Minggu, 24 Juli 2011

THE PHENOMENON OF "REWUNG TAKI TANA"

By: Fransiskus Borgias M.

Today (31 May 2011) I remember one of linguistic expressions in Manggarain Language. This linguistic expression is Rewung taki tana. It is not so easy actually to translate it into English. But let me try: Rewung means cloud; taki tana means touch until to the ground. So literaly it means the cloud that touches until to the ground. This expression is of course closely related to the natural phenomenon of Manggarai, because Manggarai in its mountain areas are full of cloudy day, especially during June until September. But this natural-linguistic expression was used in Poem, in traditional songs. I heard it for the first time in my childhood. This expression was used by a certain Manggarain traditional singer, Makarius Arus from Rentung (Maras, near Cancar) in his song with the title Rewung taki tana. It is interesting that Makarius Arus is actually a blind man; as such he cannot see the beauty of natural, or mountains, or sun, or tress. He cannot enjoy the beauty and the wonder of nature. But he uses the beauty of natural phenomenon in his songs. He uses this beauty of nature to express the cosmic melancholy of human mind. This is one of the mistery of Makarius; he is actually blind but he can “see”; it is something paradoxical. This mystery makes me confused since my childhood, because the song of Makarius was popular in the 70s, with his unique guitar style. Maybe that is the Manggarain guitar style.

Now I go back to the natural phenomenon of Rewung taki tana. It usually happens during the dry season in June to August or September, every year. When this natural phenomenon comes, our sight was very limited; maybe not more than three meters. In my childhood, this period was considered very dangerous because it is said and even believed that at that time empo degong make their activities. Who are they? According to the story they are the head hunters. Usually they are escorted by ata Karong, the guide. Usually ata karong is a local people. So According to my mother this rewung taki tana period was a critical and dangerous time; thus came the prohibitation: neka lako mane rantang cumang pake, toe pake bon pake mpareng. Usually my mom prohibited us to go outside of house in this time. But according to me precisely this is the good opportunity for the theft to take whatever they want from others, because every people are in their own houses. My other analysis is that this old story of Empo Degong was a story of the period of slave hunters in the past history of Manggarai. In that period the slave traders usually catch their victims in this kind of time. From the other source I know that in the time of war, rewung taki tana was used as a strategy and camouflage. In the war between Todo against Cibal in Benteng Weol, the panglima of Todo disguised himself as a lady of Todo and coming or approaching benteng Weol during the time of rewung taki tana. Yes rewung Golo Nawang is very wellknown and also Rewung in sawah Cancar.

At the beginning of this month I have also made a notes on Rewung Taki Tana in Indonesian language. I include also this note here. Rewung taki tana adalah gejala alam pada bulan Juni sampai September di daerah pegunungan di Manggarai. Pada bulan-bulan itu pada sore hari, awan akan datang (rewung) menyelimuti gunung, lembah, kampung, dan bahkan rumah-rumah, sampai ke tanah (taki tana). Akibat peristiwa alam ini, maka daya jangkau pandangan mata kita menjadi sangat terbatas. Kita tidak dapat melihat jauh, tidak dapat menembus awan-awan tebal. Biasanya peristiwa rewung taki tana itu dipakai oleh para pencuri untuk melakukan aksinya, mencuri dan menjarah hasil bumi di kebun orang lain; bahkan termasuk mencuri ternak peliharaan. Ada mitos menakutkan: ada empo degong, ata karong; anak-anak tidak boleh main jauh dari rumah; bahkan tidak boleh keluar rumah sama sekali. Fenomena rewung taki tana ini dulu juga dikaitkan dengan salah satu periode tragis dalam sejarah Manggarai, yaitu penculikan manusia dalam rangka perdagangan budak (wendo ata te taki mendi laing).

Dalam bukunya, Historiografi Manggarai, Dami N.Toda, melukiskan salah satu periode perang Cibal melawan Todo; Cibal saat itu bertahan di benteng Weol di dekat Cancar; mereka sulit sekali diserang dan ditaklukkan. Akhirnya Todo melakukan tipu muslihat; dengan memakai rewung taki tana golo nawang panglima perang Todo menyamar sebagai perempuan cantik. Benteng Weol pun lalu dibuka karena yang datang adalah perempuan; ternyata itu hanya samaran. Weol dihancurkan dari dalam oleh Todo. Kira-kira mirip dengan tragedi Troya.

