Jumat, 19 Desember 2008

DERE NARING DIHA SIMEON (Luk.2:28-32)

Terjemahan agak bebas
oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


28. Mai hia tiba Anak koe hitu

agu kapu liha Anak koe hitu,

agu ne nggo’o de dere naring diha

latang te Mori Kraeng:


29. “Te ho’on wili Mori ga,

sendo koe Lite mendimM ho’o

kudut kole nggere one Ite,

kole agu nai hambor,

lorong sangged taung reweng Dite,


30. ai poli ita keta le mata miteng de rug aku Mori,

mose di’a ata poli widang Dite,


31. hiot poli pande siapd (mengkekd) Lite

bolo mai mata sangged ata one tana,


32. yaitu gerak (ko nera) hiot pande ita sangged ngoeng Dite

latangt sangged ata bangsa bana

agu jiri kemuliaan laing latangt sangged ro’eng nggeluk Dite, Israel.”


Bandung, 24 Oktober 2008

Diketik ulang sambil direvisi, diperbaiki, 19 Desember 2009


Selasa, 16 Desember 2008

DERE NGKIONG....

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dalam beberapa posting terdahulu saya sudah menulis beberapa percikan pemikiran tentang ungkapan Kuni agu Kalo yang ssangat terkenal itu, yang menurut Maribeth Erb, Kuni agu Dalo (dalam bukunya The Manggarains itu). Kedua versi ungkapan itu (Kuni agu Kalo dan Kuni agu Dalo) sudah saya beri catatan di tempat lain dalam pelbagai postingan saya.

Tetapi pada kesempatan ini ada baiknya saya menulis juga di sini sebuah lagu dalam mana saya menemukan ungkapan Kuni agu Kalo tersebut (dan bukan kuni agu dalo, sebagaimana diusulkan oleh Maribeth Erb). Lagu itu tidak lain adalah sebuah lagu rakyat yang sangat populer di antara orang-orang Manggarai. Tetapi mungkin dewasa ini orang sudah tidak lagi mengingatnya karena lagu kerakyatan itu sudah tergerus dan tergusur oleh lagu-lagu modern (baik yang berbahasa Manggarai, maupun yang berbahasa Manggarai, dan bahasa Mandarin). Tetapi paling tidak sampai era tahun 80-an, lagu itu masih banyak dihafal oleh orang-orang Manggarai. Mungkin mereka menghafalnya sekadar sebagai sebuah lagu biasa saja (misalnya untuk keperluan praktis meninabobokan anak). Tetapi mungkin saja ada orang lain yang menghafalnya dalam rangka mempertegas identitas ras dan bahkan mungkin etnik. Mungkin ada juga yang mencoba menangkap dan menimba nilai-nilai moral yang mau disampaikan oleh penulis Istana. Tetapi mungkin juga ada orang lain yang menghafalnya dalam rangka mendalami etnofilosofi Manggarai. Saya lebih cenderung menempatkan diri saya dalam kategori yang terakhir ini.

Agar tidak berpanjang kata lagi, inilah lagu yang saya maksudkan itu.

Cako:

Ngkiong a, Ngkiong oouu Ngkiong, Ngkiong e Ngkiong Ngkiong eeee

Wae Mokel ta Ngkiong e rahit a rahit awon ta Ngkiong e.

Selat Sape ta Ngkiong e rahit a rahit salen ta Ngkiong e.

Ngkiong, Ngkiong e, Ngkiong, Ngkiong e runi kaka,

Neka oke kuni agu kalon o Ngkiong Ngkiong e.

Wale:

Elang ta elang ta e ae aaaaa

Eeeee meu ame rinding mane elang ta sok tay ga

Eeeee meu ine rinding wie elang ta sok tay ga

Ngkiong, Ngkiong e Ngkiong Ngkiong e runi kaka,

Neka oke kuni agu kalon o Ngkiong Ngkiong e.

Cako:

Ngkiong a Ngkiong oouu Ngkiong, Ngkiong e, Ngkiong Ngkiong eee….

Laut Flores ta Ngkiong e rahita rahit len ta Ngkiong e.

Laut Sawu ta Ngkiong e rahita rahit laun ta Ngkiong e

Ngiong, Ngkiong e Ngkiong Ngkionge runi kaka,

Neka oke kuni agu kalon o Ngkiong Ngkiong e. (Elang ta….etc)

Ngkiong itu sendiri adalah nama sejenis burung hutan di Manggarai, yang kini mungkin sudah langka, atau bahkan mungkin sudah punah. Lagu ini sendiri memberi keterangan bahwa kata Ngkiong itu adalah sebuah kata derivative onomatope, kata benda yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi, dalam hal ini bunyi burung. Dapat diduga bahwa burung itu berbunyi ngkiong-ngkiong-ngkiong……. Mungkin onomatope ini kira-kira sama seperti kata teke yang berarti tokek, yang juga diperoleh lewat proses peniruan bunyi. Sayang, saya tidak atau belum sempat menemukan nama Latinnya burung ini.


Jakarta, 09 Juni 2007

Diketik ulang dan diperluas pada 17 Desember 2008.


KESADARAN WAKTU ORANG MANGGARAI 02

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Kalau dilihat dari judulnya, maka sudah tampak jelas bahwa ini adalah refleksi saya yang kedua tentang tema atau pokok yang sama (kesadaran akan waktu atau sejarah yang hidup dan dihayati oleh orang-orang Manggarai). Karangan yang pertama sudah saya posting-kan beberapa minggu yang lalu.

Tetapi pada hari ini tiba-tiba saya mendapat sebuah ilham yang baru dan lain. Menurut ilham ini, saya berpandangan bahwa kesadaran akan waktu atau sejarah yang hidup di antara kalangan orang-orang Manggarai juga sudah terendapkan dalam buku Dere Serani yang populer itu (Lihat Dere Serani, No.....). Pada pagi hari ini tiba-tiba saja mengalir keluar dengan sangatr lancarnya dari mulut saya sebuah lagu yang sangat populer dalam Dere Serani itu, yang sangat sering kami nyanyikan dulu dalam doa hari Minggu tanpa perayaan Ekaristi karena tidak adanya imam. Guru Agama (guru gama) atau guru Katekis, atau bahkan guru sekolah dasar pada umumnya, biasanya memimpin doa itu, termasuk juga berkotbah, dan memimpin nyanyian bersama umat. Saya sudah menghafal lagu itu sejak masih kanak-kanak di Ketang Lelak dulu. Beginilah bunyinya:

Cako:

Sangged ite oooo eeeooooo,

Mai ngaji cama laingt suju Mori.

Mai ngaji cama laingt suju Mori.

Kudut di’a diang mose ge,

Kudut jari tay mose ge, Lembu nai ge.

Wale:

Tabe Mori gooooooo, Tabe Kraeng go.

Mori titong ami lete bari

Mori sembeng ami dengkir tayin

Lembu nai ge.

Cako: ayat 2

Sangged ite oooo eeeeoooooo

Mai tikul neteng minggu suju Mori

Mai tikul neteng minggu suju Mori

Kudut di’a diang mose ge,

Kudut jari tayi mose ge, Lembu nai ge. (Disambut dengan Wale)

Cako: ayat 3

Sangged ite ooooeeeeooooo

Mai sambut mole m ntaung tiba Mori

Mai sambut mole m ntaung tiba Mori

Kudut di’a diang mose ge,

Kudut jari tayi mose ge, Lembu nai ge. (Disambut dengan Wale)

Dalam uraian dan komentar saya ini, saya tidak akan memberi perhatian kepada seluruh lagu itu baris demi baris, melainkan memusatkan perhatian pada bait yang menurut saya erat terkait dengan persepsi tentang waktu dalam diri dan alam pikiran orang-orang Manggarai. Dan menurut hemat saya, pandangan dan persepsi tentang waktu yang ada dalam lagu ini tampak dalam bagian akhir dari cako maupun wale.

