Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)
Kalau dilihat dari judulnya, maka sudah tampak jelas bahwa ini adalah refleksi saya yang kedua tentang tema atau pokok yang sama (kesadaran akan waktu atau sejarah yang hidup dan dihayati oleh orang-orang Manggarai). Karangan yang pertama sudah saya posting-kan beberapa minggu yang lalu.
Tetapi pada hari ini tiba-tiba saya mendapat sebuah ilham yang baru dan lain. Menurut ilham ini, saya berpandangan bahwa kesadaran akan waktu atau sejarah yang hidup di antara kalangan orang-orang Manggarai juga sudah terendapkan dalam buku Dere Serani yang populer itu (Lihat Dere Serani, No.....). Pada pagi hari ini tiba-tiba saja mengalir keluar dengan sangatr lancarnya dari mulut saya sebuah lagu yang sangat populer dalam Dere Serani itu, yang sangat sering kami nyanyikan dulu dalam doa hari Minggu tanpa perayaan Ekaristi karena tidak adanya imam. Guru Agama (guru gama) atau guru Katekis, atau bahkan guru sekolah dasar pada umumnya, biasanya memimpin doa itu, termasuk juga berkotbah, dan memimpin nyanyian bersama umat. Saya sudah menghafal lagu itu sejak masih kanak-kanak di Ketang Lelak dulu. Beginilah bunyinya:
Cako:
Sangged ite oooo eeeooooo,
Mai ngaji cama laingt suju Mori.
Mai ngaji cama laingt suju Mori.
Kudut di’a diang mose ge,
Kudut jari tay mose ge, Lembu nai ge.
Wale:
Tabe Mori gooooooo, Tabe Kraeng go.
Mori titong ami lete bari
Mori sembeng ami dengkir tayin
Lembu nai ge.
Cako: ayat 2
Sangged ite oooo eeeeoooooo
Mai tikul neteng minggu suju Mori
Mai tikul neteng minggu suju Mori
Kudut di’a diang mose ge,
Kudut jari tayi mose ge, Lembu nai ge. (Disambut dengan Wale)
Cako: ayat 3
Sangged ite ooooeeeeooooo
Mai sambut mole m ntaung tiba Mori
Mai sambut mole m ntaung tiba Mori
Kudut di’a diang mose ge,
Kudut jari tayi mose ge, Lembu nai ge. (Disambut dengan Wale)
Dalam uraian dan komentar saya ini, saya tidak akan memberi perhatian kepada seluruh lagu itu baris demi baris, melainkan memusatkan perhatian pada bait yang menurut saya erat terkait dengan persepsi tentang waktu dalam diri dan alam pikiran orang-orang Manggarai. Dan menurut hemat saya, pandangan dan persepsi tentang waktu yang ada dalam lagu ini tampak dalam bagian akhir dari cako maupun wale.
Dalam cako dikatakan: kudut di’a diang mose ge, kudut jari tayi mose ge, lembu nai ge. Bagi saya ini tidak lain adalah berarti hidup dalam perspektif pengharapan, hidup dalam kesadaran akan horizon masa depan yang membentang luas, di’a diang, jari tay. Agar hari esok lebih baik, agar kelak jauh leih berhasil atau mendatangkan hasil. Tersirat di sini sebuah anggapan dan bahkan keyakinan bahwa hari esok mengandung sejuta kemungkinan dan peluang. Dengan demikian maka hidup tidak lagi serba terhimpit dan terkungkung pada tempurung yang sumpek hari ini, melainkan seakan-akan ia melesat dan melesak menuju ke masa depan. Dan hal itu mendatangkan kelegaan, dan bahkan penghiburan bagi jiwa dan kiranya juga raga, lembu nai ge. Kiranya bersama dengan itu datang juga daya kekuatan hidup baru. Sebab baik cako maupun wale, selalu diakhiri dengan ungkapan yang sama: lembu nai ge. Jiwaku merasa terhibur, merasa senang, merasa bahagia, karena hidup dalam perspektif masa depan, karena masa depan menjanjikan selaksa harapan. Bermimpi tentang hari esok yang lebih baik masih menjadi mungkin atau dimungkinkan.
Kesadaran akan waktu itu juga tampak dalam bagian akhir dari wale. Di sana dikatakan, Mori titong ami lete bari, Mori sembeng ami dengkir tayin, lembu nai ge. Tuhan menjaga dan melindungi kami setiap hari, Tuhan menjaga dan membela kami sampai selama-lamanya. Di sini tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan: dari mana datangnya ilham kesadaran waktu ini? Menurut saya, jelas ini adalah sebuah insting Manggarai. Atau kalau mau memakai istilah yang lebih baik, ini adalah sebuah intuisi dan insight Manggarai akan waktu dan sejarah. Teks itu dengan jelas menyingkapkan bahwa ada suatu kesadaran bahwa orang harus hidup dalam perspektif masa depan. Ini tidak lain berarti hidup dalam pengharapan, hidup dalam perpsektif eskatologis, kalau mau meminjam istilah khasanah teologi Kristiani, yang kiranya juga sudah mengendap dan meresap dalam-dalam dalam tanah Manggarai.
Dalam konteks hidup untuk dan ke masa depan, Tuhan menjadi cakrawala terjauh dari kehidupan. Bukan lagi diri sendiri. Bukan juga mammon, melainkan Allah. Dengan demikian lagu ini juga menggambarkan kesadaran teologi orang Manggarai untuk senantiasa hidup di dalam dan bersama Tuhan. Lagu ini mengungkapkan bahwa orang Manggarai sadar akan penyelenggaraan ilahi (providentia dei) dalam hidup ini. Dan ini pasti sudah tercampur baur dengan perspektif teologi dan iman Kristiani. Dan itu tidak apa-apa. Apa pun sumber dasarnya, yang jelas, semuanya itu diungkapkan dalam bahasa Manggari oleh si pengarang lagu. Dengan landasan kepercayaan akan hidup di masa depan, dan akan penyelenggaraan ilahi dari hari ke hari, si pengarang mengajak orang-orang untuk pergi mengungsi kepada Allah dengan harapan bahwa Allah akan memaknai hidup mereka, memberi mereka hidup, tetapi bukan hanya sekadar asal hidup, melainkan hidup dalam kelimpahan (Yoh.10:10).
Bandung, 12 Desember 2008.
Diketik ulang dan diperluas pada tanggal 17 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar