Minggu, 15 Maret 2009

GELANG OCOK WAKAR DAKU

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)


Perlu diketahui dan diakui bahwa salah satu prestasi cemerlang dan gemilang gereja Katolik Manggarai ialah diterbitkannya buku Dere Serani pada tahun 1960-an. Itu adalah salah satu hasil paling mengagumkan hasil karya misi Ruteng. Saya bahkan berani menyebutnya sebagai sebuah loncatan peradaban teramat besar, dari peradaban lisan ke peradaban tulisan. Dan itu adalah berkat karya misi di Manggarai. Buku Dere Serani itu sekarang ini sudah mengalami edisi cetak ulang yang luar biasa besarnya (Saya lupa persis, tetapi tercantum dalam edisi terbaru dari buku itu). Sekali lagi buku ini adalah tonggak besar dalam perkembangan lagu-lagu Manggarai. Juga tonggak besar dalam pendidikan penghayatan iman Katolik orang-orang Manggarai itu sendiri. Masih ada banyak catatan yang penting sehubungan dengan ini, tetapi saya cukupkan sampai di sini dulu, sebab saya langsung mau fokus saja pada poin utama yang mau saya sasar dalam tulisan singkat dan sederhana ini.

Salah satu lagu dalam buku Dere Serani yang sangat saya sukai itu ialah lagu yang berjudul Toe Remo Kaku Mori. Ini adalah lagu untuk komunio. Tetapi secara tertentu, lagu ini bisa juga dipandang sebagai salah satu tembang Kristologis komunio yang sangat indah dan menyentuh. Syairnya sendiri diangkat dari Kitab Suci, yang sering kita pakai dalam perayaan Ekaristi kita, menjelang komuni: Ya Tuhan saya tidak pantas, Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh. Saya juga sangat hafal dalam versi bahasa Latinnya: Domine, non sum dignus, ut intres sub tectum meum, sed tantun dic verbo, et sanabitur animam meam.

Tetapi dalam kesempatan kali ini saya tidak mau mempersoalkan terjemahan teks itu ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin akan saya usahakan hal itu pada kesempatan yang lain. Dan sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya kita lihat dulu teks lagu itu dalam Dere Serani. Beginilah bunyinya:



Toe remo kaku Mori,

Toe remo kaku Mori,

Te sambut Weki Nggeluk.

Gelang ocok wakar daku,

Gelang ocok wakar daku,

Yo Yesus di’a bail.


Ada beberapa catatan penting yang harus saya kemukakan di sini. Tiga baris pertama, tidak menjadi soal besar bagi saya. Itu adalah pernyataan kerendahan hati kita, yang merasa tidak pantas bahwa Tuhan sudi mendatangi saya. Kita merasa tidak pantas untuk menyambut Tubuh Mahakudus, dan Mahamulia itu. Oleh karena itu, tiga baris pertama ini tidak akan saya bahas lebih lanjut.

Yang menjadi soal saya ialah tiga baris berikutnya. Soalnya ialah pemakaian kata ocok itu sendiri. Oleh karena itu, saya memfokuskan analisis saya pada kata ocok itu.

Kata Ocok dalam bahasa Manggarai berarti tunduk membungkuk rendah bahkan hingga sampai menyentuh ke tanah. Untuk dapat memahami hal ini, kita harus membayangkan sebuah ambang atap rumah yang sangat rendah, sehingga untuk melewatinya kita harus membungkukkan badan kita sedalam-dalamnya, serendah-rendahnya. Itulah makna yang terkandung di dalam kata ocok itu. Memang pintu rumah asli Manggarai dulu ialah atapnya sampai ke tanah (walau saya tidak sepenuhnya sependapat dengan hal itu, sebab ada juga arsitektur bruga yang mirip dengan rumah gadang minangkabau itu), sehingga kalau orang mau masuk ke dalam rumah itu, ia harus membungkukkan badannya. Kalau orang mau datang bertamu ke rumah orang lain, maka sebagai tamu ia harus berjalan membungkuk masuk ke dalam rumah si tuan rumah, untuk menghormati mereka yang berdiam di dalam rumah itu. Jadi, secara arsitektural, orang yang mau bertamu seakan-akan “dipaksa” atau diminta, dihimbau untuk tunduk dan membungkuk masuk ke dalam rumah.

Tetapi hasil dari korban perbuatan membungkuk itu ialah kemudian orang masuk ke dalam suatu keluasan ruang dalam, masuk ke dalam kehangatan dan keakraban ruang dalam, ruang keluarga, ruang hidup, Lebensraum kata orang Jerman, atau living space kata orang Inggris. Dalam artian tertentu, gaya arsitektural atap seperti itu sedikit banyak menggambarkan persepsi diri orang Manggarai. Para penafsir dan pengamat Manggarai pada umumnya mengatakan bahwa gaya atap seperti itu memperlihatkan harga diri orang Manggarai, sebab ia seakan-akan “memaksa” tetamu untuk tunduk, menyembah. Hanya dengan tunduk dan menyembah seperti itu, orang dari luar bisa masuk, bertemu dan bertamu.

Nah, sekarang perhatikanlah baik-baik. Dalam pemakaian biasa sehari-hari seperti di atas, kata ocok itu sama sekali tidak menjadi soal bagi saya. Yang menjadi soal ialah ketika kata itu dipakai untuk melukiskan atau menyatakan sesuatu tentang Yesus Kristus. Sebab syair lagu itu mengandung nada-nada imperatif alias perintah yang tegas. Sebuah seruan, invokatif. Biasanya kepada Tuhan Yesus Kristus kita mengajukan permohonan, dan bukan perintah (imperatif). Itulah yang menjadi soal saya yang pertama: kita memberi perintah kepada Yesus agar ia cepat masuk dengan menunduk ke dalam jiwaku.

Tetapi apakah itu sungguh-sungguh menjadi soal juga secara Kristologis? Itulah yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya (poin masalah kedua). Menurut hemat saya, hal itu tidak usah menjadi masalah. Bahkan hal itu mempunyai landasan biblis-kristologisnya dalam kitab suci itu. Perintah agar Yesus segera ocok wakar tidak menjadi soal bagi saya. Kita meminta Yesus agar sudi masuk ke dalam rumah kita, ke dalam space tempat tinggal kita. Adapun dasar biblis yang saya maksudkan antara lain ialah Kristologi Kenosis dalam Filipi yang amat terkenal itu: “....yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di bumi....” (Fil.2:6-9).

Saya membayangkan bahwa dulu ketika para penerjemah mengerjakan teks Dere Serani di atas tadi, terjadi sebuah diskusi batin dan diskusi kelompok yang sangat seru dan serius karena hal itu menyangkut persoalan teolgois dan kristologis. Tetapi keputusan dan pilihan sudah ada. Dan hal itu saya anggap sangat tepat. Itu adalah sebuah intuisi dan insight iman yang benar, ortodoks, dan injili. Maka saya dapat dan mau menyanyikannya tanpa harus merasa risih lagi di hadapan Tuhan Kita Yesus Kristus.


Kamis, 12 Maret 2009

PERCIKAN FILOSOFI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)


Dalam beberapa sms-nya kepada saya, adik saya Hubertus Mega Tanji, yang sejak tahun 2004 memutuskan untuk kembali dan tinggal di Manggarai (tepatnya di Labuan Bajo), menyajikan beberapa percikan refleksi filosofi-antropologi-kultural tentang beberapa aspek dari pemikiran yang terendapkan dalam kebudayaan Manggarai. Tentu saja saya sambut dengan sangat baik inisiatif yang diambil adik saya itu. Sebab bagi saya ini adalah sebuah sumbangan penting bagi proyek teologi inkulturasi saya yang sedang saya persiapkan sebagai sebuah tema penelitian.

Antara lain dia memberi catatan tentang perkawinan antara adat dan agama: “poli kaut pande manuk teing hang empo, rejeki saya mengalir.” Entah apa pula hubungan yang ada atau terjadi di antara kedua fakta dan tindakan itu. Dan inilah tafsir yang ia berikan: Di sini letak kegagalan kaum intelektual Manggarai dalam memformulasikan dengan bahasa yang pas untuk orang di sini, lantas dibilang kafir, menyembah berhala, dsb. Pada hal pande manuk itu sama dengan hukum cinta kasih. Oleh karena itu, sangat diperlukan studi mengenai agama dan adat.” Demikianlah katanya memberi sekilas opini singkat. Dan usul itu betul. Saya memposisikan diri ke arah itu.

Pada kesempatan lain ia membeberkan filosofinya tentang mbaru gendang (di Lembor dan Kempo disebut mbaru tembong) dalam budaya dan kehidupan orang-orang Manggarai. Menurut dia filosofi mbaru gendang atau mbaru tembong itu dapat secara ringkas diungkapkan sbb: ca mbaru (satu rumah) bate ka’eng (tempat tinggal), ca wae (satu mata air), bate teku (tempat menimba air sejuk dan segar), ca uma (satu kebun) bate duat (tempat berusaha, berkebun), ca natas (satu halaman, atau public physical space) bate labar (tempat bermain, berinteraksi, bersosialisasi). Dan inilah komentar singkat dia tetapi dalam bentuk sebuah pertanyaan retoris: “Bukankah ide itu mirip dengan komunisme?” Saya sendiri belum bisa memberi komentar balik banyak secara spontan tentang pertanyaan itu. Hanya saya merasa, mungkin bukan komunisme, melainkan lebih tepat komunalisme, ya, komunalisme Manggarai.

Terlepas dari itu semua, ketika saya membaca dan menulis kembali semua hal ini saya tiba-tiba teraingat akan Pater Flori Laot OFM. Saya teringat akan beliau setidaknya menyangkut dua hal. Pertama, pada suatu saat dia pernah mengatakan kepada saya mengenai lima tanda komunitas dan komunalitas masyarakat Manggarai. Kelima hal itu ialah: Mbaru gendang, compang, natas, wae teku, lingko. Di sini saya tiba-tiba teringat akan Sanda-Lima dalam warisan adat lama Manggarai. Mungkin Sanda-Lima ini ada kaitan erat dengan kelima unsur pokok kehidupan di atas tadi. Saya belum bisa menjawab hal ini dengan pasti. Saya masih harus ke Manggarai untuk menggali dan menyelidika hal itu. Sekaligus saya sadar di sini bahwa masih ada satu unsur yang tidak disebut oleh Huber dalam sms-nya tadi, yaitu ia tidak menyebut unsur compang (altar pemujaan dalam konteks religi purba dan asli Manggarai). Tetapi tidak apa-apa juga.

Kedua, ketika menyebut ungkapan mbaru gendang atau mbaru tembong, saya spontan teringat akan analisis penelusuran etimologis Pater Flori atas kata mbaru itu sendiri. Menurut Pater Flori, kata mbaru itu terbentuk dari dua akar kata yaitu mbau dan ru. Mbau artinya naungan (biasanya di bawah pohon rindang, atau di bawah ceruk batu karang atau nampar dalam bahasa Manggarai) yang sejuk dan nyaman. Ru, adalah kata posesif, yang artinya kepunyaan sendiri. Maka berdasarkan etimologi itu mbaru berarti naungan yang sejuk-nyaman kepunyaan atau milik sendiri. Jika analisis-penelusuran etimologis ini benar, maka dalam kata mbaru sesungguhnya tersimpan satu endapan historis filsafat orang Manggarai tentang harta milik pribadi (personal property right); yakni semacam hak atas aset.

Tetapi hal ini muncul atau terjadi karena klaim atas sebagian wilayah publik; sebab kata ru selalu berarti klaim personal atas benda, barang atau ruang bahkan orang. Dan serentak di sini tersiratlah potensi konfliknya yang mengandung bahaya besar. Sebab bisa saja ada beberapa pihak yang mengklaim hak milik pribadi atas hal yang satu dan sama. Hal itu jelas terendapkan dalam kata mbau itu sendiri. Biasanya dalam alam sabana dan stepa, naungan pohon (mbau) selalu menjadi tempat rebutan: antar sesama binatang buas, atau antar manusia dan binatang buas. Semua mau beristirahat di sana. Kalau semua mau ke sana, maka mbau bisa menjadi ajang konflik, konflik kepentingan, konflik interpretasi kepentingan juga. Fenomena yang sama terjadi juga untuk oase atau mata air. Ke sanalah semua orang dan semua makhluk datang. Maka di sana orang bisa berkoeksistensi secara damai, seperti idealisme mazmur 23 itu, atau saling berebut, eksploitasi, menindas, menyikut, dan saling menyingkirkan satu sama lain. Jadi, mbaru menyimpan potensi konflik, potensi “perpecahan”, potensi “menyebar,” atau potensi disperse dalam artian negatif dari kata itu.

Bandung, sekitar pertengahan Mei 2005.

Ditulis kembali dalam komputer di Bandung, 10 Maret 2008