Oleh: Fransiskus Borgias M.
Sekitar bulan April 2002, saya diajak oleh almarhum Bapak Dami Ndadu Toda untuk bersama-sama dengan saya pergi mengunjungi Museum Militer Belanda yang ada di kota Arnhem. Itulah pertemuan kami yang pertama. Sebelumnya kami sudah pernah berkenalan lewat pos tetapi kami tidak pernah bertemu secara langsung dari muka ke muka. Itu karena saya tinggal di Indonesia, sedangkan Pak Dami tinggal di Jerman, tepatnya di Kota Hamburg. Terus terang saja, saya amat mengagumi Bapak Dami ini,karena dialah salah satu penyair dan sastrawan dari Manggarai yang bisa eksis pada level nasional. Puisinya muncul di Horizon, Basis, dan beberapa majalah Sastra nasional. Juga karya-karyanya muncul di beberapa Antologi puisi, antara lainyang disusun oleh Linus A.G.Suryadi, dll. Bahkan disertasi doktoralnya di UI adalah mengenai cerpen-cerpen Iwan Simatupang, yang tidak pernah diterbitkan dalam sebuah kumpulan sebagai buku. Judul buku yang dikumpulkan Dami ialah, Tegak Lurus Dengan Langit, dan Cerpen Lainnya dari Iwan Simatupang. Saya lupa penerbitnya.
Pada tahun 1991, setelah tinggal selama kurang lebih Sembilan bulan tinggal di dalam rahim kebudayaan Manggarai, tempat asal saya, saya menulis tentang nama-nama orang Manggarai di bulanan kebudayaan Basis, sebuah bulanan asuhan para romo Yesuit yang terbit di Yogyakarta. Di luar dugaan saya sama sekali, ternyata tulisan itu mendapat tanggapan dan apresiasi sangat positif dari bapak Dami. Sebagai bukti perhatian dan apresiasinya ia mengirim sebuah surat tanggapan dan apresiasi dan juga berupa catatan kritis. Bahkan surat itu juga mengandung dukungan dan kontribusi ide-ide yang masih dalam alur perhatian dan objek kajian serta penelitian saya saat itu. Saya sempat membalas surat itu. Dan sesudah itu masih terjadi beberapa kali korespondensi di antara kami.
Barulah kurang lebih hampir sebelas tahun kemudian kami bisa bertemu secara langsung, dari muka ke muka, dan hal itu harus terjadi di negeri perantauan, di Belanda, tepatnya di kota Arnhem. Ada dua tujuan yang mau kami wujudkan dalam pertemuan di Arnhem itu. Pertama, kami mau berdiskusi secara langsung tentang beberapa soal menyangkut sejarah, budaya, dan sastra Manggarai. Luar biasa. Ia menaruh perhatian dan kepedulian yang amat tinggi akan Manggarai, walau ia tinggal dan aktif bekerja sebagai pakar di negeri asing, di perantauan, tepatnya di universitas Hamburg, Jerman. Kedua, kami mau bersama-sama memburu beberapa dokumen sejarah yang penting di Museum militer Arnhem itu yang ada kaitan secara langsung dengan sejarah eksistensi dan perjuangan orang-orang Manggarai. Tentu saja saya sangat antusias dengan hal ini, sebab bagaimanapun juga saya mempunyai minat yang sangat besar ke arah itu.
Setelah sebuah diskusi pengantar yang cukup singkat tetapi padat di sebuah warung kopi di stasiun kereta api Arnhem di pagi hari musim semi yang indah dan cerah, kami langsung, dengan naik bis kota, ke Museum militer itu. Dengan bantuan saya, ia mau mencoba mencari sebuah dokumen, yaitu perintah penangkapan yang keluar langsung dari sang Ratu Belanda terhadap kakek buyutnya yang bernama (kalau tidak salah) Kraeng Laki Tekek Laki Mbangir. Rasanya ini sebuah gelar daripada sebuah nama pribadi (personal). Perintah penangkapan itu memang langsung diperintahkan oleh sang Ratu. Hal itu terbukti dengan tanda-tangan dan cap kerajaan Belanda yang tertera di sana.
Setelah kami mencari beberapa saat di rak-rak dokumen yang tersedia dengan klasifikasi yang sangat rapi sehingga memudahkan kami dalam penelusuran dan pencarian, akhirnya saya menemukan dokumen historis yang sangat penting itu. Saya langsung memberitahukan kepada kraeng Dami tentang hasil temuan saya itu. Ia sangat senang. Ia bahkan sempat hampir setengah berteriak, yang menyebabkan petugas museum agak terkejut.
Selanjutnya, ia mengkopi Surat Keputusan itu sebab itu adalah sebuah SK yang sangat penting dan bersejarah dalam dan bagi sejarah Manggarai. Pak Dami sangat memerlukan dokumen itu sebagai pelengkap data untuk sebuah rencana buku tentang Manggarai, sebagai lanjutan dari bukunya yang sudah terbit sebelumnya, tahun 1996, Historiografi Manggarai. Sampai saat ini saya tidak tahu apakah buku itu sudah terbit atau belum. Sebab ia sudah meninggal tahun 2007 silam.
Juga dari hasil pencarian dan penelusuran itu akhirnya saya tahu juga bahwa Belanda pernah memakai pasukan elit gerak cepatnya (marsose) hanya dua kali di Indonesia, atau lebih tepat di bumi nusantara. Pertama kali, pasukan itu dikerahkan untuk mencoba menaklukkan Aceh yang memang sangat sulit dikalahkan oleh Belanda. Kedua kalinya, pasukan itu dikerahkan untuk menaklukkan Manggarai. Ketika membaca data itu saya lalu berpikir betapa para pejuang Manggarai saat itu ditakuti oleh Belanda, sehingga untuk menghadapi dan menaklukkannya mereka membutuhkan pasukan elit. Hal ini menumbuhkan sedikit rasa bangga dalam diri saya sebagai orang Manggarai. Walau kemudian bisa ditaklukkan oleh orang Belanda juga, tetapi hal itu terjadi lewat suatu proses yang tidak mudah pada pihak Belanda, sebagai pihak yang datang dari luar.
Bandung, 29 Maret 2010.
Dikomputerkan sambil diperbaiki dan diperluas 04 April 2010
Fransiskus Borgias M.
Peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies)
Minggu, 04 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)