Oleh: Fransiskus Borgias M.
Kemarin saya membaca dalam sebuah tabloid online Papua, TABLOIDJUBI. Ada seorang pakar Linguistik yang bernama Andreas Deda. Ia menulis tentang gejala punahnya beberapa bahasa lokal di Papua karena tergerus oleh arus modernisasi yang dibawa oleh orang-orang Luar, baik itu Eropah maupun bagian lain dari Indonesia. Ternyata kepunahan bahasa itu berefek mengerikan dalam bingkai rencana pembangunan masyarakat setempat. Untuk mempertegas tesisnya itu, ia lalu memberi dua contoh: Pertama, kasus banjir bandang di Wasior. Ternyata dalam bahasa Biak kata wasior itu artinya ialah tempat yang masih basah atau tempat yang belum kering karena di sana ada banyak air, atau sesewaktu bisa saja akan datang air dalam jumlah yang banyak (banjir). Oleh karena itu, tempat itu sangat rawan untuk dihuni. Nama tempat itu telah diberi oleh para petualang Biak di masa silam. Tetapi dewasa ini orang sudah tidak tahu lagi arti etimologis wasior itu dan membangun perumahan transmigran di sana. Kita semua tahu tragedi banjir tahun lalu yang menimpa daerah itu, menyapu bersih jejak pembangunan yang ada di sana. Kedua, ia juga masih beri contoh lain: ada sebuah perumnas di Waena, Padang Bulan yang pada tahun 2000 lalu tiba-tiba terendam banjir. Nama asli tempat itu Rebali dari bahasa lokal Sentani. Rebali itu sendiri terdiri atas dua kata: Re, artinya rawa-rawa, ebeli: panjatkan atau secara harfiah berarti tertinggal. Di sana di tempat itu ada sungai kecil, wi yobi yang artinya sungai nenek moyang. Jadi, rebali ialah nenek moyang yang tertinggal sebagai rawa-rawa. Menarik sekali penelitian si pakar linguistik ini.
Bagaimana dengan di Manggarai? Toponim (nama tempat: dari bahasa Yunani: onoma, nama, topos, tempat) di pelbagai belahan dunia, termasuk di Manggarai pasti juga berdasarkan hasil pengamatan manusia-manusia dulu atas gejala-gejala alam yang sudah dan mungkin selalu akan terjadi di sana. Saya berpendapat bahwa dalam kebijakan pembangunan kita di suatu tempat, kita harus memperhatikan semua gejala bahasa toponim itu agar pembangunan tidak menjadi sia-sia. Salah satu proyek mercusuar Manggarai dulu ialah pembangunan sebuah menara yang sangat tinggi di puncak gunung Ranaka. Sekarang mungkin hal itu sudah ditinggalkan, karena masalah Anaka (Anak Ranaka), padahal pembangunannya sudah mendatangkan bencana ekologis yang sangat besar: misalnya pemusnahan hutan alami untuk membangun jalan ke puncak itu. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah bisa saya terima sejak awal, tetapi siapalah saya saat itu dulu bahkan juga sekarang ini. Padahal nenek moyang kita sudah memberi nama tempat itu RANAKA. Secara etimologis Ranaka terdiri atas dua kata yaitu RANA dan KA. Rana artinya DANAU, dan Ka berarti burung gagak. Tetapi yg terpenting di sini bukan burungnya, melainkan warna burung itu, yaitu hitam. Jadi, Rana-Ka pada dasarnya berarti Danau Hitam. Danau Hitam itu mungkin erat terkait dengan gejala alam kawah gunung api di masa silam.
Setelah Ranaka meletus secara mengejutkan pada bulan Januari 1988 silam (mengejutkan karena gunung itu sama sekali tidak menampakkan gejala sebagai gunung berapi karena hutannya yang sangat hijau dan lebat), muncullah Anaka. Sejak saat itu, lalu muncul sebuah nama lama dan nama itu menjadi sangat populer dan bahkan menjadi judul sebuah lagu: NAMPAR NOS. Jelas orang-orang dulu (baca: nenek moyang) memberi nama tempat itu (toponim) karena di sana sudah terjadi sesuatu di tempat itu. Ada gejala asap keluar dari sana, dan hal itu menyebabkan dinding cadas (nampar) yang ada di sana berubah warna menjadi gosong (nos). Jadi, toponim itu sendiri sudah memberitahukan sesuatu atau pesan tertentu kepada kita sekarang dan di sini. Tetapi kita biasanya melupakan begitu saja fenomena toponim itu. Padahal aktifitas toponim adalah juga dimaksudkan sebagai salah satu cara berkomunikasi dari manusia di masa silam (leluhur) kepada kita sekarang ini.