Dalam cako dikatakan: kudut di’a diang mose ge, kudut jari tayi mose ge, lembu nai ge. Bagi saya ini tidak lain adalah berarti hidup dalam perspektif pengharapan, hidup dalam kesadaran akan horizon masa depan yang membentang luas, di’a diang, jari tay. Agar hari esok lebih baik, agar kelak jauh leih berhasil atau mendatangkan hasil. Tersirat di sini sebuah anggapan dan bahkan keyakinan bahwa hari esok mengandung sejuta kemungkinan dan peluang. Dengan demikian maka hidup tidak lagi serba terhimpit dan terkungkung pada tempurung yang sumpek hari ini, melainkan seakan-akan ia melesat dan melesak menuju ke masa depan. Dan hal itu mendatangkan kelegaan, dan bahkan penghiburan bagi jiwa dan kiranya juga raga, lembu nai ge. Kiranya bersama dengan itu datang juga daya kekuatan hidup baru. Sebab baik cako maupun wale, selalu diakhiri dengan ungkapan yang sama: lembu nai ge. Jiwaku merasa terhibur, merasa senang, merasa bahagia, karena hidup dalam perspektif masa depan, karena masa depan menjanjikan selaksa harapan. Bermimpi tentang hari esok yang lebih baik masih menjadi mungkin atau dimungkinkan.

Kesadaran akan waktu itu juga tampak dalam bagian akhir dari wale. Di sana dikatakan, Mori titong ami lete bari, Mori sembeng ami dengkir tayin, lembu nai ge. Tuhan menjaga dan melindungi kami setiap hari, Tuhan menjaga dan membela kami sampai selama-lamanya. Di sini tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan: dari mana datangnya ilham kesadaran waktu ini? Menurut saya, jelas ini adalah sebuah insting Manggarai. Atau kalau mau memakai istilah yang lebih baik, ini adalah sebuah intuisi dan insight Manggarai akan waktu dan sejarah. Teks itu dengan jelas menyingkapkan bahwa ada suatu kesadaran bahwa orang harus hidup dalam perspektif masa depan. Ini tidak lain berarti hidup dalam pengharapan, hidup dalam perpsektif eskatologis, kalau mau meminjam istilah khasanah teologi Kristiani, yang kiranya juga sudah mengendap dan meresap dalam-dalam dalam tanah Manggarai.

Dalam konteks hidup untuk dan ke masa depan, Tuhan menjadi cakrawala terjauh dari kehidupan. Bukan lagi diri sendiri. Bukan juga mammon, melainkan Allah. Dengan demikian lagu ini juga menggambarkan kesadaran teologi orang Manggarai untuk senantiasa hidup di dalam dan bersama Tuhan. Lagu ini mengungkapkan bahwa orang Manggarai sadar akan penyelenggaraan ilahi (providentia dei) dalam hidup ini. Dan ini pasti sudah tercampur baur dengan perspektif teologi dan iman Kristiani. Dan itu tidak apa-apa. Apa pun sumber dasarnya, yang jelas, semuanya itu diungkapkan dalam bahasa Manggari oleh si pengarang lagu. Dengan landasan kepercayaan akan hidup di masa depan, dan akan penyelenggaraan ilahi dari hari ke hari, si pengarang mengajak orang-orang untuk pergi mengungsi kepada Allah dengan harapan bahwa Allah akan memaknai hidup mereka, memberi mereka hidup, tetapi bukan hanya sekadar asal hidup, melainkan hidup dalam kelimpahan (Yoh.10:10).


Bandung, 12 Desember 2008.

Diketik ulang dan diperluas pada tanggal 17 Desember 2008


Jumat, 12 Desember 2008

CUIUS REGIO, EIUS RELIGIO DI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dalam bukunya Historiografi Manggarai (Ende: NI, 1999), Dami N.Toda mencatat sekilas proses masuknya agama Kristiani (Katolik) di Manggarai (Flores). Secara singkat saya mencatat dua hal mencolok dalam catatan dan pengamatan beliau. Pertama, proses masuk dan mengakarnya Kristianitas di Manggarai diupayakan melalui pendidikan. Kedua, proses itu diupayakan melalui pendekatan kekuasaan. Toda mencatat bahwa kehadiran misionaris Katolik di Manggarai awal abad keduapuluh membawa ambisi religius dan teritorial tersendiri, juga menyimpan agenda politik tersendiri yang terselubung. Mereka mau membangun satu “kerajaan” Katolik dengan raja atau pangeran Katolik. Ini dengan maksud untuk membendung ekspansi pengaruh kerajaan Islam Bima di Sumbawa. Sedangkan di Flores Timur sudah ada kerajaan “katolik” sejak lama.

Untuk mewujudkan cita-cita mendirikan kerajaan Kristiani di Manggarai, mereka harus membaptis salah satu dari raja-raja kecil yang ada di Manggarai. Salah satu raja kecil yang cukup berpengaruh pada saat itu adalah Todo, yang bersama raja kecil lainnya menjadi rival Cibal yang dianggap sebagai kaki tangan Bima-Goa (yang berpengaruh besar melalui Reok, Pota). Pilihan pun jatuh pada upaya Kristenisasi pangeran Todo.

Untuk itu ditempuh sebuah jalan panjang dan berliku-liku, lewat transformasi evolutif tetapi pasti melalui pendidikan modern barat. Maka salah seorang anak Todo, yaitu Frans Sales Lega dididik di Seminari Tinggi Ledalero. Anak itu, lewat pendidikan, mengalami proses pembaratan dan pengkristenan. Setelah anak ini lulus sekolah, ialah yang menjadi “misionaris” baru untuk paling tidak sanak saudaranya. Ia harus mempertobatkan mereka. Ternyata proses atau langkah ini cukup efektif. Beliau konon berhasil mentobatkan banyak anggota keluarga besarnya menjadi Katolik.

Dengan cara itu terbentuklah kerajaan Katolik di Flores Barat (Manggarai), seperti halnya kerajaan Katolik di Flores Timur, Larantuka. Setelah raja kecil yang cukup berpengaruh ini menjadi Katolik, maka mudahlah proses selanjutnya. Sebab berlaku juga adagium klasik dalam sejarah gereja, cuius regio, eius religio, siapa yang mempunyai wilayah (berkuasa atas satu wilayah), dialah yang menentukan agama yang dianut rakyat di wilayah itu. Jika dilihat dengan cara seperti ini, maka pendekatan misionaris SVD di Flores awal abad keduapuluh, sebenarnya persis sama dengan pendekatan yang dilakukan Yesuit abad kedelapanbelas ketika mereka mewartakan injil di daratan China. Suatu gaya yang akhirnya menjadi salah satu pokok pertikaian antara Yesuit dan Fransiskan di Cina.

Kembali ke Manggarai: Setelah proses awal ini dapat berjalan lancar dan mulus, maka proses Kristenisasi selanjutnya dapat berjalan dengan mulus juga. Dalam waktu yang relatif singkat, Manggarai seluruhnya menjadi Katolik. Imam pertama dari Manggarai ditahbiskan tahun 60, yaitu pater Frans Soleman, dll. Tetapi beliau ini, kalau tidak salah, cukup cepat meninggalkan imamatnya. Tetapi dalam sejarah gereja Katolik ada keyakinan bahwa kalau di suatu daerah misi sudah ada benih panggilan imam dan sudah ada yang menjadi imam, itulah tanda bahwa iman Kristiani sudah tertanam dan berurat-berakar di wilayah itu.


Bandung, 10 Juni 2007.

