Sabtu, 29 Oktober 2016

LONCENG KUCING

Oleh: Fransiskus Borgias M.,


Hari ini (tanggal artikel ini ditulis) pastor parokiku dalam kotbah hari Minggunya mengangkat sebuah kisah inspiratif dan menarik dari koleksi cerita Romo Anthony de Melo SJ. Diceritakan bahwa ada sebuah biara yang sudah sangat tua usianya tempat sejumlah biarawati berdiam. Dahulu kala sang pemimpin biara itu memelihara seekor kucing karena ia sangat suka dan bahkan sayang pada kucing. Saking sayangnya maka kucing itu selalu dekat dengan dia. Ke mana saja sang abdis pergi kucing itu selalu saja mengikuti dia dan duduk di sampingnya dengan tenang. Pokoknya kucing kesayangan itu tidak mau ketinggalan.

Konon, dikisahkan juga, bahwa setiap kali mereka mau doa malam, maka suster abdis itu meminta anak buahnya agar terlebih dahulu mengikat kucing itu agar kucing itu tidak nyelonong masuk ke dalam kapel dan berbunyi meong di sana saat para biarawati itu larut dalam doa yang kuhsyuk. Begitulah selalu yang terjadi dan dilakukan para biarawati itu. Kucing itu terlebih dahulu diikat sebelum para suster itu berdoa malam. Sampai pada suatu saat sang suster kepala biara itu pun meninggal dunia. Tetapi kucing kesayangannya itu masih ada. Maka kebiasaan itu terus berlanjut: mereka mengikat kucing sebelum berdoa malam. “Mengikat kucing” lalu seperti menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan sebelum berdoa malam. Maka tatkala kucing itu mati, mereka pun mencari kucing baru, agar ritual “mengikat kucing” tadi bisa dilanjutkan terus sekarang dan ke masa depan.

Lama kelamaan orang pun sudah lupa akan konteks dan tujuan semula dari hal “mengikat kucing” itu. Orang juga sudah lupa akan sang abdis pemilik dan penyayang kucing tadi. Tetapi kebiasaan “mengikat kucing” itu masih tetap hidup dan dipraktekkan di biara itu. Akhirnya kucing itu juga mati. Tetapi karena praktek “mengikat kucing” itu sudah kuat, maka para suster pun segera mencari seekor kucing baru untuk diikat sebelum mereka berdoa malam. Akhirnya hal “mengikat kucing” itu pun menjadi kebiasaan turun temurun tanpa mengetahui lagi konteks historis dan sejarahnya. Pokoknya hal itu tetap dijaga sebagai sebuah tradisi suci yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Kalau ditinggalkan maka orang akan ditimpa rasa bersalah terhadap sejarah dan juga terhadap tradisi suci itu sendiri.

Cerita tentang kucing ini serta-merta mengingatkan saya akan sebuah tradisi yang lain dalam gereja katolik, khususnya dalam perayaan ekaristi. Tradisi yang saya maksudkan ialah tradisi membunyikan lonceng pada saat konsekrasi. Sejauh penelusuran historis yang saya lakukan, konon pada mulanya di abad pertengahan ketika gereja mulai berkembang pesat dan mekar di Eropa, maka di gereja-gereja diadakan perayaan ekaristi. Saat itu ekaristi tidak diadakan setiap hari. Setidaknya umat beriman tidak bisa ikut perayaan ekaristi tiap hari. Ada tuntutan minimal: sekali setahun. Juga pada saat itu tidak otomatis semua orang boleh ikut menyambut tubuh dan darah kristus, seperti halnya sekarang ini. Ada orang yang karena terhalang oleh dosa berat terkena hukuman larangan ikut ekaristi selama bertahun-tahun (bdk peraturan Basilius mengenai penitentia itu). Kalau toh orang itu boleh ikut ekaristi secara lengkap, maka ia tetap tidak boleh menyambut komunio.

Gereja-gereja kuno di Eropa, khususnya yang ada dekat atau nempel dengan tembok biara tertentu juga ada sel-sel bagi para rahib yang dihukum tidak boleh ikut menerima komuni. Dalam konteks seperti itulah maka muncul sebuah praksis kesalehan, yaitu kalau toh tidak boleh menyambut tubuh Kristus setidaknya orang-orang hukuman itu boleh melihat saja Tubuh itu dari kejauhan. Apalagi pada saat itu ekaristi belum tentu bisa dirayakan setiap hari, atau setiap Minggu. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk perayaan ekaristi maka ada banyak sekali umat yang hadir. Gedung gereja yang biasanya berukuran besar pun tidak mampu menampung umat yang hadir. Apalagi misa dirayakan dalam bahasa Latin sebuah bahasa elit yang belum tentu dipahami oleh semua umat beriman. Karena itu, belum tentu umat yang hadir, yang buta huruf, belum tentu menyimak perjalanan upacara itu. Misalnya, kalau orang tidak mengerti bahasanya, maka orang tidak bisa tahu, sampai pada tahap mana perayaan Ekaristi itu sekarang.

Maka pada saat konsekrasi, sang imam di altar mengangkat hosti dan piala di atas altar. Itulah saat demonstratio, saat tubuh dan darah Tuhan ditunjuk kepada umat. Agar tidak ada umat yang tidak tahu akan peristiwa itu, dan agar peristiwa agung-mulia dan langka itu tidak terlewatkan begitu saja, maka peristiwa itu kemudian diberitahukan kepada umat dengan cara membunyikan lonceng kecil di dalam gereja (bukan lonceng utama yang besar yang biasanya terletak di luar gedung gereja, dalam menara tersendiri). Ketika mendengar bunyi lonceng itu maka umat yang hadir segera berdiam diri, mengambil sikap hormat dan hening lalu memandang ke arah altar. Di sana sang imam sedang mengangkat tubuh dan darah Kristus setinggi-tingginya agar bisa dilihat oleh semua umat yang hadir.

Bahkan Romo Tom Yakob (dosen teologi Ekaristi saya dulu di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta), dalam kuliah teologi ekaristi, pernah mengatakan bahwa bahkan dulu di abad pertengahan jika misa diadakan di sebuah lapangan besar, maka peristiwa konsekrasi itu diumumkan oleh tentara yang naik kuda. Itu disebabkan karena banyaknya umat yang ikut serta dalam perayaan ekaristi itu, dan luasnya tempat perayaan (karena dilakukan di ruang terbuka). Dalam keadaan seperti tidak semua orang secara otomatis bisa menyadari sepenuhnya akan apa yang terjadi. Coba bayangkan betapa ramainya di tengah lapangan terbuka itu. Bagi sebagian umat, hanya itulah kesempatan satu-satunya yang tersedia bagi mereka untuk memandang tubuh dan darah Kristus yang telah berubah wujud, sebab mereka tidak boleh menyambut komunio karena terhalang oleh dosa berat.
Kebiasaan itu berlanjut terus menerus dari waktu ke waktu hingga sekarang ini.

Sekarang kebiasaan membunyikan lonceng itu juga masih kita kenal. Bahkan di beberapa tempat dicampur lagi dengan bunyi gong (segi kelokalan; inkulturasi). Hanya sekarang terjadi sebuah pergeseran. Terkadang orang merasa saat bunyi lonceng itulah terjadi konsekrasi. Tentu saja menurut hemat saya, hal itu salah. Konsekrasi itu terjadi saat imam mengucapkan kata-kata konsekrasi itu dalam bingkai konstitusi ekaristi. Seharusnya, tanpa bunyi lonceng pengiring itu, mukjizat ekaristi tetap terjadi. Sebab bunyi itu hanyalah pengiring. Bukan inti pokoknya. Maka menurut saya tidak apa-apa juga jika hal itu dibuang saja. Sebab, mengingat sejarah awalnya, maka sekarang hal itu sudah tidak dibutuhkan lagi seperti itu. Tetapi apakah semua umat suka akan hal itu? Mungkin akan ada juga yang menolaknya, tidak mau menerima. Tetapi bagi saya, ada bunyi lonceng atau tidak, konsekrasi sudah dan sungguh terjadi. Alangkah agung dan hikmatnya jika peristiwa itu ditandai dengan sunyi. Tanpa direcoki dengan bunyi-bunyi yang tidak perlu sama sekali.


Bandung, 30 Agustus 2015
Dosen teologi biblis, FF-UNPAR Bandung.

Sabtu, 22 Oktober 2016

“TUNU”

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Pernahkah anda mendengar kata tunu? Mungkin cukup banyak pembaca menjawab: tidak pernah. Mungkin ada juga yang menjawab: pernah. Ya, kata tunu. Dalam tulisan singkat ini saya mau berbicara tentang kata tunu itu. Mungkin sebagian besar dari para pembaca saya sudah tidak mengetahui lagi kosa kata tunu ini. Tetapi para pembaca saya yang berasal dari Manggarai (Flores, Nusa Tenggara Timur) pasti mengenal kata ini. Bahkan mungkin sangat akrab di telinga dan hati mereka. Saya tidak tahu, boleh jadi ada juga suku bangsa lain di Indonesia yang mengenal kosa kata tunu ini dalam daftar kata bahasanya, entah apa pun artinya.

Selama ini saya selalu berpikir bahwa kata tunu adalah salah satu kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, daerah asal saya, bahasa ibu saya (mother tongue). Dalam kosa kata bahasa Manggarai, kata tunu itu mempunyai arti dan fungsi khusus. Arti kata tunu itu ialah membakar jagung. Tetapi jagung yang dibakar itu tidak harus dilepaskan kulit pembungkus luarnya. Alias, jagung itu harus dibakar sekaligus dengan kulitnya. Jadi, teknik membakar jagung lengkap dengan kulit luarnya (dalam bahasa Manggarai, kombak) disebut tunu. Hasilnya, disebut latung tunu (jagung yang dibakar sekaligus dengan kulitnya). Bentuk luarnya tentu tampak gosong kulitnya, tetapi isinya persis sama seperti jagung yang direbus atau dikukus (baik dengan kulit maupun tanpa kulit).

Dalam bahasa Manggarai kata tunu itu hanya bisa dipakai untuk jagung bakar-kulit saja (Jilis Verheijen 1967:662: membakar jagung dengan gelongsong, melajur, yaitu membakar batang bambu muda untuk kemudian diambil kulitnya untuk dipakai menganyam keranjang). Kalau jagung dibakar tanpa kulit, maka disebut tapa, dipakai kata tapa (Jilis Verheijen 1967:623). Kata tapa ini sangat umum, artinya membakar, dan ia bisa dipakai untuk apa saja. Misalnya, tapa tete (bakar ubi), tapa nuru (bakar atau panggang daging), tapa manuk (bakar ayam), tapa ela (bakar babi), tapa uma (bakar kebun), tapa satar (bakar padang), tapa utung (membakar sampah yang sudah ditumpuk terlebih dahulu), dst.

Tetapi pada hari ini, 21 Oktober 2016, saya berubah pikiran sama sekali. Ternyata kata tunu itu juga ada dalam kamus kota kata bahasa Indonesia. Selama ini saya hanya berpikir, itu adalah kosa kata bahasa Manggarai saja. Ada dua kamus bahasa Indonesia yagn saya pergunakan sebagai rujukan. Yaitu, pertama, kamus dari bapak J.W.S.Poerwadarminta. Kedua, kamus dari bapak Yus Badudu dan Mochamad Zain. Saya belum sempat mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (kiranya berafiliasi dengan Depdiknas). Dalam kedua kamus rujukan yang sudah saya sebut di atas tadi, ternyata kata tunu itu berarti membakar (Badudu, p.1560). selain arti membakar ini, Poerwadarminta masih memberi arti yang lain, yaitu menyalakan, memasang (Poerwadarminta, p.1109).

Oh ya, akhirnya saya bisa juga mengakses ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dalam bentuk e-book. Ternyata di sana pun ada kata tunu yang artinya membakar, menyalakan, mengobarkan (KBBI Depdiknas 2008:p.1758). jadi, ternyata kata tunu ini bukan hanya kosa kata Manggarai saja, melainkan juga ada dalam kosa kata bahasa Indonesia, dengan artian leksikal yang kurang lebih sama. Hanya saja, di Manggarai ada perbedaan sedikit. Memang ada arti dasar membakar, tetapi bukan sembarangan membakar, melainkan hanya membakar jagung, itupun harus sekaligus dengan kulitnya (sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraf di atas tadi).

Tetapi hal yang sangat menarik perhatian saya sendiri ialah fakta bahwa saya baru bisa menyadari hal ini karena saya sedang membaca Kitab Nahum salah satu kitab para nabi dalam Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama), hasil terjemahan Katolik (Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina Cicurug, cikal bakal LBI sekarang ini) yang diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah, Ende Flores, pada tahun 1973. Tetapi imprimatur untuk terbitan itu berasal dari tahun 1970. Mungkin itulah sebabnya edisi cetakan kitab suci ini dicetak masih dengan memakai ejaan lama (ejaan Suwandi). (Padahal ejaan baru yang disempurnakan, mulai diperkenalkan dan dipakai pada tahun 1972; jadi setahun sebelum tahun terbitnya edisi yang disebut di atas tadi). Kata tunu itu ada dalam teks Nahum 2:14: “....kereta-keretamu Kutunu jadi asap....” Kiranya akan sangat menarik kalau kita bisa mengetahui berapa kalikah kata tunu itu dipakai dalam terjemahan itu. Pada tahun 1976 terbitlah edisi Terjemahan Baru (TB) dengan terjemahan baru pula (pada tahun 1996 muncul edisi revisi terjemahan khusus untuk Perjanjian Baru yang secara teknis disebut TB2). Dalam edisi terjemahan baru 1976 ini sebagaimana yang kita pergunakan sekarang ini terbaca hasil terjemahan sbb: “Aku akan membakar keretamu menjadi asap.” (Nah 2:14). Yang di atas tadi dipakai kalimat berstruktur pasif. Sedangkan yang kedua dipakai kalimat berstruktur aktif. (Terus terang saja, saya belum sempat mengecek dan membandingkan dengan hasil terjemahan versi BIMK, Bahasa Indonesia Masa Kini; dulu pernah disebut BIS, Bahasa Indonesia Sehari-hari).

Dengan perubahan terjemahan ini, maka kata tunu hilang dari terjemahan kitab suci. Bahkan hilang dari pemakaian kita sehari-hari sehingga kita sekarang tidak begitu akrab dengan kata itu. syukurlah, kita masih memiliki kamus yang berfungsi sebagai semacam ruang penyimpanan kosa kata sehingga dia bisa menjadi semacam jembatan kultural yang menghubungkan kita di masa kini dengan sebuah ruang konteks pemakaian di masa silam.

Saya memang mempunyai hobby untuk membanding-bandingkan hasil terjemahan kitab suci ke dalam beberapa bahasa yang bisa saya mengerti. Semuanya itu saya lakukan dalam rangka proses belajar terus menerus bagi diri saya sendiri, juga sebagai ajang melakukan proyek penelitian teks itu sendiri. Terkadang dari hasil pembandingan itu, muncul sebuah pemahaman baru akan teks tertentu. Terkadang juga terjadi, bahwa dalam proses dinamika pembandingan itu terjadi suatu proses penyingkapan makna tertentu. Mungkin itulah yang dalam khasanah hermeneutik disebut reproduksi makna karena dan dalam proses membaca dan membaca (reading as a process of reproducing and reconstructing meaning). Dan hal seperti itu selalu mendatangkan perasaan puas dan sukacita. Terasa seperti kita sedang memasuki sebuah ruang penyimpanan makna yang sangat kaya, luas, dan sekaligus mendalam. (Oh ya sebagai penutup catatan ini, saya mau memberitahukan bahwa dalam terjemahan Nusa Indah yang sudah disebut di atas tadi, ada banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang aneh-aneh karena sudah tidak dipakai lagi, sudah dikenal lagi. Untuk bisa memahaminya kita harus membuka kamus. Tetapi dalam rangka memperbanyak kosa kata kita, ada baiknya kata-kata itu digali dan dipakai kembali. Kiranya ini adalah kerja para ahli bahasa agar tidak terjadi kepunahan kosa kata, menjadi sekadar fosil di dalam kamus-kamus belaka).


Bandung, Jalan Nias 2, 21 Oktober 2016.