Saya baru saja selesai membaca sebuah buku dari penulis yang bernama Maribeth Erb tentang Manggarai. Judul buku itu ialah The Manggarains, A Guide in Traditional Life Style. Salah satu bagian yang menarik perhatian saya dalam buku itu adalah cerita yang ia beberkan tentang orang-orang (ata) Kilor itu.
Konon orang-orang Kilor itu adalah kaum imigran yang berasal atau dating dari luar Manggarai. Sedangkan tetangga kampung mereka yaitu kampung Ndoso (orang-orang Ndoso) adalah penduduk asli setempat (autochtons). (Tentu saja pernyataan ini segera menimbulkan sebuah pertanyaan historis-kritis, karena ata Ndoso itu sendiri juga mempunyai cerita sejarah turun temurun bahwa mereka pun adalah imigran yang berasal dari luar Manggarai).
Pada suatu saat orang-orang Kilor tidak mempunyai api, bahkan diberi kesan juga bahwa mereka tidak mengenal teknologi api. Oleh karena itu, mereka pun memakan makanan mereka dalam keadaan mentah saja. Maribeth Erb sudah memberi sebuah catatan kritis di sini, bahwa ada keanehan: kalau memang benar orang-orang Kilor itu adalah imigran yang datang dari luar, maka mereka pasti lebih maju dan pasti sudah mengenal api. Tetapi ternyata menurut cerita ini tidak demikian adanya. Maka harus dihadapi dengan sikap kritis.
Karena mereka (orang-orang Kilor) belum mengenal api, maka mereka pergi meminta api itu kepada orang-orang Ndoso yang mempunyai api dan sudah mengenal teknologi api. Orang Kilor pun datang meminta api itu kepada orang Ndoso. (Memang dulu, dalam masyarakat tradisional, api itu termasuk barang atau sesuatu yang diminta kepada tetangga, seperti halnya orang meminta garam, atau barang-barang konsumtif lainnya).
Tetapi orang-orang Ndoso takut bahwa api itu akan disalah-gunakan. Mungkin juga ada sedikit latar belakang pandangan mitis dan pandangan suci, bahwa api itu adalah barang suci yang tidak boleh dialih-pindahkan begitu saja. Mungkin ada pandangan bahwa api adalah barang suci, maka harus eksklusif, dan monopoli. (Siapa tahu itu adalah endapan dari pandangan kuno seperti yang terdapat di India bahwa api itu termasuk dewa, yaitu dewa api, dewa Agni). Tetapi tentang hal ini tidak dapat saya pastikan.
Namun demikian orang-orang Kilor tetap datang ke Ndoso, lalu mencoba berpura-pura berdiang di dekat api. Pada saat berdiang itulah mereka mencuri api dari orang-orang Ndoso. Caranya lucu dan sederhana saja: tali celana dari salah satu orang Kilor itu terbakar (atau sengaja dibakar, ditutung dengan api), lalu dengan nyala api pada tali celana itu mereka pulang ke Kilor. Dengan api itulah orang-orang Kilor kemudian dapat membuat api mereka sendiri.
Setelah orang-orang Ndoso tahu bahwa api mereka telah dicuri oleh orang Kilor, maka orang Ndoso pun menjadi marah dan mereka datang untuk menyerang ke Kilor. Konon pada saat itu terjadi perang yang seru dan sengit. Dikisahkan juga bahwa orang Kilor cukup kewalahan menghadapi orang Ndoso, karena orang Ndoso ini memakai baju perang yang terbuat dari ijuk. Tetapi kemudian dikisahkan juga bahwa orang-orang Kilor tidak kehilangan akal atau tidak kehabisan akal. Entah bagaimana caranya mereka tahu bahwa ijuk itu mudah terbakar. Maka mereka kemudian memakai api yang telah mereka curi itu untuk membakar baju perang orang-orang Nodoso. Memang wunut itu sangat mudah terbakar apalagi kalau dalam keadaan kering-kerontang. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini yang namanya senjata makan tuan, baik itu senjata api, maupun senjata baju perang dari wunut tadi. Api yang tadi diambil dari Ndoso kini dipakai untuk membakar orang Ndoso. Demikian juga baju ijuk yang dimaksudkan sebagai pelindung tubuh, kini bisa membakar tubuh mereka sendiri juga. Maka orang Ndoso pun kalah dan melarikan diri (pulang ke kampung mereka di gunung sebelah Kilor).
Tetapi terhadap cerita ini serta merta muncul beberapa pertanyaan kritis: Perlu diingat dan disadari juga bahwa orang-orang Ndoso sendiri juga mempunyai cerita turun temurun sebagai imigran, perantau, pendatang dari luar Manggarai. Pertanyaan saya secara pribadi ialah, samakah orang Ndoso itu dengan orang Ndasa, leluhur kami? Saya belum dapat menjawab pertanyaan ini dengan pasti. Maka saya bertekad untuk meneliti tentang hal ini. Ya, saya harus cari tahu versi cerita ini dari orang-orang Ndoso atau Ndasa. Kalau orang Ndoso sama dengan orang Ndasa, mengapa mereka mengungsi dari Gunung? Memang kalau kita lihat dari jauh, di kampung Ndoso di gunung itu ada tanah longsor. Mungkin hal itulah yang menyebabkan mereka melarikan diri dan menetap di dataran rendah di Lembor, di daerah persawahan. Sekarang ini pun dari jauh kita masih bisa melihat sebuah langke besar di mukang beo di Ndasa itu. Kata orang-orang di Kampung, konon di sana masih ada compang. Maka suatu saat aku harus bisa sampai ke sana untuk merekam suasana Kampung asli dan purba di sana. Ya aku harus ke sana.
Bandung, 25 November 2008. (dikomputerisasi dan diperluas isinya).
Ditulis dalam BH-ku tanggal 21 November 2008.
1 komentar:
Emang benar pa guru, di Ndoso itu ada compang sampai sekarang.Compang itu menurut orang Ndoso adalah kuburan dari nenek moyang yang terdahulu dari masing-masing suku. Setiap suku ada gendang pasti ada ada compang dan satu kampungpun berbeda suku/gendang. setiap suku atau gendang memiliki masing masing compang. di Ndoso ini ada 3 suku yakni suku dangka, Ndori,dan suku banggang.
By Robert(rebaraja@yahoo.co.id)asli dari Raja-Ndoso
Posting Komentar