Diketik ulang dan diperluas dari BH-ku, 12 Desember 2008


Kamis, 11 Desember 2008

MBARU, MBAU-RU

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Mbaru adalah sebuah kosa kata (vocabulary) dalam bahasa Manggarai, yang artinya rumah. Setiap kali saya mendengar kata mbaru ini, saya selalu teringat akan Pater Flori Laot OFM. Pada suatu saat (sekitar tahun 1987-1988, ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral di Postulat OFM Pagal), dia mengatakan kepada saya bahwa kata mbaru itu sebenarnya berasal dari kata asal mbau-ru. Jadi, menurut dia, kata mbaru itu adalah termasuk kategori kata turunan, atau derivatives.

Beginilah dia menjelaskan etimologi kata mbaru itu. Mbau artinya naungan. Biasanya yang dimaksud ialah naungan di bawah pohon rindang, yang mendatangkan kesegaran dan kesejukan bagi orang yang berdiri di bawahnya. Sedangkan ru artinya milik atau kepunyaan sendiri. Kalau mau memakai kategori tatabahasa barat, ru itu termasuk dalam kata keterangan posesif, atau kata yang menunjukkan fungsi kepemilikan (possesive pronomina). Sehingga kata mbaru itu yang terdiri atas kata asal mbau dan ru tidak lain berarti, naungan rindang-segar kepunyaan atau milik sendiri. Menurut hemat saya, penelusuran etimologis yang dilakukan Pater Flori ini terasa amat indah, menarik dan masuk akal juga. Oleh karena itu, saya bisa menerima dan memahaminya.

Kalau hal ini benar, maka ada satu hal menarik yang patut digaris-bawahi dan juga sekaligus disadari. Kata mbau itu sendiri, seperti sudah ditulis di depan, mempunyai dua arti lagi. Pertama, mbau berarti ari-ari dan semua hal lain yang keluar bersama bayi pada saat bayi itu dilahirkan. Di dalam rahim sang ibu, ari-ari itulah yang menjadi “rumah” (mbau) primordial sang bayi, yang ketika ia datang ke dunia ini (lahir), ikut dibawanya serta juga. Tetapi kemudian mbau itu dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu pertiwi, alias dikuburkan, lalu di atasnya ditanam sebagai penanda, kuni agu kalo. Nah ketika kuni agu kalo itu tumbuh subur dan berkembang, giliran kedua pohon itu menjadi pelindung dan naungan bagi tanah di bawah dan di sekitarnya, terutama bagi mbau primordial sang anak manusia yang dikuburkan di sana. Mungkin dari situlah konteks asal-usul sebuah nasihat yang terkenal dalam bahasa Manggara: neka oke kuni agu kalo ta ngkiong-ngkiong e. (Tetapi, perlu juga diketahui bahwa ada yang menyimpan mbau itu di sungai, di jeram sungai).

Kedua, kata mbau berarti naungan rindang dan segar di bawah pohon, seperti yang baru dilukiskan sebelumnya. Kalau mbau ini adalah ruang publik, yang bisa dimasuki oleh siapa saja, termasuk binatang buas sekalipun, maka mbaru adalah ruang privat, private space, artinya, ruangan milik atau kepunyaan sendiri. Dalam artian itu dia tidak hanya mendatangkan kesejukan sesaat, melainkan mendatangkan kenyamanan dan keamanan yang bersifat permanen. Nah, dalam artian itu, mbaru menjadi prasyarat hidup, prasyarat relasi, prasyarat komunikasi, prasyarat eksistensi. Itulah arti dan makna paling mendasar dari kata mbaru. Jadi, ketika lahir manusia membawa mbau, lalu manusia itu bertumbuh-kembang di dalam mbau-ru, dalam mbaru, untuk akhirnya kemudian berjalan dan berziarah menuju mbaru surgawi, sebuah konsep yang dikenal berkat perkenalan orang manggarai dengan Kristianitas.


Bandung, 09-16-07.

Ditulis dan dikembangkan kembali 12 Desember 2008 dari BH-ku. .