Beberapa waktu lalu ada orang di Face Book (saya lupa namanya) memberitakan wafatnya Bapa Makarius Arus. Ia seorang penyanyi buta dan gitaris dari Rentung or Maras. Ialah yang dalam salah satu lagunya mempopulerkan fenomena alam rewung taki tana ini. Dan ini sangat menarik, karena walau ia buta toh ia nyanyi dengan syair lagu yang mengangkat fenomena alam, rewung taki tana. Alam yang melankolik, melankolik kosmik. Sampai saat ini saya tetap masih bertanya, bagaimana hal ini mungkin terjadi? Mungkin Makarius itu seperti Fransiskus dari Asisi, yang buta tetapi menulis sebuah puisi kosmik yang indah dengan judul Gita Sang Surya itu. Tetapi dalam hal Fransiskus, ia buta belakangan; jadi, ia pernah bisa melihat. Itu sebabnya Fransiskus bisa memuja alam dalam puisinya, walau ia menulis puisi itu ketika sudah tidak bisa lagimelihat. Apakah Makarius juga seperti itu atau begitu? Walahualam. Hal ini harus ditanyakan kepada keluarganya sendiri.

Yogyakarta, Lempong Lor 25 Juli 2011

Senin, 18 Juli 2011

MENIKMATI DERAP PEMBANGUNAN LABUAN BAJO: SEBUAH CATATAN PERJALANAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
CATATAN:
INI CATATAN PERJALANAN DARI BEBERAPA TAHUN SILAM YG SAYA AMBIL DARI BUKU HARIAN SAYA. DIBUANG SAYANG. LEBIH BAIK DISHARING-KAN DI SINI. SEMOGA ADA GUNANYA.


Rabu 4 Juli 2007 silam, saya terbang dari Denpasar ke Bandara Komodo, Labuan Bajo (LB), dengan Indonesian Air Transport. Ketika akan mendarat di LB, pesawat menurunkan ketinggian jelajah dan terbang rendah. Saat itu saya bisa menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau kecil yang indah di sekitar LB. Ya, sangat indah. Pasirnya putih, laut di sekitar pantai bening, taman laut nan indah. Tatkala mendarat, saya bisa merasakan derap LB ke arah modernisasi lewat pembangunan yang diupayakan dengan gencar oleh pemda. Saat itu saya berpikir tentang tantangan yang dihadapi LB ke depan. Memang ke depan derap pembangunan LB bisa meninggalkan perkembangan kota-kota dan wilayah lain di Flores bahkan NTT. Sehubungan dengan itu ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan.

Pertama, potensi ekowisata yang mengagumkan. Mabar harus mengembangkan ekowisata dengan baik, jangan sampai mengorbankan lingkungan hidup itu sendiri. Salah satu daya tarik utama LB ialah Komodo. Jangan sampai derap modernisasi, justru berdampak buruk bagi eksistensi Komodo. Hal yang sama bisa dikatakan tentang pelbagai satwa liar dan langka lain di Mabar. Adik saya, staf Swiss-Contact (LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan wisata), bercerita tentang “istana ular” yang ditemukan tidak jauh dari tempat di mana saya dulu semasa kecil mencari kayu api. Pemda diberi rekomendasi pengaspalan jalan ke “istana” itu. Dalam konteks itu saya pikir, sebaiknya dilakukan studi kelayakan oleh ilmuwan tentang daya dukung lingkungan ular-ular yang konon berukuran raksasa. Memang National Geography sudah datang. Tetapi saya kira yang mereka buat barulah dokumentasi. Yang lebih penting ialah studi kelayakan mengenai ketersediaan makanan, pola perkembang-biakan, irama siklus hidup harian, ketahanan terhadap perubahan iklim, cuaca, dan faktor kebisingan akibat hiruk-pikuk manusia. Sebab tidak bisa disangkal bahwa tatkala nanti semakin banyak wisatawan berkunjung, maka kesunyian alami istana itu terganggu. Siapa tahu, ular-ular itu akan menyelinap pergi mencari istana lain, atau malah punah. Sayang kalau itu yang terjadi.

Kedua, masih terkait dengan ekowisata, yaitu masalah sampah. Salah satu ekses hidup modern, yang serba instan karena pengaruh through-away-culture, ialah masalah sampah. Sampah adalah produk dan efek gaya hidup. Sampah harus mulai dikelola sedemikian rupa sehingga jangan sampai mendatangkan efek pencemaran lingkungan. Misalnya mengotori dan mencemari pantai-pantai dengan pasir putih maupun pasir pink yang sangat indah mempesona (terutama di Komodo; di sana ada pantai pasir pink). Sampah inorganik memang tidak hanya mengotori, melainkan juga bisa mencemari dan meracuni lingkungan. Inilah yang harus dijaga pemda. Saya boleh berbangga bahwa laut di sekitar Mabar masih bersih. Permukaan pantai maupun tengah laut tidak tampak tumpukan sampah. Hal ini harus dipertahankan dan dijaga mengingat ke depan produk sampah akan semakin meningkat sebagai efek urbanisasi, overpopulasi, dan through-away and instant culture. Maka pendidikan melola sampah harus digalakkan sekarang juga. Sampah harus menjadi kepedulian dan tanggung-jawab sosial. Kalau tidak, cepat atau lambat, ia akan menjadi masalah sosial.

Ketiga, masih terkait dengan ekowisata, yaitu masalah air. Tentu air amat penting bagi hidup. Kalau LB mau hidup dari ekowisata, maka manajemen air harus dipikirkan dan dikelola dengan baik. Ada beberapa kawasan di LB yang kesulitan air. Air harus didatangkan dengan tanki. Belum apa-apa, air sudah menjadi komoditas pasar. Akan berbahaya kalau air sudah menjadi komoditas pasar. Sebab ia bisa dimonopoli dan monopoli selalu mengandung manipulasi. Kawasan yang sulit misalnya, di Cowang Ndereng. Tetapi ada juga beberapa kawasan yang kelimpahan air; baik itu pam, maupun air sungai yang belum tercemar, masih murni dan alami. Pater Konstan Bahang OFM, bercerita tentang situasi “surplus” air di sekitar rumahnya. Sementara Maksimus S.Hasiman dari BPD-NTT, LB, berkeluh-kesah tentang kekurangan air. Maka di sini saya berpikir tentang tantangan dan kewajiban pemda untuk menyediakan air dan pemerataan pemakaian air. Kiranya air yang harus disebarkan ialah air gunung atau dari mata air alami yang jangan sampai menjadi komoditas dagang. Memang pembuatan sumur dapat menjadi salah satu cara mengatasi problem air. Tetapi saya tidak mau mengambil opsi ini, sebab sumur mengancam eksistensi dan konservasi air tanah. Sumur bisa menciptakan lobang bawah tanah, dan dalam jangka panjang hal itu bisa menyebabkan terjadinya dislokasi, dan penurunan permukaan tanah. Sebab air tanah yang dipompa ke permukaan, bisa menyebabkan intrusi air laut ke daratan lewat bawah tanah. Intrusi air laut adalah sesuatu yang berbahaya. Maka sebaiknya, orang harus mengefektifkan pemakaian air gunung.

Keempat, masih terkait dengan lingkungan hidup. LB yang menggeliat ke arah pembangunan dan modernisasi juga harus memikirkan keindahan tata kota, tata ruang. Mumpung masih cukup dini dalam perkembangan itu, ada baiknya mulai ditata sedemikian rupa agar muncul kota asri. Jalan harus diperbanyak karena kota modern tanpa sarana jalan adalah tidak mungkin. Lalulintas akan mampet. Jalan juga harus dihiasi dengan tanaman yang indah dan hijau permai. Pemandangan menjadi indah. Tetapi lebih dari itu tanaman mendatangkan efek-ekologis positif yaitu mengurangi pencemaran CO2 yang dikonsumsi tanaman. Tentu agar tanaman itu tumbuh subur dan hijau mereka perlu air. Maka poin ini erat terkait dengan soal tata air. Tanaman memang perlu. Tetapi taman juga perlu. Taman hijau, tampan, asri, taman peresapan, sarana bermain, public square, alun-alun. Maka dalam tata kota, selain berpikir tentang jalan, juga orang harus berpikir tentang taman. Sebab taman itu sumber hiburan, ketenangan dan kedamaian, “apalagi” kalau ada kolam hias di dalamnya.

Kelima, pemda juga harus serius memikirkan dampak positif derap pembangunan dan modernisasi LB bagi penduduk setempat. Sebuah ilustrasi sederhana. Di LB akan ada banyak restoran; mereka butuh sayur, timun, wortel, kentang, dll. Penduduk setempat harus diberdayakan untuk menangkap peluang ini dengan menjadi petani wortel, kentang, timun. Tentu dengan harapan bahwa ke depan hal-hal itu tidak usah didatangkan dari luar pulau. Kalau tidak, LB yang mengalami modernisasi, tetapi petani Lombok, Sumbawa atau Makasar bahkan Jawa yang kenyang dan meraup untung dari padanya. Maka sekali lagi pemda hendaknya menyadarkan dan mengadakan penyuluhan bagi petani setempat untuk menjadi petani “spesialis” satu komoditas tertentu (timun, kentang, wortel, tomat, dll). Kalau hal itu sudah terjadi, perlu ada regulasi untuk pembatasan masuknya sayur-sayuran dari luar, agar sayur dari dalam tidak layu dan mati sebelum berkembang.

Keenam, pemda juga harus memikirkan manajemen potensi konflik. Modernisasi membawa serta gejolak potensi konflik sosial. Jurnal Internasional Concilium, edisi Mei 2007, mengusung tema tanah: Land Conflicts, Land Utopias. Di sana antara lain dilukiskan pelbagai konflik yang terjadi karena tanah. Hal itu juga bisa terjadi di LB. Pemda harus berani mengatasi hal itu. Jadi, akhirnya, perlu manajemen konflik juga.