari beberapa pulau utama di NTT dan kini hanya tinggal tersisa di Timor saja sehingga dewasa ini hanya pulau Timor saja yang dikenal sebagai pulau penghasil Cendana tersebut. Sedangkan pulau-pulau lain (Flores, Sumba, Alor) hanya tinggal sebuah kenangan historis dari masa silam belaka. Peristiwa tragika kepunahan yang terjadi di dalam sejarah masa silam Nusa Tenggara Timur, sesungguhnya tidak hanya menimpa nasib kayu Cendana saja. Masih ada cukup banyak jenis tetumbuhan, pepohonan lain yang pasti sudah mengalami nasib yang sama, hanya saja mungkin belum terungkapkan dalam sebuah studi, penelitian, maupun sekadar sebuah dokumentasi tertulis. Hal ini bisa saja masuk akal karena NTT, menurut Parimartha (2002:181-255;363-364), juga berada di kawasan jalur perdagangan laut internasional sejak dahulu hingga sekarang ini. Kayu cendana menjadi hilang (punah) dari beberapa pulau di NTT justru karena efek dari perdagangan internasional tersebut. Banyak orang datang untuk mencarinya, menebangnya dan mengangkutnya keluar untuk dipasarkan di pasar internasional, dengan meninggalkan di belakang pulau-pulau tandus, hamparan sabana dan stepa yang kering kerontang. Belum lagi kita memperhitungkan persoalan lain seperti perubahan musim ekstrem, maupun juga bencana alam seperti letusan gunung berapi, seperti letusan Tambora tahun 1815 yang sangat terkenal itu (Boers 1995:37-60), dan juga letusan-letusan gunung-gunung yang lain, yang memang ada sangat banyak di kawasan itu, sehingga orang mengenalnya juga dengan sebutan yang cukup serem, Ring of Fire (Cincin Api). Untuk menguak semuanya itu tentu saja dibutuhkan sebuah studi yang panjang dan mendalam. Semoga ada pakar lain yang tergerak untuk melakukan hal itu di waktu-waktu yang akan datang.
Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini, saya hanya akan mencoba menelusuri nama dari tiga tetumbuhan di Manggarai. Dari ketiga nama tersebut ada dua nama yang termasuk kategori pohon (haju) dan satu yang termasuk kategori rerumputan (remang). Ketiganya ialah, disebut menurut urutan kategori di atas tadi, Lecem, Terep, dan Witu. Tetapi dalam uraian saya di bawah ini, saya akan menempuh sebuah urutan terbalik, yaitu mulai dengan kategori rerumputan (Witu), baru sesudah itu saya mengulas mengenai kategori pohon (Lecem, Terep).
Witu, Werwitu
Pertama, kata Witu. Sejujurnya, saya harus akui dengan jujur dan berani bahwa sebelumnya saya tidak mengetahui kosa kata ini, apalagi sebagai nama sebuah rumput di Manggarai (dan mungkin di tempat lain, seperti di Ende, sebagaimana diinformasikan oleh pater Verheijen sendiri). Bahkan saya juga belum pernah mendengar nama tempat yang bernama Witu di Manggarai. Tetapi menurut hasil studi linguistik-botani-biologi dari pater Verheijen, Witu adalah nama rumput yang hilang dalam pemakaian bahasa sehari-hari di Manggarai. Boleh jadi rumputnya sendiri masih ada, tetapi dewasa ini rumput itu mungkin sudah dikenal atau disebut dengan nama yang lain. Mungkin sekarang ini orang Manggarai tidak tahu lagi bahwa dulu di tanah Manggarai ada sejenis rerumputan yang bernama Witu tetapi yang kini sudah punah, artinya secara fisik sudah tidak lagi ada bekasnya di Manggarai, tetapi eksistensinya terekap (tersimpan) secara linguistik dalam kata (bahasa). Entah apa sebabnya ia hilang atau punah. Tetapi adalah pater Jilis Verheijen svd yang bisa “menemukannya” lagi, dan membuktikan bahwa dulu rumput itu pernah ada dan hidup di Manggarai. Bagaimana caranya? Kita semua tahu bahwa Pater Verheijen mengumpulkan banyak cerita rakyat Manggarai, menyusun kamus bahasa Manggarai, menjadi peneliti flora dan fauna Manggarai (dalam hal ini ia tidak sendirian, melainkan ada juga rekannya sesama misionaris dari Eropa yaitu Pater Erwin Schmutzs svd, yang juga sudah menghasilkan sebuah karya monumental tentang botani Manggarai). Sesungguhnya kedua orang ini adalah pastor misionaris biasa belaka, tetapi mereka mempunyai minat dan perhatian khusus dalam bidang bahasa dan botani (Pater Verheijen untuk keduanya, sedangkan Pater Erwin Schmutzs khusus untuk bidang botani, tetumbuhan di Manggarai).
Dalam semua proses kegiatan penelitian inilah, pada suatu saat pater Verheijen menemukan sebuah kata dalam kosa kata Manggarai berupa sebuah nama tempat (geographical names, atau toponym). Tetapi hal yang sangat menarik ialah bahwa pada saat ia menemukannya, sesungguhnya ia tidak ketahui lagi arti dari kata itu, karena bahkan orang-orang setempat pun sudah tidak tahu lagi artinya. Misalnya ada tempat bernama Liang Witu (yang terletak di North Riwu? Atau Riwu Utara?), juga ada nama tempat Purang Witu (yang diduga terletak di Todo?). Ada juga nama tempat Werwitu (yang diduga terletak di Lambaleda?), yaitu Liang Witu yang artinya Gua yang bernama Witu. Purang Witu artinya Kubangan Kerbau yang bernama Witu. Yang agak membingungkan ialah nama tempat yang bernama Werwitu. Pater Verheijen, dalam studi ilmiahnya, menduga bahwa mungkin saja aslinya nama Werwitu itu ialah Wae Witu, tetapi yang dalam proses pengucapan yang dipersingkat dan terpeleset karena the split of the tongue (keseleo lidah), lalu lama kelamaan kemudian menjadi Werwitu. Jika dugaan ini benar maka mungkin saja kata Werwitu itu sesungguhnya berarti Sungai Witu, atau suatu tempat yang terletak di dekan Sungai yang bernama Witu.
Lalu pertanyaan berikutnya yang juga amat penting, dari mana dan atas dasar apa pater Verheijen yakin bahwa nama-nama tempat itu aslinya adalah nama sejenis rerumputan? Tentu saja tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi kiranya hal itu bisa dijawab dengan cara berikut ini. Pater Verheijen bisa menemukan hal itu lewat sebuah studi perbandingan linguistik (comparative linguistic) sederhana berdasarkan hasil kunjungan risetnya ke beberapa daerah lain di luar Manggarai. Kita tahu bahwa pater Verheijen juga melakukan perjalanan keliling di beberapa tempat di Pulau Flores (bahkan juga keluar pulau Flores, tetapi masih di kawasan Nusa Tenggara Timur), dalam rangka melakukan semacam studi perbandingan linguistik ringan dan sederhana. Misalnya di Ngadha dan Ende ia menemukan kata Witu dalam artian (nama sejenis) rumput, yang dalam bahasa Latin ilmiahnya disebut Saccharum spontaneum. Di East Sumba, rumput itu, selain disebut witu juga ada varian wicu, wucu, wusu. Di Sawu ada varian widu yang mungkin artinya ialah “rumput alang-alang” atau Imperata cylindrica. Di Dawan, Eban di WTimor ia menemukan juga witu untuk nama rumput yang dalam Latin disebut Oplismenus sp..
Atas dasar studi perbandingan sederhana itulah Pater Verheijen lalu berani menarik sebuah simpulkn bahwa, kata witu, yang tidak diketahui lagi artinya di Manggarai, tetapi yang tetap terekam dan tersimpan dalam dan sebagai nama tempat (toponim) di tempat lain, adalah nama sejenis tetumbuhan (rumput) dulu di Manggarai dan yang kini sudah hilang. Walaupun rumput itu sendiri kini sudah hilang (punah), tetapi keberadaannya secara historis masih terekam dan kini bisa ditemukan kembali sebagai sebuah kosa kata NTT (tidak hanya terbatas di Manggarai saja); kosa kata itu, dalam artian yang asli, kini masih bisa ditemukan juga di pelbagai tempat yang lain. Itulah yang saya maksudkan dengan keajaiban kata dan bahasa, yaitu mampu merekam dan menyimpan data dan fakta historis dari masa silam. Berdasarkan rekaman kosa kata Witu (sebagai sebuah nama tempat), kita bisa mengetahui bahwa di masa silam Manggarai, pernah ada sejenis rumput yang disebut Witu oleh orang setempat, dan yang kini sudah hilang.
Lesem, Lecem, Leseng, Leceng
Selain kata Witu yang sudah dijelaskan di atas tadi, pater Verheijen juga masih menemukan nama sejenis pohon buah-buahan yang juga kini sudah hilang alias tidak ada lagi di Manggarai. Tetapi namanya, dan di balik nama itu pasti ada eksistensinya juga, tetap disimpan secara abadi sebagai sebuah nama tempat (toponim, geographical name), yaitu persisnya sebagai nama sebuah Kampung. Nama kampung yang dimaksud ialah Lesem atau Lecem yang terletak di Cibal Utara. Saya juga harus mengakui dengan jujur bahwa saya tidak tahu jenis pohon yang bernama Lecem atau Leseng ini, maupun juga nama-nama variannya. Yang saya tahu hanya bahwa itu adalah nama sebuah kampung di Cibal utara. Konon ini adalah sejenis pohon buah-buahan liar yang tumbuh di hutan, tidak dibudi-dayakan oleh manusia. Pohon ini bernama Latin ilmiah Spondias malayana. Di Manggarai Barat dan Komodo pohon ini juga dikenal dengan nama yang sejenis identik yaitu leseng (Kmd: Komodo?); dan di Mw (Matawae?) pohon ini dikenal dengan nama atau sebutan Leceng. Hal yang amat menarik ialah fakta bahwa di dalam Kamus Manggarai dari pater Verheijen, kita tidak dapat menemukan kata Lecem ini. Sebaliknya, kita hanya bisa menemukan kata Letjeng (Leceng) saja. Di sana diberi keterangan berikut ini: Itu adalah nama buah dari sebuah pohon (Letjeng) yang buahnya terasa asam (kecut) (Verheijen 1967:278).
Di beberapa tempat lain kata yang identik sejenis itu sudah tidak lagi dikenal sebagai nama pohon melainkan lebih dikenal sebagai nama tempat atau kampung (toponim, geographical name). Begitu misalnya di Patjar (Pacar) dan di Riung barat ada kampung yang juga bernama Lesem dan di Cibal ada kampung yang juga bernama Lecem. Menurut pater Verheijen, saat dia bertanya tentang arti kata Lecem ini di Cibal atau di Riung, ternyata sudah tidak ada lagi orang setempat yang masih mengetahui arti nama lecem/lesem/leceng itu dalam bahasa lokal mereka. Begitu juga orang tidak lagi mengenal pohon yang bernama Lecem atau Lesem itu. Walaupun demikian, pater Verheijen tidak ragu sedikitpun untuk menyimpulkan bahwa nama pohon ini dulu pada suatu saat pernah dipakai di tempat-tempat tadi ketika pohon itu masih ada dan hidup di sana. Bahkan tempat atau kampung itu dikenal dan diberi nama demikian justru karena memang dulu di sana pernah tumbuh pohon Lesem. Memang untuk memastikan hal ini, masih harus dipelajari juga dengan teliti cara dan pola pemberian nama tempat dalam tradisi Manggarai. Tentu saja salah satu polanya ialah dengan mengaitkan tempat itu dengan pohon atau rumput apa yang tumbuh di atasnya. Pasti masih ada cara lain seperti penjelasan mitologis, atau penjelasan berdasarkan nama tokoh yang pernah berperan besar dalam sejarah masa silam di suatu tempat tertentu. Tetapi hal itu tidak akan dibahas lebih lanjut di sini. Semoga di lain kesempatan saya bisa membahasnya lagi secara ilmiah dan historis.
Jadi eksistensi pohon itu secara historis diabadikan dalam nama tempat (geographical names atau toponym) (Verheijen, 1984:37). Dalam catatan akhir pater Verheijen mengatakan bahwa tidak lama sesudah kebingungan dan ketidak-tahuan awali itu, di kampung Lecem Cibal Utara, ada orang yang kemudian mengaku bahwa dia mengenal pohon Lecem itu. Bagi Verheijen, klaim pengenalan itu sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa pohon itu sudah tidak ada lagi dalam fakta, juga tidak ada lagi bahkan dalam ingatan kolektif komunitas; eksistensi historisnya sekarang ini hanya terekam sebagai sebuah toponym belaka. Ia juga menambahkan sebuah informasi penting bahwa di Cibal ada sebuah kampung bernama Teni, tetapi tidak ada seorang pun di sana yang tahu bahwa teni itu sesungguhnya adalah nama sejenis tumbuhan yang termasuk kategori umbi-umbian (tuberous plant). Walau di Cibal khususnya di Teni sendiri, orang sudah tidak mengenal lagi teni itu sebagai umbi-umbian, tetapi Teni sebagai nama umbi-umbian masih dikenal di South Lamba-Leda (Verheijen 1984:78). Justru atas dasar temuan linguistitik perbandingan di Lamba-Leda itulah, Verheijen bisa memastikan mengenai arti Teni itu juga di tempat lain, termasuk di Cibal.
Terep (Teureup, Citeureup?)
Akhirnya saya juga mau berbicara tentang sebuah pohon yang bernama Terep. Pohon ini juga dulu sesungguhnya dikenal di Manggarai dan oleh orang-orang Manggarai, tetapi dengan sebuah nama lain yang akan dikatakan kemudian. Saya baru mengenal kata Terep ini sebagai nama pohon, setelah saya merantau ke Pulau Jawa (terutama Jawa Barat, Sunda) dan menemukan di sana ada tempat bernama ce-Terep dan itu dikaitkan secara jelas dengan nama sebuah pohon, yaitu Terep. Ketika saya masih di Manggarai dulu juga, setidaknya di daerah Cibal, saya sudah tahu ada nama sebuah kampung Terep, tetapi saya tidak mengetahui bahwa boleh jadi Terep itu dulunya adalah nama sebuah Pohon. Menurut keterangan dari pater Verheijen pohon Terep (kluwih, sukun) ini tumbuh di Manggarai pada ketinggian antara 100-700m dpl. (Verheijen 1984:34). Biji dari buah pohon kluwih atau sukun ini di Manggarai dulu biasa disangrai (cero, sero) dan dimakan. Biji yang sudah disangrai itu terasa sangat lezat seperti kacang tanah atau biji jambu mete. Getah pohonnya dipakai untuk macam-macam kegunaan antara lain untuk menjerat burung (roku). Juga dulu dipakai untuk menguatkan sambungan balok-balok rumah. Tetapi yang paling banyak digunakan ialah kulit pohon itu. Kulit pohon yang besar biasa dipakai untuk membuat langkok atau joreng atau cecer, yakni wadah raksasa (berbentuk melingkar, berdiameter minimal satu setengah meter) untuk menyimpan padi secara tradisional di Manggarai. Di beberapa tempat seperti di Matawae (Mw?), kulit pohon ini juga dipakai sebagai pembungkus (rokot) mayat. Juga di beberapa tempat untuk bahan pakaian dan tali. Mungkin juga kulit pohon itu diolah untuk menjadi zat pewarna alami untuk dipakai dalam dunia pertenunan tradisional Manggarai.