Senin, 01 Desember 2008

IMBI MORI GO

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)


In Retrospect

Hari ini, tanggal 02 Desember 2008, saya tiba-tiba teringat akan papa saya, Feliks Mar. Saya mengingatnya terutama dalam perannya dulu sebagai guru pelatih dere sanda Manggarai di SDK Ketang pada tahun 70-an. Pada waktu itu, sebagai guru sekolah dasar, ia terlibat dalam pelatihan lagu-lagu inkulturasi liturgi Manggarai, khusus untuk Misa pada Minggu Paskah, atau pun Pentakosta. Salah satu lagu yang masih saya hafal dari masa kecil itu adalah lagu yang berjudul Imbi Mori go. Lagu ini adalah Credo.

Pada kesempatan ini saya mau menulisnya di sini untuk mengabadikannya, sebab saya tahu bahwa itu adalah salah satu tonggak dinamis proses dan upaya inkulturasi liturgi Manggarai, yang sudah sangat gencar dilakukan oleh Mgr.Wilhelmus van Bekkum, SVD, salah satu tokoh besar dalam Konsili Vatikan II. Ya, untuk tidak berpanjang kata lagi, inilah lagu yang saya maksudkan tadi:

Imbi Mori go oo

Bengkes Mori go oo

Eeeee somba Mori gooo

Eeeee somba Mori gooo

Eeee neka oke mose Mori ge.

Ayat 1:

Yo Mori, iiii go,

Mori Kraeng Ema go,

Poli dedek tana awang,

Ole Mori neka oke

Nggere one gonggem

Dami mose…... kembali ke Refr…..

Ayat 2:

Yo Mori, iiii go,

Mori Kraeng Anak go,

Pande bajars sala data,

Ole Mori neka tapa

Wa naraka

Dami wakar….. kembali ke Refr…..

Ayat 3:

Yo Mori, iiii go,

Kraeng Nai Nggluk go

Pande Nggeluk sanggen ata,

Ole Mori neka pencar

Salang pe’ang

Ami anakM…… kembali ke Refr……

Prospect

Itulah lagu yang saya maksudkan tadi. Saya menghafalnya sejak masih sangat kecil karena keterlibatan papa saya itu dalam melatih anak-anak sekolah dasar untuk menyanyikan lagu-lagu itu. Dan sekarang saya memberi beberapa pengamatan saya mengenai lagu itu, dari segi teologisnya.

Pertama, lagu itu berstruktur atau bercorak trinitaris (Trinitarian), sebab dalam ayat-ayatnya lagu ini jelas-jelas menyinggung Tritunggal Mahakudus, sebagai Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Maka ini alat katekese Trinitarian bagi iman orang Manggarai.

Kedua, sekaligus juga ia berteologi mengenai peranan Allah Tritunggal itu dalam tata ekonomia keselamatan, walaupun mungkin dengan peran-peran yang unik, yang kiranya diambil dari perbendaharaan pemikiran religi purba Manggarai.

Ketika dalam ayat 1, lagu ini menyebut Bapa, maka Bapa itu disebut Pencipta. Jelas ini ada dalam jalur pemikiran teologi tradisional Kristiani (walau Manggarai sendiri juga mengenal ide atau konsep Pencipta dan penciptaan). Tetapi Bapa ini diminta agar jangan menghukum manusia dalam sesuatu yang disebut gonggem. Jelas kata ini adalah bahasa Manggarai. Maka pasti alam pikiran religi purba Manggarai-lah yang disimpan atau diendapkan di dalamnya. Gonggem itu berarti lubang besar, lupi nggampang mese, sebuah tempat yang mengerikan, menakutkan, menyeramkan, tempat segala sesuatu bisa terperosok ke dalamnya. Boleh jadi, para pemrakarsa inkulturasi dulu terpikir untuk menerjemahkan kata sheol dengan kata gonggem ini.

Ketika dalam ayat 2, lagu ini menyebut Anak, maka Anak itu disebut sebagai atau dalam peranNya sebagai Penebus. Jelas ini juga berada dalam jalur pemikiran teologi tradisional Kristiani. Putera ini juga diminta atau dimohon dengan sangat agar jangan sampai menghukum manusia dalam neraka. Jelas ini juga sebuah konsep yang diadopsi dari warisan teologi Kristianitas itu sendiri.

Ketika dalam ayat 3, lagu ini menyebut Roh Kudus (Kraeng Nai Nggluk), disebut juga perannya sebagai Pengudus jiwa. Ini juga dari khasanah teologi tradisional Kristiani. Tetapi masih ada peranan lain dari Pribadi ketiga ini, yaitu pemersatu. Hal ini tersirat di dalam permohonan agar Roh Kudus jangan sampai menyebabkan terjadinya perpecahan dan percerai-beraian di antara umat manusia, agar semuanya bisa tetap berada dan berjalan pada jalan yang satu dan sama, dalam jalan yang benar.

New Horizon

Berbicara mengenai jalan ini, secara spontan saya terpikir akan dua hal: pertama, saya terpikir akan he hodos, jalan, yang merupakan sebutan asali bagi orang-orang Kristiani pada jaman Perjanjian Baru dulu (lihat Kisah Para Rasul. Saya juga sudah pernah menulis artikel tentang He Hodos ini). Kedua, saya juga terpikir akan Yesus Kristus yang dalam injil Yohanes (14:6) memperkenalkan diri sebagai jalan, kebenaran dan hidup: Ego sum via, vita, et veritas. Ego eime he hodos, he zoe, he aletheia.

Maka jelas, sekali bahwa lagu ini, sangat trinitaris, dan juga sangat kristologis, sangat injili, sangat Kristiani, sangat gerejawi juga. Benar-benar efektif sebagai sarana katekese, sarana liturgis sebagai sekolah kesalehan dan iman. Maka orang-orang Manggarai harus banyak belajar dari lagu ini.


Bandung, 02 Desember 2008.


KUNI AGU DALO

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Di tempat lain saya sudah memberitahukan bahwa saya baru saja mendapat buku hasil karya Maribeth Erb (seorang peneliti bahasa Rembong di Manggarai Timur). Saya sudah membaca buku itu sampai tuntas sambil memberi beberapa catatan kritis atas beberapa hasil studi dan pengamatan beliau atas kebudayaan Manggarai. Salah satu hal yang secara langsung menarik perhatian saya ialah ungkapan “Kuni agu dalo.” Hal ini menarik karena amat mencolok. Selama ini yang saya tahu ialah ungkapan itu berbunyi “Kuni agu Kalo.” Dan dalam blog saya, saya sudah memberi catatan ringan tentang ungkapan ini. Sekarang Maribeth Erb mengatakan bahwa bukan “kuni agu kalo,” (sebagaimana yang lazim terdengar dinyanyikan atau diucapkan orang) melainkan “kuni agu dalo.” Terus terang saja, saya terkejut sekali ketika pertama kali saya membaca ungkapan itu dalam buku yang ia terbitkan.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam pandangan Erb ungkapan itu tidak berbunyi “kuni agu kalo,” melainkan berbunyi “kuni agu dalo.” Terus terang juga bahwa dari uraian Erb ini jugalah saya mendapat pemahaman dan keterangan baru mengenai kata kuni. Kalau dalam tulisan terdahulu saya mengartikan kuni itu dengan dua cara, yaitu mbau yang ditanam di tanah, atau diartikan sebagai biji jambu mete, maka sekarang saya mendapat pemahaman baru.

Tetapi sebelum saya membahas hal itu lebih lanjut saya mau memberi sebuah catatan ringan terlebih dahulu. Catatan ringan ini terutama sekali menyangkut kata dalo. Dr.Marsel Robot cenderung menyalahkan Erb dalam hal ini. Saya sendiri juga cenderung berpendapat demikian. Saya memandangnya sebagai sebuah salah dengar atau salah tangkap. Mengapa demikian? Itu karena yang kami dengar dan kami hafal selama ini ialah “kuni agu kalo.” Tidak ada “kuni agu dalo” seperti dipostulasikan Erb. Lagipula perlu diingat dan disadari bahwa dalam sejarah penyelidikan ilmu-ilmu bahasa (linguistik) tidak dikenal hukum kd, seperti halnya kita mengenal hukum rdl, di mana ketiga huruf itu bisa berganti-ganti di dalam pemakaian untuk satu kata yang sama. Misalnya, di salah satu tempat orang memakai kata padi, maka di tempat lain, mungkin orang memakai kata palai, atau pali, atau bahkan pari. Tetapi artinya sama. Tidak demikian halnya dalam kasus kata kalo dan dalo tadi: tidak ada hukum substitusi antara huruf k dan d dalam kalo dan dalo itu. Itulah yang menjadi masalah pertama.

Namun demikian, walau saya cenderung menolaknya dan menganggapnya sebagai sebentuk salah dengar, tetapi menarik juga Erb mencoba menafsirkan kata dalo itu yang tampaknya ia coba pertahankan dengan mati-matian dan konsisten. Beginilah intisari dari pembelaan beliau. Dalo adalah dalo betong, atau dalo bambu, dalo gurung. Konon dulu mbau anak yang baru lahir dikubur di dalam tanah. Tetapi sebelum dikuburkan, terlebih dahulu dibersihkan dan dimasukan ke dalam dalo bambu, dalo tadi. Itulah yang disebut kuni. Jadi, kuni itu adalah ari-ari bayi yang dilahirkan. Kemudian kuni yang sudah dimasukkan ke dalam dalo bambu dikuburkan dan kubur itu lalu ditandai dengan cara ditanami bambu dalo. Dari situlah ungkapan kuni agu dalo itu berasal. Yaitu berasal dari kuni yang disimpan di dalam dalo lalu dikubur. Dalam arti itulah ungkapan kuni agu dalo tidak lain berarti tanah tumpah darah, atau tanah tempat di mana ari-arimu di tanam di bumi ini.

Menurut Erb, dulu memang bambu amat penting dalam hidup orang Manggarai pada umumnya. Ada banyak gunanya. Sebagai bahan untuk rumah. Sebagai pagar untuk kebun. Sebagai alat timba air. Sebagai bahan dasar untuk pelbagai macam keperluan. Yang perlu dicatat ialah bahwa bambu itu juga menjadi kayu pengusung peti orang mati ke kubur. Bahkan menurut Erb, bambu itu jugalah yang dipakai sebagai alat untuk menggali kubur dulu. Maka kehadiran bambu dalam kehidupan orang Manggarai berarti mengingatkan kita akan kematian. Apalagi kalau hal itu dijadikan sebagai bahan rumah, maka rumah bambu mengingatkan kita akan eksistensi kita yang terarah kepada maut, meminjam istilah Martin Heidegger yang terkenal itu, Sein zum Tode.

Tetapi dalam proses ini tiba-tiba saya teringat akan sesuatu. Boleh jadi kehadiran bambu itu juga bisa mengingatkan orang akan mitos arkaik orang Manggarai, tentang bengkar one mai belang, bok one mai betong, menyangkut asal-usul manusia. Mungkin saja ada kaitan atau asosiasi ke sana. Tetapi ia berfungsi secara negatif. Sebab mitos itu bukan mitos positif, melainkan hadir sebagai nasihat moral untuk mengingatkan anak-anak yang kurang ajar agar menghormati orang tua mereka. Sebab orang tua adalah asal-usul mereka. Mereka tidak keluar dari bambu, melainkan mereka terlahir dari orang tua.


Bandung, 28 November 2008 (ditulis ulang, diperluas, 01 Desember 2008).