Rabu, 12 Agustus 2009

PERSEPSI RUANG: PERSOALAN ARAH MATA ANGIN MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


Menurut hemat saya, orang Manggarai mempunyai dua dasar untuk penetapan arah mata angin. Dasar pertama, ialah matahari. Tempat terbitnya matahari itulah awo, yang biasanya diterjemahkan sebagai Timur. Sedangkan tempat terbenamnya matahari itulah sale, yang biasanya diterjemahkan sebagai Barat. Itulah arah yang umumnya dikenal bersama oleh orang Manggarai. Hampir semua orang Manggarai sepakat dengan hal itu. Dari sinilah muncul ungkapan klasik dalam bahasa Manggarai: parn awo kolepn sale, mulai dari terbitnya matahari, sampai tempat terbenamnya. Kemudian arah Utara adalah le. Dan arah Selatan adalah Lau. Dasar kedua, ialah mata air. Bagi beberapa tempat di Manggarai, mata air itulah yang lebih (untuk tidak dikatakan paling) menentukan arah mata angin. Tempat muncul dan datangnya mata air itu disebut le, dari mana muncul ungkapan ulun le. Sedangkan tempat di atau ke mana mata air yang berubah menjadi sungai itu bermuara, disebut lau, dari mana ungkapan wa’in lau berasal. (Mungkin ini persepsi yang agak berbau antropomorfistik atas alam). Maka selengkapnya ungkapan itu berbunyi sebagai berikut: Parn awo kolepn sale, ulun le wa’in lau. Ungkapan ini juga disepakati oleh hampir semua orang Manggarai.

Hanya ada muncul satu persoalan. Mana yang lebih menentukan? Apakah Matahari ataukah Mata air? Agak sulit memberi jawaban terhadap persoalan ini. Kesulitan itu dapat saya ilustrasikan dengan beberapa kisah ilustrasi di bawah ini.

Pertama, di tengah Manggarai ada gunung atau pegunungan (Mandosawu, di Lembor Surunumber) besar dan tinggi yang hijau permai juga. Orang yang di sebelah utara gunung, memandang arah utara (le) itu di gunung. Itulah yang terjadi atau berlaku bagi orang-orang Cibal. Sedangkan orang yang di sebelah selatan gunung memandang arah utara itu juga di gunung. Itu yang berlaku bagi orang Todo atau Pongkor, dan kampung-kampung lain di sebelah selatan gunung. Jadi, Le dari orang Cibal adalah selatan bagi orang Todo. Demikian juga sebaliknya, Le dari orang Todo adalah Utara bagi orang Cibal. Jadi, kategori le dan lau itu menjadi relatif, artinya bisa menjadi sesuatu yang berbeda bagi kelompok yang berlainan. Variasi seperti ini mungkin berbeda-beda lagi di tempat lain. Tetapi saya belum sempat menanyakannya atau menyelidikinya.

Kedua, kasus orang Lembor (khususnya Wontong) menjadi lain sama sekali, karena secara kebetulan tempat matahari terbit dan tempat munculnya mata air adalah satu dan sama. Dan rupanya bagi mereka di sana, yang jauh lebih menentukan ialah mata air. Oleh karena yang lebih menentukan adalah mata air, maka arah itu disebut Le. Jadi, di Lembor tempat matahari terbit adalah Le. Padahal di tempat lain, tempat matahari terbit itu awo atau Timur. Tetapi persoalannya ialah kata Le itu sudah secara resmi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Utara. Jadi, jika demikian dapat dikatakan bahwa bagi orang Lembor matahari terbit di utara. Itu tidak lain karena tempat mata air (ulu wae Lombur, wae Ara, wae Sele, Wae Raho, Wae Kanta) dan tempat mata hari terbit itu sama.

Perbedaan persepsi akan ruang dan arah mata angin ini yang diendapkan dalam kata-kata (saya sebut saja sebagai verbalisasi konsep ruang, yaitu konsep dan persepsi ruang yang diungkapkan dalam kata-kata) menimbulkan perbedaan tafsir arah mata angin. Konflik interpretasi bisa muncul di sini. Ketika orang dari Manggarai tengah (Lelak dan Rahong) berburu rusa atau babi hutan di Lembor, maka mereka lari mengejar rusa ke arah berbeda. Alhasil kelompok yang satu mendapat rusa, kelompok yang lain tidak mendapat rusa; itu hanya karena berbeda persepsi ruang dan arah mata angin karena perbedaan nama arah tadi.

Persoalannya, mana dari kedua persepsi dan verbalisasi itu yang absah atau benar? Terus terang saja, pertanyaan ini sangat sulit dijawab. Sebab keduanya menurut saya sama-sama absah dan benarnya. Keduanya sangat penting. Matahari adalah sumber hidup. Mata air adalah sumber air hidup, Fons Vitae. Jadi keduanya sama-sama menduduki tempat sentral. Tetapi sempat muncul sebuah hipotesis sementara dalam diri saya yang mengatakan demikian: rupanya orang Manggarai itu lebih geosentris dari pada heliosentris. Persepsi ruang mereka lebih ditentukan oleh apa yang ada di bumi ini (geosentris), dari pada oleh benda langit yang bernama matahari itu (heliosentris). Tetapi mungkin orang atau pengamat lain akan berpendapat berbeda. Tidak apa-apa. Itulah pemikiran saya.

Oleh karena itu, sulit menentukan mana yang benar dan sah. Kedua-duanya sama-sama benarnya. Bagi saya ini adalah salah satu contoh bagaimana persepsi ruang dan arah mempengaruhi bahasa. Padahal bahasa adalah sarana atau media komunikasi. Kalau terjadi perbedaan persepsi bahasa atas ruang, maka muncul perbedaan persepsi arah yang bisa salah arah sama sekali. (NB: Pertama, Terus terang saja, ketika menulis tentang hal ini, saya mengendapkan pendapat pribadi saya mengenai persepsi ruang yang diendapkan dalam bahasa. Kedua, saya pernah melontarkan ide persepsi ruang yang diverbalisasi ini dalam sebuah diskusi dalam rangka penelitian seorang teman mengenai kebudayaan Sunda. Ketika saya menceritakan hal itu, salah seorang peserta menghampiri saya kemudian dan meminta saya untuk menceritakan lebih lanjut dan lebih detil lagi mengenai hal itu. Tulisan ini sebenarnya endapan dari dialog itu dengan orang Sunda tadi. Sebuah perjumpaan yang menghasilkan sesuatu yang baik dan mudah-mudahan ilmiah juga).

Bandung 04 Agustus, 2007.
Ditulis kembali sambil diperluas, 17 Desember 2008.

Selasa, 11 Agustus 2009

POHON RANDU (KAPUK) DI KAMPUNG ASLI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dulu pada waktu novisiat di Yogyakarta saya pernah menulis begini dalam Buku Harianku untuk mencoba merekam beberapa kenangan dan pengalaman dari dan selama masa postulat di Pagal, Manggarai, Flores: ketika aku melihat pohon kapuk (randu) di kampung Pagal, saya melihat sebuah citra kampung Manggarai tradisional di sana. Sebab pohon kapuk itu mengingatkan saya akan kampung-kampung asli Manggarai. Seakan-akan kehadiran pohon kapuk itu merekam dan menyimpan data dan jejak sejarah dari masa silam. Entahlah mengapa, dan entahlah juga bagaimana.

Tetapi sekarang ini saya mendapat sebuah ilham tafsir dan pemahaman baru dari gejala itu. Biasanya kampung-kampung asli di Manggarai dulu rindang oleh pepohonan, entah itu pohon nangka, entah itu pohon asam, entah jambu mente, pohon kemiri, dan beringin atau juga kalo di compang (altar pemujaan leluhur dalam agama asli). Kalau dilihat dari kejauhan tampak kentara itu adalah perkampungan terutama di daerah yang didominasi oleh padang sabana dan stepa. Tentu lain lagi keadaannya dengan perkampungan yang ada di daerah pegunungan yang umumnya jauh lebih hijau. Tetapi tetap kentara bahwa itu adalah sebuah perkampungan atau bekas perkampungan atau disebut mukang.

Nah, di tengah rimbun perkampungan yang hijau permai itu ada juga pohon kapuk atau randu. Dan yang amat menarik perhatian saya ialah, pada musim gugur-daun (yang terjadi sekitar bulan Agustus sampai September karena pulau Flores cukup dekat dengan belahan selatan bumi kita), pohon-pohon itu pada umumnya mulai meranggas, dan di tengah pepohonan yang meranggas itu muncullah pohon Randu atau Kapuk yang juga sama-sama meranggas tanpa daun. Paling-paling hanya tersisa beberapa helai daun, dan mungkin beberapa buah yang menggantung, yang luput dari mangsa kalong di malam hari. Bagi saya itu sebuah pemandangan yang sangat indah, sebuah perpaduan yang sangat unik, sebuah estetika alami yang luar biasa, justru karena kesederhanaannya.

Ketika sekarang ini saya mencoba merenungkannya lagi, paling tidak muncul dua tafsir atau pemahaman atas gejala perkampungan seperti itu. Tentu saya sadar bahwa apa yang saya katakan ini tidak disetujui oleh semua pihak. Tetapi inilah yang menjadi pendapat dan pandangan saya sebagai seorang pengamat dan penafsir gejala, seorang penafsir fenomenologis. Pertama, pohon kapuk tanpa daun itu tampak dari kejauhan seperti tiang-tiang layar kapal atau perahu di tepi laut, yang sedang menurunkan layarnya karena sedang berlabuh atau sedang membuang sauh di sebuah teluk yang aman dan indah permai. Jika dilihat dan dipahami secara demikian, maka Kampung itu serasa sedang tetirah, sedang berlabuh di tengah sebuah perjalanan pelayaran yang teramat panjang dan jauh entah dari mana dan entah ke mana. Tetapi sekaligus juga, perahu itu siap untuk selalu berlayar kembali. Ya hidup memang adalah sebuah perjalanan, hidup adalah sebuah ziarah, karena manusia, menurut filsuf Prancis bernama Gabriel Marcel, adalah homo viator, manusia yang sedang berada dalam perjalanan, manusia adalah peziarah. We are on a journey; kita ini adalah perantau dan pendatang di bumi ini. Ya, itulah pemahaman dan tafsir pertama.

Pemahaman dan tafsir kedua ialah sbb: pohon randu yang tandus meranggas itu tegak ke atas di atas dedauan pelindung kampung. Sekali lagi saya katakan, ujung-ujung pohon randu itu tegak seperti antena yang menantang dan menusuk langit, seakan-akan sedang mencoba menangkap “sinyal-sinyal transendensi,” meminjam kosa kata dari sosiologi-teologi Peter Berger. Bagi saya, hal ini dengan sangat jelas menandakan dimensi vertikalitas eksistensi manusia. Hal itu dengan sangat tegas menandakan dimensi transenden hidup manusia di dunia ini. Samar-samar pohon itu menyiratkan keterarahan transendental-vertikal hidup manusia di dunia ini. Hidup tidak hanya berhenti di sini saja. Tidak hanya terbelenggu oleh daya gravitasi bumi saja. Melainkan ia bisa melayang pergi, dan terbang tinggi, bahkan bisa juga “knock, knock, knocking on heaven’s door,” kalau meniru sepenggal syair satu kelompok musik metal Amerika beberapa tahun silam.

Ya, mengutip seorang teolog Yesuit Jerman, Karl Rahner, manusia adalah sekaligus makhluk eksistensial-transendental. Eksistensial, karena ia berada di sana, yaitu berada di dunia ini, Dasein, mengutip seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger, yang sangat kuat pengaruhnya pada Karl Rahner ini. Transendental, karena manusia mempunyai tendensi untuk segera mengatasi atau melampauinya juga sekarang dan di sini. Dalam segi yang terakhir ini, manusia terarah ke atas, mencari sumber asal dan asalinya, mencari sang citra primordialnya, mencari titik awal en arche-nya, dan itu tidak lain adalah di dalam Allah sendiri.

Mungkin itulah yang juga dialami oleh Santo Agustinus dari Hippo yang sangat sibuk dalam dan dengan pencarian dan pemaknaan hidupnya di masa mudanya, tetapi yang akhirnya menemukan makna final itu di dalam Tuhan sendiri. Itulah sebuah penemuan yang menjadi sebuah peristiwa perjumpaan penuh makna bagi dia, sehingga dia dengan perasaan sangat lega mengatakan dan bahkan mungkin seperti setengah berteriak: cor meum inquietus est donec requiescat in Te. Ya, hatiku belumlah bisa menjadi tenang sebelum beristirahat padaMu.

Orang-orang Manggarai menjejakkan citra dan arah transendental itu dengan konstruksi kampungnya yang ditandai dengan pucuk-pucuk randu tandus, yang seakan-akan “tegak lurus dengan langit,” meminjam salah satu judul cerpen terkenal dari Iwan Simatupang, yang dikumpulkan oleh Dami Ndadu Toda (seorang penyair dan sastrawan Manggarai, berasal dari Todo), menjadi judul sebuah kumpulan cerpen yang indah dan menarik.