Entah bagaimana proses terjadinya, tetapi kini di banyak tempat di Manggarai pohon ini dikenal dengan nama yang lain (nama baru) Lale. Bahkan kata lale ini pernah diabadikan sebagai nama lain (alias) untuk Manggarai, bahkan mungkin juga itu adalah nama asli Manggarai, Nusa Lale, yang artinya Pulau Lale (Nunca, Nuca Lale; disebut dengan nama seperti itu barangkali karena di sana ada banyak pohon lale di masa yang silam; Verheijen 1967:393). Tetapi fakta bahwa di beberapa tempat, misalnya di Cibal ada sebuah kampung yang bernama Terep, bagi pater Verheijen, itu adalah bukti dan pertanda historis yang cukup memadai bahwa dulu kosa kata Terep ini juga pernah dikenal di Manggarai. Kata atau nama terep (teureup) inilah yang paling banyak dikenal dan ditemukan di beberapa kawasan Nusantara ini (Erb 1999:60). Hanya Manggarai sendiri saja, kata Erb, yang memakai kata Lale untuk pohon yang di mana-mana di Nusantara disebut Terep. Hanya tetap menjadi sebuah misteri besar ialah mengapa dan bagaimana kata atau nama Terep itu bisa hilang di Manggarai sebagai nama pohon lalu sebagai gantinya muncul nama atau sebutan Lale.
Di bawah ini bisa diberikan beberapa kemungkinan penjelasan hipotetis untuk menjelaskan hal itu. Pertama, mungkin sekali nama Lale itu adalah sebuah nama bawaan suku-suku pendatang tertentu (kaum imigrant), lalu nama Lale itu lambat laun menjadi nama tempat seperti Lale Lombong dekat Perang, Deket dan Pana itu. Memang secara nyata di tempat itu sekarang dan juga di sekitarnya tumbuh pohon Lale, walaupun kini sudah terancam punah juga karena kayunya banyak ditebang, sebab memang kayunya termasuk kategori kayu yang kuat dan keras. Jika penjelasan hipotesis ini diterima maka harus diandaikan bahwa para pendatang itu pasti berasal dari tempat yang jauh yang tidak memakai kata Terep untuk menyebut nama pohon tadi, tetapi memakai kata Lale untuk menyebut nama pohon itu. Ssesungguhnya, saya harus dengan berani mengatakan bahwa hipotesis ini agak sulit dibuktikan dan diterima, kalau lebih lanjut diselidiki dari manakah asal-usul para imigran itu, sehingga mereka tidak mengenal kata Terep itu, melainkan hanya mengenal kata Lale, padahal kata Terep dipakai secara meluas dan hampir merata di seluruh kawasan nusantara. Atau kedua, mungkin aslinya dulu di banyak tempat nama pohon itu adalah Terep, tetapi karena di tempat itu pohon Terep tadi punah maka orang tidak lagi mengenalnya, dan sebagai gantinya orang lebih mengenal nama Lale apalagi nama Lale itu kini diabadikan menjadi Nusa Lale, sehingga nama ini menjadi jauh lebih populer dari pada Terep di dalam pemakaian sehari-hari orang Manggarai dan juga dalam ingatan kolektif historis mereka itu.
