Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M., MA.
Kasus Pantai Pedé sejak beberapa tahun belakangan ini (mungkin sejak Mabar terbentuk menjadi sebuah kabupaten tersendiri yang lepas dari Manggarai), menjadi sangat seru diperbincangkan dan diperdebatkan dalam pelbagai media dan forum. Boleh dikatakan bahwa Pantai Pedé itu menjadi tanda perbantahan (
sign of contradiction). Ada pihak yang mendukung masuknya pihak swasta untuk melola pantai itu. Ada juga yang menolaknya. Masing-masing pihak mempunyai argumen pendukung sendiri. Masing-masing pihak mengklaim mempunyai basis data dan dokumen legal yang kuat. Bahkan sempat muncul polemik juga antara beberapa tokoh Manggarai di perantauan (diaspora;
ata long; lawan dari
ata lonto) dan juga yang tinggal di Manggarai sendiri, khususnya di Labuan Bajo (tempat lokasi Pantai Pedé itu berada). Hingga saat ini diskusi dan perdebatan itu masih sangat seru di beberapa WA group orang Manggarai. Pelbagai macam wacana juga muncul sebagai penjelasan dan mungkin pembenaran untuk posisi masing-masing. Bahkan ada rencana juga dari beberapa kelompok generasi muda untuk melaporkan hal ini ke KPK. Apa pun itu dan siapa pun itu, semuanya menegaskan bahwa Pantai Pedé memang sudah menjadi “tanda perbantahan” (
sign of contradiction) di antara kita. Suka ataupun tidak suka. Mau ataupun tidak mau.
Sementara itu pada tataran lain (di luar aspek legal dari kasus tersebut) berkembang wacana historis yang mencoba mencari apa makna kata atau ungkapan Pantai Pedé itu sendiri. Siapa tahu upaya penelusuran makna itu bisa menjadi salah satu kontribusi juga dalam diskusi atau dialog (untuk tidak sampai disebut perdebatan) Pantai Pedé ini. Salah satu yang paling menonjol ialah upaya memahami arti kata pedé itu sendiri. Hingga saat ini, sejauh yang bisa saya pantau, orang pada umumnya (selalu) mengkaitkan arti kata pedé itu dengan makna pesan, kabar (bahkan kabar baik; bahkan ada yang menyebut kata “bekal” juga, walaupun yang terakhir ini tidak saya temukan dalam kamus P.Verheijen). Hal itu memang ada dasarnya dalam warisan ungkapan-ungkapan hikmat lokal (
local wisdom) orang Manggarai. Misalnya tampak dalam ungkapan berikut ini:
Pedé disé endé, mbaté disé amé. Secara harfiah ungkapan itu berarti “pesan (titipan) dari Ibu, dan warisan dari ayah”. Dalam artian itu, maka pedé harus dijaga, dipertahankan, dan terutama sekali ditaati. Dalam hal ini jangan sampai orang lalai melakukan kewajiban itu. Makna seperti ini bahkan langsung juga diterapkan ke Pantai Pedé itu sendiri. Hal itu terjadi misalnya dengan mengatakan (mengklaim): Pantai (Pedé) itu adalah titipan pesan dari ibu di masa silam. Tidak bisa dipungkini ada sebuah konotasi etis (moral) di sana, yaitu kita harus menjaganya, merawatnya, melestarikannya. Konotasi dari kata-kata kerja ini ialah mempertahankan alam (pantai) sebagaimana adanya, secara alami. Jadi, kalau sekarang sudah terjadi perubahan (saya tidak mau masuk ke dalam penilaian positif maupun negatif dari perubahan itu), maka itu adalah sebuah pertanda adanya kelalaian, adanya kelupaan, lupa akan tradisi, lupa akan sejarah, lupa akan warisan dari masa silam. Di hadapan fenomena kelupaan itu, maka tidak heran akan muncul gerakan “melawan lupa” (sebagaimana menjadi nama sebuah acara di televisi). Dalam upaya penelusuran etimologis seperti ini, biasanya orang menolak ide pelestarian dalam arti mengalihkan dari “nature” (natura) ke “culture” (cultura). Padahal kalau mau jujur kata “Culture” pun bernuansa makna mengolah, seperti halnya mengolah tanah dalam rangka agar tanah menjadi lebih baik, lebih subur, lebih menghasilkan banyak. Sentuhan manusia (cultura) bisa membuat alam (natura) itu menjadi lebih baik. Tentu tidak setiap orang (terutama aliran naturalis-romantisme) setuju dengan pandangan itu.
Secara leksikografis, makna yang sudah dibentangkan di atas tadi juga ada dasarnya. Pater Jilis Verheijen SVD, dalam Kamus Bahasa Manggarai-nya yang fenomenal-monumental itu (1967:435) memberi paling tidak empat gugus makna untuk kata pedé ini. Karena saya sudah menyinggung hal itu di atas, maka di sini saya hanya mau mengatakan bahwa makna pertama ialah “pesan, suruh, berwasiat”. Pater Verheijen memberi sebuah contoh pemakaian kongkret berikut ini:
pedé liongm, wuat liongm tara nenggio pandés? Artinya, siapa jang memesan dan menjuruh, maka kamu berlaku begini? Contoh kedua:
pedé data tu’a taka-étan. Artinya “pesanan orang tua dulu-dulu”. Kedua, kata pedé juga bisa berarti “takdirkan, tetapkan, tentukan, beri, anugerahkan, takdir, nasib”. Berikut ini beberapa contoh yang diberikan oleh pater Verheijen sendiri:
tjimpa le di’a, pedé le delék, kali. Artinya, semoga (dia) diberi kebaikan, dianugerahi keuntungan. Contoh berikut dari Verheijen erat terkait dengan Tuhan sendiri:
Djari agu Dédék baté pedé laing wodja agu latung. Artinya, sang “Pendjadi dan Pentjipa jang memberi padi dan djagung”. Contoh berikut: ata pedé de Murin tara nggiti rangan (Patjar). Artinya, “karena diberi Tuhan, maka mukanja demikian”. Bahkan ada juga pemakaian kata pedé yang artinya hal menemui ajalnya seseorang. Hal itu tampak dalam contoh berikut ini.
Itu (muing) pedén. Artinya, itu adjalnya. Contoh terakhir dari pater Verheijen ialah berikut ini:
hitu muing pedén te dungkal muing le kabaj. Artinya, memang demikian dia ditakdirkan (Tuhan), (yaitu harus) mati disondol (disundul, ditanduk) kerbau. Rangkaian makna yang saya beberkan tadi, dapat saya kategorikan sebagai hasil penelusuran etimologis. Hasil penelusuran etimologis itu memperlihatkan bahwa kata pedé itu memiliki beberapa makna.
Dalam bagian berikut ini, saya mau menampilkan sebuah penelusuran makna yang lebih bernuansa ekologis. Selain makna-makna yang sudah dibeberkan di atas tadi, pater Verheijen masih menyodorkan kepada kita dua makna lain. Pertama, pedé bisa juga berari sebangsa pandan hutan (ré’a puar; kata puar di sini dalam visi Manggarai tradisional ialah milik darat, data pélésina, sehingga tidak diolah, didatangi, dikunjungi manusia, melainkan dibiarkan saja bertumbuh apa adanya di sana) yang bercabang-cabang; daunnya panjang (mungkin nama ilmiahnya dalam Latin ialah Pandanus sp). Kedua, pede bisa juga berarti sebangsa wako, tetapi daunnya kurang lebar dan lebih tebal. Jika kategori makna kedua ini (makna ekologis) diterima, maka Pantai Pedé dulunya mungkin adalah sebuah pantai yang penuh dengan ré’a puar (pandan hutan). Pandan-pandan hutan itulah yang menandai tempat itu dulu (di masa silam). Karena tempat itu ditumbuhi pandan hutan (ré’a puar, pandan yang tidak ditanami manusia, melainkan tumbuh sendiri begitu saja; walau sesungguhnya secara tradisional orang Manggarai percaya, ré’a puar itu ditanami oleh darat), maka bagi orang Manggarai di masa silam, itu adalah pertanda bahwa tempat itu adalah tempat istimewa, tempat para darat (ata pélésina) “bekerja,” ngo duat (Erb 1999).
Kalau selama sekian abad (sebab baru pada abad modern ini Pantai Pede itu menjadi komoditas, terutama sejak ekoturisme merebak di pelbagai belahan dunia) tempat itu tampak “dibiarkan liar” tidak diolah, itu bukan pertanda bahwa ia tidak punya pemilik. Ia punya pemilik, yaitu darat. Dan karena tempat itu adalah tempat de darat, maka orang tidak mengolahnya, bahkan tidak mendatanginya juga. Tempat berlabuh kapal secara tradisional di Labuan Bajo, terletak agak jauh dari situ. Sedangkan di situ, bertumbuh pandan hutan (ré’a puar, ré’a de darat). Mungkin juga dalam imajinasi agama asli Manggarai, di situlah para darat (bidadari) berjemur, mandi, menikmati matahari sore, dan menjemur pakaian mereka, yang dalam pandangan kita manusia biasa disebut pelangi (dimar). Dalam visi tradisional orang Manggarai, dimar itu adalah salah satu pemali yang tidak boleh ditunjuk (toso). Kalau orang terlanjur toso, maka sungké-nya, orang harus mengorek lubang pantat sendiri. Entah apa hubungan dari tindakan atau perbuatan magis seperti itu.
Seperti kata orang Latin, nomén ést omén. Nama adalah pertanda. Di sini tidak berlaku perkataan William Shakespeare itu: What is in the name (apalah arti sebuah nama). Ungkapan Shakespeare ini tampak seperti agak mengecilkan arti sebuah nama. Saya tidak menganut perspektif itu di sini. Nama itu mempunyai makna yang sangat penting. Bahkan nama itu adalah pertanda. Nama itu adalah nubuat (seperti dalam perspektif para nabi Perjanjian Lama). Pantai Pedé adalah pantai pandan hutan, pantai yang ditandai ré’a puar, ré’a de darat, ré’a data pélésina. Jika ini diterima, maka mari kita kembalikan pandan-pandan itu ke Pantai Pedé. Dulu saya masih ingat, kalau orang menyebut darat (ata pelesina), orang Manggarai ada rasa sungkan, bahkan ada rasa takut juga, dicampur rasa hormat. Mungkin sekarang, rasa sungkan, rasa takut, rasa hormat itu tergusur, luntur oleh terpaan modernitas. Memang dalam terpaan modernitas, aura kesucian alam (sacralitas alam) terasa luntur. Alam dipandang sebagai sepenggal kue yang dibagi-bagi dan dikuasai, divide et impera. Tetapi itu bukan berarti darat yang “dilihat” oleh orang Manggarai di masa silam, sudah tergusur dari sana. Ini bukan untuk menakut-nakuti. Ini hanya untuk membuka sebuah perspektif pemaknaan saja lewat sebuah penelusuran makna secara etimologis dan ekologis. Semoga bermanfaat untuk memperkaya diskusi dan wacana kita sekalian.
Bandung, 5 Mei 2017