Sabtu, 10 Desember 2011

NAMA-NAMA ORANG MANGGARAI: SEBUAH KILAS BALIK

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Tanpa terasa, sudah duapuluh satu tahun silam saya terbitkan karangan saya di majalah bulanan Kebudayaan Basis dengan judul “Nama-nama Orang Manggarai” (yang dimuat dua secara bersambung dua bulan berturut-turut oleh redaksi Basis). Saya tidak akan pernah lupa akan peristiwa itu karena satu alasan yang akan saya jelaskan kemudian. Sekarang saya teringat lagi akan karangan itu dan pelbagai upaya yang saya lakukan selama ini untuk memperluas dan memperdalamnya. Saya teringat karena saya membaca sebuah buku dari Clifford Geertz. Sebuah nama yang sangat terkenal dalam dunia Antropologi budaya. Sebuah nama besar.

Saya ingat bahwa pertama kali saya mendengar nama Clifford Geertz ialah dalam beberapa mata kuliah antropologi filsafat di STF Driyarkara Jakarta; itu berarti sekitar tahun 1983-86 silam, ketika saya masih kuliah Filsafat di Kampus Jembatan Serong Rawasari itu. Geertz sesungguhnya sudah menulis buku penting pada awal tahun 70-an; tepatnya pada tahun 1973. Judul buku itu ialah The Interpretation of Culture. Sebenarnya buku itu adalah sebuah kumpulan karangan. Ada yang ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan yang Geertz lakukan di beberapa tempat di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal ialah penelitiannya di Mojokuto itu, yang antara lain menghasilkan temuan istilah yang teramat populer Islam Santri dan Islam Abangan itu. Juga analisis tentang ritual dalam masyarakat Jawa yang antara lain bermuara pada paham tentang ide kultur sebagai model of dan model for reality.

Selain di Mojokuto, Geertz juga melakukan penelitian di Bali. Ketika masih kuliah di STF Driyarkara dulu saya hanya berurusan dengan definisi Geertz mengenai agama, sebuah definisi yang sangat terkenal karena dikutip dan dianalisis, dan dikritisi oleh banyak ahli lain, antara lain pada tahun 1993 (jadi dua puluh tahun kemudian) oleh Tallal Assad itu. Definisi agama dari Geertz itu mengandung lima komponen yang tidak akan saya sebutkan satu persatu di sini.

Jauh di kemudian hari, buku ini pada awal tahun 90-an sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius, Yogyakarta. Tetapi saya lupa judul terjemahan itu. (Mungkin berjudul: Teori Kebudayaan). Ketika saya kuliah teologi di Belanda, lagi-lagi saya mengutak-atik definisi agama Geertz ini, karena dosen Antropologi saya, Martin Raamstedt, mengupas definisi beliau mengenai agama berdasarkan kajian kritis dari Tallal Assad. Dalam mata kuliah Fenomenologi Agama di Fakultas Filsafat UNPAR Bandung pun, saya banyak memakai definisi dari beliau ini untuk menerangkan gejala agama, walau saya punya catatan kritis saya sendiri akan hal itu: Misalnya, Geertz dalam definisi itu sama sekali tidak menyinggung mengenai yang kudus, the sacred, apalagi menyinggung yang transenden. Entah apa yang menjadi alasan Geertz tidak menyebut hal itu dalam definisinya.

Saat ini, ketika saya sedang studi S3 di ICRS-Yogya, lagi-lagi saya sangat sering berurusan dengan buku Geertz ini. Bahkan untuk pertama kalinya saya baru sempat membaca buku Geertz ini sampai bagian akhir. Di bagian akhir inilah saya menemukan sebuah studi Clifford Geertz tentang masyarakat Bali. Antara lain misalnya studi dia tentang kebiasaan menyabung ayam di antara kaum pria di Bali (sesuatu yang sebenarnya juga cukup biasa juga di kalangan orang Manggarai paling tidak saya masih saksikan ketika saya masih kecil dulu). Tetapi yang jauh lebih menarik dan lebih penting bagi saya ialah studinya tentang fenomena nama dan hal naming process di antara orang-orang Bali.

Antara lain misalnya ia mengemukakan tentang pengaruh name giving process terhadap status sosial dan social interactioan di antara pelbagai pribadi dalam masyarakat. Nama dan name giving process orang Bali sangat unik, sebab nama menunjukkan urutan kelahiran. Anak pertama, anak kedua, anak ketiga, sampai anak kedelapan. Celakanya, ada beberapa nama yang bakal hilang, karena pengaruh KB. Sebab itu berarti tidak akan ada lagi nama untuk anak ketiga, keempat, dst. Sebab yang dianggap lebih baik menurut kampanye KB nasional ialah mempunyai anak dua saja.

Ulasan Geertz mengenai nama-nama orang Bali itu, serta-merta mengingatkan saya akan artikel yang pernah saya tulis dan terbitkan di Majalah Bulanan Budaya Basis sekitar bulan April-Mei tahun 1990. Judulnya ialah: Nama-nama Orang Manggarai. Ketika saya menulis artikel itu saya sama sekali tidak pernah membaca studi Geertz tentang nama-nama orang Bali. Jadi, tidak ada saling pengaruh sama sekali. Tetapi ternyata ada beberapa kemiripan dalam kesimpulan saya dan simpulan Geertz: paling tidak menyangkut keunikan name giving process pada orang-orang Manggarai, yang juga ada pada orang-orang Bali. Ada banyak istilah antropologis yang baku yang menarik, yang sekarang saya pakai untuk memperluas dan memperkaya, dan memperdalam tulisan saya sendiri.

Saya juga ingat bahwa pada akhir tahun 1990 saya mendapat surat dari Universitas Hamburg, Jerman, dari seorang yang saat itu sangat saya kagumi, yaitu dari Bapak Kraeng Dami N.Toda. Saya mengagumi dia karena ia adalah seorang penyair Manggarai yang eksist di tingkat nasional. Beberapa puisinya terbit di majalah sastra terkemuka tingkat nasional Horizon dan Basis. Ia juga saya kagumi karena studi dan kajian kritisnya atas seorang pengarang indonesia, Iwan Simatupang, seorang novelis eksistensialis. Pak Dami menspesialisasi diri dalam cerpen-cerpen Iwan dan melahirkan sebuah buku ulasan kritis: Tegak Lurus Dengan Langit. Nah, dari orang hebat itulah saya mendapat surat. Saya dek-dekan. Apa kiranya isi surat itu.

Ternyata di luar dugaan saya sama sekali, surat itu berisi pujian hampir selangit dari beliau tentang tulisan saya di Basis. Tentu saja saya sangat bangga karena hal itu. Bangga sekali. Betapa tidak: saya dipuji oleh seorang profesor di Jerman yang mengasuh matakuliah (seminar) masalah-masalah Asia Tenggara di Universitas tersebut. Itulah yang membuat saya senang dan bangga, dan karena itu tidak akan pernah saya lupakan, seperti sudah saya singgung diawal. Sekali lagi, intinya,Pak Dami memuji artikel yang saya terbitkan di Basis itu. Rupanya ia juga membacanya. Ia mendorong saya untuk terus menggali dan mendalami hal itu. Jelas, hal itu saya lakukan, ada ataupun tidak ada anjuran dari dia. Saya terus melakukan pendalaman akan studi itu. Bahkan Bapa Dami berjanji untuk mencari sponsor beasiswa untuk studi lanjut bagi saya di bidang antropologi budaya; tetapi hal itu tidak pernah sampai terwujud.

Tetapi dorongan dari dia itu sangat berarti besar bagi saya. Saya terus melakukan studi dan pengkajian tentang gejala nama itu dari segi budaya, teologi, dan antropologi filsafat. Hasilnya: Artikel Basis itu sudah jauh berkembang dari versi awal di Basis tadi. Pada bulan April tahun 2002, saya bertemu dengan bapak Dami di Arnhem. Dia mengajak saya untuk saling bertemu di sana. Ia datang dari Hamburg, saya datang dari Nijmegen. Tujuan kami sebenarnya mengunjungi museum militer Belanda di kota Arnhem itu. Pada kesempatan lain saya sudah menulis secara khusus tentang pertemuan itu di Blog saya. Maka saya tidak akan mengulangi detail itu di sini. Ada segi lain yang akan saya tulis di sini.

Setelah selesai kunjungan museum, kami makan siang bersama dan berdiskusi. Diskusi dengan Bapa Dami di Arnhem itu sangat membantu memperluas cakrawala saya. Sayang, itulah perjumpaan pertama dan terakhir saya dengan bapa Dami,karena pada tahun 2007 (lima tahun sesudah pertemuan itu) ia wafat. Studi saya kini tentang Geertz dan nama orang Balinya juga ikut membentuk secara baru artikel saya yang lama tersebut.

Kini saya masih memoles dan memperkayanya. Semuanya demi budaya orang Manggarai, yang dalam salah satu edisi buku dikategorikan sebagai satu satu dari the vanishing cultures of the world.


Yogya, 28 November 2011.
Diketik dan diperluas lagi 10 Desember 2011