Saya juga harus mengakui dengan jujur dan berani bahwa kedua penjelasan hipotetik ini pun belum sepenuhnya bisa menyingkap misteri perubahan dari Terep ke Lale, mengingat kenyataan bahwa hanya Manggarai sendiri saja yang mengenal Lale itu, sementara tempat-tempat lain, tidak mengenal kata itu. Atau boleh jadi, kata Lale itu memang adalah kata asli Manggarai dan bukan bawaan kaum imigran. Jika ini benar, maka mungkin kita harus memikirkan ulang mengenai hipotesis tentang asal-usul sebagian suku Manggarai yang konon berasal dari luar (imigran). Boleh jadi nama Lale itu berasal dari orang-orang Manggarai “asli” yang tidak berasal dari luar, melainkan sudah ada di sana sejak jaman purbakala. Entahlah. Semoga di masa-masa yang akan datang, dengan studi perbandingan linguistik historis yang jauh lebih baik kiranya ada para peneliti muda Manggarai yang bisa menyingkapkan hal ini. Lagi-lagi dalam kasus Terep ini pun kita juga menemukan dan menyadari sebuah fakta bahwa kata dan bahasa mampu merekam data dan fakta historis dari masa silam, sesuatu yang sangat berguna sebagai informasi historis untuk masa kini dan masa depan.
The Angry Earth: Sebuah konklusi ekologis
Di atas tadi sudah diberikan studi singkat atas fenomena beberapa kata atau nama tempat di Manggarai, yang sesungguhnya merupakan nama tetumbuhan tertentu (pohon dan rerumputan). Tetapi kini tetumbuhan itu tidak ada lagi (untuk witu dan lesem) atau nama tetumbuhan itu lebih populer dikenal dengan nama lain (untuk terep). Perlu diinsafi bahwa selama ini aktifitas ekonomis Manggarai, selain pertanian dan peternakan berskala kecil, hanya berupa perdagangan. Dalam rangka itu, hasil bumi dan alam alam diambil oleh manusia untuk perdagangan dan juga untuk konsumsi hidup manusia sehari-hari. Tetapi skala dampak ekologis dari aktifitas itu kiranya tidak seberapa, walaupun tetap ada dampak ekologis berupa punahnya beberapa nama tetumbuhan atau flora. Bahkan mungkin dulu di Manggarai juga ada cendana, yang dikenal dengan sebutan haju benge (Hemo 1987/88:35-36). Tetapi kini pohon itu sudah punah sama sekali karena ekpsploitasi sebagai side efek dari lalu lintas perdagangan internasional yang suka atau tidak suka juga merambah ke kawasan Nusa Tenggara itu (Parimartha 2013; Pelras 2006).
Coba bayangkan sekarang kalau aktifitas ekonomis itu adalah berupa aksi eksplorasi pertambangan yang brutal dan massal. Berapakah yang akan terancam hilang dan punah? Kiranya yang terancam punah bukan lagi hanya sekadar flora dan fauna saja. Kelak di masa yang akan datang, yang ikut terancam punah dan hilang adalah manusia itu sendiri. Sebab manusia juga hidup di dalam dan bersama Flora dan Fauna itu, dan bahkan kalau mau jujur dan rendah hati manusia itu adalah bagian utuh dari flora dan fauna itu juga. Kalau flora dan faunanya musnah maka tidak lama lagi manusianya pun akan hilang dan punah juga. Tinggal tunggu waktu saja. Itulah sebabnya dalam judul tulisan saya ini, saya mengingatkan kita semua akan sebuah kesadaran ekologis baru. Saya sungguh-sungguh berharap agar nama-nama pohon dan rerumputan yang kini hilang itu (sebagaimana sudah dijelaskan di atas tadi), tetapi yang kini masih tersimpan dalam ruang dan daya rekam kata dan bahasa, kiranya bisa membangkitkan kesadaran ekologis kita semua.
Rekaman linguistik itu jelas menyimpan sebuah bencana historis di masa silam bagi kita sekarang ini. Diharapkan agar rekaman linguistik historis itu, kiranya bisa membangkitkan kesadaran kita akan bencana ekologis di masa yang akan datang jika kita tidak berhati-hati dalam merawat ibu bumi kita sendiri. Ingat bahwa dalam ritual kesuburan asli orang Manggarai, bumi ini disebut Ende Wa (har. Ibu yang di Bawah, alias bumi dan segala isinya) dengan pasangan Ema Eta (har. Bapa yang di Atas, yaitu langit, matahari) (Verheijen 1991:41-42; Erb 1999:22). Jika kita tidak memperlakukan Ende Wa ini dengan baik, maka bukan tidak mungkin bahwa Ema Eta akan menjadi marah dan kemarahan itu akan mendatangkan bencana ekologis bagi semua makhluk hidup yang terlahir dari rahim pertiwi ini, seperti disarankan oleh Anthony Oliver-Smith and Susanna M.Hoffman (editor), yang mengedit dan menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Angry Earth (Bumi yang Murka). Reaksi bumi mungkin tidak hanya marah. Leonardo Boff menyarankan suatu reaksi yang lain: Bumi bisa juga menangis. Dan tangis bumi menurut Boff adalah tangis orang Miskin. The Cry of Earth, Cry of the Poor. Mari kita menjaga agar jangan sampai Ibu Pertiwi, Bunda Bumi, menangis dan marah kepada kita. Sebab kita yakin, sebagaimana pernah dikidungkan Fransiskus dalam Gita Sang Surya-nya yang terkenal itu, Ibu Bumilah yang memberi kita makan dan kehidupan.
Bibliografi:
Andaya, Leonard Y.,
2013 (2004). Warisan Arung Palaka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17.
Makassar: Ininnawa.
Boers, Bernice de Jong,
1995. “Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its
Aftermath,” in Indonesia No.60 (Oct., 1995), pp.37-60.
Boers, Bernice de Jong and Helius Sjamsuddin,
2012. Letusan Gunung Tambora 1815. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Boff, Leonardo,
1997. Cry of the Earth, Cry of the Poor. Maryknoll, New York: Orbis Books.
Erb, Maribeth,
1999. The Manggaraians, A Guide to Traditional Lifestyles, Singapore: Times
Edition.
Hemo, Doroteus,
1987/88. Sejarah Daerah Manggarai. Ruteng: Tanpa Penerbit.
Mboi, Ben,
2010. Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Oliver-Smith, Anthony and Susanna M.Hoffman (eds),
1999. The Angry Earth. Disaster in Anthropological Perspevtive. New York and
London: Routledge.
Parimartha, I Gde,
2002. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara, 1815-1915. Jakarta: KITLV-
Djambatan.
Pelras, Christian,
2006. Manusia Bugis, Jakarta: Nalar (Forum Jakarta-Paris).
Schmutz, Erwin,
1977-1980. Die Flora der Manggarai. in 5 volumes, private mimeographed
edition, arranged after families, not paginated; about 800 pages.
Toda, Dami N.,
1999. Manggarai, Mencari Pencerahan Historiografi, Ende-Flores: Nusah
Indah.
Verheijen, Jilis,
1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-KITLV.
Verheijen, Jilis,
1967. Kamus Manggarai 1, Manggarai – Indonesia, ‘S-Gravenhage: KITLV,
Martinus Njihoff.
Verheijen, Jilis,
1982, Dictionary of Manggarai Plant Names, Pacific Linguistics Series D,
No.43, Canbera: Australian National University.
Verheijen, Jilis A.J.,
1984. “Plant Names in Austronesian Linguistics.” In NUSA, Linguistic Studies
of Indonesian and Other Languages in Indonesia, volume 20, 1984.
Widiyatmoko, Munandjar,
2014 (2007). Cendana dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kolese Ignatius Kota Baru Yogyakarta, April 2015
Tulisan ini dibuat berdasarkan informasi dari beberapa karya tulis pater Verheijen svd.
Langganan:
Postingan (Atom)