Khusus di MABAR. Pemda Mabar sekarang sedang gencar-gencarnya membangun dan mengembangkan SANO NGGOANG sebagai sebuah tempat pariwisata alam, air panas. Tentu saja hal itu sangat menyenangkan. Derap kemajuan pembangunan semakin maju sampai ke pelosok-pelosok MABAR. Luar biasa. Tetapi jangan sampai dilupakan bahwa nenek moyang kita di masa silam telah memberi nama kepada tempat itu SANO NGGOANG. Kata Sano berarti Danau, Nggoang, berarti Bernyala-nyala, atau berpijar-pijar. Sekali lagi saya menegaskan bahwa toponim menyimpan pasti sebuah pesan terselubung. Toponim ini adalah sebentuk komunikasi dari mereka (para leluhur) kepada kita. Entahlah. Saya tidak tahu di mana persisnya terjadi NGGOANG itu di masa silam. Mungkin seluruhnya. Mungkin untuk mengetahui hal ini kita harus tanya, harus meneliti lagi dengan cermat, kaum penduduk setempat, mengenai tabu-tabu yang mungkin masih hidup sehubungan dengan mitologi Sano-Nggoang itu. Pasti tabu-tabu itu juga memberitahukan sesuatu, bahkan bisa juga menubuatkan sesuatu. Dan tabu-tabu itu perlu diperhatikan secara detail dalam prospek pengembangan dan pembangunan pariwisata di tempat itu agar tidak menjadi bencana nantinya di kemudian hari.
Satu lagi: ULUMBU. Saya akrab sekali dengan nama tempat ini, karena dulu di masa kecil saya sering sekali mendengar nama ini dan pernah juga pergi ke sana, ketika Papi saya mengajar sebagai guru SD di Wewo yang terletak tidak terlalu jauh dari Ulumbu itu. Ingatan yang saya rekam dari masa kecil itu, sampai sekarang ini masih sangat kuat terbayang-bayang. Sering sekali saya juga sangat terganggu karena bau belerang yang terpancar keluar dari sana, sebab bisa tercium sampai ke Wewo bahkan sampai ke Ponggeok. Apa artinya ULUMBU? Dalam analisis saya, kata itu dapat diturunkan dari dua akar kata: ULU dan Mbu. Ulu artinya: Mata air (ulu wae), walaupun bisa juga berarti Kepala. Mbu: adalah onomatope yang meniru bunyi air yang sedang bumbuluak keluar dari dalam tanah. Memang itulah yang terjadi di sana. Ada ulu yang selalu mbu-mbu-mbu terus sepanjang waktu. Bahkan dulu waktu saya kecil, sebenarnya di beberapa tempat ada beberapa ulu yang selalu mbu-mbu seperti itu. Saya masih ingat, papa saya sering mengajak saya pergi ke ulumbu untuk mencari jambu yang memang tumbuh subur di sana. Tetapi kami harus berjalan berhati-hati untuk menghindari beberapa tempat yang basah dan kadang-kadang terlihat sedang bumbuluak juga tentu dengan bau belerang yang sangat kuat.
Tentu masih ada banyak toponim lain di Manggarai yang menyimpan pesan dan menyampaikan sebuah nubuat bagi kita sekarang. Saya menulis tentang hal ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk sekadar mengingatkan kita semua, bahwa kita tidak pernah boleh mengabaikan toponim yang ada, sebab toponim itu mengandung makna tertentu. Melalui toponim nenek moyang kita bermaksud menyimpan satu kebenaran sejarah, dan bermaksud juga menyampaikan sebuah kebenaran sejarah juga di dalamnya. Ketika kita bermaksud membangun sesuatu di suatu tempat, kita tidak pernah boleh mengabaikan begitu saja toponim yang ada. Mungkin pendapat saya ini boleh jadi keliru, tetapi melihat paling tidak beberapa contoh yang sudah saya kemukakan di atas tadi, kiranya kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja kebenaran tersebut. Tentu contoh-contoh seperti ini masih bisa diperpanjang dengan data lain dari tempat lain di seluruh Indonesia atau bahkan dari seluruh dunia. Mungkin ada yang bisa memberi contoh lain mengenai arti penting toponim itu, dan bahwa toponim itu jangan sampai kita abaikan.
Yogya, 27 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar