Rabu, 21 September 2016

WITU, LECEM, TEREP: KATA, BAHASA, DAN KESADARAN EKOLOGIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Pendahuluan
Mungkin selama ini kita menganggap remeh studi dan riset linguistik yang dilakukan oleh para ahli linguistik karena kita tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan dan kita tidak sungguh-sungguh menyadari apa kegunaan dan aplikasi praktis dari hasil studi mereka. Hal itu terjadi karena kita berjarak. Kita tidak tahu persis apa yang mereka kerjakan karena kita tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada hal itu. Tetapi sesungguhnya kita tidak dapat dan juga tidak boleh sama sekali menyepelekan studi dan penelitian di bidang linguistik yang dilakukan oleh para ahli. Sebab penelitian di bidang inipun bisa menghasilkan suatu temuan yang cemerlang dan tidak terduga-duga sama sekali, yang juga bisa memberi sumbangan besar terhadap ilmu, kebudayan, dan bahkan kemanusiaan itu sendiri.

Misalnya, hanya untuk menyebut salah satu contoh kongkret saja, hasil ketekunan studi dan penelitian linguistik yang telah dilakukan oleh pater Jilis Verheijen SVD selama ini di Manggarai. Walaupun dia hanya seorang pastor misionaris dan bukan seorang ahli linguistik profesional, tetapi dia telah melakukan penelitian dan studi terhadap gejala bahasa di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi orang-orang yang menaruh minat dan kepedulian besar terhadap antropologi, studi dari pater Verheijen itu amat penting dan mendasar. Misalnya, dari dan berdasarkan studi beliau tentang nama tetumbuhan di Manggarai, muncul sebuah kamus nama tetumbuhan (Verheijen 1982), dan kita juga dapat menemukan dua kategori temuan yang ajaib. Pertama, kita dapat menemukan nama kuno dari tetumbuhan tertentu; disebut nama kuno karena kini sudah dipakai lagi sebagai nama tetumbuhan, melainkan hanya sebagai nama tempat (toponim) saja. Kedua, dari dan berdasarkan studi itu kita juga dapat menyingkapkan nama tetumbuhan yang kini diduga sudah hilang atau punah, tetapi saat ini masih tetap dilestarikan sebagai nama tempat ataupun nama kampung tertentu. Contoh-contoh akan diberikan pada waktunya nanti.

Rekam Jejak Masa Silam Dalam Bahasa
Hal itu mungkin bisa terjadi karena kata Pater Verheijen (mungkin sekali karena berada di bawah bayang-bayang pengaruh filsafat Heideger tentang bahasa sebagai rumah ada, the house of being), di dalam bahasa-bahasa terekam dan tersimpan sejumlah data historis dari masa silam yang bisa menyingkapkan sesuatu tentang misteri masa silam itu bagi masa kini dan juga bagi masa depan (1982:34). Maka adalah mungkin kita bisa menemukan di dalam “rekaman” linguistik itu nama tetumbuhan yang kini sudah tidak lagi digunakan orang karena sudah ada nama baru yang lebih popular, tetapi popularitas nama baru itu sama sekali tidak menggusur nama lama, nama arkais (kuno) tadi. Dalam konteks bahasa-bahasa yang tidak mempunyai tradisi tertulis, dan juga tidak ada catatan-catatan tertulis (karena berbentuk tradisi lisan), seperti halnya di Manggarai, fakta dan proses kehilangan seperti itu hanya dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh kasus saja. Memang harus diakui bahwa semuanya ini masih sangat terbatas. Tetapi dari yang serba terbatas itu, kita masih bisa menyingkapkan masa silam dengan cukup baik.

Munandjar Widiyatmoko, dalam bukunya yang berjudul Cendana, dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur (2014:3-4) menyinggung mengenai kenyataan bahwa di masa silam cendana itu tumbuh di sebagian besar pulau-pulau utama di kawasan Nusa Tenggara Timur, seperti Flores, Sumba, Timor, Alor. Di sana kayu Cendana itu dikenal dengan pelbagai macam nama-nama lokal. Khususnya di Manggarai kayu itu dikenal dengan sebutan haju benge (Hemo 1987/1988:38). Tetapi akibat derap-laju perdagangan internasional, akhirnya kayu itu sudah hilang (punah) dari beberapa pulau utama di NTT dan kini hanya tinggal tersisa di Timor saja sehingga dewasa ini hanya pulau Timor saja yang dikenal sebagai pulau penghasil Cendana tersebut. Sedangkan pulau-pulau lain (Flores, Sumba, Alor) hanya tinggal sebuah kenangan historis dari masa silam belaka. Peristiwa tragika kepunahan yang terjadi di dalam sejarah masa silam Nusa Tenggara Timur, sesungguhnya tidak hanya menimpa nasib kayu Cendana saja. Masih ada cukup banyak jenis tetumbuhan, pepohonan lain yang pasti sudah mengalami nasib yang sama, hanya saja mungkin belum terungkapkan dalam sebuah studi, penelitian, maupun sekadar sebuah dokumentasi tertulis. Hal ini bisa saja masuk akal karena NTT, menurut Parimartha (2002:181-255;363-364), juga berada di kawasan jalur perdagangan laut internasional sejak dahulu hingga sekarang ini. Kayu cendana menjadi hilang (punah) dari beberapa pulau di NTT justru karena efek dari perdagangan internasional tersebut. Banyak orang datang untuk mencarinya, menebangnya dan mengangkutnya keluar untuk dipasarkan di pasar internasional, dengan meninggalkan di belakang pulau-pulau tandus, hamparan sabana dan stepa yang kering kerontang. Belum lagi kita memperhitungkan persoalan lain seperti perubahan musim ekstrem, maupun juga bencana alam seperti letusan gunung berapi, seperti letusan Tambora tahun 1815 yang sangat terkenal itu (Boers 1995:37-60), dan juga letusan-letusan gunung-gunung yang lain, yang memang ada sangat banyak di kawasan itu, sehingga orang mengenalnya juga dengan sebutan yang cukup serem, Ring of Fire (Cincin Api). Untuk menguak semuanya itu tentu saja dibutuhkan sebuah studi yang panjang dan mendalam. Semoga ada pakar lain yang tergerak untuk melakukan hal itu di waktu-waktu yang akan datang.

Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini, saya hanya akan mencoba menelusuri nama dari tiga tetumbuhan di Manggarai. Dari ketiga nama tersebut ada dua nama yang termasuk kategori pohon (haju) dan satu yang termasuk kategori rerumputan (remang). Ketiganya ialah, disebut menurut urutan kategori di atas tadi, Lecem, Terep, dan Witu. Tetapi dalam uraian saya di bawah ini, saya akan menempuh sebuah urutan terbalik, yaitu mulai dengan kategori rerumputan (Witu), baru sesudah itu saya mengulas mengenai kategori pohon (Lecem, Terep).

Witu, Werwitu
Pertama, kata Witu. Sejujurnya, saya harus akui dengan jujur dan berani bahwa sebelumnya saya tidak mengetahui kosa kata ini, apalagi sebagai nama sebuah rumput di Manggarai (dan mungkin di tempat lain, seperti di Ende, sebagaimana diinformasikan oleh pater Verheijen sendiri). Bahkan saya juga belum pernah mendengar nama tempat yang bernama Witu di Manggarai. Tetapi menurut hasil studi linguistik-botani-biologi dari pater Verheijen, Witu adalah nama rumput yang hilang dalam pemakaian bahasa sehari-hari di Manggarai. Boleh jadi rumputnya sendiri masih ada, tetapi dewasa ini rumput itu mungkin sudah dikenal atau disebut dengan nama yang lain. Mungkin sekarang ini orang Manggarai tidak tahu lagi bahwa dulu di tanah Manggarai ada sejenis rerumputan yang bernama Witu tetapi yang kini sudah punah, artinya secara fisik sudah tidak lagi ada bekasnya di Manggarai, tetapi eksistensinya terekap (tersimpan) secara linguistik dalam kata (bahasa). Entah apa sebabnya ia hilang atau punah. Tetapi adalah pater Jilis Verheijen svd yang bisa “menemukannya” lagi, dan membuktikan bahwa dulu rumput itu pernah ada dan hidup di Manggarai. Bagaimana caranya? Kita semua tahu bahwa Pater Verheijen mengumpulkan banyak cerita rakyat Manggarai, menyusun kamus bahasa Manggarai, menjadi peneliti flora dan fauna Manggarai (dalam hal ini ia tidak sendirian, melainkan ada juga rekannya sesama misionaris dari Eropa yaitu Pater Erwin Schmutzs svd, yang juga sudah menghasilkan sebuah karya monumental tentang botani Manggarai). Sesungguhnya kedua orang ini adalah pastor misionaris biasa belaka, tetapi mereka mempunyai minat dan perhatian khusus dalam bidang bahasa dan botani (Pater Verheijen untuk keduanya, sedangkan Pater Erwin Schmutzs khusus untuk bidang botani, tetumbuhan di Manggarai).

Dalam semua proses kegiatan penelitian inilah, pada suatu saat pater Verheijen menemukan sebuah kata dalam kosa kata Manggarai berupa sebuah nama tempat (geographical names, atau toponym). Tetapi hal yang sangat menarik ialah bahwa pada saat ia menemukannya, sesungguhnya ia tidak ketahui lagi arti dari kata itu, karena bahkan orang-orang setempat pun sudah tidak tahu lagi artinya. Misalnya ada tempat bernama Liang Witu (yang terletak di North Riwu? Atau Riwu Utara?), juga ada nama tempat Purang Witu (yang diduga terletak di Todo?). Ada juga nama tempat Werwitu (yang diduga terletak di Lambaleda?), yaitu Liang Witu yang artinya Gua yang bernama Witu. Purang Witu artinya Kubangan Kerbau yang bernama Witu. Yang agak membingungkan ialah nama tempat yang bernama Werwitu. Pater Verheijen, dalam studi ilmiahnya, menduga bahwa mungkin saja aslinya nama Werwitu itu ialah Wae Witu, tetapi yang dalam proses pengucapan yang dipersingkat dan terpeleset karena the split of the tongue (keseleo lidah), lalu lama kelamaan kemudian menjadi Werwitu. Jika dugaan ini benar maka mungkin saja kata Werwitu itu sesungguhnya berarti Sungai Witu, atau suatu tempat yang terletak di dekan Sungai yang bernama Witu.

Lalu pertanyaan berikutnya yang juga amat penting, dari mana dan atas dasar apa pater Verheijen yakin bahwa nama-nama tempat itu aslinya adalah nama sejenis rerumputan? Tentu saja tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi kiranya hal itu bisa dijawab dengan cara berikut ini. Pater Verheijen bisa menemukan hal itu lewat sebuah studi perbandingan linguistik (comparative linguistic) sederhana berdasarkan hasil kunjungan risetnya ke beberapa daerah lain di luar Manggarai. Kita tahu bahwa pater Verheijen juga melakukan perjalanan keliling di beberapa tempat di Pulau Flores (bahkan juga keluar pulau Flores, tetapi masih di kawasan Nusa Tenggara Timur), dalam rangka melakukan semacam studi perbandingan linguistik ringan dan sederhana. Misalnya di Ngadha dan Ende ia menemukan kata Witu dalam artian (nama sejenis) rumput, yang dalam bahasa Latin ilmiahnya disebut Saccharum spontaneum. Di East Sumba, rumput itu, selain disebut witu juga ada varian wicu, wucu, wusu. Di Sawu ada varian widu yang mungkin artinya ialah “rumput alang-alang” atau Imperata cylindrica. Di Dawan, Eban di WTimor ia menemukan juga witu untuk nama rumput yang dalam Latin disebut Oplismenus sp..

Atas dasar studi perbandingan sederhana itulah Pater Verheijen lalu berani menarik sebuah simpulkn bahwa, kata witu, yang tidak diketahui lagi artinya di Manggarai, tetapi yang tetap terekam dan tersimpan dalam dan sebagai nama tempat (toponim) di tempat lain, adalah nama sejenis tetumbuhan (rumput) dulu di Manggarai dan yang kini sudah hilang. Walaupun rumput itu sendiri kini sudah hilang (punah), tetapi keberadaannya secara historis masih terekam dan kini bisa ditemukan kembali sebagai sebuah kosa kata NTT (tidak hanya terbatas di Manggarai saja); kosa kata itu, dalam artian yang asli, kini masih bisa ditemukan juga di pelbagai tempat yang lain. Itulah yang saya maksudkan dengan keajaiban kata dan bahasa, yaitu mampu merekam dan menyimpan data dan fakta historis dari masa silam. Berdasarkan rekaman kosa kata Witu (sebagai sebuah nama tempat), kita bisa mengetahui bahwa di masa silam Manggarai, pernah ada sejenis rumput yang disebut Witu oleh orang setempat, dan yang kini sudah hilang.

Lesem, Lecem, Leseng, Leceng
Selain kata Witu yang sudah dijelaskan di atas tadi, pater Verheijen juga masih menemukan nama sejenis pohon buah-buahan yang juga kini sudah hilang alias tidak ada lagi di Manggarai. Tetapi namanya, dan di balik nama itu pasti ada eksistensinya juga, tetap disimpan secara abadi sebagai sebuah nama tempat (toponim, geographical name), yaitu persisnya sebagai nama sebuah Kampung. Nama kampung yang dimaksud ialah Lesem atau Lecem yang terletak di Cibal Utara. Saya juga harus mengakui dengan jujur bahwa saya tidak tahu jenis pohon yang bernama Lecem atau Leseng ini, maupun juga nama-nama variannya. Yang saya tahu hanya bahwa itu adalah nama sebuah kampung di Cibal utara. Konon ini adalah sejenis pohon buah-buahan liar yang tumbuh di hutan, tidak dibudi-dayakan oleh manusia. Pohon ini bernama Latin ilmiah Spondias malayana. Di Manggarai Barat dan Komodo pohon ini juga dikenal dengan nama yang sejenis identik yaitu leseng (Kmd: Komodo?); dan di Mw (Matawae?) pohon ini dikenal dengan nama atau sebutan Leceng. Hal yang amat menarik ialah fakta bahwa di dalam Kamus Manggarai dari pater Verheijen, kita tidak dapat menemukan kata Lecem ini. Sebaliknya, kita hanya bisa menemukan kata Letjeng (Leceng) saja. Di sana diberi keterangan berikut ini: Itu adalah nama buah dari sebuah pohon (Letjeng) yang buahnya terasa asam (kecut) (Verheijen 1967:278).

Di beberapa tempat lain kata yang identik sejenis itu sudah tidak lagi dikenal sebagai nama pohon melainkan lebih dikenal sebagai nama tempat atau kampung (toponim, geographical name). Begitu misalnya di Patjar (Pacar) dan di Riung barat ada kampung yang juga bernama Lesem dan di Cibal ada kampung yang juga bernama Lecem. Menurut pater Verheijen, saat dia bertanya tentang arti kata Lecem ini di Cibal atau di Riung, ternyata sudah tidak ada lagi orang setempat yang masih mengetahui arti nama lecem/lesem/leceng itu dalam bahasa lokal mereka. Begitu juga orang tidak lagi mengenal pohon yang bernama Lecem atau Lesem itu. Walaupun demikian, pater Verheijen tidak ragu sedikitpun untuk menyimpulkan bahwa nama pohon ini dulu pada suatu saat pernah dipakai di tempat-tempat tadi ketika pohon itu masih ada dan hidup di sana. Bahkan tempat atau kampung itu dikenal dan diberi nama demikian justru karena memang dulu di sana pernah tumbuh pohon Lesem. Memang untuk memastikan hal ini, masih harus dipelajari juga dengan teliti cara dan pola pemberian nama tempat dalam tradisi Manggarai. Tentu saja salah satu polanya ialah dengan mengaitkan tempat itu dengan pohon atau rumput apa yang tumbuh di atasnya. Pasti masih ada cara lain seperti penjelasan mitologis, atau penjelasan berdasarkan nama tokoh yang pernah berperan besar dalam sejarah masa silam di suatu tempat tertentu. Tetapi hal itu tidak akan dibahas lebih lanjut di sini. Semoga di lain kesempatan saya bisa membahasnya lagi secara ilmiah dan historis.

Jadi eksistensi pohon itu secara historis diabadikan dalam nama tempat (geographical names atau toponym) (Verheijen, 1984:37). Dalam catatan akhir pater Verheijen mengatakan bahwa tidak lama sesudah kebingungan dan ketidak-tahuan awali itu, di kampung Lecem Cibal Utara, ada orang yang kemudian mengaku bahwa dia mengenal pohon Lecem itu. Bagi Verheijen, klaim pengenalan itu sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa pohon itu sudah tidak ada lagi dalam fakta, juga tidak ada lagi bahkan dalam ingatan kolektif komunitas; eksistensi historisnya sekarang ini hanya terekam sebagai sebuah toponym belaka. Ia juga menambahkan sebuah informasi penting bahwa di Cibal ada sebuah kampung bernama Teni, tetapi tidak ada seorang pun di sana yang tahu bahwa teni itu sesungguhnya adalah nama sejenis tumbuhan yang termasuk kategori umbi-umbian (tuberous plant). Walau di Cibal khususnya di Teni sendiri, orang sudah tidak mengenal lagi teni itu sebagai umbi-umbian, tetapi Teni sebagai nama umbi-umbian masih dikenal di South Lamba-Leda (Verheijen 1984:78). Justru atas dasar temuan linguistitik perbandingan di Lamba-Leda itulah, Verheijen bisa memastikan mengenai arti Teni itu juga di tempat lain, termasuk di Cibal.

Terep (Teureup, Citeureup?)
Akhirnya saya juga mau berbicara tentang sebuah pohon yang bernama Terep. Pohon ini juga dulu sesungguhnya dikenal di Manggarai dan oleh orang-orang Manggarai, tetapi dengan sebuah nama lain yang akan dikatakan kemudian. Saya baru mengenal kata Terep ini sebagai nama pohon, setelah saya merantau ke Pulau Jawa (terutama Jawa Barat, Sunda) dan menemukan di sana ada tempat bernama ce-Terep dan itu dikaitkan secara jelas dengan nama sebuah pohon, yaitu Terep. Ketika saya masih di Manggarai dulu juga, setidaknya di daerah Cibal, saya sudah tahu ada nama sebuah kampung Terep, tetapi saya tidak mengetahui bahwa boleh jadi Terep itu dulunya adalah nama sebuah Pohon. Menurut keterangan dari pater Verheijen pohon Terep (kluwih, sukun) ini tumbuh di Manggarai pada ketinggian antara 100-700m dpl. (Verheijen 1984:34). Biji dari buah pohon kluwih atau sukun ini di Manggarai dulu biasa disangrai (cero, sero) dan dimakan. Biji yang sudah disangrai itu terasa sangat lezat seperti kacang tanah atau biji jambu mete. Getah pohonnya dipakai untuk macam-macam kegunaan antara lain untuk menjerat burung (roku). Juga dulu dipakai untuk menguatkan sambungan balok-balok rumah. Tetapi yang paling banyak digunakan ialah kulit pohon itu. Kulit pohon yang besar biasa dipakai untuk membuat langkok atau joreng atau cecer, yakni wadah raksasa (berbentuk melingkar, berdiameter minimal satu setengah meter) untuk menyimpan padi secara tradisional di Manggarai. Di beberapa tempat seperti di Matawae (Mw?), kulit pohon ini juga dipakai sebagai pembungkus (rokot) mayat. Juga di beberapa tempat untuk bahan pakaian dan tali. Mungkin juga kulit pohon itu diolah untuk menjadi zat pewarna alami untuk dipakai dalam dunia pertenunan tradisional Manggarai.

Entah bagaimana proses terjadinya, tetapi kini di banyak tempat di Manggarai pohon ini dikenal dengan nama yang lain (nama baru) Lale. Bahkan kata lale ini pernah diabadikan sebagai nama lain (alias) untuk Manggarai, bahkan mungkin juga itu adalah nama asli Manggarai, Nusa Lale, yang artinya Pulau Lale (Nunca, Nuca Lale; disebut dengan nama seperti itu barangkali karena di sana ada banyak pohon lale di masa yang silam; Verheijen 1967:393). Tetapi fakta bahwa di beberapa tempat, misalnya di Cibal ada sebuah kampung yang bernama Terep, bagi pater Verheijen, itu adalah bukti dan pertanda historis yang cukup memadai bahwa dulu kosa kata Terep ini juga pernah dikenal di Manggarai. Kata atau nama terep (teureup) inilah yang paling banyak dikenal dan ditemukan di beberapa kawasan Nusantara ini (Erb 1999:60). Hanya Manggarai sendiri saja, kata Erb, yang memakai kata Lale untuk pohon yang di mana-mana di Nusantara disebut Terep. Hanya tetap menjadi sebuah misteri besar ialah mengapa dan bagaimana kata atau nama Terep itu bisa hilang di Manggarai sebagai nama pohon lalu sebagai gantinya muncul nama atau sebutan Lale.

Di bawah ini bisa diberikan beberapa kemungkinan penjelasan hipotetis untuk menjelaskan hal itu. Pertama, mungkin sekali nama Lale itu adalah sebuah nama bawaan suku-suku pendatang tertentu (kaum imigrant), lalu nama Lale itu lambat laun menjadi nama tempat seperti Lale Lombong dekat Perang, Deket dan Pana itu. Memang secara nyata di tempat itu sekarang dan juga di sekitarnya tumbuh pohon Lale, walaupun kini sudah terancam punah juga karena kayunya banyak ditebang, sebab memang kayunya termasuk kategori kayu yang kuat dan keras. Jika penjelasan hipotesis ini diterima maka harus diandaikan bahwa para pendatang itu pasti berasal dari tempat yang jauh yang tidak memakai kata Terep untuk menyebut nama pohon tadi, tetapi memakai kata Lale untuk menyebut nama pohon itu. Ssesungguhnya, saya harus dengan berani mengatakan bahwa hipotesis ini agak sulit dibuktikan dan diterima, kalau lebih lanjut diselidiki dari manakah asal-usul para imigran itu, sehingga mereka tidak mengenal kata Terep itu, melainkan hanya mengenal kata Lale, padahal kata Terep dipakai secara meluas dan hampir merata di seluruh kawasan nusantara. Atau kedua, mungkin aslinya dulu di banyak tempat nama pohon itu adalah Terep, tetapi karena di tempat itu pohon Terep tadi punah maka orang tidak lagi mengenalnya, dan sebagai gantinya orang lebih mengenal nama Lale apalagi nama Lale itu kini diabadikan menjadi Nusa Lale, sehingga nama ini menjadi jauh lebih populer dari pada Terep di dalam pemakaian sehari-hari orang Manggarai dan juga dalam ingatan kolektif historis mereka itu.

Saya juga harus mengakui dengan jujur dan berani bahwa kedua penjelasan hipotetik ini pun belum sepenuhnya bisa menyingkap misteri perubahan dari Terep ke Lale, mengingat kenyataan bahwa hanya Manggarai sendiri saja yang mengenal Lale itu, sementara tempat-tempat lain, tidak mengenal kata itu. Atau boleh jadi, kata Lale itu memang adalah kata asli Manggarai dan bukan bawaan kaum imigran. Jika ini benar, maka mungkin kita harus memikirkan ulang mengenai hipotesis tentang asal-usul sebagian suku Manggarai yang konon berasal dari luar (imigran). Boleh jadi nama Lale itu berasal dari orang-orang Manggarai “asli” yang tidak berasal dari luar, melainkan sudah ada di sana sejak jaman purbakala. Entahlah. Semoga di masa-masa yang akan datang, dengan studi perbandingan linguistik historis yang jauh lebih baik kiranya ada para peneliti muda Manggarai yang bisa menyingkapkan hal ini. Lagi-lagi dalam kasus Terep ini pun kita juga menemukan dan menyadari sebuah fakta bahwa kata dan bahasa mampu merekam data dan fakta historis dari masa silam, sesuatu yang sangat berguna sebagai informasi historis untuk masa kini dan masa depan.

The Angry Earth: Sebuah konklusi ekologis
Di atas tadi sudah diberikan studi singkat atas fenomena beberapa kata atau nama tempat di Manggarai, yang sesungguhnya merupakan nama tetumbuhan tertentu (pohon dan rerumputan). Tetapi kini tetumbuhan itu tidak ada lagi (untuk witu dan lesem) atau nama tetumbuhan itu lebih populer dikenal dengan nama lain (untuk terep). Perlu diinsafi bahwa selama ini aktifitas ekonomis Manggarai, selain pertanian dan peternakan berskala kecil, hanya berupa perdagangan. Dalam rangka itu, hasil bumi dan alam alam diambil oleh manusia untuk perdagangan dan juga untuk konsumsi hidup manusia sehari-hari. Tetapi skala dampak ekologis dari aktifitas itu kiranya tidak seberapa, walaupun tetap ada dampak ekologis berupa punahnya beberapa nama tetumbuhan atau flora. Bahkan mungkin dulu di Manggarai juga ada cendana, yang dikenal dengan sebutan haju benge (Hemo 1987/88:35-36). Tetapi kini pohon itu sudah punah sama sekali karena ekpsploitasi sebagai side efek dari lalu lintas perdagangan internasional yang suka atau tidak suka juga merambah ke kawasan Nusa Tenggara itu (Parimartha 2013; Pelras 2006).

Coba bayangkan sekarang kalau aktifitas ekonomis itu adalah berupa aksi eksplorasi pertambangan yang brutal dan massal. Berapakah yang akan terancam hilang dan punah? Kiranya yang terancam punah bukan lagi hanya sekadar flora dan fauna saja. Kelak di masa yang akan datang, yang ikut terancam punah dan hilang adalah manusia itu sendiri. Sebab manusia juga hidup di dalam dan bersama Flora dan Fauna itu, dan bahkan kalau mau jujur dan rendah hati manusia itu adalah bagian utuh dari flora dan fauna itu juga. Kalau flora dan faunanya musnah maka tidak lama lagi manusianya pun akan hilang dan punah juga. Tinggal tunggu waktu saja. Itulah sebabnya dalam judul tulisan saya ini, saya mengingatkan kita semua akan sebuah kesadaran ekologis baru. Saya sungguh-sungguh berharap agar nama-nama pohon dan rerumputan yang kini hilang itu (sebagaimana sudah dijelaskan di atas tadi), tetapi yang kini masih tersimpan dalam ruang dan daya rekam kata dan bahasa, kiranya bisa membangkitkan kesadaran ekologis kita semua.

Rekaman linguistik itu jelas menyimpan sebuah bencana historis di masa silam bagi kita sekarang ini. Diharapkan agar rekaman linguistik historis itu, kiranya bisa membangkitkan kesadaran kita akan bencana ekologis di masa yang akan datang jika kita tidak berhati-hati dalam merawat ibu bumi kita sendiri. Ingat bahwa dalam ritual kesuburan asli orang Manggarai, bumi ini disebut Ende Wa (har. Ibu yang di Bawah, alias bumi dan segala isinya) dengan pasangan Ema Eta (har. Bapa yang di Atas, yaitu langit, matahari) (Verheijen 1991:41-42; Erb 1999:22). Jika kita tidak memperlakukan Ende Wa ini dengan baik, maka bukan tidak mungkin bahwa Ema Eta akan menjadi marah dan kemarahan itu akan mendatangkan bencana ekologis bagi semua makhluk hidup yang terlahir dari rahim pertiwi ini, seperti disarankan oleh Anthony Oliver-Smith and Susanna M.Hoffman (editor), yang mengedit dan menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Angry Earth (Bumi yang Murka). Reaksi bumi mungkin tidak hanya marah. Leonardo Boff menyarankan suatu reaksi yang lain: Bumi bisa juga menangis. Dan tangis bumi menurut Boff adalah tangis orang Miskin. The Cry of Earth, Cry of the Poor. Mari kita menjaga agar jangan sampai Ibu Pertiwi, Bunda Bumi, menangis dan marah kepada kita. Sebab kita yakin, sebagaimana pernah dikidungkan Fransiskus dalam Gita Sang Surya-nya yang terkenal itu, Ibu Bumilah yang memberi kita makan dan kehidupan.


Bibliografi:
Andaya, Leonard Y.,
2013 (2004). Warisan Arung Palaka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17.
Makassar: Ininnawa.
Boers, Bernice de Jong,
1995. “Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its
Aftermath,” in Indonesia No.60 (Oct., 1995), pp.37-60.
Boers, Bernice de Jong and Helius Sjamsuddin,
2012. Letusan Gunung Tambora 1815. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Boff, Leonardo,
1997. Cry of the Earth, Cry of the Poor. Maryknoll, New York: Orbis Books.
Erb, Maribeth,
1999. The Manggaraians, A Guide to Traditional Lifestyles, Singapore: Times
Edition.
Hemo, Doroteus,
1987/88. Sejarah Daerah Manggarai. Ruteng: Tanpa Penerbit.
Mboi, Ben,
2010. Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Oliver-Smith, Anthony and Susanna M.Hoffman (eds),
1999. The Angry Earth. Disaster in Anthropological Perspevtive. New York and
London: Routledge.
Parimartha, I Gde,
2002. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara, 1815-1915. Jakarta: KITLV-
Djambatan.
Pelras, Christian,
2006. Manusia Bugis, Jakarta: Nalar (Forum Jakarta-Paris).
Schmutz, Erwin,
1977-1980. Die Flora der Manggarai. in 5 volumes, private mimeographed
edition, arranged after families, not paginated; about 800 pages.
Toda, Dami N.,
1999. Manggarai, Mencari Pencerahan Historiografi, Ende-Flores: Nusah
Indah.
Verheijen, Jilis,
1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-KITLV.
Verheijen, Jilis,
1967. Kamus Manggarai 1, Manggarai – Indonesia, ‘S-Gravenhage: KITLV,
Martinus Njihoff.
Verheijen, Jilis,
1982, Dictionary of Manggarai Plant Names, Pacific Linguistics Series D,
No.43, Canbera: Australian National University.
Verheijen, Jilis A.J.,
1984. “Plant Names in Austronesian Linguistics.” In NUSA, Linguistic Studies
of Indonesian and Other Languages in Indonesia, volume 20, 1984.
Widiyatmoko, Munandjar,
2014 (2007). Cendana dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kolese Ignatius Kota Baru Yogyakarta, April 2015
Tulisan ini dibuat berdasarkan informasi dari beberapa karya tulis pater Verheijen svd.