OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
TEOLOG DAN PENELITI CCRS
(Center for Cultural and Religious Studies)
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG
(Koordinator, korektor Proyek Penerjemahan KBB Manggarai)
Ruteng, 06 September 2009
Sekelumit Sejarah
Saya mulai dihubungi oleh Pak Tensi pada pertengahan tahun 2006. Saya ditugaskan mencari orang atau membentuk tim penerjemahan. Setelah mencari ke sana ke mari akhirnya saya mendapat seorang ibu muda, Fransiska Daima Mur. Semula ia ragu-ragu, tetapi karena ia didukung penuh oleh suaminya, Konstantinus Nobal, maka ia pun memberanikan diri. Kemudian terpilih juga salah satu pembaca dua, yaitu Arnoldus Dembo. Setelah tim terbentuk maka proyek ini bisa mulai berjalan pada awal tahun 2007. Juni, seluruh proyek selesai. Maka pertemuan koreksi dan revisi diadakan pada pertengahan Juli 2007. Namun sesungguhnya koreksi dan Revisi berjalan terus sampai tahun 2008. Buku terbit pada tahun 2009 ini.
Tantangan Kultural
Ketika dihubungi Tensi untuk mengerjakan proyek ini, saya merasa ini sebuah tugas yang amat berat. Saya takut untuk menerima tantangan itu. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa tugas ini sebagai sebuah tantangan kultural yang luar biasa besar dan manfaatnya bagi diri saya sendiri dan juga bagi Manggarai. Oleh karena itu, saya pun menerimanya. Perlu diketahui bahwa sejak masih di Seminari Kecil dulu saya sudah mempunyai minat yang besar dan kuat akan pelbagai persoalan budaya Manggarai. Hal itu berlangsung terus ketika kuliah Filsafat dan Teologi di Jakarta dan Yogya. Sejak saat itu saya terus menulis dan mengadakan penelitian tentang Manggarai. Salah satu hasilnya ialah: saya menulis sebuah artikel tentang “Nama-nama orang Manggarai” yang dimuat dalam Majalah Bulanan Kebudayaan, Basis tahun 1991.
Minat dan perhatian saya akan kebudayaan Manggarai tidak pernah berhenti apalagi sampai padam. Malah minat dan perhatian itu tumbuh semakin kuat dan mendalam. Hingga saat ini saya masih banyak menulis banyak catatan lepas tentang Manggarai. Itulah sebabnya saya mempunyai Blog sendiri untuk kebudayaan Manggarai. Saya beri nama blog itu: atamanggarai.blogspot.com. Di sanalah saya membeberkan kajian saya tentang Manggarai, semacam Manggarain studies. Ketika saya mendapat kesempatan untuk belajar teologi di negeri Belanda beberapa tahun silam, saya tergerak untuk mulai menyusun sebuah kamus bahasa Manggarai. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang ini. Saat ini saya masih mencoba menyelesaikan taraf pengumpulan kosa kata (entry), seraya mencoba menyusun artinya. Sampai sekarang ini saya baru sampai pada tahap memberi arti sinonim dan memberi contoh-contoh pemakaian dalam kalimat. Sementara itu saya juga mencoba menyusun antonimnya.
Di tengah kesibukan itulah, tiba-tiba muncul tawaran untuk menerjemahkan KBB ini ke dalam bahasa Manggarai. Jadi ada semacam faktor kebetulan: Saya lagi menyibukkan diri dengan Manggarai, malah mendapat kesempatan untuk menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa Manggarai. Oleh karena itu, saya mendapat banyak kesempatan istimewa untuk memperdalam dan memperluas kosa kata Bahasa Manggarai yang sedang saya susun itu. Oleh karena itu terima kasih banyak kepada LAI yang telah memberi saya kesempatan ini.
Tonggak kebudayaan
Saya anggap penerbitan buku ini merupakan sebuah tonggak historis kebudayaan yang teramat besar bagi Manggarai. Mengapa saya berani mengatakan seperti itu? Sebab sampai sekarang ini dokumen tertulis dalam bahasa Manggarai dan tentang Manggarai masih sangat langka, apalagi yang menyangkut kitab suci, liturgi, teologi, dan wacana kegerejaan dan keagamaan lainnya.
Pada tahun 60-an, memang sudah terbit Buku Dere Serani. Puji Tuhan atas eksperimen yang sangat berani itu. Pada kurun waktu yang kurang lebih sama terbit juga buku Surak Ngaji Manggarai (Eme Toe Manga Tuang Pastor). Ini juga sebuah terobosan yang luar biasa berarti bagi pencapaian-pencapaian kebudayaan Manggarai.
Sekitar kurun waktu itu juga terbitlah banyak manuskrip dari Pater Jilis Verheijen SVD. Judulnya: Manggaraian Texts. Kalau saya tidak salah, kumpulan itu mencapai enambelas jilid. Suatu kerja dan ketekunan yang luar biasa.
Juga ada terjemahan-terjemahan teks injil untuk dibacakan pada Hari Minggu. Saya masih ingat bahwa dulu orang membacakan injil dalam bahasa Manggarai, dan kotbah pun dalam bahasa Manggarai.
Saya yakin, di tangan para peneliti dan pencinta kebudayaan Manggarai masih tersimpan banyak manuskrip ataupun dokumen yang ditulis dalam bahasa Manggarai dan juga tentang Manggarai.
Selain yang sudah disebutkan di atas tadi, mungkin belum ada banyak. Sekarang ini, sedang gencar-gencarnya program terjemahan PB ke dalam Bahasa Manggarai.
Kalau dilihat dengan kacamata tinjauan historis seperti ini, jelas terjemahan KBB ini merupakan sebuah tonggak besar juga dalam sejarah perkembangan kebudayaan Manggarai. Tonggak ini amat penting. Oleh karena itu, kami berusaha sedapat mungkin mengerjakan terjemahan ini dengan semampu kami. Walau tidak kami sangkal bahwa di sana-sini pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Tetapi hal itu tidak mengurangi eksistensi buku ini sebagai sebuah tonggak sejarah dan tonggak kebudayaan Manggarai.
Maribeth Erb: Vanishing Cultures…
Pada akhir tahun 2008, saya mendapat buku yang ditulis oleh Maribeth Erb. Maribeth Erb ini adalah seorang antropolog yang meneliti kebudayaan Manggarai pada tahun 1980-an. Untuk itu ia menetap di beberapa daerah di Manggarai ini. Pernah ia menetap di Mukun, dan karena itu kalau tidak salah ia kemudian menikah dengan Pater Mucek. Ia juga pernah menetap di Todo. Tetapi dari kedua basis itu ia berjalan berkeliling di seluruh Manggarai: Ke Cibal, Ke Rekas, Ke Lembor, Ke Warloka, ke Ruteng tentu saja. Ia sangat mengagumi dan mencintai kebudayaan Manggarai.
Tetapi mengapa saya menyinggung dia di sini? Karena beberapa tahun silam (1999), ia menulis buku yang judul serialnya bagi saya amat menyedihkan: Vanishing Cultures of the World. Artinya “Kebudayaan-kebudayaan Dunia yang sedang dalam proses kepunahan.” Dalam proses sirna dari panggung bumi, panggung sejarah. Artinya kebudayaan Manggarai dianggap sedang dalam proses menuju kepunahan. Tetapi judul di atas tadi adalah judul serial buku. Erb sendiri sangat tidak setuju dengan judul serial itu, tetapi ia harus tunduk kepada permintaan kepala yang menerbitkan Serial Vanishing Cultures of the World itu. Judul yang persisnya dari karya Erb ialah: The Manggaraians A Guide to Traditional Lifestyles. Saya sendiri, sangat tidak setuju dengan pendapat Serial itu. Sebab menurut hemat saya, sesungguhnya tidak ada kebudayaan di dunia ini yang punah begitu saja. Yang terjadi menurut saya ialah semacam proses metamorfosis, proses pergeseran dari bentuk lama ke bentuk perwujudan baru. Sebab menurut seorang pemikir di bidang Agama yang bernama Edward Burnett Tylor, dalam proses perkembangan sejarah agama-agama selalu ada unsur yang ia sebut sebagai Survival and Recurrence. Artinya ada unsur dari hal yang lama yang mampu bertahan hidup, mampu bertahan dari gerusan jaman, lalu ia bisa muncul kembali dalam sebuah tatanan dan tampilan baru.
Nah, saya menempatkan proses terjemahan dan terbitnya buku ini dalam kerangka anggapan serial buku tadi: Vanishing Cultures of the World. Semoga dengan terbitnya buku ini, kebudayaan Manggarai akan tetap eksist sebagai sebuah kebudayaan. Semoga dengan teritnya buku ini, Manggarai bisa menyumbangkan sesuatu kepada Negara dan juga kepada Gereja, kepada penyebaran Firman Allah sampai ke ujung bumi, agar segala Lidah mengakui bahwa Yesus Kristuslah Tuhan dan Penebus kita.
Saya juga menempatkan proses terjemahan dan terbitnya buku ini dalam kerangka survival and recurrence dari Tylor tadi. Buku ini sekaligus menjadi daya survival sebuah kebudayaan, dan sekaligus juga menjadi tanda recurrence, kemunculan kembali, kebangkitan kembali suatu kebudayaan. Buku ini bermuara pada warta tentang kebangkitan Yesus, yang akhirnya diwartakan oleh Paulus yang terutama dikisahkan Kisah Para Rasul, sampai ke ujung bumi, sammpai kepada segala bangsa, segala bahasa, segala lidah, termasuk juga bahasa dan lidah orang Manggarai.
Sejalan Dengan LBI
Pernas LBI tahun 2004 di Malang, di mana saya terpilih menjadi Wakil Ketua LBI (Ketua Pastor Surip Stanislaus OFMCap), menetapkan bahwa tahun 2004-2008 ditetapkan sebagai tahun Kerasulan Kitab Suci bersama dengan kaum muda. Dalam rangka itu dilakukan banyak kegiatan untuk menggalakkan kerasulan Kitab Suci bersama kaum muda, dari kaum muda, oleh kaum muda, dan untuk kaum muda. Kemudian dalam Pernas LBI 2008 yang lalu, ditetapkan bahwa tahun 2008-2012 sebagai tahun kerasulan kitab Suci bersama anak-anak, dari anak-anak, untuk dan oleh anak-anak.
Ketika saya mendapat tugas ini pada tahun 2006, saya menerimanya dalam bingkai kesejalanan dengan keprihatinan pokok LBI sendiri, yaitu kerasulan kitab suci untuk kaum muda dan ana-anak. Walaupun ini adalah proyek LAI, tetapi saya sebagai orang dari LBI, menerimanya dalam bingkai konteks keprihatinan dan kepedulian LBI itu sendiri. Ada dan kehadiran buku ini juga pasti mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam rangka kerasulan kitab suci untuk anak-anak.
Itulah beberapa pokok pikiran yang muncul dalam pikiran saya ketika mengerjakan seluruh proyek ini. Semoga bermanfaat bagi pewartaan firman Allah. Sebab Firman itu memang harus ditanamkan sejak masa muda di kalangan anak-anak kita, di antara generasi muda kita. Kalau tidak disirami dengan benih-benih rohaniah dari kitab suci, pasti mereka akan mencarinya dari sumber lain. Dalam rangka mencegah terjadinya hal itu, maka kita pada hari ini memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam rangka mengisi hari-hari hidup mereka dengan Firman Tuhan, dalam terang Firman Tuhan. Sebab seperti kata pemazmur: Firman Tuhan adalah Terang bagi langkah hidupku.
Bandung, 03 September 2009
Fransiskus Borgias M.
SIS B
PENELITI CCRS FF UNPAR BANDUNG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar